Ular Serasa Belut
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Salah seorang petinggi di kabinet ini memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengoperasionalkan “mesin” kekuasaannya. Selama ini pejabat tinggi sering menampilkan jaga image, sedikit wibawa, muka ditarik jika harus rapat dengan siapapun. Tokoh satu ini, yang pekerjaannya memegang kas negara; tampilannya ceplas-ceplos tanpa beban. Bahkan tidak jarang harus menentang arus, dan tidak betah ada di zona nyaman. Akibatnya, tentu saja banyak para petinggi yang merasa “kebakaran tikar”. Sampai-sampai berkeluh kesah dengan lembaga legeslatif, seolah minta dukungan atau pertolongan. Mereka lupa bahwa petinggi yang satu ini tidak berpartai, bukan juga simpatisan. Kepercayaannya hanya tegak lurus kepada presiden. Alhasil semua kelakuan lama yang sebenarnya ular, tampaknya belut; menjadi sangat terbuka, bahkan telanjang.
Selama ini rakyatnya sering disuguhi pertunjukan akrobatik yang luar biasa dari para pemimpinnya. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan tampaknya telah lama memahami satu hal: bahwa narasi bisa lebih penting daripada kenyataan. Di atas panggung pidato, dalam suara yang dilatih agar terdengar tegas dan penuh harapan, mereka bisa mengubah apa pun. Bahkan kegagalan pun bisa disulap menjadi keberhasilan. Inilah seni menjual fatamorgana; seni yang hanya dimiliki oleh para pemimpin yang pandai membungkus ular agar tampak seperti belut. Licin, mengkilap, menggeliat, tapi mematuk dalam diam. Begitu berhadapan dengan “Sang Coy Boy” yang begitu refelksnya mencabut pistol untuk menembak; maka, banyak para ular tadi harus mengakui kekalahannya.
Setiap proyek gagal bisa dicat ulang menjadi keberhasilan lewat angka-angka yang dibengkokkan, grafik yang disunat, atau testimoni yang disusun rapi oleh tim komunikasi. Kegagalan distribusi pangan diubah menjadi keberhasilan stabilitas harga dengan membandingkan angka pada bulan berbeda. Gagalnya pembangunan infrastruktur vital dipoles menjadi simbol kebangkitan nasional, dengan mengabaikan fakta bahwa jembatan yang dibangun ambruk sebelum sempat digunakan. Keterlambatan proyek dianggap bagian dari strategi adaptif. Pembengkakan anggaran bukanlah bentuk pemborosan, tetapi “fleksibilitas fiskal”. Semua istilah disulap demi menjaga wajah pemimpin tetap bersinar, seolah ia adalah nahkoda yang membawa kapal menuju pelabuhan kejayaan, padahal kapal sudah bocor dari lambung dan perlahan tenggelam. Dan. Itu semua sekarang perlahan tapi pasti, semua terkuak kepermukaan karena ulah sang pemimpin coy boy.
Ironisnya, banyak orang akhirnya terbiasa. Ketika kebohongan diulang terus-menerus, ia mulai terdengar seperti kebenaran. Rakyat mulai menerima bahwa pemimpin yang baik bukanlah yang membuat hidup mereka lebih baik, tapi yang paling pandai menjelaskan kenapa hidup mereka tetap susah. Mereka terbuai dengan bahasa-bahasa motivasi yang dikutip dari tokoh luar negeri, diselipkan dalam pidato yang ditulis oleh tim kreatif, dibacakan dengan penuh emosi seolah berasal dari hati, padahal sekadar naskah latihan. Ini bukan lagi soal kejujuran atau integritas, melainkan soal penampilan. Semua ini sekarang terbongkar, membuat para ular yang menjelma menjadi belut kepanasan.
Pemimpin yang baik semestinya bukan yang paling banyak, bahkan lihay berbicara; tetapi mereka yang paling berani bertanggung jawab. Bukan yang menyalahkan masa lalu, tapi yang mampu memperbaiki masa kini. Bukan yang membungkus kegagalan, tapi yang jujur mengakuinya dan belajar darinya. Tapi di negeri ini, yang sering naik ke panggung adalah mereka yang bisa menjilat langit dengan kata-kata manis, sambil menutupi luka rakyat yang belum sempat diobati. Mereka yang membuat kemiskinan tampak seperti pilihan hidup. Mereka yang menyulap harga kebutuhan pokok yang melambung sebagai bukti pertumbuhan konsumsi. Mereka yang menjual mimpi tentang kemajuan sambil mengabaikan realitas keterpurukan. Begitu datang “elang” yang garang; mereka kepanasan, bahkan saat rapat kabinet-pun mereka menghindar untuk berbicara dengan sang elang.
Di tengah situasi seperti ini, harapan seolah menjadi barang mewah. Tapi harapan tidak boleh hilang. Karena suatu saat, masyarakat akan jenuh dengan sandiwara. Mereka akan bangkit dari hipnotis narasi dan mulai melihat bahwa selama ini mereka hanya disuguhi ilusi. Saat itulah, semua kepura-puraan akan runtuh. Pemimpin yang hanya bisa mengarang keberhasilan akan dihadapkan pada fakta bahwa ia tidak pernah benar-benar memimpin, hanya bercerita. Dan rakyat, yang selama ini dibohongi, akan menuntut jawaban yang tidak bisa lagi dijawab dengan pidato indah atau grafik manipulatif. Dan, saatnya sekarang tiba; seorang pemimpin bertipe elang, yang siap melayang memangsa mereka-mereka yang tidak mampu memimpin negeri ini. Walaupun harus berputar di awan yang penuh ranjau, namun pemimpin model ini sudah siap akan resiko jabatan apapun bentuknya. Selamat berjuang orang baik, untuk negeri yang sedang tidak baik-baik. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman