Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Baru-baru masyarakat Indonesia dihebohkan peristiwa seorang ibu melaporkan kepala sekolah tempat anaknya belajar ke kepolisian karena tidak terima anaknya ditampar kepala sekolah. Si anak ditampar karena merokok di sekolah. Soal itu, semuanya sudah diatur. Termasuk jika ada siswa yang merokok di sekitar sekolah.
Gubernur dan wakil gubernurnya paham undang-undang ternyata langsung tancap gas menonatifkan kepala sekolah. Setelah “dirujak” netizen mereka baru sadar kalau selama ini mereka tidak sadar. Menjadi seru lagi ada sebagian netizen yang tak paham hakikat pendidikan memberikan dukungan, dengan alasan agar guru tidak semena-mena.
Penulis menunggu ahli pendidikan di daerah ini untuk berbagi ilmunya guna menanggapi peristiwa itu. Sayangnya sampai tulisan ini dibuat, dan peristiwanya berakhir; tak satu pun ahli di daerah ini yang mau berbagi. Bisa jadi beliau-beliau menganggap peritiwa ini tidak penting, atau ada kesibukan lain yang jauh lebih penting. Untuk itu penulis mencoba sedikit berbagi menyikapi peristiwa tadi dari sudut pandang filsafat manusia.
Beberapa tahun lalu saat menjadi saksi ahli yang meringankan terdakwa, dengan pokok perkara salah seorang guru di salah satu kabupaten di daerah ini dituduh orang tua murid telah mencubit anaknya dalam proses pembelajaran.
Saat sidang penulis “terpaksa” memberikan kuliah umum di hadapan majelis hakin menggunakan teori hukuman oleh filosof sekaligus ahli pendidikan, bernama Martinus Jan Langveld.
Langveled menekankan bahwa hukuman harus bersifat mendidik, manusiawi, dan mendorong pertumbuhan moral anak. Dan, tidak kalah pentingnya hukuman tidak boleh membuat cacat, luka atau cidera permanen. Akhirnya terdakwa bebas.Namun, hukuman sosial yang menimpa siswa ini sangat berat, karena tidak ada satupun sekolah dikabupaten itu yang mau menerima pindahan dirinya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat nilai-nilai yang menjadi fondasi tegaknya tatanan moral dan etika. Salah satu nilai yang menjadi pilar penting dalam relasi antarmanusia adalah kebenaran. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, kebenaran sering kali dipelintir, diputarbalikkan, atau bahkan ditukar tempatkan dengan kebohongan dan kekeliruan. Di zaman ketika kebebasan diartikan tanpa batas dan otoritas sering disalahpahami sebagai bentuk penindasan, kita menyaksikan paradoks: membenarkan yang tidak benar dan menyalahkan yang tidak salah.
Peristiwa seorang guru yang dilaporkan ke polisi karena menampar muridnya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah menjadi cerminan jelas dari krisis nilai tersebut. Ini bukan sekadar persoalan hukum atau pelanggaran disiplin, tetapi merupakan peristiwa yang menyentuh akar terdalam dari relasi kemanusiaan: tentang tanggung jawab, moralitas, peran sosial, dan keutuhan makna menjadi manusia.
Guru, sebagai pendidik, adalah figur yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentuk karakter dan penanam nilai. Ketika hukuman yang dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian justru dibalas dengan pelaporan ke aparat hukum, maka sesungguhnya yang sedang dipersoalkan bukan hanya tindakan sang guru, melainkan orientasi moral masyarakat itu sendiri.
Manusia adalah makhluk yang dibekali dengan akal budi, hati nurani, dan kesadaran moral. Ia tidak semata-mata bergerak atas dorongan naluriah seperti makhluk lainnya. Dalam dirinya terdapat kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah. Namun, kemampuan ini tidak tumbuh secara otomatis, melainkan memerlukan proses pendidikan, pembiasaan, dan peneladanan. Guru adalah salah satu agen yang menjalankan fungsi ini. Ketika seorang guru menegur muridnya karena merokok, ia sebenarnya sedang menjalankan peran kodrati dalam membimbing manusia muda untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas dirinya dan lingkungan sosialnya.
Namun, ketika tindakan itu dibalas dengan pelaporan, maka terjadi pembalikan logika moral. Tindakan yang seharusnya dipandang sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian justru ditafsirkan sebagai bentuk pelanggaran atau kekerasan. Ini menandakan adanya kekeliruan dalam membaca hakikat relasi manusia dalam dunia pendidikan. Anak yang masih dalam proses pertumbuhan moral semestinya dibimbing, bukan dibebaskan tanpa arah. Kebebasan dalam filsafat manusia bukanlah kebebasan yang liar, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab, yang disertai dengan kesadaran terhadap batas dan tujuan moral dari tindakan.
Dalam perspektif filsafat manusia, relasi antara guru dan murid bukan sekadar relasi instruksional, melainkan relasi eksistensial. Guru hadir bukan hanya untuk mengisi pikiran murid dengan pengetahuan, tetapi untuk membentuk eksistensi mereka sebagai manusia yang utuh. Tindakan guru dalam menegur adalah bagian dari pembentukan karakter. Teguran itu bukan serangan terhadap kebebasan anak, melainkan panggilan untuk bertanggung jawab atas tindakan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Di sisi lain, pelaporan terhadap guru mencerminkan adanya krisis otoritas. Otoritas, dalam pengertian sejatinya, bukan dominasi atau kekuasaan sewenang-wenang, melainkan legitimasi moral yang lahir dari tanggung jawab dan kompetensi. Seorang guru memiliki otoritas karena ia dipercaya untuk membimbing dan mendidik. Namun, dalam masyarakat yang krisis nilai, otoritas dipandang dengan kecurigaan. Ketika setiap bentuk disiplin dipandang sebagai kekerasan, dan setiap teguran dianggap sebagai pelanggaran, maka masyarakat itu sedang menggali lubang bagi kehancuran moralnya sendiri.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya seharusnya hidup dalam tatanan nilai yang menjunjung tinggi kejujuran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap sesama. Ketika nilai-nilai ini digeser oleh kepentingan pragmatis, maka manusia tidak lagi menjadi pribadi yang otentik, tetapi menjadi individu yang tersesat dalam relativisme moral. Membenarkan yang tidak benar dan menyalahkan yang tidak salah adalah gejala dari matinya nurani kolektif. Nurani yang mati tidak lagi mampu membedakan mana kepedulian dan mana kekerasan, mana disiplin dan mana penindasan.
Kita juga patut merenungkan bagaimana masyarakat kita memperlakukan profesi guru. Ketika guru harus berjalan di atas ketakutan akan kriminalisasi, maka yang hilang bukan hanya kebebasan mendidik, tetapi juga martabat profesi itu sendiri. Guru seharusnya diberi ruang untuk menjalankan tugasnya dengan wibawa dan tanggung jawab. Jika setiap tindakan pembinaan harus dikalkulasi secara legalistik, maka pendidikan kehilangan jiwanya sebagai ruang pertumbuhan manusia. Ketakutan akan dipolisikan membuat guru lebih memilih untuk diam daripada bertindak. Dalam jangka panjang, ini akan menciptakan generasi yang miskin bimbingan moral dan hanya mengenal hukum sebagai alat perlindungan diri, bukan sebagai panggilan keadilan.
Pada akhirnya, peristiwa ini menyadarkan kita bahwa krisis bukan terjadi karena satu tindakan, tetapi karena sistem nilai yang lemah. Sistem yang lebih memihak pada perasaan daripada kebenaran. Sistem yang lebih takut pada konflik daripada pada kehancuran nilai.
Kita hidup di tengah masyarakat yang sedang bergulat mencari arah moral. Dalam pergulatan itu, kita ditantang untuk tetap berdiri tegak memihak pada yang benar, walau harus berhadapan dengan suara-suara yang menyesatkan. Selamat berjuang wahai guru, walau hatimu semakin pilu melihat anak didikmu selalu dibawah ketiak ibu. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara 2 Lomba Tari Kreasi Tingkat Nasional Poltekkes Kemenkes Tanjung Karang 2025
Mereka adalah Desta Dwi Anggriyani (22320064), Desta Anjelika (22320062), dan Desti Anjelika (22320065) dari Program Studi Ilmu Keperawatan, serta Dino Al Farizy (23380047) dari Program Studi Farmasi. Keempatnya tampil memukau dengan koreografi yang memadukan unsur budaya tradisional dan gerakan kontemporer yang energik.
Lomba yang diikuti oleh berbagai perguruan tinggi dari berbagai daerah di Indonesia ini menjadi ajang unjuk kreativitas dan semangat kebersamaan antar mahasiswa di bidang seni tari. Tim Universitas Malahayati berhasil mencuri perhatian dewan juri dengan penampilan yang tidak hanya kompak, tetapi juga sarat makna dan pesan kebangsaan.
Desta Dwi Anggriyani mengungkapkan rasa syukurnya atas pencapaian ini.“Kami sangat bersyukur dan bangga bisa membawa nama Universitas Malahayati di ajang nasional. Proses latihan memang tidak mudah, tapi berkat kekompakan tim dan dukungan dari dosen serta teman-teman, kami bisa tampil maksimal,” ujarnya penuh semangat.
Sementara itu, Desta Anjelika menambahkan bahwa kemenangan ini menjadi bukti bahwa mahasiswa keperawatan juga mampu berprestasi di bidang non-akademik. “Kami ingin menunjukkan bahwa mahasiswa keperawatan tidak hanya unggul dalam bidang kesehatan, tapi juga memiliki kreativitas tinggi. Seni tari mengajarkan kami disiplin, kerja sama, dan ekspresi diri,” tutur Desta.
Desti Anjelika pun menyampaikan pesan inspiratif untuk mahasiswa lainnya. “Jangan pernah takut mencoba hal baru. Apapun bidangnya, selama dilakukan dengan sungguh-sungguh, hasilnya akan indah. Kemenangan ini kami persembahkan untuk Universitas Malahayati tercinta,” katanya dengan senyum bangga.
Sementara Dino Al Farizy, satu-satunya mahasiswa dari Program Studi Farmasi di tim ini, mengaku pengalaman ini sangat berkesan. “Ini bukan hanya tentang tari, tapi tentang bagaimana kami belajar menghargai proses, menyatukan ide, dan menjaga semangat tim. Saya harap prestasi ini bisa memotivasi teman-teman lain untuk terus berkarya,” ungkapnya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Ular Serasa Belut
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Salah seorang petinggi di kabinet ini memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengoperasionalkan “mesin” kekuasaannya. Selama ini pejabat tinggi sering menampilkan jaga image, sedikit wibawa, muka ditarik jika harus rapat dengan siapapun. Tokoh satu ini, yang pekerjaannya memegang kas negara; tampilannya ceplas-ceplos tanpa beban. Bahkan tidak jarang harus menentang arus, dan tidak betah ada di zona nyaman. Akibatnya, tentu saja banyak para petinggi yang merasa “kebakaran tikar”. Sampai-sampai berkeluh kesah dengan lembaga legeslatif, seolah minta dukungan atau pertolongan. Mereka lupa bahwa petinggi yang satu ini tidak berpartai, bukan juga simpatisan. Kepercayaannya hanya tegak lurus kepada presiden. Alhasil semua kelakuan lama yang sebenarnya ular, tampaknya belut; menjadi sangat terbuka, bahkan telanjang.
Selama ini rakyatnya sering disuguhi pertunjukan akrobatik yang luar biasa dari para pemimpinnya. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan tampaknya telah lama memahami satu hal: bahwa narasi bisa lebih penting daripada kenyataan. Di atas panggung pidato, dalam suara yang dilatih agar terdengar tegas dan penuh harapan, mereka bisa mengubah apa pun. Bahkan kegagalan pun bisa disulap menjadi keberhasilan. Inilah seni menjual fatamorgana; seni yang hanya dimiliki oleh para pemimpin yang pandai membungkus ular agar tampak seperti belut. Licin, mengkilap, menggeliat, tapi mematuk dalam diam. Begitu berhadapan dengan “Sang Coy Boy” yang begitu refelksnya mencabut pistol untuk menembak; maka, banyak para ular tadi harus mengakui kekalahannya.
Setiap proyek gagal bisa dicat ulang menjadi keberhasilan lewat angka-angka yang dibengkokkan, grafik yang disunat, atau testimoni yang disusun rapi oleh tim komunikasi. Kegagalan distribusi pangan diubah menjadi keberhasilan stabilitas harga dengan membandingkan angka pada bulan berbeda. Gagalnya pembangunan infrastruktur vital dipoles menjadi simbol kebangkitan nasional, dengan mengabaikan fakta bahwa jembatan yang dibangun ambruk sebelum sempat digunakan. Keterlambatan proyek dianggap bagian dari strategi adaptif. Pembengkakan anggaran bukanlah bentuk pemborosan, tetapi “fleksibilitas fiskal”. Semua istilah disulap demi menjaga wajah pemimpin tetap bersinar, seolah ia adalah nahkoda yang membawa kapal menuju pelabuhan kejayaan, padahal kapal sudah bocor dari lambung dan perlahan tenggelam. Dan. Itu semua sekarang perlahan tapi pasti, semua terkuak kepermukaan karena ulah sang pemimpin coy boy.
Ironisnya, banyak orang akhirnya terbiasa. Ketika kebohongan diulang terus-menerus, ia mulai terdengar seperti kebenaran. Rakyat mulai menerima bahwa pemimpin yang baik bukanlah yang membuat hidup mereka lebih baik, tapi yang paling pandai menjelaskan kenapa hidup mereka tetap susah. Mereka terbuai dengan bahasa-bahasa motivasi yang dikutip dari tokoh luar negeri, diselipkan dalam pidato yang ditulis oleh tim kreatif, dibacakan dengan penuh emosi seolah berasal dari hati, padahal sekadar naskah latihan. Ini bukan lagi soal kejujuran atau integritas, melainkan soal penampilan. Semua ini sekarang terbongkar, membuat para ular yang menjelma menjadi belut kepanasan.
Pemimpin yang baik semestinya bukan yang paling banyak, bahkan lihay berbicara; tetapi mereka yang paling berani bertanggung jawab. Bukan yang menyalahkan masa lalu, tapi yang mampu memperbaiki masa kini. Bukan yang membungkus kegagalan, tapi yang jujur mengakuinya dan belajar darinya. Tapi di negeri ini, yang sering naik ke panggung adalah mereka yang bisa menjilat langit dengan kata-kata manis, sambil menutupi luka rakyat yang belum sempat diobati. Mereka yang membuat kemiskinan tampak seperti pilihan hidup. Mereka yang menyulap harga kebutuhan pokok yang melambung sebagai bukti pertumbuhan konsumsi. Mereka yang menjual mimpi tentang kemajuan sambil mengabaikan realitas keterpurukan. Begitu datang “elang” yang garang; mereka kepanasan, bahkan saat rapat kabinet-pun mereka menghindar untuk berbicara dengan sang elang.
Di tengah situasi seperti ini, harapan seolah menjadi barang mewah. Tapi harapan tidak boleh hilang. Karena suatu saat, masyarakat akan jenuh dengan sandiwara. Mereka akan bangkit dari hipnotis narasi dan mulai melihat bahwa selama ini mereka hanya disuguhi ilusi. Saat itulah, semua kepura-puraan akan runtuh. Pemimpin yang hanya bisa mengarang keberhasilan akan dihadapkan pada fakta bahwa ia tidak pernah benar-benar memimpin, hanya bercerita. Dan rakyat, yang selama ini dibohongi, akan menuntut jawaban yang tidak bisa lagi dijawab dengan pidato indah atau grafik manipulatif. Dan, saatnya sekarang tiba; seorang pemimpin bertipe elang, yang siap melayang memangsa mereka-mereka yang tidak mampu memimpin negeri ini. Walaupun harus berputar di awan yang penuh ranjau, namun pemimpin model ini sudah siap akan resiko jabatan apapun bentuknya. Selamat berjuang orang baik, untuk negeri yang sedang tidak baik-baik. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Menolak, Tetapi Mengikuti
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seorang mahasiswa pascasarjana pagi itu menghadap untuk berkonsultasi tugas akhir; disela-sela pembicaraan; yang bersangkutan mendeskripsikan karakter salah seorang respondennya yang kebetulan pejabat tinggi di daerah penelitiannya. Mahasiwa tadi mengungkapkan bahwa responden ini memiliki ciri khas; siapapun pimpinan daerahnya selalu terpakai, dalam arti tetap memiliki jabatan; walaupun sejatinya yang bersangkutan tidak satu prinsip dengan kepala daerah, jika diskusi dilakukan secara informal.
Penulis mengatakan bahwa responden itu selalu bermain aman dengan prinsip “menolak, tetapi mengikuti”. Menolak jika diajak untuk melakukan pelanggaran etika kepemerintahan, namun mengikuti aturan jika menjalan kebijakkan. Akhirnya diskusi lanjut tentang diksi ini berkepanjangan. Dan, jika diringkas diskusi tadi sebagai berikut:
Dalam lanskap kehidupan kontemporer yang serba kompleks, tidak ada lagi garis pemisah yang tegas antara yang melawan dan yang patuh. Dunia tak lagi bisa dibaca melalui narasi oposisi biner: antara hitam dan putih, antara pelaku dan korban, antara penolak dan pengikut. Justru di antara ambiguitas dan ketegangan itulah muncul satu bentuk posisi eksistensial yang semakin relevan: menolak tetapi mengikuti. Ini adalah posisi yang tampaknya paradoksal, namun justru menjadi cermin dari realitas manusia kontemporer yang hidup di bawah tekanan sistem yang kuat namun tak terhindarkan. Menolak tetapi mengikuti adalah sikap yang tidak dapat disederhanakan sebagai bentuk kemunafikan, melainkan sebagai strategi bertahan, ekspresi kesadaran, dan bahkan bentuk perlawanan dalam logika dunia yang telah sedemikian terjebak dalam reproduksi kekuasaan.
Menolak biasanya dipahami sebagai tindakan aktif memutus hubungan dengan suatu sistem atau struktur. Sementara mengikuti berarti menerima, tunduk, atau berjalan sesuai alur sistem tersebut. Maka ketika seseorang memilih untuk menolak tetapi tetap mengikuti, ia seolah sedang berdiri dalam kontradiksi. Namun, jika ditelisik lebih dalam, justru dalam kontradiksi itu ada kejujuran yang lebih tinggi: bahwa tidak semua bentuk penolakan bisa diwujudkan dalam aksi yang terlepas dari sistem; dan bahwa mengikuti tidak selalu berarti menyetujui secara utuh. Dalam hal ini, penolakan tidak dilakukan dengan cara konfrontatif, melainkan lewat kesadaran kritis yang tetap memilih untuk berjalan dalam sistem yang sedang ditolak, bukan karena tunduk, tetapi karena menyadari keterbatasan ruang gerak dalam realitas yang tersedia.
Harus diakui bahwa kita hidup dalam dunia yang dikendalikan oleh sistem-sistem besar: ekonomi global, negara-bangsa, media sosial, algoritma, budaya konsumsi, birokrasi pendidikan, dan norma-norma sosial yang tertanam dalam institusi dan bahasa. Menolak total terhadap semua itu bukan hanya sulit, tapi hampir mustahil tanpa menarik diri secara ekstrem dari kehidupan sosial. Maka, banyak orang justru memilih untuk tetap berada dalam sistem; ikut bekerja, ikut belajar, ikut bersosialisasi, ikut berkomunikasi dengan cara-cara yang telah ditentukan, tetapi dengan membawa penolakan di dalam diri mereka. Penolakan itu mungkin tidak tampak secara kasat mata, tidak diumumkan secara lantang, tetapi ia hadir dalam bentuk sikap batin, dalam pilihan-pilihan kecil, dalam ironi, dalam jeda, dalam modifikasi yang halus terhadap aturan.
Sikap ini sepintas kilas bisa dimaknai sebagai bentuk kekalahan, tapi justru sebaliknya. Ia adalah kemenangan kecil yang terus diperjuangkan setiap hari: kemenangan dalam menjaga kesadaran, dalam menolak tunduk secara total, dalam mempertahankan ruang otonomi batin di tengah tekanan homogenisasi. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang yang menolak tetapi mengikuti bisa saja tampak biasa-biasa saja. Mereka tidak memimpin demonstrasi, tidak menulis manifesto, tidak tampil sebagai simbol perlawanan. Tapi mereka menyimpan kritik, menyuarakan ketidakterimaan dalam forum-forum kecil, menulis dengan gaya yang menyimpang, berbicara dengan sindiran, atau sekadar menolak menjadi antusias ketika diminta ikut menyanyikan lagu pujian terhadap sistem.
Pada titik ini, menolak tetapi mengikuti bukanlah bentuk kompromi, melainkan bentuk kesadaran akan medan perjuangan yang tidak ideal. Ini adalah cara untuk tetap hidup, tetap bertahan, sambil tetap mengatakan “tidak”; meskipun tidak dengan suara keras, melainkan dengan cara berjalan yang miring, dengan langkah yang tidak seirama, dengan tindakan-tindakan kecil yang disengaja untuk menggoyang rutinitas. Menolak tetapi mengikuti menjadi bentuk etika yang tidak memaksakan kepahlawanan, tetapi menempatkan tanggung jawab pada level paling konkret dari kehidupan: bagaimana seseorang bekerja, berpikir, berinteraksi, dan mengelola posisinya dalam struktur sosial yang besar.
Sikap ini juga membuka jalan bagi pemahaman baru tentang makna keberanian. Keberanian tidak lagi hanya diukur dari kemampuan untuk melawan secara terbuka, tetapi juga dari kemampuan untuk menahan diri, tetap bertahan, dan tetap menyimpan penolakan dalam dunia yang menuntut persetujuan terus-menerus. Menolak tetapi mengikuti membutuhkan keberanian untuk tetap waras dalam sistem yang gila, untuk tetap jujur dalam struktur yang penuh kepalsuan, dan untuk tetap sadar dalam dunia yang dibanjiri distraksi. Ini adalah keberanian yang tidak mencari sorotan, tapi justru menemukan kekuatannya dalam ketenangan, dalam pengamatan, dalam konsistensi sikap yang diam-diam tapi tegas.
Dan, mungkin di sanalah letak kekuatan sebenarnya: bukan dalam penolakan yang lantang, tetapi dalam kemampuan untuk tetap menyimpan “tidak” dalam diam, untuk tetap bertahan tanpa kehilangan integritas, untuk tetap mengikuti tanpa menjadi alat. Di tengah dunia yang memaksa kita memilih antara dua kutub yang ekstrem, sikap ini menawarkan jalan ketiga, yaitu jalan yang tidak nyaman, tidak populer, tapi justru penuh potensi untuk mengubah dari dalam. Sebuah jalan di mana kita bisa menolak, bahkan ketika sedang mengikuti. Dan mungkin, justru di sanalah perubahan perlahan bisa dimulai. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kulit Pisang Disulap Jadi Camilan Sehat, Dosen Universitas Malahayati Bersama UMKM Si Bintang Buah Hadirkan Inovasi “KUPIDOR”
Program ini merupakan bagian dari kegiatan “Optimalisasi Limbah Kulit Pisang Kombinasi Daun Kelor” yang didukung oleh Hibah Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) DPPM Kemdikbudristek Tahun 2025, Nomor Kontrak 334/C3/DT.05.00/PM-BATCH III/2025 tertanggal 10 September 2025. Melalui kegiatan ini, tim memberikan sosialisasi, pelatihan, hingga pendampingan teknologi tepat guna kepada para pelaku UMKM pangan.
“Dengan adanya KUPIDOR, kami ingin masyarakat memandang kulit pisang bukan sekadar sampah, tetapi sebagai sumber daya bernilai tinggi. Inovasi ini bukan hanya menawarkan camilan sehat, tetapi juga membuka peluang usaha baru berbasis pangan fungsional lokal,” ungkap Diah Astika Winahyu, S.Si., M.Si, selaku ketua tim pengabdian.
Selain praktik langsung, peserta juga mendapatkan pendampingan untuk memaksimalkan potensi bisnis inovatif berbasis pangan lokal.
Kegiatan ditutup dengan sesi tasting produk dan diskusi terbuka mengenai peluang pengembangan usaha. Antusiasme peserta sangat tinggi, menunjukkan bahwa inovasi pangan berbasis limbah kulit pisang dan daun kelor ini berpotensi besar dalam mendukung ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, serta pengurangan limbah lingkungan.
Dengan cita rasa khas, bergizi, dan ramah lingkungan, produk KUPIDOR diharapkan mampu menjadi ikon camilan sehat dari UMKM Si Bintang Buah serta bersaing di pasar lokal hingga nasional. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Optimalisasi Sampah Organik Jadi Sabun Disinfektan Ramah Lingkungan, Dosen dan Mahasiswa Universitas Malahayati Gelar Pengabdian Masyarakat di Kelurahan Pesawahan
Program ini terselenggara atas dukungan DPPM Kemdikbudristek Tahun 2025 melalui Hibah Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) dengan Nomor Kontrak 334/C3/DT.05.00/PM-BATCH III/2025 tertanggal 10 September 2025.
Tim pengabdian masyarakat berasal dari kolaborasi tiga prodi Hadirkan Inovasi “ECORIND”yakni Farmasi, Teknik Lingkungan, dan Ekonomi. Mereka terdiri dari: apt. Ade Maria Ulfa., M.Kes (Prodi Farmasi), Natalina, S.T., M.T (Prodi Teknik Lingkungan), Prof. Erna Listyaningsih, SE., M.Si., Ph.D (Prodi Ekonomi). Tim ini juga dibantu dua mahasiswa, Galih Bimantara dan Muhammad Putra Pratama.
Melalui sosialisasi, pelatihan, hingga pendampingan teknologi tepat guna, para ibu PKK Kelurahan Pesawahan dibekali keterampilan dalam pemilahan sampah organik rumah tangga (khususnya kulit buah), proses fermentasi ekoenzim, hingga pembuatan produk inovatif berupa sabun disinfektan pembersih lantai “ECORIND” (ECO = Ekoenzim Ramah Lingkungan, RIND = Kulit Buah).
“Pemanfaatan kulit buah sebagai bahan dasar ekoenzim akan menghasilkan sabun disinfektan ramah lingkungan yang ekonomis dan bahkan bernilai jual,” ujarnya.
Lurah Pesawahan, Musa Shaleh., S.I.Kom, menyampaikan apresiasi atas kegiatan ini. Menurutnya, Kelurahan Pesawahan memiliki 117 kepala keluarga, dengan 80% di antaranya termasuk keluarga miskin. Data tahun 2024 mencatat bahwa wilayah ini menghasilkan sampah sebanyak 227 kg per hari, dengan 60% berasal dari sampah rumah tangga.
“Selama ini sampah rumah tangga belum dimanfaatkan secara maksimal. Kehadiran program pengabdian masyarakat ini tentu sangat membantu warga, khususnya ibu-ibu PKK, untuk mengolah sampah organik menjadi produk bermanfaat dan bernilai ekonomi,” ungkapnya.
Dengan adanya inovasi ini, masyarakat diharapkan tidak hanya mampu menjaga kebersihan lingkungan, tetapi juga memperoleh peluang ekonomi baru dari pemanfaatan limbah organik rumah tangga. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Membenarkan yang Salah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Baru-baru masyarakat Indonesia dihebohkan peristiwa seorang ibu melaporkan kepala sekolah tempat anaknya belajar ke kepolisian karena tidak terima anaknya ditampar kepala sekolah. Si anak ditampar karena merokok di sekolah. Soal itu, semuanya sudah diatur. Termasuk jika ada siswa yang merokok di sekitar sekolah.
Gubernur dan wakil gubernurnya paham undang-undang ternyata langsung tancap gas menonatifkan kepala sekolah. Setelah “dirujak” netizen mereka baru sadar kalau selama ini mereka tidak sadar. Menjadi seru lagi ada sebagian netizen yang tak paham hakikat pendidikan memberikan dukungan, dengan alasan agar guru tidak semena-mena.
Penulis menunggu ahli pendidikan di daerah ini untuk berbagi ilmunya guna menanggapi peristiwa itu. Sayangnya sampai tulisan ini dibuat, dan peristiwanya berakhir; tak satu pun ahli di daerah ini yang mau berbagi. Bisa jadi beliau-beliau menganggap peritiwa ini tidak penting, atau ada kesibukan lain yang jauh lebih penting. Untuk itu penulis mencoba sedikit berbagi menyikapi peristiwa tadi dari sudut pandang filsafat manusia.
Beberapa tahun lalu saat menjadi saksi ahli yang meringankan terdakwa, dengan pokok perkara salah seorang guru di salah satu kabupaten di daerah ini dituduh orang tua murid telah mencubit anaknya dalam proses pembelajaran.
Saat sidang penulis “terpaksa” memberikan kuliah umum di hadapan majelis hakin menggunakan teori hukuman oleh filosof sekaligus ahli pendidikan, bernama Martinus Jan Langveld.
Langveled menekankan bahwa hukuman harus bersifat mendidik, manusiawi, dan mendorong pertumbuhan moral anak. Dan, tidak kalah pentingnya hukuman tidak boleh membuat cacat, luka atau cidera permanen. Akhirnya terdakwa bebas.Namun, hukuman sosial yang menimpa siswa ini sangat berat, karena tidak ada satupun sekolah dikabupaten itu yang mau menerima pindahan dirinya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat nilai-nilai yang menjadi fondasi tegaknya tatanan moral dan etika. Salah satu nilai yang menjadi pilar penting dalam relasi antarmanusia adalah kebenaran. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, kebenaran sering kali dipelintir, diputarbalikkan, atau bahkan ditukar tempatkan dengan kebohongan dan kekeliruan. Di zaman ketika kebebasan diartikan tanpa batas dan otoritas sering disalahpahami sebagai bentuk penindasan, kita menyaksikan paradoks: membenarkan yang tidak benar dan menyalahkan yang tidak salah.
Peristiwa seorang guru yang dilaporkan ke polisi karena menampar muridnya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah menjadi cerminan jelas dari krisis nilai tersebut. Ini bukan sekadar persoalan hukum atau pelanggaran disiplin, tetapi merupakan peristiwa yang menyentuh akar terdalam dari relasi kemanusiaan: tentang tanggung jawab, moralitas, peran sosial, dan keutuhan makna menjadi manusia.
Guru, sebagai pendidik, adalah figur yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentuk karakter dan penanam nilai. Ketika hukuman yang dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian justru dibalas dengan pelaporan ke aparat hukum, maka sesungguhnya yang sedang dipersoalkan bukan hanya tindakan sang guru, melainkan orientasi moral masyarakat itu sendiri.
Manusia adalah makhluk yang dibekali dengan akal budi, hati nurani, dan kesadaran moral. Ia tidak semata-mata bergerak atas dorongan naluriah seperti makhluk lainnya. Dalam dirinya terdapat kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah. Namun, kemampuan ini tidak tumbuh secara otomatis, melainkan memerlukan proses pendidikan, pembiasaan, dan peneladanan. Guru adalah salah satu agen yang menjalankan fungsi ini. Ketika seorang guru menegur muridnya karena merokok, ia sebenarnya sedang menjalankan peran kodrati dalam membimbing manusia muda untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas dirinya dan lingkungan sosialnya.
Namun, ketika tindakan itu dibalas dengan pelaporan, maka terjadi pembalikan logika moral. Tindakan yang seharusnya dipandang sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian justru ditafsirkan sebagai bentuk pelanggaran atau kekerasan. Ini menandakan adanya kekeliruan dalam membaca hakikat relasi manusia dalam dunia pendidikan. Anak yang masih dalam proses pertumbuhan moral semestinya dibimbing, bukan dibebaskan tanpa arah. Kebebasan dalam filsafat manusia bukanlah kebebasan yang liar, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab, yang disertai dengan kesadaran terhadap batas dan tujuan moral dari tindakan.
Dalam perspektif filsafat manusia, relasi antara guru dan murid bukan sekadar relasi instruksional, melainkan relasi eksistensial. Guru hadir bukan hanya untuk mengisi pikiran murid dengan pengetahuan, tetapi untuk membentuk eksistensi mereka sebagai manusia yang utuh. Tindakan guru dalam menegur adalah bagian dari pembentukan karakter. Teguran itu bukan serangan terhadap kebebasan anak, melainkan panggilan untuk bertanggung jawab atas tindakan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Di sisi lain, pelaporan terhadap guru mencerminkan adanya krisis otoritas. Otoritas, dalam pengertian sejatinya, bukan dominasi atau kekuasaan sewenang-wenang, melainkan legitimasi moral yang lahir dari tanggung jawab dan kompetensi. Seorang guru memiliki otoritas karena ia dipercaya untuk membimbing dan mendidik. Namun, dalam masyarakat yang krisis nilai, otoritas dipandang dengan kecurigaan. Ketika setiap bentuk disiplin dipandang sebagai kekerasan, dan setiap teguran dianggap sebagai pelanggaran, maka masyarakat itu sedang menggali lubang bagi kehancuran moralnya sendiri.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya seharusnya hidup dalam tatanan nilai yang menjunjung tinggi kejujuran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap sesama. Ketika nilai-nilai ini digeser oleh kepentingan pragmatis, maka manusia tidak lagi menjadi pribadi yang otentik, tetapi menjadi individu yang tersesat dalam relativisme moral. Membenarkan yang tidak benar dan menyalahkan yang tidak salah adalah gejala dari matinya nurani kolektif. Nurani yang mati tidak lagi mampu membedakan mana kepedulian dan mana kekerasan, mana disiplin dan mana penindasan.
Kita juga patut merenungkan bagaimana masyarakat kita memperlakukan profesi guru. Ketika guru harus berjalan di atas ketakutan akan kriminalisasi, maka yang hilang bukan hanya kebebasan mendidik, tetapi juga martabat profesi itu sendiri. Guru seharusnya diberi ruang untuk menjalankan tugasnya dengan wibawa dan tanggung jawab. Jika setiap tindakan pembinaan harus dikalkulasi secara legalistik, maka pendidikan kehilangan jiwanya sebagai ruang pertumbuhan manusia. Ketakutan akan dipolisikan membuat guru lebih memilih untuk diam daripada bertindak. Dalam jangka panjang, ini akan menciptakan generasi yang miskin bimbingan moral dan hanya mengenal hukum sebagai alat perlindungan diri, bukan sebagai panggilan keadilan.
Pada akhirnya, peristiwa ini menyadarkan kita bahwa krisis bukan terjadi karena satu tindakan, tetapi karena sistem nilai yang lemah. Sistem yang lebih memihak pada perasaan daripada kebenaran. Sistem yang lebih takut pada konflik daripada pada kehancuran nilai.
Kita hidup di tengah masyarakat yang sedang bergulat mencari arah moral. Dalam pergulatan itu, kita ditantang untuk tetap berdiri tegak memihak pada yang benar, walau harus berhadapan dengan suara-suara yang menyesatkan. Selamat berjuang wahai guru, walau hatimu semakin pilu melihat anak didikmu selalu dibawah ketiak ibu. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Gelar Kuliah Pakar, Prof. Dr. Sudjarwo Kupas Strategi Belajar Pascasarjana dan Pemanfaatan AI Secara Bijak
Kegiatan ini diikuti oleh 80 mahasiswa baru Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, yang terdiri atas 14 mahasiswa reguler dan 66 mahasiswa RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau). Suasana kegiatan berlangsung hangat dan interaktif, menggambarkan semangat para mahasiswa baru dalam memulai perjalanan akademik di jenjang pascasarjana.
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Dr. Sudjarwo, MS membawakan kuliah pakar bertema “Cara Belajar di Pascasarjana dan Pemanfaatan AI Secara Bijak.” Materi ini disampaikan dengan gaya yang inspiratif, disertai berbagai contoh nyata yang relevan dengan dunia akademik masa kini.
“Belajar di jenjang pascasarjana bukan hanya soal menambah ilmu, tapi juga tentang mengubah cara berpikir. Mahasiswa harus mampu beradaptasi, berpikir kritis, dan memanfaatkan teknologi secara etis,” ujar Prof. Sudjarwo dalam pemaparannya.
Beliau menekankan pentingnya memahami tantangan belajar di tingkat pascasarjana, di mana mahasiswa dituntut untuk lebih mandiri, aktif mencari referensi ilmiah, dan berkontribusi dalam diskursus akademik.
Dalam sesi materi, Prof. Sudjarwo juga memaparkan beberapa strategi belajar efektif yang dapat diterapkan mahasiswa pascasarjana, meliputi: Membaca aktif untuk memahami konsep mendalam dari berbagai sumber ilmiah,n Manajemen waktu agar produktivitas akademik tetap terjaga, Kolaborasi ilmiah melalui diskusi dan penelitian bersama, Kemampuan menulis akademik yang baik dan terstruktur, serta Kesadaran digital dalam menyaring informasi dan memanfaatkan teknologi secara bertanggung jawab.
AI, menurutnya, memiliki berbagai manfaat akademik, antara lain: Mempercepat pemahaman literatur melalui ringkasan otomatis dan analisis sumber, Membantu menulis dan menyunting karya ilmiah agar lebih efektif dan sistematis, serta Mendukung analisis data dan visualisasi dalam penelitian kesehatan masyarakat.
Namun, Prof. Sudjarwo juga menegaskan pentingnya pemanfaatan AI secara bijak, dengan tetap menjunjung integritas akademik dan menghindari ketergantungan berlebihan pada teknologi.
Acara PKKMB dan Kuliah Pakar ini tidak hanya menjadi ajang pengenalan kampus, tetapi juga menjadi momentum awal bagi mahasiswa untuk menumbuhkan semangat belajar dan riset di lingkungan akademik pascasarjana.
Dengan tema dan pembicara yang relevan, kegiatan ini diharapkan dapat memberikan bekal berharga bagi mahasiswa baru Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati dalam menapaki perjalanan akademik yang penuh tantangan sekaligus peluang di era digital. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Gelar PKKMB dan Kuliah Pakar 2025
Kegiatan ini dihadiri oleh Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, yang sekaligus membuka acara secara resmi. Turut hadir pula Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes, Ketua LPMI Universitas Malahayati, Dr. Arifki Zainaro, S.Kep., Ns., M.Kep, Ketua Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, Dr. Samino, SH., M.Kes, Sekretaris Program Studi, serta para dosen Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat.
Kegiatan ini diikuti oleh 80 mahasiswa Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, yang terdiri atas 14 mahasiswa reguler dan 66 mahasiswa RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau).
“Menjadi mahasiswa magister bukan hanya tentang melanjutkan pendidikan, tetapi juga tentang memperdalam tanggung jawab moral dan profesional terhadap masyarakat. Universitas Malahayati memberikan ruang bagi Anda semua untuk mengembangkan kemampuan analisis, riset, dan kepemimpinan dalam bidang kesehatan masyarakat,” ujar Prof. Dessy.
Beliau juga menegaskan bahwa Universitas Malahayati terus berkomitmen untuk mencetak lulusan yang unggul, berintegritas, dan mampu beradaptasi dengan perkembangan global di bidang kesehatan.
“Kami berharap seluruh mahasiswa mampu menjadi bagian dari perubahan positif dalam dunia kesehatan masyarakat. Proses belajar di Magister Kesehatan Masyarakat tidak hanya menuntut kemampuan akademik, tetapi juga komitmen sosial terhadap peningkatan kualitas hidup masyarakat,” tutur Dr. Samino.
Sebagai puncak acara, kegiatan ini dilanjutkan dengan Kuliah Pakar yang disampaikan oleh Guru Besar Universitas Malahayati, Prof. Dr. Sudjarwo, MS. Dalam paparannya, Prof. Sudjarwo mengangkat tema yang inspiratif dan relevan dengan tantangan global di bidang kesehatan masyarakat, menekankan pentingnya sinergi antara penelitian, kebijakan, dan praktik lapangan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati dan KBRI Kuala Lumpur Jalin Kerjasama Program KKN Internasional
Universitas Malahayati resmi menandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Malaysia, untuk pelaksanaan Program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional Mengajar dan Pengabdian kepada Masyarakat di berbagai Sanggar Bimbingan (SB) yang tersebar di seluruh Malaysia.
Adapun Penandatanganan kerjasama ini dilakukan oleh Rektor Universitas Malahayati Dr. H. Mu
hammad Kadafi, S.H., M.H., bersama Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia, Datuk Hermono, bertempat di Kantor KBRI Kuala Lumpur.
Dalam Kesempatan ini turut mendampingi Rektor Universitas Malahayati adalah Wakil Rektor III Bidang kemahasiswaan Dr. Eng. Rina Febrina, S.T., M.T.
Duta Besar Hermono dalam sambutannya menyampaikan apresiasi dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Universitas Malahayati atas komitmennya dalam mendukung pendidikan anak-anak pekerja migran Indonesia di Malaysia.
Ia menjelaskan bahwa selama ini banyak anak-anak imigran di Semenanjung Malaysia belum memiliki akses pendidikan memadai karena keterbatasan guru dan fasilitas belajar.
“Pemerintah Indonesia bisa mengirim bahan ajar, tapi siapa yang mengajar? Anak-anak kita tersebar di berbagai daerah dan selama ini mereka tidak punya guru. Karena itu, kita tidak bisa menunggu semua siap. Kita mulai dulu, gotong royong. Dan para mahasiswa yang datang lewat program KKN inilah tulang punggung pendidikan mereka,” tutur Dubes Hermono.
Sementara itu Rektor Universitas Malahayati yang juga anggota DPR RI komisi X Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H menyampaikan bahwa kolaborasi ini merupakan langkah penting dalam memperluas jangkauan pengabdian Universitas Malahayati di tingkat internasional.
“Saya berharap kerja sama ini menjadi jembatan bagi civitas akademika Universitas Malahayati untuk berkontribusi di dunia internasional, khususnya dalam pemberdayaan dan pendidikan masyarakat Indonesia di luar negeri. Ini sesuai dengan salah satu poin dalam Visi Misi Universitas Malahayati, yaitu berwawasan global,” ujar Kadafi.
Melalui PKS ini, Universitas Malahayati dan KBRI Kuala Lumpur sepakat untuk mengembangkan berbagai kegiatan bersama, meliputi pelaksanaan KKN Internasional Mengajar dan Pengabdian kepada Masyarakat di Sanggar Bimbingan, pembinaan dan pendampingan mahasiswa selama masa pengabdian, program pertukaran dan kolaborasi di bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan, serta promosi nilai-nilai budaya, bahasa, dan pendidikan Indonesia di lingkungan masyarakat diaspora.

Pulang
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu datang ke kampus seperti biasa, yakni sebelum petugas kebersihan selesai pekerjaan. Bertemu seorang staf senior, seperti biasa kami saling mengabarkan. Namun, di sela kabar yang disampaikan, ia memberi tahu bahwa orang tua salah seorang tenaga pengajar “berpulang”. Innalillahi wainna ilaihi rojiuun.
Kabar duka itu sesungguhnya biasa saja untuk kepulangan orang berusia menjelang 80 tahun dalam keadaan sakit. Namun, itu menarik atensi saya karena bakda zuhur kemarin kami baru membincangkan tentang kondisi almarhum dan riwayat lainnya. Betapa dekatnya kematian.
Setiap kali kabar lelayu itu hadir, saya selalu larut kepada hakikat hidup. Semua ini tampak ingin menegaskan bahwa manusia pada akhirnya harus menyadari hidup bukanlah tentang memiliki, menaklukkan, atau menguasai. Hidup, pada akhirnya, adalah tentang pulang. Bukan sekadar kembali ke rumah dalam arti fisik, melainkan sebuah perjalanan eksistensial yang membawa manusia kembali ke asal-muasalnya, ke pusat dirinya, ke tempat di mana makna tidak lagi harus dikejar, melainkan ditemukan dalam kehadiran yang utuh.
Dalam terang pemahaman ini, hidup bukan satu garis lurus yang membentang ke masa depan tak terbatas, tetapi suatu lingkaran besar yang perlahan, dalam sunyi, membawa kita kembali; bukan ke suatu tempat, tetapi ke suatu keadaan.
Filsafat kontemporer telah mengajukan banyak pertanyaan tentang makna eksistensi, kesadaran, identitas, dan hubungan manusia dengan realitas. Salah satu kegelisahan paling mendasar dari zaman ini adalah keterasingan manusia dari dirinya sendiri.
Kita hidup dalam dunia yang semakin cepat, penuh tekanan untuk menjadi, tetapi sering kali lupa untuk menyadari. Dalam logika modernitas, hidup dipandang sebagai proyek: kita dituntut untuk terus berkembang, terus bergerak, terus memperbarui versi diri agar sesuai dengan tuntutan zaman. Tapi semakin manusia bergerak menjauh dari diam, dari keheningan, dari refleksi, semakin pula ia menjauh dari dirinya sendiri. Maka wajar bila manusia kontemporer begitu sering merasa kehilangan arah, meskipun tampaknya memiliki segalanya.
Dalam konteks inilah, gagasan bahwa hidup hanyalah perjalanan pulang menjadi sangat relevan. Pernyataan ini bukan ekspresi keputusasaan atau pelarian dari realitas, melainkan bentuk kesadaran yang lahir dari perenungan mendalam tentang keberadaan. Jika sejak awal manusia adalah keberadaan yang utuh, yang tidak terpisah dari makna, dari relasi yang hakiki, dan dari rasa cukup yang mendalam, maka semua pencarian di dalam hidup hanyalah upaya untuk kembali ke titik itu. Bukan kembali ke masa lalu secara literal, tetapi pulang ke kedalaman makna yang pernah dimiliki sebelum kita dikaburkan oleh pelbagai lapisan harapan sosial, identitas palsu, dan konstruksi kultural.
Konsepsi tentang pulang ini menantang nalar fungsionalistik yang mereduksi hidup menjadi serangkaian target dan capaian. Dalam kerangka ini, kehidupan tidak lagi dilihat sebagai jalan untuk menjadi “seseorang” menurut ukuran eksternal, tetapi sebagai kesempatan untuk kembali menjadi diri sendiri; bukan versi sosial, bukan bayangan ideal, tetapi eksistensi yang murni. Setiap pengalaman, bahkan yang paling menyakitkan sekalipun, bukanlah kegagalan dalam perjalanan, tetapi bagian dari arah pulang itu sendiri. Keterasingan, kehilangan, kehancuran, dan kejatuhan tidak lagi dimaknai sebagai titik akhir, melainkan sebagai tanda bahwa mungkin kita telah terlalu jauh dari rumah batin kita.
Kesadaran akan hidup sebagai perjalanan pulang juga membuka perspektif baru tentang waktu. Kita biasanya menganggap waktu sebagai garis maju: masa lalu ditinggalkan, masa kini dijalani, masa depan dikejar. Tapi jika hidup adalah pulang, maka waktu bukanlah garis, melainkan spiral. Kita bergerak, bukan untuk menjauh, tetapi untuk kembali. Setiap langkah ke depan adalah langkah yang membawa kita lebih dekat ke dalam. Masa lalu bukan sesuatu yang harus dilupakan, tetapi jendela untuk memahami siapa kita sebenarnya. Masa depan bukan sesuatu yang harus ditaklukkan, tapi arah yang menuntun kita untuk pulang.
Menghayati hidup sebagai perjalanan pulang juga mengubah cara kita memaknai kematian. Dalam paradigma modern, kematian sering dipandang sebagai kekalahan, sebagai akhir yang tragis, atau sebagai sesuatu yang harus ditunda selama mungkin. Tapi jika hidup adalah perjalanan pulang, maka kematian bukan musuh, melainkan gerbang. Ia bukan akhir dari segalanya, tetapi puncak dari perjalanan panjang yang membawa kita kembali ke asal. Ia bukan sesuatu yang harus ditakuti, tetapi sesuatu yang bisa dipahami dengan tenang. Karena pulang, sejatinya, adalah pertemuan: pertemuan dengan asal-usul, dengan makna terdalam, dan dengan keutuhan yang selama ini hanya kita bayangkan dalam bentuk-bentuk yang sementara.
Tentu saja, ini bukan berarti hidup harus dijalani dengan sikap pasif, atau bahwa kita harus berhenti berusaha. Sebaliknya, pemahaman ini justru memberi dasar eksistensial yang kuat bagi tindakan kita. Ketika kita sadar bahwa semua yang kita lakukan adalah bagian dari perjalanan pulang, maka kita tidak lagi terjebak dalam obsesif mengejar dunia. Kita bekerja, mencinta, berproses, bukan untuk membuktikan nilai kita, tapi untuk mengungkapkan keberadaan kita. Kita tidak lagi hidup dari ketakutan akan kegagalan, tapi dari cinta akan makna. Kita berhenti membandingkan jalan kita dengan orang lain, karena kita tahu, semua orang sedang pulang; hanya lewat rute yang berbeda.
Pada akhirnya, hidup bukan tentang sejauh apa kita pergi, tetapi seberapa dalam kita bisa kembali. Bukan tentang seberapa banyak yang kita kumpulkan, tetapi seberapa banyak yang bisa kita lepaskan. Dan bukan tentang seberapa lama kita hidup, tetapi apakah kita pernah benar-benar pulang. Dalam dunia yang semakin bising, kebenaran ini akan selalu berbisik: semua ini hanyalah perjalanan. Dan semua perjalanan, cepat atau lambat, akan membawa kita kembali ke tempat yang tak pernah benar-benar kita tinggalkan; ke sunyi asal, ke kedalaman makna, ke “rumah yang sejati”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman