Hidup Mau, Matipun Jadi

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Senja menjelang malam, saya terpaksa harus keluar kompleks perumahan karena roda kendaraan ananda dokter muda kami mengalami “mati angin”. Dipakai tidak bisa, dibuang tidak mungkin. Bersama seorang tenaga keamanan kompleks, kedua roda pun dibawa ke sepesialis tambal ban di tepi jalan. Karena hari sudah gelap, tidak mudah untuk mencarinya. Namun, alhamdulillah akhirnya  bertemu satu tempat tambal ban yang masih buka.

Di sela-sela bekerja tukang tambal ban  menjawab “wawancara candaan model Purbaya” yang dilakukan penulis. Ada satu diksi yang sangat menarik dari pembicaraan tak tersetruktur itu ialah “awak ini hidup mau,  mati pun jadi” dengan dialek medok khas bahasa Sumatera Utara. Betapa penuh maknanya diksi itu jika kita renungkan dan dalami secara filosofis.

Ketika dunia melaju dalam kecepatan yang tak bersahabat, banyak individu merasa tertinggal dan terinjak oleh lajunya jaman. Kehidupan yang diidealkan sebagai perjalanan penuh makna dan pembelajaran; justru menjelma menjadi labirin gelap tanpa peta jalan keluar. Di tengah kegetiran ini, muncul satu pertanyaan filosofis yang tak bisa dihindari: apakah hidup masih layak untuk diperjuangkan?

Sebuah pertanyaan yang bukan hanya teoritis, tetapi eksistensial. Saat seseorang merasa tak lagi memiliki pegangan dalam dunia yang makin absurd, nilai hidup itu sendiri mulai dipertanyakan. Kebutuhan dasar manusia bukan lagi sekadar makan dan tempat tinggal, tetapi rasa memiliki makna dalam keberadaannya. Tanpa makna, manusia hanya menjadi objek di antara mekanisme sosial yang impersonal.

Eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan terus-menerus dibentuk oleh pengalaman, pilihan, dan kondisi lingkungan. Di sinilah kehidupan menjadi medan tempur internal: antara keinginan untuk melanjutkan dan godaan untuk menyerah. Keinginan untuk hidup muncul dari harapan-harapan kecil yang masih bersinar, meski samar. Tapi keinginan untuk mati bukan selalu tentang putus asa; terkadang ia adalah protes yang paling sunyi terhadap dunia yang tak lagi mendengarkan.

Banyak yang berjalan di atas bumi ini dengan hati yang compang-camping. Mereka tersenyum untuk menyembunyikan luka, bekerja keras bukan karena semangat tetapi karena keterpaksaan. Hidup menjadi rutinitas mekanis; bangun, bekerja, tidur, ulangi. Dalam pengulangan tanpa makna itu, seseorang bisa merasa kehilangan dirinya sendiri. Bahkan saat tubuh masih berjalan, jiwa bisa saja sudah menyerah. Maka, “hiduppun mau, matipun jadi” adalah sebuah paradoks manusia modern. Ia mau hidup karena tahu masih ada kemungkinan. Tapi ia juga siap mati, karena tahu bahwa dunia ini tak menjanjikan apa-apa untuknya.

Di dalam ruang yang serba cepat ini, manusia merasa asing terhadap dirinya sendiri. Terasing bukan karena tak mengenal orang lain, tetapi karena tak lagi mengenal siapa dirinya. Segala sesuatu diukur dari produktivitas, kecepatan, dan efisiensi, hingga rasa manusiawi tergantikan oleh algoritma dan ekspektasi sosial. Orang merasa harus “berhasil” agar dianggap layak hidup. Tapi ketika keberhasilan hanya diukur oleh angka, grafik, dan materi, maka seluruh dimensi spiritual, emosional, dan eksistensial tergerus habis.

Realitas sosial hari ini membentuk individu yang rapuh dalam diam. Kerapuhan ini bukan hasil kemalasan atau kelemahan moral, melainkan buah dari tekanan yang berlapis dan terus-menerus. Kegagalan dalam memenuhi ekspektasi sistem dianggap sebagai kegagalan personal, bukan kegagalan struktur. Maka, banyak orang menderita dalam sunyi, menganggap dirinya beban, sementara sesungguhnya mereka adalah korban dari dunia yang tak memberi ruang untuk berhenti dan bernapas.

Dalam tekanan itulah, muncul sikap pasrah: jika bisa hidup, syukur; jika mati, pun tak apa.
Sikap ini bukanlah optimisme buta, melainkan keteguhan diam yang tetap memilih hidup meski tahu hidup itu pahit. Ini bukan glorifikasi penderitaan, tetapi pengakuan jujur bahwa penderitaan ada dan tidak bisa dihindari. Dalam pengakuan itu, manusia bisa menemukan kekuatan baru, kekuatan untuk tetap menjadi diri sendiri meski dunia menolak. Karena hidup bukan tentang menang, tapi tentang terus hadir. Dalam cara pandang ini, “hiduppun mau, matipun jadi” bisa dibaca bukan sebagai sikap pasrah, melainkan sebagai kebebasan terakhir manusia: kebebasan untuk menentukan sikap terhadap hidup dan mati.

Maka, jika kita berada pada titik di mana hidup terasa seperti beban dan mati tampak sebagai pelepasan, kita sedang berdiri di ambang pemahaman terdalam tentang eksistensi. Kita tidak perlu tergesa-gesa menyimpulkan hidup sebagai kutukan. Justru dalam penderitaan itu tersimpan kesempatan untuk memahami apa artinya benar-benar hidup. Hidup bukan hanya tentang kebahagiaan yang bersinar, tetapi juga tentang luka yang mengajarkan kedalaman. Dari luka itu, kita mengenal kerentanan, dan dari kerentanan itu, kita belajar tentang empati, tentang harapan, tentang manusia lain yang juga berjuang diam-diam.

Pada akhirnya, “hiduppun mau, matipun jadi” adalah refleksi terdalam dari kontradiksi yang tak akan pernah bisa kita tuntaskan secara tuntas. Tapi mungkin, dalam ketidaktuntasan itulah kita menemukan ruang untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Ruang untuk merasakan tanpa harus didahului dengan menjelaskan. Ruang untuk mengakui bahwa kita lelah tanpa harus takut dihakimi. Dan ruang untuk tetap hidup, bukan karena kita wajib, tetapi karena kita memilih. Meski dunia tak memberi jaminan apa pun, pilihan untuk tetap hadir adalah bentuk cinta paling jujur terhadap diri sendiri. Selamat Berjuang Orang baik. (SJ)

Editor: Gilang Agusman