Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Akhir pekan lalu, ketka penulis sedang bersiap mematut diri mau menghadiri undangan shib yang menikahkan putranya, mendadak gawai berdering. Ternyata orang nomor satu di lembaga penulis berada sudah ada di seberang sana. Beliau mengatakan bahwa ada yang mencari. Ternyata sohib lama sudah ada di sana sebagai panitia resepsi pernikahan. Tentu saja membuat persiapan keberangkatan harus disegerakan, karena harus mengantar cucu terlebih dahulu pulang ke rumahnya, sebelum menghadiri acara.
Begitu tiba di tempat acara hampir semua panitia ternyata yunior-yunior dahulu yang ikut berjuang di lembaga terdahulu. Tentu sebagai lazimnya orang timur, kami bersalam-salaman dengan mengucapkan kata sapa yang tidak pernah tinggal adalah kata “Selamat”. Saya bergegas menimpali saya mencari Pak Selamat; ternyata beliau ada di kumpulan itu dengan berucap “selamat”. Benar-benar ucapan selamat yang melekat sebagai nama, membuat keberkahan tersendiri pada beliau yang sudah mencapai guru besar. Sangat berbeda di luar sana, ucapan selamat disalahgunakan untuk ucapan kesuksesan jika dapat membuat celaka atau kerugian lawan.
Bisa dibayangkan seorang membusungkan dada karena bisa menjatuhkan lawannya, yang itu adalah saudaranya sendiri, paling tidak saudara seiman, hanya karena beda keinginan. Kemudian yang bersangkutan mendapatkan ucapan selamat karena sudah menjadi “hero” bagi kelompoknya. Lebih edan lagi ucapan selamat yang hakikatnya agung untuk hal-hal yang baik, ternyata ditabalkan kepada mereka yang telah sukses melakukan politik pecah belah. Yang lebih menyedihkan yang di pecah dan di belah seolah ihklas untuk diadu domba-kan dengan teman sehabatatnya.
Ternyata ucapan selamat pada saat ini berkecenderungan menjadi tidak netral lagi, karena harus dipahami dipakai oleh siapa, untuk kepentingan apa, gunanya untuk apa. Drama kehidupan seperti ini sekarang sedang mendapatkan panggung, sehingga tidak jarang banyak diantara kita menjadi demam panggung. Sampai-sampai merudakpaksa-pun mendapatkan ucapan selamat, walaupun tidak selamanya disertai sukacita.
Demikian halnya dengan kondisi saat ini, ketika pembenaran terhadap sesuatu yang tidak benar bisa terjadi. Itu pun diberi ucapan selamat atas keberhasilan membenarkan sesuatu yang nyata-nyata tidak benar. Dalih yang paling aman adalah dengan melambungkannya ke ranah normatif, sehingga tidak dapat dijangkau dengan kebenaran teknis; sekalipun pembenaran substantif dikorbankan.
Kebutuhan akan kebenaran yang menyelamatkan adalah kebutuhan transidental; namun manakala berhadapan dengan keinginan, semua akan berubah menjadi sementara karena wilayah ini membuat kita hanyut akan rasa haus yang tidak berkesudahan akan dunia. Oleh karena itu tidaklah berlebihan manakala orang-orang bijak mengingatkan kepada kita untuk mencari keselamatan itu bukan hanya untuk hari ini, atau hanya untuk esok saja; akan tetapi harus keduanya kita raih, yaitu untuk hari ini, disini; dan untuk hari esok, di sana.
Demikian juga halnya dengan kita memilih sesuatu, apapun yang kita pilih harus dipahamkan betul apa, siapa, untuk apa sesuatu itu kita pilih. Karena bisa jadi yang kita pilih itu bukan wilayah kebutuhan, tetapi ada pada wilayah keinginan. Lebih parah lagi jika keinginan itu hanya karena membantu memuaskan keinginan pihak lain. Namun, ada juga yang kerjaannya hanya mencari selamat, dalam arti menyelamatkan diri sendiri dari persoalan apa pun, termasuk persoalan bangsanya.
Tipe seperti ini banyak sekarang ada di sekitar kita. Ciri atau karakter penyandang mencari selamat sendiri ini adalah: tidak mau mengambil risiko dan selalu mengambil posisi aman untuk dirinya. Bila perlu yang bersangkutan menampilkan muka seribu, dalam arti berhadapan dengan siapa pun dia akan menampilkan muka yang diminta. Jangan ditanya soal kepribadian, karena yang bersangkutan memang memiliki pribadi jamak. Jika berhadapan dengan pilihan, maka yang dipilih adalah yang mendapatkan keuntungan bagi dirinya saat ini. Soal nanti itu persoalan lain.
Mari kita simak labolatorium sosial sedang bekerja d isekitar kita. Terserah kita masing-masing menyikapinya. Hanya satu pesan selamatkan negeri ini dari kehancuran dengan cara apapun. Karena, itu pesan pendiri bangsa ini di kala lal yang jika diamnya kita membuat selamatnya negeri ini, maka itu juga pilihan terbaik. Jika doa adalah pilihan, maka lakukanlah dengan ikhlas.
Salam waras. (SJ)
Ingin Jadi Promotor Kesehatan, Yuk Kuliah di Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Bandar Lampung
Klik Link :Pendaftaran Online Mahasiswa Baru
Dalam lingkungan studi yang menyenangkan, up-to-date, dan penuh semangat, prodi kami memberikan landasan kuat untuk menjadi ahli di bidang kesehatan masyarakat. Banyaknya pengalaman dan peluang yang diberikan oleh dosen-dosen yang kompeten akan membantu Anda mengembangkan diri dan meraih tujuan sebagai promotor kesehatan.
Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati tidak hanya menawarkan pendidikan yang mendalam tentang kesehatan masyarakat, tetapi juga membuka peluang luas dalam berbagai bidang karier seperti Nur Rohmat Soni Setiawan mengambil peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dan sukses bekerja di PT. Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. Cabang Lampung. Ini adalah contoh bagaimana pemilihan peminatan dapat membuka pintu kesuksesan di dunia kerja.
Nadia Nur Azizah, dengan lulusan tahun 2021, menunjukkan betapa berkesannya pengalaman kuliah di prodi ini. Dukungan dari dosen yang loyal dan kompeten, serta kesempatan untuk mengembangkan diri, menjadi nilai tambah yang tidak ternilai.
Saat ini Nadia Nur Azizah, telah menemukan minat karirnya sebagai Community Development di PT. Rumah Perawatan Indonesia – RUMAT Perawatan Luka Diabetes.
Dias Dumaika, lulusan 2022, membagikan kisah inspiratifnya setelah belajar di Program Studi Kesehatan Masyarakat. Dengan pengalaman belajar yang asik, metode mengajar yang menyenangkan, dan dukungan dosen dalam pengembangan minat dan bakat, ia berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai Research Assistant Data di Pusat Kajian Kesehatan Anak (PKKA-PRO) UGM Site RSUD Abdul Moeloek Lampung.
Jadi, calon mahasiswa, jika Anda tertarik pada dunia kesehatan masyarakat dan ingin meraih kesuksesan di masa depan, pilihlah Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati.
Klik Link :Pendaftaran Online Mahasiswa Baru
Kami bukan hanya menyediakan ilmu, tetapi juga membentuk Anda menjadi individu yang siap bersaing di dunia kerja. Bergabunglah dengan kami dan nikmati perjalanan pendidikan yang tak terlupakan.
Jadi, jangan ragu lagi! Bergabunglah dengan kami di Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati dan wujudkan impian Anda menjadi promotor kesehatan. Kami tunggu kehadiran Anda untuk bersama-sama menciptakan perubahan positif di dunia kesehatan.
Editor: Asyihin
Berbagi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Berbagi secara harfiah berarti memberi sesuatu barang, cerita, kisah, uang, makanan, dan segala hal yang penting bagi hidup kita. Berbagi juga bisa kepada Tuhan, sesama, alam, dan setiap hal di bumi ini.
Berbagi terjadi karena manusia adalah makhluk sosial. Manusia saling membutuhkan satu sama lain. Kita membutuhkan orang lain. Orang lain membutuhkan kita juga. Kita harus berbagi. Orang lain juga akan berbagi kepada kita juga. Dengan kata lain, berbagi kepada sesama adalah hal penting, karena tanpa berbagi kita sebagai manusia kehilangan arah dan arti dari makhluk sosial itu sendiri.
Kita sebagai mahkluk sosial sudah menjadi kewajiban untuk berbagi.Berbagilah yang kita punya. Berbagi juga tidak perlu kita mendatangi semua tempat orang yang kesusahan, tetapi berbagi di sekeliling kita. Pasti sekeliling kita masih banyak orang yang membutuhkan. Tidak hanya finansial. Kita juga bisa membagikan cinta kasih kepada orang lain yang terlihat sangat jatuh, patah semangat, putus asa. Bisa juga kita memperhatikan orang tua di sekitar kita yang kurang perhatian. Membantu mereka menyeberangkan jalan atau membersihkan dan mengangkat sesesuatu yang berat saat mereka mau pindahan, atau sedang dalam kesulitan.
Betapa mulianya berbagi dalam tataran ideal. Namun, pada tataran praksis ternyata makna berbagi bisa berkonotasi lain. Sebagai contoh setiap konstestasi yang berkaitan dengan “perebutan” kekuasaan, maka akan diakhiri dengan ada yang menang dan yang kalah. Sementara yang menang banyak melibatkan berbagai pihak untuk mendapatkan kemenangan. Dan, sudah menjadi semacam “kesantunan” untuk berbalas jasa dengan cara membagikan kekuasaan kepada para pendukungnya. Paling tidak untuk beberapa waktu atau mungkin dalam waktu yang lama. Semua tergantung dari situasi dan kondisi sebagai pendukungnya.
Hanya saja, yang sering diabaikan adalah apakah si penerima bagian itu menyadari akan kapasitas dan kapabilitas dirinya untuk menerima bagian yang dibagikan. Banyak di antara kita hanya melihat pembagian dalam konteks harfiah, bukan sebagai sesuatu yang hakiki. Akhirnya apa pun yang dibagikan akan diterima sebagai “anugerah”, walaupun sejatinya itu adalah “musibah”.
Bisa dibayangkan jika seseorang yang mampu mengangkat beban hanya lima puluh kilogram, tetapi memaksakan diri untuk mengangkat beban seratus kilogram. Tentu saja bukan kebanggaan atau kebahagian yang didapat, akan tetapi justru musibah yang menimpa. Oleh sebab itu, orang-orang dulu sudah mengingatkan dengan santun dengan tamsil “Kalau kail panjang sejengkal, janganlah laut hendak diduga”. Kecuali kalau kita mau hidup dalam kepalsuan.
Karena berbagi yang kita tampilkan di atas adalah palsu, maka hasilnyapun palsu, walaupun kita mengatakan secara serentak bahwa yang palsu itu adalah asli. Jika ini yang menjadi pilihan kita, maka sebenarnya kita adalah pemain sandiwara yang sempurna karena mampu memperankan yang palsu menjadi begitu tampak asli. Dan, keaslian atas suatu kepalsuan ternyata sekarang banyak disukai orang; oleh sebab itu tidaklah menjadi aneh jika sesuatu yang sejatinya “waras” menjadi “tidak waras” karena berada pada wilayah orang-orang yang tidak waras.
Aspek epistemologis menjadi bukan hanya aspek metodologis semata. Akan tetapi, menjadi lebih luas dan mendalam manakala disinggungkan kepada pesoalan di atas. Hanya saja, mampukah kita menangkap esensi dari persoalan? Di sana harus diakui banyak di antara kita menjadi gagal paham, karena memaknai suatu peristiwa dengan hitam putih semata. Sementara dimensi sekarang sudah begitu berkembang ke segala segi kehidupan. Oleh karena itu, apa yang dipahami oleh generasi terdahulu bisa berbanding terbalik dengan pemahaman generasi sekarang.
Ternyata setiap generasi memiliki tugas sejarahnya masing-masing. Banyak di antaranya menjadi gagal paham manakala memaknai kesinambungan sebagai suatu kemustahilan. Oleh karena itu, mari kita ikhlaskan bahwa hari esok itu terjadi karena adanya hari ini dan hari ini itu terjadi karena adanya kemarin. (SJ)
Kereta Terakhir
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu mendapat berita duka dari handai tolan lama yang mengabarkan bahwa teman baik seperjuangan dalam kehidupan meninggal dunia. Berita ini membuat sedikit shock karena pembuktian akan tesis bahwa kematian itu datangnya bukan atas daftar urut, akan tetapi daftar cabut. Karena, jika di lihat dari usia, sahabat tadi masih jauh lebih muda dari penulis, jika dilihat dari kesehatan fisik almarhum memiliki riwayat kesehatan cukup baik. Namun, seperti yang dipesankan orang-orang terdahulu bahwa kematianmu bukan urusanmu.
Dari peristiwa di atas ternyata ada yang menarik saat pengangkatan jenazah atau biasa disebut katil atau keranda; disiapkan untuk almarhum sebagai kedaraan terakhirnya menuju alam keabadian. Lapis kasur dibentang di keranda dengan dialasi karpet lembut sebelum jenazah diletakkan. Betapa selesainya semua urusan dunia jika kita mau merenung bahwa semua kita akan menaiki kendaraan terakhir seperti ini.
Duduk di sisi penulis beberapa sohib yang secara serius menceritakan kebaikan-kebaikan almarhum semasa hidupnya jika berkaitan dengan urusan kemasyarakatan. Bahkan saat ada calon anggota legeslatif membagikan sekedar tali kasih, beliau maju ke depan mengatakan bahwa tali kasih tadi sebaiknya diberikan kepada mereka yang layak menerima saja secara ekonomi. Begitulah kepedulian beliau akan sesama. Bahkan beliau selalu memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami singkong sekedar agar kelihatan bersih dan asri. Manakala pemilik tanah datang dan konfirmasi, beliau dengan ringan menjawab “Saya membersihkan dan menanami saja agar kelihatan bagus, dan tidak ingin memiliki tanah karena itu tidak akan saya bawa mati”. Tentu saja pemilik menjadi tersipu malu karena tidak mampu merawat hartanya.
Namun, ternyata tidak semua kita menyadari bahwa kita nantinya akan menaiki “Kereta Terakhir” menuju alam keabadian. Buktinya masih banyak diantara kita bermain patgulipat saat diberi amanah. Kecenderungan itu akhir-akhir ini tampak nyata didepan mata; bagaimana rumus penjumlahan menjadi berubah dari yang seharusnya. Bagaimana kelangkaan pangan dialaskan kepada gejala alam, padahal akibat perilaku kita yang tidak bisa mengontrol dan membedakan mana konsumsi dan mana produksi. Lebih parah lagi dicarikan alasan dengan mengkambinghitamkan kebijakan orang lain yang tidak mendukung. Pepatah lama mengatakan “tak pandai menari dikatakan lantainya yang licin”; tampaknya sempurna untuk menggambarkan ini semua.
Kereta terakhir itu sebenarnya sudah termasuk paket pesanan saat kita akan lahir di dunia; namun lagi-lagi “lupa” sebagai anugerah dari Tuhan sering membawa kita lalai akan semua. Akibat lanjut kita terjebak pada ketidakmampuan memahami persoalan yang “benar-benar, benar” dan mengetahui sesuatu yang “ benar-benar, salah”. Justru yang hidup “semua salah, yang benar hanya saya”; kerangka paradigmatik serupa inilah sebenarnya yang membawa kepada kesesatan.
Mumpung masih ada waktu, mari kita mempersiapkan diri untuk naik Kereta Terakhir. Bekalnya bukan uang atau permata, hanya cukupkan amal semata. Agar kereta tidak berhenti ditempat yang bukan semestinya, maka diperlukan ilmu sebagai bekal untuk penentu arah kemana kita menuju.
Waktu terus berjalan, dapat melanda apa saja, termasuk manusia. siapakah yang mau menjadi roda kereta kita, itupun sangat tergantung kepada amal perbuatan kita. Mengurangi timbangan, melebihkan penjumlahan, adalah salah satu bentuk perilaku yang akan menghambat jalannya Kereta Terakhir kita.
Semoga peristiwa masa lalu dapat kita jadikan pembelajaran, dan mumpung masih ada kesempatan untuk selalu berbenah agar perjalanan Kereta Terakhir kita dapat berjalan dengan baik dan benar. Kata orang bijak, didunia ini tidak lebih ibarat kita mampir sejenak untuk minum menghilangkan dahaga, setelah itu kita melanjutkan perjalanan yang masih amat jauh, entah di mana ujungnya.
Salam Sehat (SJ)
Priatna Alvianti Mahasiswa Universitas Malahayati Jadi Satu-satunya Delegasi Lampung Ikuti Program IYEN di Malaysia
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Priatna Alvianti, mahasiswa Program Studi Akuntansi Universitas Malahayati Bandar Lampung, berhasil lolos seleksi mengikuti program kepemudaan internasional Indonesian Youth Excursion Network (IYEN) yang diselenggarakan di Malaysia dan menjadi satu-satunya delegasi dari Provinsi Lampung.
Alvianti menceritakan awal perjalanannya dengan mengatakan bahwa dia mengetahui program ini melalui sosial media dan memutuskan untuk mendaftar setelah melewati serangkaian tes dan seleksi.
Meskipun awalnya merasa ragu dengan kemampuannya, Alvianti memperoleh kepercayaan diri dan berhasil lolos sebagai delegasi dari provinsi Lampung.
“Pengalaman ini sangat berarti bagi saya, karena aku bisa berbagi budaya dan pengalaman dengan teman-teman di Malaysia,” ujar Priatna, Jumat (23/2/2024)
Alvianti dan tim delegasi yang terdiri dari 8 orang perwakilan Universitas se Indonesia akan berangkat ke Malaysia dari 25 hingga 29 Februari 2024. Mereka akan fokus pada pengembangan pendidikan bahasa Inggris di Indonesia dengan merancang sebuah website dan aplikasi digital berbasis permainan yang menarik bagi semua kalangan, baik anak-anak maupun dewasa.
“Aplikasi ini akan memungkinkan pemain untuk berkumpul, berkomunikasi, dan bermain game, serta belajar bahasa Inggris melalui berbagai fitur seperti grammar, reading, dan speaking,” jelas Alvianti.
Alvianti berharap dapat meraih penghargaan sebagai “the best speaker” atau “the best delegasi” dalam program ini, yang akan menjadi suatu prestasi bagi Universitas Malahayati dan dirinya sendiri.
Terakhir, Priatna menyampaikan terima kasih kepada civitas akademika Universitas Malahayati Bandar Lampung atas dukungan yang diberikan selama proses seleksi ini, serta memohon doa dari teman-teman agar dapat sukses dalam mengikuti program ini dan kembali dengan pengalaman berharga untuk kemajuan Universitas Malahayati. (*)
Editor: Asyihin
Sisa-Sisa Pesta
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu matahari mulai meninggi, memancarkan sinar yang cukup terik mulai terasa udara seperti dipanggang. Tenda berdekorasi indah kemaren dulu, kini lusuh kusut masai, seiring dengan mulainya sunyi menyergap, sebagai penanda pesta sudah usai. Meja-kursi bergelimpangan, bekas plastik minum berhamburan, kertas-kertas bekas berterbangan; belum ada yang hirau untuk membereskan karena mereka bekerja 30 jam tanpa henti kecuali shalat dan makan.
Papan rekapitulasi masih bertengger ditempatnya, dan tampak jelas siapa menjadi pemenang dari pesta yang tidak ada jamuan ini. Namun, itu baru permulaan dari suatu pengumpulan; bukan berarti itu adalah finalisasi dari suatu hasil akhir. Tetapi justru perjalanan itu mulai masuk ke daerah berbahaya, karena bisa jadi itu adalah wilayah perebutan para begal suara yang siap memangsa.
Kita tinggalkan semua pesta di atas, dan mari kita tilik apa yang terjadi di sana yang sedang berebut kursi melalui pengumpulan jumlah suara kita. Ternyata mereka tidak lagi peduli berapa jumlah yang mereka kumpulkan, karena yang semula seolah sedang bergontok-gontokan, ternyata sekarang berpeluk mesra; sementara kita sebagai pemilik suara masih banyak yang perasaannya belum bisa menerima apa yang terjadi.
Betul apa kata orang terdahulu bahwa dunia ini memang panggung sandiwara yang berganti setiap saat episode, pelaku dan peran dari masing-masing kita sebagai pemain. Tinggal bagaimana kita menyikapi masing-masing peran yang kita lakonkan. Bisa dibayangkan hari kemaren kita berhadap-hadapan bagai akan perang tak akan berhenti; ternyata begitu pesta usai kepala disana sudah bermesra, sementara kita sebagai ekor terus ingin saling libas.
Tampaknya pesta yang baru lalu menyisakan hasil pembelajaran kepada publik, termasuk kita didalamnya, yaitu: bahwa pesta apapun namanya pasti memiliki akhir. Perlu disadari bahwa akhir pesta itu jangan sampai meninggalkan “hutang” dalam bentuk apapun. Jika itu material, itu lebih mudah menyelesaikan. Tetapi hati yang tergores memerlukan waktu lama penyembuhannya. Oleh sebab itu jangan sampai pesta tadi mengakibatkan luka didalam hati, karena itu adalah bagian permainan dunia.
Walaudemikian sekalipun, itu permainan dalam melakonkannya kita tidak boleh main-main. Karena jika permainan itu kita mainkan dengan cara main-main; maka hasil akhirnyapun akan dipermaikan orang lain. Tinggal bagaimana menghitung yang tersisa dari suatu pesta sebagai media permainan tadi; ternyata ada satu hal yang sering dilupakan yaitu berapa dosa yang kita perbuat akibat kita bermain dengan cara main-main, atau mempermainkan orang. Banyak kita tidak menghitung residu dari permaianan yang kita mainkan, sehingga tidak aneh nantinya kita akan dipermiankan oleh hasil permainan kita, jika tidak di sini yang pasti di sana.
Ternyata setiap pesta meninggalkan sisa; hanya sisa seperti apa itu yang ada, tentu kita semua yang mampu memahaminya. Bisa jadi pesta itu menyenangkan bagi sebagian orang, namun sangat menyakitkan bagi yang lainnya. Oleh sebab itu kalkulasi sebelum dan perhitungan setelah, adalah pekerjaan yang harus dilakukan dalam berpesta; sebab bisa jadi sesuatu telah dikalkulasi berdasar teori akan menguntungkan, namun setelah selesai kegiatan dan dilakukan berhitungan justru merugikan.
Pesta sudah usai mari kita bersihkan material yang tidak berguna lagi, namun perlu diingat yang tidak bisa kita bersihkan adalah ingatan akan pesta itu. Masing-masing yang datang kemarin membawa ingatannya sendiri-sendiri sebagai kenangan; indah atau mengharukan itu ada pada wilayah rasa. Semoga lima tahun yang akan datang memori itu tidak hilang di telan waktu; apalagi dahsyatnya pengaruh bantuan beras dan cuan, karena bisa menggeser nilai hakiki yang ada selama ini “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah” berubah menjadi “lebih baik tangan di bawah yang atas itu terserah”. (SJ)
Prodi Pascasarjana Kesmas Universitas Malahayati Gelar Seminar E-Screening Tool Tuberkulosis pada Pasien Diabetes Melitus Dalam Upaya Meningkatkan Notifikasi TB di FKTP Swasta
Seminar ini dilaksanakan secara hybrid dan offline di Ruang Pascasarjana Gedung Rektorat Universitas Malahayati, dengan narasumber Dr. Malahayati Rusli Bintang, BSc., M.PH, dan Prof. dr. Adang Bachtiar, M.P.H., D.Sc, serta di moderatori Dr. Wayan Aryanti, SKM., M.Kes. Kegiatan dibuka oleh Rektor Universitas Malahayati, Dr.dr. Achmad Farich, MM dan dihadiri juga Ka.Prodi Pascasarjana Kesmas, Dr. Samino, SH.,M.Kes..
Hal ini sesuai pernyataan Ketua Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat FIK Universitas Malahayati, Dr. Samino, SH.M.Kes, “Bahwa sosialisasi ini penting dilakukan, selain memberikan wawasan mahasiswa secara lebih luas dan implementatif”.
“Masyarakat juga dapat mengetahui bahwa dunia pendidikan merupakan dapur untuk mengolah ilmu pengetahuan menjadi sebuah produk yang dapat digunakan oleh masyarakat, semoga model yang ditawarkan ini menjadi sebuah kenyataan. Aamiin,” tandasnya. (gil/humasmalahayatinews)
Begal
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kata begal sudah sangat familiar di telinga kita. Bahkan sudah menjadi semacam konsumsi sehari-hari. Namun untuk mempersempit pisau analisis dalam bekerja, maka perlu ada pembatasan istilah. Pada tulisan ini begal dimaknai sebagai segerombolan orang yang bekerja sama dalam melaksanakan maksud mereka, mengganggu orang-orang di jalanan, merampas harta benda dan tidak segan-segan membunuh. Di tempat lain, makna begal adalah suatu bentuk atau cara kejahatan dalam perampasan, perampokan atau pencurian yang dapat membahayakan nyawa si korban.
Ternyata dalam pesta demokrasi yang baru saja usai kita menemukan istilah “begal” dalam tanda petik untuk menghilangkan atau merampas suara calon lain guna diimbuhkan k esuara si pembegal atau orang suruhan untuk membegal, sehingga jumlah perolehan suara pembegal menjadi naik. Atau, pembegalan dilakukan untuk mengurangi suara yang dimiliki calon lain agar mengecil jumlahnya atau dimusnahkan. Lebih serunya, korban begal seperti ini tidak tahu harus lapor ke mana, karena laporan tidak dapat mengubah keadaan kecuali ada keajaiban. Korban pembegalan ini melanda siapa saja dengan tidak melihat pemilik. Bahkan sekelas anggota Dewan pun kena begal suaranya.
Ditemukan peristiwa lapangan yang juga dahsyat. Begal membegal ini memisahkan antara kemenakan dan paman. Paman sebagai kepala desa harus menyukseskan pencalonan istri dari yang dipertuan di atasnya. Sementara selama ini yang bersangkutan memperjuangkan kemenakannya yang akan maju sebagai anggota terhormat. Di tengah jalan, sang paman dibegal oleh atasannya dengan ancaman jika tidak mau membantu maka akan dibuka semua boroknya. Dengan amat terpaksa sang paman harus membegal kemenakannya sendiri, demi keselamatan diri dan keluarganya.
Begal membegal ini sekarang sudah masuk ke elemen kehidupan yang lebih luas. Bukan hanya di meja perhitungan suara dari suatu proses pemilihan, tetapi bisa terjadi di pasar pada timbangan dan atau ukuran; di ruang terhormat suatu sidang perhelatan hukum dan atau lain sebagainya. Semua memiliki peluang untuk membegal. Bahkan yang lebih seru lagi saling begal di antara begal, hal itu bisa terjadi. Sebab, begal pertama membegal hasilnya setor ke pemesan, setelah terkumpul akan di setor ke pengepul atasnya, dalam perjalanan hasil tadi dibegal oleh begal lain. Betapa serunya negeri begal seperti ini. Karena justru kehidupan begal ini memberi nafkah kepada banyak orang, terlepas akan ukuran moral apalagi agama yang tentunya sangat mengharamkan cara-cara ini. Namun, kenyataan lapangan sering berbanding terbalik dengan dunia ideal.
Tampaknya ada hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa pesta demokrasi yang baru lalu. Pertama, pembegalan selama ini dimaknai suatu tindakan kriminal berubah menjadi tindakan pecundang untuk memenangkan pertandingan.
Kedua, penguatan pendapat untuk tidak terlalu hirau dengan proses, tetapi yang penting hasil. Ketiga, efek domino yang dibayangkan oleh para intelektual dan kaum terdidik semua kandas di hadapan rakyat jelata yang memerlukan kebutuhan pokoknya terpenuhi untuk hari ini, sementara untuk hari esok itu urusan nanti.
Tampaknya kita harus menonoton sandiwara kehidupan yang mempertontonkan bagaimana kuatnya bantuan langsung atau bantuan sosial (bansos) dan sedikit cuan sebagai tali asih yang meminta untuk berterimakasih. Apakah itu semua hasil korupsi, penggelembungan anggaran, pengalihan bidang identitas anggaran — atau apapun namanya dalam istilah administrasi negara– bagi kebanyakan orang itu tidak penting. Apa yang dirisaukan orang yang paham, justru menurut persepsi orang kebanyakan itu adalah hambatan. Berarti kalau sudah ranah ini disentuh, maka sebenarnya sudah terjadi pembegalan persepsi secara terencana.
Apakah ini suatu pembuktian dari suatu celetukan masa awal reformasi yang memplesetkan menjadi kata repotnasi? Tentu jawabannya terserah pada kita semua. Manakala kita masih berkutat pada kebutuhan pemenuhan akan nasi, maka tesis itu menjadi benar adanya.
Untuk menegakkan demokrasi ternyata tidak terelakan salah satu caranya adalah dengan membegal anak negeri. Tentu penyataan itu sangat sarkastis. Namun, tinggal ada dua pilihan mengubah konsep demokrasinya sesuai kehendak kita sebagai pengguna dengan segala macam dalil dan alasan, atau mencerdaskan anak negeri disemua lini agar paham akan asas demokrasi. Pilihan yang terakhir ini memerlukan waktu yang sangat lama. Juga harus memperperhitungan ongkos sosial yang harus dibayar. (SJ)
Pekan Sunyi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat masuk kampus dikejutkan dengan sepinya suasana, yang biasa hiruk pikuk kendaraan mahasiswa, dosen, dan karyawan lalu lalang. Saat ditanyakan kepada petugas dijawab bahwa hari ini kan minggu tenang.
Peristiwa itu mengingatkan diawal tahun 70-an saat menjadi mahasiswa dengan istilah “pekan sunyi”; semua mahasiswa sibuk dengan bacaan dan hafalan hasil perkuliahan dan bacaan literatur wajib. Dosen-pun tampak sibuk menyiapkan bahan ujian berupa kertas sit yang akan diputar sebagai bahan ujian mahasiswa, cara ini dikenal stensil pada jamannya. Jika diukur dengan parameter sekarang betapa menyedihkan nasib dosen pada waktu itu, tetapi dengan semangat yang tinggi dengan tidak mengenal lelah menanamkan nilai-nilai etika akademik yang tinggi kepada kami mahasiswanya.
Maka jika ada dihari gini tidak mempercayai koreksi norma etika yang dilakukan oleh ilmuwan apalagi itu guru Blbesar, patut dipertanyakan apakah yang bersangkutan masih mengenal kiblat.
Pada masa pekan sunyi inilah aktivitas otak diperas dengan asupan gizi dari beasiswa Supersemar pada zamannya; begadang bersama teman satu angkatan; sesuai masanya penerang listrik masih sangat jarang, maka lampu Petromax jadi andalan. Karena hawa panas dari lampu genjot ini, maka semua kami tidak pakai baju, yang ada hanya kaus oblong, itu pun bersimbah peluh. Ditingkahi singkong bakar dari hasil “ndodos” kebun milik orang, dan minum kopi satu cangkir bersama,menghisap rokok satu batang ramai-ramai; semua tetap asyik pada waktunya.
Semua yang di atas itu “dulu”; sementara sekarang makna pekan sunyi yang berubah menjadi minggu tenang untuk beberapa event, sedang terjadi. Minggu tenang atau pekan sunyi saat ini sedang berlangsung dan diisi kegiatan adu strategi dalam menjala suara. Ada yang menggunakan serangan fajar, ketok pintu sampai menjumpai dari pintu ke pintu, dan masih banyak lagi cara dilakukan; bahkan pada waktu kampanye akbar terang-terangan bagi-bagi cuan di depan mata, yang penting tidak ketahuan pengawas, atau pura-pura tidak tahu, entahlah, biar waktu yang membuktikan.
Namun ada yang lebih dahsyat dari itu; ialah mereka yang berprofesi sebagai “tukang goreng”. Mereka ini semula adalah kaki-kaki yang dipasang oleh para calon, tetapi menjadi senjata makan tuan, apapun profesi yang diincar; mereka sedang memasang perangkap sebanyak-banyaknya dengan berbagai cara, termasuk yang memasangnya sebagai kaki-pun mereka masukkan perangkap. Bisa dibayangkan salah satu diantara mereka bisa memegang tiga orang calon tingkat kabupaten, dua orang provinsi satu orang pusat; dan hasil yang diperoleh bisa untuk tabungan satu tahun. Beliau-beliau ini melakukan dengan cara yang paling halus sampai yang paling kasar guna mendapatkan cuan.
Seiring kemajuan teknologi tukang goreng inipun memanfaatkan kelebihan teknologi; oleh karena itu makin canggih cara mereka menjebak mangsa untuk dijadikan uang. Tidak salah jika ada istilah dalam bahasa Palembang yang mengatakan bahwa “…wong bodoh makananyo wong pintar, wong pintar makananyo wong calak, wong calak makananyo Taun…” yang terjemahan bebasnya kira-kira orang bodoh makanan orang pandai, orang pandai makanan orang curang, orang curang makanan setan (Taun merupakan sebangsa setan).
Betapa benar peringatan orang bijak yang mengatakan bahwa setiap ada peristiwa disana ada pecundang. Tinggal bagaimana kita menyikapinya dengan bijak semua peristiwa di dunia ini. Terkadang kita tidak sadar mengejar elang yang terbang sementara punai ditangan dilepaskan. Menggapai yang tidak pasti sementara rahmat dan karunia yang ada diabaikan.
Minggu tenang menjelang usai, tinggal bagaimana nasib negeri ini; sebagai orang yang beriman mari kita serahkan kepada Sang Pemilik Hidup untuk menentukan nasib pada pemenang. Kita semua harus ihklas dan ridho manakala apa yang kita harap tidak terjadi, percayalah bahwa yang terbaik itu belum tentu yang kita sukai. (SJ)
Selamat yang Menyelamatkan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Akhir pekan lalu, ketka penulis sedang bersiap mematut diri mau menghadiri undangan shib yang menikahkan putranya, mendadak gawai berdering. Ternyata orang nomor satu di lembaga penulis berada sudah ada di seberang sana. Beliau mengatakan bahwa ada yang mencari. Ternyata sohib lama sudah ada di sana sebagai panitia resepsi pernikahan. Tentu saja membuat persiapan keberangkatan harus disegerakan, karena harus mengantar cucu terlebih dahulu pulang ke rumahnya, sebelum menghadiri acara.
Begitu tiba di tempat acara hampir semua panitia ternyata yunior-yunior dahulu yang ikut berjuang di lembaga terdahulu. Tentu sebagai lazimnya orang timur, kami bersalam-salaman dengan mengucapkan kata sapa yang tidak pernah tinggal adalah kata “Selamat”. Saya bergegas menimpali saya mencari Pak Selamat; ternyata beliau ada di kumpulan itu dengan berucap “selamat”. Benar-benar ucapan selamat yang melekat sebagai nama, membuat keberkahan tersendiri pada beliau yang sudah mencapai guru besar. Sangat berbeda di luar sana, ucapan selamat disalahgunakan untuk ucapan kesuksesan jika dapat membuat celaka atau kerugian lawan.
Bisa dibayangkan seorang membusungkan dada karena bisa menjatuhkan lawannya, yang itu adalah saudaranya sendiri, paling tidak saudara seiman, hanya karena beda keinginan. Kemudian yang bersangkutan mendapatkan ucapan selamat karena sudah menjadi “hero” bagi kelompoknya. Lebih edan lagi ucapan selamat yang hakikatnya agung untuk hal-hal yang baik, ternyata ditabalkan kepada mereka yang telah sukses melakukan politik pecah belah. Yang lebih menyedihkan yang di pecah dan di belah seolah ihklas untuk diadu domba-kan dengan teman sehabatatnya.
Ternyata ucapan selamat pada saat ini berkecenderungan menjadi tidak netral lagi, karena harus dipahami dipakai oleh siapa, untuk kepentingan apa, gunanya untuk apa. Drama kehidupan seperti ini sekarang sedang mendapatkan panggung, sehingga tidak jarang banyak diantara kita menjadi demam panggung. Sampai-sampai merudakpaksa-pun mendapatkan ucapan selamat, walaupun tidak selamanya disertai sukacita.
Demikian halnya dengan kondisi saat ini, ketika pembenaran terhadap sesuatu yang tidak benar bisa terjadi. Itu pun diberi ucapan selamat atas keberhasilan membenarkan sesuatu yang nyata-nyata tidak benar. Dalih yang paling aman adalah dengan melambungkannya ke ranah normatif, sehingga tidak dapat dijangkau dengan kebenaran teknis; sekalipun pembenaran substantif dikorbankan.
Kebutuhan akan kebenaran yang menyelamatkan adalah kebutuhan transidental; namun manakala berhadapan dengan keinginan, semua akan berubah menjadi sementara karena wilayah ini membuat kita hanyut akan rasa haus yang tidak berkesudahan akan dunia. Oleh karena itu tidaklah berlebihan manakala orang-orang bijak mengingatkan kepada kita untuk mencari keselamatan itu bukan hanya untuk hari ini, atau hanya untuk esok saja; akan tetapi harus keduanya kita raih, yaitu untuk hari ini, disini; dan untuk hari esok, di sana.
Demikian juga halnya dengan kita memilih sesuatu, apapun yang kita pilih harus dipahamkan betul apa, siapa, untuk apa sesuatu itu kita pilih. Karena bisa jadi yang kita pilih itu bukan wilayah kebutuhan, tetapi ada pada wilayah keinginan. Lebih parah lagi jika keinginan itu hanya karena membantu memuaskan keinginan pihak lain. Namun, ada juga yang kerjaannya hanya mencari selamat, dalam arti menyelamatkan diri sendiri dari persoalan apa pun, termasuk persoalan bangsanya.
Tipe seperti ini banyak sekarang ada di sekitar kita. Ciri atau karakter penyandang mencari selamat sendiri ini adalah: tidak mau mengambil risiko dan selalu mengambil posisi aman untuk dirinya. Bila perlu yang bersangkutan menampilkan muka seribu, dalam arti berhadapan dengan siapa pun dia akan menampilkan muka yang diminta. Jangan ditanya soal kepribadian, karena yang bersangkutan memang memiliki pribadi jamak. Jika berhadapan dengan pilihan, maka yang dipilih adalah yang mendapatkan keuntungan bagi dirinya saat ini. Soal nanti itu persoalan lain.
Mari kita simak labolatorium sosial sedang bekerja d isekitar kita. Terserah kita masing-masing menyikapinya. Hanya satu pesan selamatkan negeri ini dari kehancuran dengan cara apapun. Karena, itu pesan pendiri bangsa ini di kala lal yang jika diamnya kita membuat selamatnya negeri ini, maka itu juga pilihan terbaik. Jika doa adalah pilihan, maka lakukanlah dengan ikhlas.
Salam waras. (SJ)
86 Lulusan Universitas Malahayati Bandar Lampung Ambil Sumpah Dokter, Awal Perjalanan Profesi
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Sebanyak 86 Lulusan Universitas Malahayati Bandar Lampung Mengambil Sumpah Dokter di Graha Bintang, Rabu (7/2/2024).
Rektor Universitas Malahayati, Dr. Achmad Farich, dr., M.M., dalam sambutannya memberikan arahan kepada para lulusan tentang persiapan ke depan.
Beliau menekankan pentingnya mempelajari aturan dan undang-undang kesehatan serta meningkatkan kompetensi selama masa internship.
“Gunakan teknologi sebagai alat untuk meningkatkan kompetensi diri, dan jangan lupakan doa dan dukungan orang tua yang telah membantu kalian sampai pada tahap ini,” tambahnya.
Rektor juga mengucapkan terima kasih kepada para orang tua serta seluruh jajaran fakultas kedokteran Universitas Malahayati atas dukungan dan kerja kerasnya dalam menunjang kesuksesan para lulusan.
“Kembangkan tujuan dan visi setelah menjadi dokter, serta teruslah mengembangkan kemampuan dan kompetensi,” pesan Rektor kepada para lulusan.
Selain itu, perwakilan IDI Provinsi Lampung, Dr. dr. Aila Karyus, M.Kes.,Sp.KKLP, menyampaikan pesan penting kepada para lulusan. “Hari ini adalah awal dari perjalanan kalian sebagai dokter. Jagalah marwah profesi dengan baik dan profesional,” ujarnya.
Dr. Aila juga mengingatkan para lulusan untuk siap mental menghadapi tugas-tugas sebagai dokter, serta memanfaatkan waktu selama internship untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan.
Sedangkan, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, dr. Toni Prasetia, Sp.PD.,FINASIM, menekankan pentingnya proses dalam meraih kesuksesan.
“Tidak ada keberhasilan tanpa proses, apalagi untuk menjadi sukses. Menjadi orang yang terdepan memerlukan perjuangan dan daya juang yang tinggi,” ungkapnya.
Dr. Toni juga mengingatkan para lulusan tentang pentingnya terus belajar dan meningkatkan kompetensi sebagai seorang dokter.
Editor: Asyihin