Oleh Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
MEMBACA berita beberapa situs media online, sebagai pendidik, hati saya teriris adanya anak-anak kita tak sekolah gara-gara orangtuanya tak mampu secara ekonomi. Setelah viral, para pemangku ramai-ramai membantu dari Dinas Pendidikan, kecamatan, lurah sampai RT sambil “cuci tangan”: tak tahu, tak lapor, hingga media dinilai plantar-plintir.
Kehadiran para pemangku dengan narasi “membantu” kedua pelajar rasanya agak aneh. Soal pendidikan, bukan membantu, tapi sudah menjadi kewajiban negara lewat pemerintah daerah dan para pemangku lainnya hingga terbawah tingkat RT agar tak ada anak-anak yang tak sekolah. Negara hadir membekali anak-anak bangsa agar pintar, bukan memposisikan mereka seolah “membantu”.
Di Jepang, ada kisah betapa pentingnya pendidikan, tak cukup hanya bantuan alat sekolah, dan lain-lain, tapi bagaimana keberpihakkan negara terhadap aset masa depannya dalam kisah pelajar terakhir Stasiun Kami-Shirataki di Pulau Hokkaido.
Japan Railways juga bersiap-siap untuk menutupnya sejak tiga tahun sebelumnya membatalkannya karena ada satu-satunya penumpang seorang pelajar SMA, Kana Harada yang selalu naik kereta dalam perjalanan menuju sekolahnya setiap harinya pulang pergi.
Jadwal perjalanan kereta ini juga disesuaikan dengan jadwal gadis itu, kereta datang pada pagi hari dan kembali berhenti stasiun tersebut sorenya. Sesuai dengan jadwal sekolah. Kana rencananya akan lulus Maret 2016 ini. Setelah dia lulus maka stasiun ini akan ditutup selamanya.
Negara kita sudah pula menyiapkan komitmen tersebut. Mudah-mudahan masih ingat, ayat 1-4, Pasal 34 UUD 1945:
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 berbunyi setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dimana Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008, Pasal 12, Ayat 3, Pemkab/kota wajib mengupayakan agar setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar mengikuti Program Wajib Belajar 9 Tahun.
Soal ketidakmampuan secara ekonomi: Fakir miskin dan orang tidak mampu belum teregister terdiri dari : gelandangan, pengemis, perseorangan dari komunitas adat terpencil, perempuan rawan sosial ekonomi, korban tindak kekerasan, pekerja migran bermasalah sosial.
Jelas dan tidak perlu penjelasan keluarga yang ada dalam berita itu adalah sangat memenuhi kategori tadi, dan anehnya itu sudah berlangsung setahun tak diketahui para pemangku kebijakan dari tingkat provinsi, kota, kecamatan, lurah, hingga RT.
Pertanyaannya, kemana saja pejabat yang berwenang selama ini? Adanya struktur pemerintahan hingga tingkat RT agar pengawasan terhadap rakyat betul-betul dikuasai. Apakah rakyatnya cukup makan hari ini, apakah anak-anak sudah sekolah, bla bla bla.
Adanya dua pelajar SD yang sudah setahun tak sekolah gara-gara orangtuanya tak mampu merupakan tamparan bagi kita semua yang secara politik kerap jadi dagangan: bebas SPP, wajib belajar, APBN dan APBD yang digelontorkan buat pendidikan hampir setara pembangunan infrastruktur, tiba-tiba ada dua anak tak sekolah.
Janji-janji itu, janganlah jadi komoditas politik murahan hanya untuk kepentingan sesaat, apalagi hanya karena sebuah kursi jabatan. Semua itu harus dilaksanakan karena memang perintah undang-undangnya begitu, dan negara harus hadir di sana, bentuk manisfestasinya adalah program yang dibuat oleh pejabat, siapapun pejabat itu.
Kebiasaan pejabat hanya memindah-mindahkan anak buah yang tidak bisa ikut kemauan dirinya, seharusnya diakhiri. Ganti dengan memindah-mindahkan program untuk membantu kaum miskin yang makin hari makin terhimpit karena kekurangannya.
Bila pendidikan dasar itu gratis dan itu adalah perintah undang-undang, maka tidak perlu embel-embel itu program pribadi. Apalagi jika keperuntukkan selama ini untuk program yang memperbesar hutang, sedangkan membayarnya dengan menjual asset; ini menunjukkan keterbelakangan berfikir yang perlu dikoreksi.
Kota yang tampak luarnya megah, apalagi melihatnya malam hari, dan sejatinya “kopong” (meminjam istilah Jurnalis Senior Halloindonesia Lampung); adalah bentuk sempurna dari kamuflase sosial. Sudah seharusnya pimpinannya sadar diri bahwa masih banyak kerja-kerja yang belum dikerjakan.
Kita tidak harus menunggu anak muda kreatif memviralkan kekurangan kita, tetapi merealisir program yang menyentuh akar rumput, itu adalah kuwajiban utama bagi pimpinan tertinggi.
Tidak ada seorangpun manusia yang sejak lahir bercita-cita untuk miskin, tetapi karena peluang untuk bangkit yang tidak mereka peroleh, maka disanalah peran pemimpin melalui program pemberdayaan masyarakat kurang beruntung secara sosial-ekonomi, mewujudkan ide-ide cemerlang agar mereka mampu mandiri bukan untuk dikebiri.
Janganlah kegagalan menjadikan kemarahan saat wartawan mengklarifikasi; karena wartawan adalah soko guru demokrasi yang tugasnya mewartakan. Dan, warta yang diwartakan tidak selamanya kesuksesan. Jika itu kekurangan seharusnya itu dianggap koreksi untuk introspeksi kemudian diperbaiki, dan jika keberhasilan yang diwartakan; itu bukan untuk berbangga diri, tetapi untuk memacu diri.
Gagal dan Berhasil adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk dihindari apalagi ditinggal pergi alasan masih dinas luar kota atau banyak urusan yang dinilainya lebih penting. (SJ)
Warek 1 Universitas Malahayati, Muhammad Buka Kuliah Umum dan Sosialisasi S3 Prodi Ilmu Biomedik FKUI
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Wakil Rektor 1 Universitas Malahayati, Muhammad, S. Kom., M.M., membuka acara Sosialisasi Program Magister dan Program Doktor Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).
Acara ini berlangsung di Malahayati Career Center (MCC), Senin, (25/9/2023).
Dalam sambutannya, Wakil Rektor 1 Universitas Malahayati, Muhammad, mendorong peserta untuk fokus dan mencatat informasi yang disampaikan pemateri dari FKUI.
Ia menjelaskan pentingnya mencatat ilmu yang diberikan, karena ilmu yang bermanfaat tidak selalu dapat diulang pada pertemuan berikutnya.
Warek 1, Muhammad juga menyatakan harapannya agar para mahasiswa dapat menemukan jalan dan kemudahan melanjutkan studi hingga ke jenjang magister dan doktoral.
“Saat ini kalian sedang berjuang mengejar sarjana dokter, mungkin nanti masih ada yang ingin melanjutkan lagi ke S2 Prodi Ilmu Biomedik hingga ke jenjang S3 doktoral,” ucapnya.
Kuliah umum pada acara ini disampaikan Ketua Program Magister Ilmu Biomedik FKUI, Prof. dr. Wawaimuli Arozal, MBiomed., Pharm.D.
Prof. dr. Wawaimuli menjelaskan bahwa tujuan kehadirannya bersama tim adalah untuk mensosialisasikan program Magister dan doktoral ilmu biomedik kepada mahasiswa fakultas kedokteran Universitas Malahayati.
“Mahasiswa yang telah lulus sarjana diharapkan dapat melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang magister dan doktor di FKUI,” ujarnya.
Acara juga dihadiri sejumlah pejabat dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, termasuk Ketua Program Magister Ilmu Biomedik FKUI, Dr. Fadilah, SSi, MSi., Ketua Program Studi Doktor Ilmu Biomedik FKUI, Prof. Dr. rer. nat. Dra. Asmarinah, MS., serta Sekertaris Program Studi Doktor Ilmu Biomedik FKUI, dr. Rahimi Syaidah, PhD. (451/**)
Pesan Pendahulu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu seorang mahasiswa program doktor yang pernah menjadi bimbingan penulis mengirim komentar setelah membaca artikel, isi lengkapnya pesan itu demikian…”perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”… kalimat ini adalah sepenggal dari Pidato Ir. Soekarno, saat memperingati Hari Pahlawan 10 November 1961. Dan, saat dikonfirmasi ke beberapa rekan ternyata diberi komentar “sahih”.
Lebih lanjut mahasiswa program doktor yang cerdas tadi menambahi komentar yang dialih tuliskan sebagai beriku: skema penjajahan tempoe duloe adalah datang, rebut hasil buni, kuasai wilayah, dan rakyat melawan. Kemudian, penjajah pergi rakyat Merdeka. Skema pejajahan jaman now; penjajah datang, temui pejabat, pejabat lewat kekuasaan merebut paksa wilayah. Rakyat melawan, rakyat ditangkap dengan dalih tidak mendukung program. Apakah kita tidak selamanya terjajah. Walau komentar ini tampaknya sedikit emosional, namun untuk beberapa hal ada benarnya; tinggal dari sudut mana kita mau memandangnya. Hanya dipesankan jangan pembaca ikut-ikutan emosional.
Peristiwa lain juga terjadi sebagai pembenaran thesa mahasiswa tadi, bisa dibayangkan kalau saat ramai-ramai pencalonan anggota legislatif, ternyata mantan koruptor-pun bisa melenggang untuk ikut kontestasi politik dengan mencalonkan diri. Saat dilakukan crosscek ternyata yang bersangkutan menjawab dengan ringan “penyuap saja bisa jadi pejabat, masa kami tidak”.
Nun jauh di sana di perbatasan negeri, sekarang sedang terjadi apa yang diucapkan pendiri negara ini. Cara pandang yang berbeda antara penguasa dan rakyat jelata sedang terjadi. Atas nama kemakmuran sebagai pembungkus kegiatan pengalihfungsian lahan sedang berlangsung. Semua mencari benarnya sendiri; rakyat menuduh pemerintah dholim, pemerintah memberi stempel rakyat membangkang. Hanya karena membela Cuan dan Tuan yang semula damai berubah menjadi prahara. Sampai-sampai seorang panglima yang seharusnya dalam berbahasa tertata baik, ikut terjebak dalam “lumpur salah diksi” sehingga harus minta maaf walau sudah terburu melukai hati rakyat.
Dari semula negeri ini dirancang oleh para pendiri menjadi rumah besar bagi anak negeri, tidak peduli dengan latarbelakang yang berbeda; namun semenjak kerakusan melanda, entah dari mana musababnya sehingga semakin hari rakyat menjadi semakin terhimpit. Kemarau berkepanjangan, harga pangan merangkak naik, hasil panen gagal; walau semua ditutupi dengan operasi pasar, namun sejatinya bukan di sana masalahnya. Daya beli yang semakin terjun bebas, sekalipun ada barangnya; namun kemampuan untuk membeli yang makin hari makin merosot. Namun dalam pidato para punggawa negeri ini tetap mengatakan kita dalam keadaan baik-baik saja.
Tidak jauh dari ibu kota negeri ada ibu yang berputra tiga harus melakoni sebagai pencuri telur di Swalayan, dan apesnya beliau tertangkap. Untung petugas kepolisian baik hati dan suka menolong; sang ibu diberi bantuan natura dan dibebaskan dari tuntutan. Pertanyaan lanjut berapa banyak keluarga yang serupa tapi tak sama dengan keluarga ini. Mestinya negara hadir ditengah mereka, bukan aparat sebagai pribadi tetapi seharusnya institusi yang memiliki urusan tentang ini. Betapa banyaknya negara ini sudah abai dengan anak negerinya sendiri.
Rasanya tidak salah jika kita mau kembali sejenak meluangkan waktu membuka kembali lembaran lama untuk membaca pesan leluhur, jangan sampai menyesal kemudian tidak berguna. Salah satu pesan leluhur adalah bermusyawarah lah hingga mencapai mufakat, andai kata mufakat juga tidak tercapai maka carilah jalan keluar yang sama-sama menyenangkan. Tidak ada persoalan yang tidak bisa di urai asalkan masing-masing pihak tidak memaksakan kehendak. Semoga kasus Rempang menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua. Janganlah mendekati rakyat saat pemilihan saja, manakala rakyat dalam kesulitan semua menghilang bak ditelan bumi. Pemerintah tidak perlu juga memaksakan kehendak melalui kekuasaan, sebab pada waktunya nanti kekuasaan itu ada akhirnya. SSJ)
Selamat ngopi pagi.
Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich : Selamat Wisuda Institut Kesehatan Indonesia Jakarta
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, dr., M.M., mengucapkan selamat kepada para wisudawan dan wisudawati Institut Kesehatan Indonesia Jakarta dalam acara wisuda, Minggu (24/9/2023).
Rektor Dr. Achmad Farich mengungkapkan kebanggaan dan penghargaan atas capaian para lulusan Institut Kesehatan Indonesia (IKI) Jakarta.
“Selamat kepada para wisudawan dan wisudawati Institut Kesehatan Indonesia yang telah menyelesaikan perjalanan pendidikan. Ini awal dari perjalanan karier dalam dunia kesehatan,” ucap rektor.
Dengan visi dan misi yang kuat, Universitas Malahayati dan Institut Kesehatan Indonesia telah bekerja sama untuk mempersiapkan generasi muda yang siap menghadapi tantangan dunia kesehatan yang semakin kompleks.
Rektor Dr. Achmad Farich juga menekankan pentingnya integritas, etika, dan dedikasi dalam profesi kesehatan. Ia berpesan kepada para wisudawan dan wisudawati untuk selalu menjunjung tinggi nilai-nilai ini dalam setiap langkah mereka di dunia kesehatan. (451/**)
Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich: Selamat Dies Natalis Unila ke-58
Bandar Lampung, (Malahayati.ac.id): Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, DR., M.M., menghadiri kegiatan Dies Natalis Universitas Lampung ke-58 di GSG Unila, Sabtu (23/9/2023).
Dalam momen tersebut, Rektor Dr. Achmad Farich turut menyampaikan ucapan selamat kepada Unila.
“Selamat hari jadi yang ke-58, Universitas Lampung,” ucap rektor.
Rektor Dr. Achmad Farich mendoakan, semoga Unila terus tumbuh dan berkembang, memberikan pendidikan berkualitas, berkontribusi positif dalam dunia pendidikan.
Acara Dies Natalis Universitas Lampung kali ini dihadiri oleh sejumlah Rektor dari berbagai perguruan tinggi, Para dosen, yang merupakan tulang punggung Unila, juga turut meramaikan acara ini, tamu undangan dari berbagai sektor, serta mahasiswa Unila, yang menjadi fokus utama lembaga ini. (451/**)
Piting
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kata ini sebenarnya “biasa-biasa saja” tidak bermakna apapun kalau hanya diposisikan sebagai makna kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Juga bagi anak-anak kecil di Jawa, khususnya Jawa Tengah, kata inipun menjadi istilah dalam permainan sehari-hari. Namun menjadi berubah makna manakala dimasukkan dalam wilayah epistemology dan axiology; karena berubah wilayah yang menjadi tujuan dan kegunaan sebagai esensi atas dipilihnya kata itu.
Sementara pengguna diksi juga akan memberikan bobot makna dari kata “piting” yang dipakai. Jika itu anak-anak yang sedang bermain, maka tentu penggunaan berwilayah pada permainan yang penuh senda gurau. Namun jika itu diucapkan oleh petinggi negeri yang memiliki pasukan, maka makna berubah menjadi perintah. Dan seterusnya sesuai dengan tokoh sentral pengungkap kata tadi.
Tentu saja kata bermakna menjadi tidak masuk akal jika diucapkan oleh mereka yang ada pada posisi tidak untuk mengucapkan itu. Sebagai contoh kata “binatang” tidak bermakna apa-apa kecuali hanya menunjuk mahluk; sementara menjadi berbeda jika itu diucapkan oleh seorang ayah yang sedang marah dengan nada tinggi kepada anaknya, disertai hardikan yang menggelegar.
Dampak dari ucapan-pun menjadi perhatian serius; sebab jika dampaknya melukai personal, masih mungkin bisa meminta maaf. Menjadi berbeda jika dampaknya melukai hati kolektif, maka bisa jadi akan memiliki dampak lanjut yang tidak jarang berakibat fatal. Apalagi permintaan maaf itu disertai dengan narasi pertahanan diri, pembenaran, dan berujung ancaman. Hal ini menunjukkan ketidaktulusan dalam bersikap apalagi berbuat akan maaf, justru sebaliknya menunjukkan kekerdilan sipengucap.
Kita bisa bayangkan jika tindakan itu dikenakan kepada rakyat jelata yang mempertahankan haknya, apapun alasannya, tindakan kekerasan adalah bukan satu-satunya cara untuk menghadapi. Sebab banyak contoh negosiasi-negosiasi konstruktif dapat dibangun untuk dapat digunakan sebagai sarana keputusan bersama. Justru narasa-narasi primordial hanya menyesatkan lambang-lambang komunikasi, yang pada ujungnya menjadi berhadap-hadapan itu-pun hanya membela pemilik modal.
Tampaknya kita harus mereferensi kembali ajaran-ajaran lampau untuk menjadi pemimpin pada level manapun, sebab akhir-akhir ini sering kita jumpai kesesatan berfikir akibat ketidakmampuan logika dalam menemukenali persoalan-persoalan kemasyarakatan yang semakin kompleks. Dan, ditambah lagi dengan tuntutan keadaan akan penguasaan teknologi yang semua sudah menggunakan piranti canggih.
Perlu juga dipahami sekarang ada masyarakat baru yang hadir di dunia ini yang dikenal dengan nitizen. Masyarakat ini tidak dalam bentuk nyata, tetapi dalam bentuk maya, yang memiliki tingkat solidaritas sangat tinggi, dan kemampuan menekanpun luar biasa. Oleh sebab kita tidak bisa lagi bersembunyi manakala berurusan dengan masalah orang-perorang, apalagi jika itu kolektif. Demikian halnya dengan ucapan, perbuatan siapapun kita, bisa terjadi menjadi viral; dan jika sudah seperti ini, maka sudah tidak ada lagi yang bisa dirahasiakan, dan atau ditutup-tutupi. Justru yang terjadi kita akan dikuliti oleh mereka tanpa mengenal ampun.
Pemerintah bukanlah “penjajah baru” dalam konteks moral, akan tetapi perangkat pelayanan kepada rakyat; sebab pemerintah setiap lima tahun sekali harus memperbaharui mandatnya dihadapan rakyat. Pemerintah bisa silih berganti, tetapi suara rakyat adalah abadi sepanjang masih ada negeri. Oleh sebab itu mari jaga negeri ini dengan salah satu diantara caranya adalah jangan lukai hati rakyat.
Pembangunan yang ide awalnya mensejahterakan, selalu memiliki dampak. Menyakitkan sekali justru manakala dampak itu justru menyengsarakan rakyat, lebih-lebih rakyat diposisikan sebagai korban. Sebagai contoh dampak dari pembangunan kereta cepat, ternyata menyisakan berapa ribu hektar lahan pertanian yang tidak produktif lagi karena lahannya rusak tertimbun material bekas bangunan jalan. Berarti ada kemiskinan baru di sana yang tercipta. Jangan pula akibat “piting” nanti akan ada pengangguran baru, dan jika mereka memilih untuk migrasi, kemudian memilih menjadi warganegara tetangga, jangan salahkan mereka; karena kita telah memporakporandakan marwah mereka. (SJ)
Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung Terima Kunjungan Pemred SKHU Lampungpost
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Rektor Universitas Malahayati, Dr. Achmad Farich, dr., M.M., menerima kunjungan dari Pemimpin Redaksi Surat Kabar Harian Umum (SKHU) Lampungpost, Abdul Ghofur, di Lantai 5 Gedung Rektorat Universitas Malahayati, Jumat (22/9/2023).
Dalam pertemuan tersebut, Rektor Dr. Achmad Farich menyambut hangat kunjungan dari SKHU Lampungpost. Mereka membahas potensi kerja sama antara Universitas Malahayati dan media ini dalam mendukung perkembangan dunia pendidikan dan peningkatan kualitas informasi di Lampung.
Rektor Dr. Achmad Farich berharap pertemuan ini sebagai bagian memperkuat kerja sama yang telah terjalin selama ini , serta dapat bersinergi antara dunia akademik dan media massa.
“Semoga kerja sama ini dapat membawa manfaat yang besar bagi kedua belah pihak dan masyarakat Lampung,” ucap rektor.
Pertemuan ini merupakan komitmen Universitas Malahayati dalam menjalin kemitraan yang berkelanjutan dengan berbagai pihak terutama media massa untuk meningkatkan mutu pendidikan dan informasi di Lampung.
Mendampingi Rektor, hadir, Wakil Rektor 1 Muhammad, S. Kom., MM, Wakil Rektor 3, Dr. Eng Rina Febrina, ST., MT, Kepala Bagian Kerjasama Wahid Tri Wahyudi, dan Kepala Humas Universitas Malahayati Emil Tanhar, SE.
Kunjungan turut dihadiri sejumlah perwakilan dari SKHU Lampungpost, diantaranya Bambang Irianto Kadiv Sales dan Marketing, Dat Suranta Ginting Account Manager, dan Sandy Dc Account Executive. (451/**)
FK dan FIK Universitas Malahayati Teken PKS dengan RS Bhayangkara Bandar Lampung
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Fakultas Kedokteran dan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati bersama Rumah Sakit Bhayangkara Bandar Lampung mengadakan perjanjian kerjasama tentang pelaksanaan tridharma perguruan tinggi di ruang diklat RS Bhayangkara Bandar Lampung, Rabu (20/9/2023).
Ruang lingkup perjanjian kerjasama ini mencakup, Pelaksanaan praktek klinik bagi mahasiswa Keperawatan, Kebidanan, Kesehatan Masyarakat, Farmasi, Anafarma dan Psikologi di RS.Bhayangkara Bandar Lampung; Pelaksanaan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat dari para pihak; Pemanfaatan fasilitas penunjang yang dimiliki para pihak dalam pelaksanaan Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian Masyarakat; dan Pelaksanaan kegiatan lain yang disepakati para pihak.
Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Bandar Lampung AKBP dr. Hidayatullah, Sp. THT.KL menuturkan bahwa di rumah sakit ini setiap bagian sudah memiliki dokter klinis, dimana sudah ada spesialisasinya masing-masing.
“Kerjasama ini kami sangat terbuka, mudah-mudahan kerjasama ini dapat menghasilkan tenaga medis terbaik sesuai yang diharapkan,” ucapnya.
Rektor Universitas Malahayati Dr. Achmad Farich, dr., M.M., dalam sambutannya mengatakan Universitas Malahayati memiliki cukup banyak program studi, salah satunya fakultas kedokteran dengan prodi pendidikan dokter dan akan bertambah prodi kedokteran gigi, serta fakultas ilmu kesehatan yang memiliki 10 program studi.
Rektor menyampaikan terimakasih atas kesediaan RS Bhayangkara menerima kehadiran jajaran Universitas Malahayati dalam rangka penandatanganan kerjasama.
“Kerjasama ini tidak hanya terkait pendidikan namun juga lebih banyak terkait penelitian dan pengabdian masyarakat,” kata rektor.
Hadir mendampingi Rektor, Wakil Rektor 4 bidang kerjasama Unversitas Malahayati Drs. Suharman, M.Pd, Dekan Fakultas Kedokteran, Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Dr. Lolita Sary, SKM.,M.Kes, Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Kepala Biro Administrasi Umum Tarmizi, SE., M. Akt., Kepala Bagian Kerjasama Wahid Tri Wahyudi, Kepala Humas Universitas Malahayati Emil Tanhar, SE.
Hadir dari RS Bhayangkara, dr. Antoni Miftah, Sp.KK, dr. Setyowati Wimbo Rukmi, dr. Ratih Arsanthi, dr. Nia Andra Shita, Dewi Rahayu, S. Kep., N.S., M.H., dr. Arini Ifada, M.M, Retika Khasmilia, S. KM., dr. Siswanty Yunitri Manurung., Ns. Suprihatin, S. Kep. (451/**)
Tulis Menulis
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menulis adalah pekerjaan kuno yang pernah dilakukan manusia. Menurut catatan tulis-menulis memiliki sejarah begitu panjang. Bangsa Sumeria (3.500-3.000 Sebelum Masehi) pertama kali menciptakan tulisan sebagai alat komunikasi jarak jauh yang diperlukan dalam perdagangan. Dengan meningkatnya kota di Mesopotamia dan kebutuhan sumber daya berkurang, perdagangan jarak jauh harus dilakukan. Sehingga, untuk berkomunikasi melintasi antar kota atau wilayah, para pedagang dan konsumen menggunakan tulisan sebagai alat komunikasi.
Bentuk tulisan paling awal adalah pictographs atau piktograf (simbol yang mewakili obyek). Berfungsi untuk membantu mengingat apa saja yang dibeli dan apa yang telah dikirim. Bisa juga sebagai catatan berapa banyak barang yang diperlukan atau jenis barang yang dibeli atau dijual. Bahkan tulisan piktograf untuk mencatat berapa banyak domba yang diperlukan untuk acara pengorbanan di kuil.
Piktograf tersebut ditulis pada tanah liat basah yang kemudian dikeringkan. Hal tersebut menjadi catatan resmi perdagangan. Dari semua catatan yang ada, paling banyak menyimpan catatan penjualan bir. Hal ini karena bir menjadi minuman populer di Mesopotamia kuno. Namun, catatan piktograf hanya berisi barang dan benda. Bukan sistem penulisan seperti saat ini. Sehingga catatan itu tidak memberikan secara rinci, dari mana, dikirim ke atau diterima dari siapa. Untuk lebih mengekspresikan konsep tulisan, bangsa Sumeria mengembangkan fonogram. Fonogram adalah simbol yang mewakili suara. Suara ini adalah bahasa yang diucapkan orang-orang Sumeria. Dengan fonogram, seseorang dapat dengan mudah menyampaikan makna yang tepat. Misalnya dua domba dari toko dalam keadaan hidup. Jenis tulisan fonetis ini menjadi awal dari sistem penulisan sejati yang ditandai dengan kombinasi piktogram dan fonogram. Tulisan fonetis adalah tulisan yang digunakan untuk mencatat bunyi-bunyi bahasa secara detail.
Itu sejarah tulis-menulis yang diperoleh dari berbagai sumber. Kebiasaan tulis-menulis itu hampir ditemui pada banyak kelompok manusia pada waktu itu. Untuk Nusantara ternyata Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan catatan sebagai berikut: Indonesianis dari Universitas Hamburg, Jan van der Putten memaparkan tentang tradisi menulis. Dia mengatakan, Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya, namun tradisi menulis juga sudah muncul sejak berabad-abad silam. Beliau meneguhkan penjelasannya sbb: ….”Karena sudah memiliki kekayaan tradisi lisan, tradisi menulis dipelihara dan digunakan oleh kalangan tertentu atau untuk tujuan khusus. Penulisan untuk penyebaran agama merupakan salah satunya,”….
Putten menjelaskan kekhasan tradisi menulis yang berbeda-beda antara tempat satu dengan tempat yang lain di Indonesia. Manuskrip kuno di Jawa, misalnya, merupakan perpaduan tulisan dan gambar di daun lontar dan daun palem, yang terbatas dilakukan oleh anggota kerajaan di Jawa. Berbeda dengan tradisi menulis di Sumatera Selatan yang banyak berupa puisi dan surat cinta. Sebab hubungan pria dan wanita di sana dahulu sangat diatur ketat, ujar Putten. Sedangkan naskah kuno di Sulawesi Selatan seperti I La Galigo mengisahkan epos penciptaan yang menjadi kepercayaan masyarakat Bugis kuno. Dari berbagai sumber ditemukan kesimpulan bahwa tradisi tulis dengan pola huruf di Nusantara ini dikenal hanya huruf Batak, huruf Lampung, huruf Jawa, dan huruf Bugis. Sementara itu huruf Arab berkembang belakangan seiring dengan masuknya agama Islam di wilayah ini.
Ternyata kebiasaan menulis dilakukan oleh banyak para pemuka agama yang hidup pada masanya. Mereka memiliki karya tulis hasil kajian yang kemudian dibukukan, dan menjadi karya besar, bahkan sampai saat ini karya itu menjadi mail-stone. Tulisan yang dibukukan dijadikan acuan atau rujukan kajian sesuai bidangnya.
Sementara saat dengan kemajuan teknologi digital, kemudahan akan menulis betul-betul disuguhkan di hadapan siapa saja. Namun sayang, banyak diantara kita yang tidak memahami etika menulis, sehingga membuat persoalan di kemudian hari. Sementara yang memiliki kemampuan menulis, banyak yang tidak tertarik lagi untuk menulis, karena yang semula ada hubungan antara produksi tulisan dengan pendapatan, apa lagi pada era surat kabar konvensional; sekarang hubungan itu sudah berakhir. Dan, yang tinggal adalah mereka-mereka yang hanya menikmati “kemerdekaan berfikir” nya untuk dapat disumbangkan kepada khalayak tanpa pamrih apapun. Menyedihkan lagi dunia perguruan tinggi yang katanya tempat bersemayamnya ilmu, hanya tertarik dengan jurnal, laporan, dan model-model yang hanya teman selingkungannya yang paham.
Untuk memposisikan tulis-menulis sebagai kerja intelektual tidak pernah diberi ruang, justru sering dicurigai sebagai oposan dari kelompok yang berseberangan, sehingga ada guru besar yang sering menuangkan ide gagasan dan atau pemikiran orsinal, justru dicurigai dan diusir karena tulisannya dianggap kasar,. Sementara ukuran kasar atau halus itu sangat subyektif sekali, karena sangat tergantung dari sudut pandang dan kepentingan pribadi. Dengan kata lain mereka beranggapan bahwa tulisan yang baik ukurannya jika bisa memuji dan memuja para “bendoro” yang sedang berkuasa.
Kita harus memerdekakan pemikiran kita dan harus mencari kebenaran lewat fakta, demikian seorang tokoh filusuf dunia pada jamannya berpendapat tentang modal dasar untuk menulis. Tampaknya mencari kebenaran lewat fakta, salah satu diantaranya diperoleh dari membaca, dan membaca ini sekarang berada pada tingkat menghawatirkan di negeri ini. Melek literasi adalah semacam tantangan tersendiri bagi generasi saat ini, mereka lebih sibuk menjadi penikmat produk gaget; bukan pemanfaat yang handal dari media gadget.
Jika indikator media online kita jadikan tolok ukur, ternyata tidak banyak lagi penulis yang mau menggelontorkan gagasan, konsep atau ide orisinil; banyak diantara mereka sekarang hanya menjadi komentator dari fenomena yang ditulis sebagai berita; atau mengomentari tulisan orang lain. Tampaknya ada kebuntuan di sana yang tidak jelas apa yang menjadi penyebabnya. Lebih miris lagi usia penulis yang ada saat ini sudah terbilang tidak muda lagi, oleh karena itu dikhawatirkan penerus generasi akan mengalami masalah di kemudian hari. (SJ)
Wajib Belajar dan Kereta Terakhir Pulau Hokkaido
Oleh Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
MEMBACA berita beberapa situs media online, sebagai pendidik, hati saya teriris adanya anak-anak kita tak sekolah gara-gara orangtuanya tak mampu secara ekonomi. Setelah viral, para pemangku ramai-ramai membantu dari Dinas Pendidikan, kecamatan, lurah sampai RT sambil “cuci tangan”: tak tahu, tak lapor, hingga media dinilai plantar-plintir.
Kehadiran para pemangku dengan narasi “membantu” kedua pelajar rasanya agak aneh. Soal pendidikan, bukan membantu, tapi sudah menjadi kewajiban negara lewat pemerintah daerah dan para pemangku lainnya hingga terbawah tingkat RT agar tak ada anak-anak yang tak sekolah. Negara hadir membekali anak-anak bangsa agar pintar, bukan memposisikan mereka seolah “membantu”.
Di Jepang, ada kisah betapa pentingnya pendidikan, tak cukup hanya bantuan alat sekolah, dan lain-lain, tapi bagaimana keberpihakkan negara terhadap aset masa depannya dalam kisah pelajar terakhir Stasiun Kami-Shirataki di Pulau Hokkaido.
Japan Railways juga bersiap-siap untuk menutupnya sejak tiga tahun sebelumnya membatalkannya karena ada satu-satunya penumpang seorang pelajar SMA, Kana Harada yang selalu naik kereta dalam perjalanan menuju sekolahnya setiap harinya pulang pergi.
Jadwal perjalanan kereta ini juga disesuaikan dengan jadwal gadis itu, kereta datang pada pagi hari dan kembali berhenti stasiun tersebut sorenya. Sesuai dengan jadwal sekolah. Kana rencananya akan lulus Maret 2016 ini. Setelah dia lulus maka stasiun ini akan ditutup selamanya.
Negara kita sudah pula menyiapkan komitmen tersebut. Mudah-mudahan masih ingat, ayat 1-4, Pasal 34 UUD 1945:
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.
UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 berbunyi setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dimana Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008, Pasal 12, Ayat 3, Pemkab/kota wajib mengupayakan agar setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar mengikuti Program Wajib Belajar 9 Tahun.
Soal ketidakmampuan secara ekonomi: Fakir miskin dan orang tidak mampu belum teregister terdiri dari : gelandangan, pengemis, perseorangan dari komunitas adat terpencil, perempuan rawan sosial ekonomi, korban tindak kekerasan, pekerja migran bermasalah sosial.
Jelas dan tidak perlu penjelasan keluarga yang ada dalam berita itu adalah sangat memenuhi kategori tadi, dan anehnya itu sudah berlangsung setahun tak diketahui para pemangku kebijakan dari tingkat provinsi, kota, kecamatan, lurah, hingga RT.
Pertanyaannya, kemana saja pejabat yang berwenang selama ini? Adanya struktur pemerintahan hingga tingkat RT agar pengawasan terhadap rakyat betul-betul dikuasai. Apakah rakyatnya cukup makan hari ini, apakah anak-anak sudah sekolah, bla bla bla.
Adanya dua pelajar SD yang sudah setahun tak sekolah gara-gara orangtuanya tak mampu merupakan tamparan bagi kita semua yang secara politik kerap jadi dagangan: bebas SPP, wajib belajar, APBN dan APBD yang digelontorkan buat pendidikan hampir setara pembangunan infrastruktur, tiba-tiba ada dua anak tak sekolah.
Janji-janji itu, janganlah jadi komoditas politik murahan hanya untuk kepentingan sesaat, apalagi hanya karena sebuah kursi jabatan. Semua itu harus dilaksanakan karena memang perintah undang-undangnya begitu, dan negara harus hadir di sana, bentuk manisfestasinya adalah program yang dibuat oleh pejabat, siapapun pejabat itu.
Kebiasaan pejabat hanya memindah-mindahkan anak buah yang tidak bisa ikut kemauan dirinya, seharusnya diakhiri. Ganti dengan memindah-mindahkan program untuk membantu kaum miskin yang makin hari makin terhimpit karena kekurangannya.
Bila pendidikan dasar itu gratis dan itu adalah perintah undang-undang, maka tidak perlu embel-embel itu program pribadi. Apalagi jika keperuntukkan selama ini untuk program yang memperbesar hutang, sedangkan membayarnya dengan menjual asset; ini menunjukkan keterbelakangan berfikir yang perlu dikoreksi.
Kota yang tampak luarnya megah, apalagi melihatnya malam hari, dan sejatinya “kopong” (meminjam istilah Jurnalis Senior Halloindonesia Lampung); adalah bentuk sempurna dari kamuflase sosial. Sudah seharusnya pimpinannya sadar diri bahwa masih banyak kerja-kerja yang belum dikerjakan.
Kita tidak harus menunggu anak muda kreatif memviralkan kekurangan kita, tetapi merealisir program yang menyentuh akar rumput, itu adalah kuwajiban utama bagi pimpinan tertinggi.
Tidak ada seorangpun manusia yang sejak lahir bercita-cita untuk miskin, tetapi karena peluang untuk bangkit yang tidak mereka peroleh, maka disanalah peran pemimpin melalui program pemberdayaan masyarakat kurang beruntung secara sosial-ekonomi, mewujudkan ide-ide cemerlang agar mereka mampu mandiri bukan untuk dikebiri.
Janganlah kegagalan menjadikan kemarahan saat wartawan mengklarifikasi; karena wartawan adalah soko guru demokrasi yang tugasnya mewartakan. Dan, warta yang diwartakan tidak selamanya kesuksesan. Jika itu kekurangan seharusnya itu dianggap koreksi untuk introspeksi kemudian diperbaiki, dan jika keberhasilan yang diwartakan; itu bukan untuk berbangga diri, tetapi untuk memacu diri.
Gagal dan Berhasil adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk dihindari apalagi ditinggal pergi alasan masih dinas luar kota atau banyak urusan yang dinilainya lebih penting. (SJ)
FIK Universitas Malahayati Bersama 275 WBP Gelar Senam Pagi dan Pemeriksaan Kesehatan di Lapas Perempuan Bandar Lampung
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Sebanyak 275 narapidana wanita (WBP) yang mendekam di Lapas Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung mengikuti senam pagi bersama dan pemeriksaan kesehatan yang komprehensif yang digelar Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) Universitas Malahayati, Jumat (15/9/2023).
Kegiatan ini melibatkan berbagai aspek kesehatan, termasuk screening kesehatan, pemeriksaan gigi dan mata, pemeriksaan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), pemeriksaan gula darah, pemeriksaan kejiwaan, dan penyuluhan kesehatan. Selain itu, FIK Universitas Malahayati juga turut menggandeng berbagai sponsor yang menyumbangkan bingkisan, makanan, dan minuman untuk narapidana, serta doorprize berupa 100 hand sanitizer dan 50 sabun.
Dalam sambutannya, Dekan FIK Universitas Malahayati, Lolita Sary, menyatakan harapannya bahwa kegiatan bakti sosial ini dapat membantu Lapas Perempuan Kelas IIA memberikan pelayanan kesehatan yang lebih baik kepada WBP. “Harapannya teman-teman WBP bisa hidup sehat dan menjalankan pola hidup sehat,” ujar Lolita Sary.
Selain pemeriksaan kesehatan, kegiatan berbagi kasih juga menjadi fokus acara ini. Narapidana mendapatkan bingkisan, makanan, dan minuman dari berbagai sponsor yang turut berpartisipasi. Selain itu, sebagai upaya untuk mendukung lingkungan, kegiatan menanam pohon juga dilaksanakan di sekitar Lapas Perempuan Bandar Lampung. Dekan FIK bersama Kepala Lapas Perempuan Bandar Lampung turut memimpin kegiatan penanaman pohon ini.
Kepala Lapas Perempuan Kelas IIA Bandar Lampung, Putranti, mengapresiasi kegiatan bakti sosial ini sebagai bentuk kepedulian terhadap sesama. “Semoga dengan kegiatan ini dapat meningkatkan paradigma hidup sehat WBP, sehingga membawa dampak pada kualitas hidup WBP menjadi lebih baik,” kata Putranti.
Seluruh kegiatan layanan kesehatan dan kegiatan sosial ini disambut penuh antusias oleh seluruh warga binaan Lapas Perempuan Bandar Lampung. Salah satu narapidana, RH, mengungkapkan rasa terima kasihnya. “Saya mengucapkan terima kasih dengan adanya bakti sosial ini, saya mendapatkan layanan kesehatan gigi. Terima kasih Universitas Malahayati dan yang lainnya,” ucapnya. (451/**)