Ada Tak Dianggap, Tidak Ada Dicari
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Ruang kuliah program doktor hari itu agak sedikit berbeda dari hari-hari biasa; karena topik pembahasan pada pertemuan keempat ini banyak membahas hal-hal yang bersifat abstrak, bahkan sering harus menggunakan diksi-diksi langit. Tatkala kuliah sedang dibentang, ada mahasiswa mengintrupsi ijin bertanya agak sedikit keluar topik, yaitu bagaimana menyikapi kondisi manakala kita ada pada posisi “ada tidak dianggap, sementara kalau tidak adapun, tidak dicari” Kondisi seperti itu dalam kajian filsafat kontemporer bagaimana. Tentu intrupsi seperti ini tidak bisa dijawab dengan sepintas lalu; karena memerlukan uraian dari berbagai sudut pandang keilmuan. Salah satu sudut kajian itu jika diringkas akan terbentang seperti si bawah ini.
Ungkapan di atas di pandang dari permukaan mungkin terdengar sederhana, namun jika direnungkan lebih dalam, ia menyimpan makna yang sangat mendalam dan kaya akan refleksi spiritual. Dalam kehidupan manusia, konsep keberadaan dan ketidakberadaan bukan sekadar soal realitas fisik atau objektif, melainkan juga terkait dengan bagaimana kesadaran memproyeksikan makna dan perhatian terhadap sesuatu yang ada maupun yang tiada. Dari sudut pandang filsafat spiritual, ungkapan ini mengajak kita untuk menyelami hubungan antara kesadaran, eksistensi, dan pencarian makna yang esensial dalam hidup.
Pada intinya, kalimat tersebut menyinggung tentang bagaimana manusia memberi arti pada sesuatu hanya jika hal tersebut ada atau tampak nyata dalam pengalaman mereka. Dengan kata lain, keberadaan sesuatu yang tidak mendapat perhatian atau diakui secara sadar oleh individu atau masyarakat, secara praktis dianggap tidak ada. Ini menunjukkan bahwa keberadaan tidak semata-mata ditentukan oleh realitas objektif, melainkan oleh pengakuan dan perhatian yang diberikan oleh kesadaran. Kesadaran menjadi kunci utama dalam mengaktualisasikan apa yang dianggap ada. Maka, “ada” bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri tanpa hubungan dengan pengakuan, dan “tidak ada” bukan sekadar ketiadaan fisik, melainkan juga ketiadaan pengakuan dan pencarian.
Dalam perspektif spiritual, kesadaran bukan hanya sekadar fungsi otak atau pengalaman subjektif biasa, melainkan merupakan jembatan antara dimensi materi dan dimensi yang lebih halus, yang sering disebut dengan jiwa, roh, atau esensi batin. Kesadaran memiliki kemampuan untuk menyentuh, memahami, dan menghadirkan keberadaan sesuatu ke dalam ruang hidup seseorang. Ketika sesuatu “ada”, itu berarti kesadaran telah menyorotnya, memberi ruang dan arti, dan membiarkannya masuk ke dalam dunia pengalaman yang hidup. Sebaliknya, jika sesuatu “tidak dianggap” atau “tidak dicari”, ia tetap berada dalam bayang-bayang ketidaksadaran, yang dalam dimensi spiritual bisa diartikan sebagai ketidaktahuan atau keterpisahan dari kesadaran penuh.
Selanjutnya, konsep “tidak ada tidak dicari” membawa kita pada pemahaman tentang niat dan pencarian spiritual. Dalam hidup, pencarian tidak pernah lepas dari sesuatu yang dianggap “ada” atau “penting”. Kita tidak mencari sesuatu yang secara sadar kita anggap tidak ada atau tidak relevan. Pencarian itu sendiri adalah aktivitas kesadaran yang melibatkan energi dan fokus. Maka, jika suatu hal dianggap tidak ada, tidak ada ruang atau motivasi untuk mencarinya. Ini memberi gambaran bagaimana realitas batin manusia sering kali dibatasi oleh keyakinan, asumsi, dan perhatian yang dipilih secara sadar maupun tidak sadar.
Dalam kaitannya dengan konsep waktu dan ruang, kalimat ini juga menyinggung dimensi eksistensi yang lebih luas. Apa yang “ada” dalam satu momen atau satu tempat bisa jadi tidak “ada” dalam momen atau tempat lain jika tidak diakui oleh kesadaran di sana. Ini mengarah pada pandangan bahwa eksistensi tidak absolut dan statis, melainkan dinamis dan bergantung pada interaksi kesadaran. Dalam dimensi spiritual, ini berarti bahwa segala sesuatu bersifat interrelasional dan transformatif, terus-menerus muncul dan menghilang sesuai dengan fokus dan niat kesadaran.
Dalam konteks hubungan antar manusia dan makhluk lain, kalimat ini juga mengandung pesan mendalam tentang rasa empati dan kesadaran sosial. Ketika seseorang atau sesuatu “tidak dianggap”, maka keberadaannya menjadi tidak nyata dalam dunia orang lain. Hal ini seringkali menyebabkan penderitaan, keterasingan, dan hilangnya makna eksistensial. Dalam perjalanan spiritual, memahami dan mengakui keberadaan sesama makhluk adalah bagian dari membuka kesadaran universal yang melampaui ego dan batasan individual. Dengan menganggap dan menghargai keberadaan orang lain, kita turut membangun jaringan kesadaran kolektif yang mampu menguatkan rasa kasih dan harmoni.
Secara lebih luas, ungkapan ini juga dapat dipahami sebagai refleksi atas fenomena ilusi dan kenyataan dalam hidup. Dalam banyak pengalaman spiritual, batas antara ada dan tidak ada seringkali menjadi kabur. Apa yang kita anggap ada bisa jadi hanya bayangan dari pikiran atau persepsi yang terbatas, sedangkan yang kita anggap tidak ada bisa saja merupakan kenyataan yang lebih dalam dan abadi. Dengan demikian, kesadaran spiritual mengajak kita untuk melampaui dualitas semu antara ada dan tidak ada, untuk menemukan esensi yang melampaui bentuk dan konsep. Di sinilah letak kebijaksanaan, yaitu mampu melihat bahwa realitas sejati bukan hanya apa yang tampak dan diakui secara langsung, tapi juga apa yang tersembunyi dan membutuhkan usaha pencarian yang mendalam.
Namun perlu dipahami bahwa pada titik tertentu, saat manusia menjadi tua, maka manusia akan berada pada posisi ini. Oleh karena itu tidak salah jika orang bijak mengatakan, teman sejatimu itu adalah dirimu sendiri. Dan, karena itu pula banyak orang terdahulu berpesan “orang terakhir yang akan bersamamu sebelum dirimu sendiri adalah pasanganmu” ; oleh karena itu rawatlah kebersamaan bersamanya agar tiba waktunya kita tetap bahagia. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman