Program Studi Manajemen Gencarkan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Komitmen menciptakan kampus yang aman, nyaman, dan bebas dari kekerasan seksual terus digaungkan oleh Program Studi Manajemen Universitas Malahayati. Bersama Himpunan Mahasiswa Manajemen (HMM) dan perwakilan BEM Fakultas Ekonomi, Prodi Manajemen menggelar kegiatan sosialisasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap isu kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.

Kegiatan ini menjadi bukti nyata kolaborasi lintas unsur kampus dalam menciptakan ruang aman bagi seluruh sivitas akademika. Hadir membuka acara, Kepala Program Studi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si, menekankan pentingnya kepedulian bersama terhadap isu yang masih menjadi tantangan serius di banyak institusi pendidikan.

“Melalui kegiatan ini, seluruh peserta diajak untuk lebih peduli dan peka terhadap isu kekerasan seksual. Kita ingin menciptakan ruang dialog terbuka, agar mahasiswa dapat saling menguatkan dan membangun kesadaran kolektif untuk mencegah serta menangani kasus-kasus kekerasan seksual secara tepat,” ujar Dr. Febrianty.

Acara ini menghadirkan narasumber Ayu Nursari, S.E., M.E., yang memberikan paparan mendalam mengenai pentingnya pemahaman akan sistem pelaporan yang berjenjang, serta mekanisme penindakan terhadap pelaku kekerasan seksual di lingkungan kampus. Literasi pelaporan dinilai menjadi salah satu kunci utama dalam menciptakan lingkungan yang tegas dan tidak mentoleransi kekerasan dalam bentuk apa pun.

Sosialisasi ini diikuti oleh 40 mahasiswa Program Studi Manajemen serta dihadiri oleh para dosen pendamping, yakni Euis Mufahamah, S.E., M.Akt dan Reza Rahadian Pratama, S.E., M.M. Kegiatan berlangsung dalam suasana yang terbuka dan interaktif, memberi ruang bagi peserta untuk berdiskusi dan berbagi pandangan.

Kolaborasi antara Prodi, HMM, dan BEM FE ini menjadi cerminan semangat solidaritas dan kepedulian yang tinggi antar mahasiswa dan civitas kampus. Mahasiswa didorong untuk tidak hanya menjadi bagian dari perubahan, tetapi juga menjadi pelopor terciptanya budaya saling menghargai dan menjaga satu sama lain di setiap lini kehidupan kampus.

“Mari bersatu, lawan kekerasan, dan jadikan kampus sebagai tempat tumbuh yang sehat bagi semua,” menjadi seruan penutup dalam kegiatan yang sarat nilai kemanusiaan ini.

Dengan langkah kecil ini, harapannya akan tumbuh kesadaran besar dari seluruh elemen kampus untuk bersama-sama menolak segala bentuk kekerasan seksual. Kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah kedua yang harus menjadi ruang aman bagi semua. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Tingkatkan Kompetensi Mahasiswa, Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Gelar Workshop Metodologi Penelitian dan Manajemen Data

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Sebanyak 26 mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati, mengikuti Workshop Metodologi Penelitian dan Manajemen Data yang diselenggarakan pada 10–19 Juni 2025 di ruang kelas Program Studi. Kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen prodi untuk meningkatkan kapasitas akademik dan keterampilan riset para mahasiswa menjelang penyelesaian tugas akhir/tesis.

Workshop ini dirancang sebagai wadah pembekalan yang intensif dan aplikatif, membahas beragam materi penting dalam metodologi penelitian dan manajemen data. Pada aspek metodologi, materi yang dipelajari meliputi: rumusan masalah penelitian, kerangka teori dan konsep, hipotesis, definisi operasional, serta penyusunan alat ukur atau kuesioner.

Sementara itu, untuk aspek manajemen data, mahasiswa mendapatkan pelatihan mengenai uji validitas dan reliabilitas alat ukur, uji normalitas data, serta analisis statistik bivariat dan multivariat. Beberapa teknik statistik yang dibahas mencakup:
• Data numerik: uji t-independen dan t-dependen, serta korelasi
• Data kategori: uji chi-square dan Somers’ D
• Analisis multivariat (data numerik): ANOVA, regresi linier sederhana, regresi linier ganda, hingga analisis jalur (path analysis)
• Data kategori (multivariat): regresi logistik

Kegiatan ini secara resmi dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes, yang dalam sambutannya menekankan pentingnya penguasaan analisis data dalam dunia akademik dan profesional.

“Kegiatan ini sangat penting untuk membekali keterampilan Saudara-saudara dalam menganalisis data. Saat ini, banyak dari Anda yang tengah memasuki tahap akhir penelitian. Jangan sampai, setelah lulus, masih ada yang belum memahami cara menganalisis data di lingkungan kerja masing-masing,” tegas Dr. Lolita.

Dekan didampingi oleh Wakil Dekan, Khoidar Amirus, SKM., M.Kes, Ketua Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dr. Samino, SH., M.Kes, serta para staf pengajar yang turut hadir dan memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan ini.

Dalam laporan pelaksanaannya, Ketua Program Studi , Dr. Samino, mengungkapkan bahwa workshop ini diinisiasi berdasarkan evaluasi terhadap kemampuan presentasi mahasiswa saat mempertahankan hasil penelitian di hadapan penguji tesis.

“Masih ada mahasiswa yang kurang mampu menjelaskan hasil penelitiannya secara logis dan sistematis. Oleh karena itu, kegiatan ini kami rancang agar mereka tidak hanya paham teori, tetapi juga mampu menyampaikan dan mempertanggungjawabkan data penelitiannya secara ilmiah,” jelasnya.

Workshop ini menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten dari lingkungan akademik Universitas Malahayati, antara lain:
• Prof. Dr. Diah Wulan Sumekar, SKM., M.Kes
• Dr. Angga, MM
• Dr. Samino, SH., M.Kes
• Khoidar Amirus, SKM., M.Kes
• Nova Muhani, S.ST., MKM

Kelima pemateri tersebut membawakan materi dengan pendekatan yang interaktif dan berbasis kasus nyata, sehingga mahasiswa dapat langsung menerapkannya pada data dan penelitian mereka masing-masing.

Dengan kegiatan ini, Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati berharap dapat mencetak lulusan yang tidak hanya mahir dalam menyusun penelitian, tetapi juga unggul dalam analisis data dan pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based decision making).

Saat berita ini diturunkan, kegiatan masih berlangsung dan dijadwalkan selesai sesuai rencana pada 19 Juni 2025. Para peserta tampak antusias mengikuti setiap sesi, dan diharapkan hasil workshop ini mampu memberikan dampak nyata terhadap kualitas penyusunan tesis dan kesiapan lulusan menghadapi dunia kerja. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Membeli Mimpi, Menukar Janji

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seperti halnya wabah yang menular cepat dan “beringas” ; hampir semua kepala daerah terpilih membentuk pola untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya, dikenal dengan program seratus hari. Dari yang membongkar bantaran sungai, masukkan anak-anak bermasalah ke barak militer, membebaskan uang komite sekolah, melakukan bedah rumah, pelayanan kesehatan gratis, dan masih banyak lagi.

Semua dilakukan bagai air bah dimana-mana; para pemimpin ingin menunjukkan komitmennya kepada rakyatnya. Namun ada juga yang duduk manis menikmati mimpi di singgasana yang diperoleh dengan mengeluarkan dana luar biasa banyaknya. Sesekali biar kelihatan bekerja menandatangani sambil tiduran penggantian kepala sekolah, dari pelaksana tugas ke pelaksana tugas lainnya; atau mendatangi rakyat yang sedang berduka dengan menyelipkan sedikit amplop; setelah itu kembali tidur lagi mengikuti irama lagu almarhum Mbah Surip.

Sudah semacam ciri realitas politik modern, terutama di era demokrasi elektoral seperti sekarang, mimpi kerap kali menjadi komoditas. Setiap kali pemilu tiba, ruang publik dipenuhi janji-janji politik yang menjanjikan kesejahteraan, keadilan sosial, dan perubahan besar, pendidikan gratis, bantuan sembako murah, bahan bakar murah, listrik gratis dan sebagainya.

Janji-janji itu dikemas dalam bentuk narasi, slogan, dan visi yang menyentuh emosi rakyat. Dalam proses ini, suara rakyat ditukar dengan harapan yang kadang-kadang terlalu idealis bahkan terkadang utopis. Fenomena seperti ini, yang dalam bahasa awam disebut sebagai “menjual janji”, dalam konteks filsafat bisa dilihat sebagai praktik “membeli mimpi”.

Menjadi pertanyaan apakah sah menjual atau membeli mimpi dalam politik? Apakah mimpi tentang keadilan, kemakmuran, dan perubahan sah diperjualbelikan dalam ruang demokrasi? Jawabannya tentu tergantung dari sudut mana kita memandang, dan dalam perspektif apa.

Dalam konteks politik, janji sejatinya bukan hanya sekadar alat kampanye, melainkan kontrak moral antara pemimpin dan rakyat. Maka ketika politisi menjanjikan sesuatu kepada rakyat, ia bukan hanya sedang bernegosiasi secara politis, tetapi juga mengikat dirinya secara moral dan spiritual. Janji politik, jika dimaknai dari perspektif religiusitas, adalah bagian dari pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.

Setiap bangsa besar dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi tentang masyarakat adil dan makmur, bebas dari penjajahan, korupsi, dan kebodohan. Dalam politik, mimpi itu menjadi bagian penting dari visi kepemimpinan. Tanpa mimpi, politik kehilangan arah. Namun, mimpi yang disampaikan tanpa kejujuran, tanpa perencanaan yang matang, dan hanya digunakan untuk meraih kekuasaan, maka dia berubah menjadi manipulasi.

Di tengah derasnya kontestasi politik, terutama di negara demokratis yang sedang berkembang, mimpi sering dijadikan alat manipulasi. Rakyat dijanjikan hal-hal besar seperti pendidikan gratis, lapangan kerja melimpah, dan harga-harga terjangkau, makan siang gratis, dan serba gratis lainnya; namun tanpa perhitungan rasional dan rencana implementasi yang matang dan jelas. Maka tidak jarang begitu ditagih janji ini menjadi kebingungan tersendiri bagi sang pemimpin; walhasil dipenuhi dengan setengah hati.

Para politisi mengetahui bahwa rakyat ingin percaya dan mereka selalu dalam kondisi lapar akan harapan. Pada kondisi seperti itu; mimpi menjadi komoditas yang laku keras di pasar demokrasi. Dalam bahasa satir: “Politisi menjual mimpi, rakyat membelinya dengan suara, lalu banyak yang kecewa karena tidak ada barang yang dikirim ke rumahnya”.

Filsuf Islam kontemporer Muhammad Iqbal mengingatkan agar kita tidak hidup dalam dunia imajinasi kosong. Politik harus menjadi proyeksi kreatif dari nilai-nilai spiritual ke dalam tatanan sosial. Ia bukan tentang kekuasaan demi kekuasaan, melainkan pembentukan masyarakat yang adil, bermartabat, dan berorientasi pada ridha Ilahi.

Oleh sebab itu jika membeli mimpi dipahami sebagai tindakan rakyat memberikan kepercayaan kepada seorang pemimpin karena ia menjanjikan visi dan perubahan, maka tindakan itu adalah sah dan bahkan penting dalam politik. Namun agama memberikan satu syarat penting yaitu: “tanggung jawab”.

Pemimpin politik adalah penjaga amanah publik. Setiap janjinya adalah hutang moral. Maka ketika ia menjual mimpi dan gagal menunaikannya, ia bukan hanya gagal secara politik, tapi juga secara etis dan spiritual. Sebaliknya, rakyat yang membeli mimpi juga tidak boleh pasif. Mereka harus terlibat aktif dalam mengawasi, mengkritisi, dan menagih janji. Oleh karena itu para ahli terdahulu mengingatkan mimpi bisa menjadi industri politik yang kuat namun berbahaya jika tidak disertai dengan kedewasaan politik, pendidikan publik, dan kontrol sosial. Oleh sebab itu kita sebagai bagian dari warga negara harus berperan aktif dalam merawat mimpi kolektif yang realistis dan etis.

Dengan demikian “membeli mimpi” dalam politik bukan hal yang salah selama mimpi itu dilandasi oleh visi, niat baik, dan rencana nyata untuk perubahan. Namun, ketika mimpi hanya dijadikan alat meraih kekuasaan tanpa tanggung jawab, maka praktek seperti ini menjadi pengkhianatan terhadap nilai-nilai universal. Selamat membeli mimpi asal jangan ditukar dengan janji; karena kita sangat sering dikhianati oleh janji manis di awal pahit di kemudian. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Raih Penghargaan Penerima Pendanaan Program Pengabdian kepada Masyarakat 2025 Berdasarkan Nominal Pendanaan

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali diraih Universitas Malahayati. Dalam ajang Silaturahmi Bersama Pimpinan Perguruan Tinggi yang digelar oleh Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah II, kampus Malahayati yang dikenal dengan prestasi dan semangat humanismenya ini berhasil meraih penghargaan sebagai Penerima Pendanaan Program Pengabdian kepada Masyarakat Tahun Anggaran 2025 Berdasarkan Nominal Pendanaan.

Penghargaan tersebut diterima langsung oleh Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., yang hadir mewakili Rektor Universitas Malahayati. Prof. Dessy didampingi oleh Kepala Humas dan Protokol, Emil Tanhar, S.Kom., dalam acara yang berlangsung pada 11–12 Juni 2025 di Gedung Mahligai Agung, Universitas Bandar Lampung, Kampus Pascasarjana.

Capaian ini menegaskan komitmen Universitas Malahayati dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada aspek pengabdian kepada masyarakat. Besarnya nominal pendanaan yang diraih menunjukkan kepercayaan pemerintah terhadap kapasitas dan kredibilitas institusi ini dalam mengelola program-program pemberdayaan masyarakat berbasis riset dan inovasi.

“Ini adalah hasil dari kerja keras sivitas akademika Universitas Malahayati yang konsisten melakukan pengabdian yang berdampak langsung kepada masyarakat. Penghargaan ini menjadi penyemangat bagi kami untuk terus berkarya dan berinovasi demi kemajuan bangsa,” ujar Prof. Dessy Hermawan dalam keterangannya usai menerima penghargaan.

Kegiatan silaturahmi yang diinisiasi LLDIKTI Wilayah II ini mengusung tema “Dari Kampus untuk Negeri: Sinergi Inovasi, Talenta, dan Budaya Ilmiah untuk Indonesia Emas.” Tema ini mencerminkan semangat kolaborasi antara pemerintah dan perguruan tinggi dalam mencetak sumber daya manusia unggul yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga berjiwa nasionalis dan adaptif terhadap tantangan global.

Kepala LLDIKTI Wilayah II, Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc., menyampaikan bahwa forum ini juga menjadi wadah untuk mendorong transformasi pendidikan tinggi yang lebih berkualitas dan kompetitif, termasuk melalui program penggabungan perguruan tinggi kecil ke institusi yang lebih besar.

“Dari 204 perguruan tinggi pada 2022, kini tinggal 156. Ini bukan pengurangan, tapi penguatan. Dengan konsolidasi ini, kita bisa menghadirkan lembaga yang lebih kuat dan prodi-prodi baru yang relevan dengan kebutuhan zaman,” ungkap Prof. Iskhaq.

Meski demikian, ia mengakui masih ada tantangan, seperti keterlambatan anggaran dan penurunan jumlah tenaga pengajar. Namun, optimisme tetap dikedepankan dengan peningkatan signifikan jumlah guru besar aktif—dari 28 pada tiga tahun lalu menjadi 56 hingga Mei 2025.

Acara silaturahmi ini diikuti oleh pimpinan dari 160 perguruan tinggi swasta dan 10 perguruan tinggi negeri dari empat provinsi: Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka Belitung. Forum ini menjadi momentum strategis untuk bertukar gagasan, membangun kerja sama, dan memperkuat jejaring kelembagaan demi kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia.

“Melalui forum seperti ini, kami berharap terjalin sinergi yang lebih kuat antar lembaga pendidikan tinggi untuk terus berinovasi, mengembangkan talenta muda, dan membangun budaya ilmiah yang kuat,” pungkas Prof. Iskhaq dalam penutupan sambutannya.

Dengan penghargaan yang diraih, Universitas Malahayati semakin mantap melangkah sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi terdepan di wilayah LLDIKTI Wilayah II. Tidak hanya fokus pada pengajaran dan riset, universitas ini juga membuktikan keseriusannya dalam menjalankan pengabdian nyata kepada masyarakat sebagai bagian dari kontribusi membangun Indonesia dari akar rumput.

Penghargaan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kualitas pendidikan tinggi tidak hanya diukur dari prestasi akademik, tetapi juga dari sejauh mana perguruan tinggi hadir dan memberi manfaat bagi masyarakat luas. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Ingin Mengenang Bukan Mengambil

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang menjelang senja diruangan kerja itu sunyi karena teman-teman tenaga pengajar lainnya bertebaran masuk keruangan memberi kuliah. Tiba-tiba pintu diketuk dan tampak dari balik kaca teman yang sudah lama tidak jumpa berdiri didepan pintu. Tentu saja ini adalah surpraise sekaligus mengejutkan; dengan senang hati mempersilahkan teman tadi untuk masuk dan duduk. Sejurus kami berbincang dan beliau dulu kami beri nama panggilan Pak Gendut karena memang badannya bongsor. Beliau bercerita bahwa semenjak istrinya meninggal beberapa tahun lalu, kini beliau menikah lagi dengan alasan untuk teman menunggu ajal; dan ini baru saja dari rumah mereka dulu di suatu komplek perumahan tidak jauh dari kantor ini. Pak Gendut sudah pensiun lama lima tahun sebelum penulis.

Pak Gendut membuka kalimat “saya datang ke rumah itu hanya untuk mengenang bukan untuk mengambil”. Tentu kalimat ini menjadi menarik dan menjadi bahan keluh kesahnya saat bercerita. Ringkasannya jika dinarasikan demikian: Di rumah tua yang sudah berumur lebih dari tiga dasawarsa itu Pak Gendut dulu tinggal bersama almarhum istri dan kedua anaknya Alit sisulung laki-laki dan Kapti perempuan manja; dan kini mereka berdua sudah berkeluarga tinggal di rumah yang besar itu.

Saat Pak Gendut duduk di ruang tengah datanglah kedua anaknya dan Alit berkata, “Ayah… boleh bicara sebentar”. Pak Gendut mendongak pelan, mengangguk. “Boleh, Nak. Ada apa?”. “Ayah tahu, kami nggak pernah benar-benar setuju Ayah menikah lagi,” kata Kapti. Suaranya tenang tapi jelas. “Tapi kami diam, karena Ayah bilang istri ayah orang baik baik.” “Tapi akhir-akhir ini,” lanjut Alit, “kami dengar Ayah mulai urus ulang sertifikat rumah. Surat tanah juga diminta ke notaris. Dan… istri ayah selalu ikut ?”. Mata Kapti mulai berkaca-kaca. “Ini rumah ibu kami, Ayah. Semua yang ada di ini; lemari, perabot, bahkan pohon pisang di belakang itu, dibeli dari hasil kerja keras Ibu juga. Kami takut Ayah mau ambil hak kami dan kasih ke orang lain.”

Pak Gendut menarik napas panjang. Ia memandang mereka satu per satu, lalu berdiri, mengambil sebuah map coklat dari lemari yang ada di kamar utama mereka dulu. Ia duduk kembali, membuka map itu perlahan, lalu mengeluarkan beberapa kertas bersegel. “Anak-anakku,” katanya, suaranya berat tapi tenang. “Ayah tidak pernah berniat merebut hak kalian. Sertifikat yang Ayah urus ulang itu… justru untuk memastikan bahwa rumah ini sepenuhnya atas nama kalian berdua. Tanah warisan Ibu kalian tidak akan Ayah ganggu, tidak sedikitpun.”

“Istri Ayah tahu semua ini. Dia tidak pernah minta sepeser pun. Dia tahu tempat dirinya; dia bukan sebagai pengganti ibu kalian, tapi pendamping ayah kalian yang tua dan sepi yang mungkin beberapa saat lagi akan dijemput sang maut. Dia datang tidak untuk menghapus Ibu kalian dari rumah ini. Dia hanya ingin menemani Bapak kalian menjalani sisa hidupnya dengan tenang. Dan dia tahu, rumah ini bukan miliknya.” Pak Gendut melanjutkan, “Harta itu bisa diwariskan, Nak. Tapi kasih sayang, kepercayaan, dan penghormatan; itu yang sulit diwariskan kalau kita saling curiga, apalagi memusuhi ayahmu hanya karena harta ini semua.”

Adegan yang diceritakan Pak Gendut itu menginspirasi untuk menulis dengan judul di atas. Masa lalu adalah tempat bercermin, bukan tempat tinggal. Mengenang adalah bagian dari belajar dan introspeksi, sementara tidak mengambil kembali apa yang telah berlalu adalah bentuk kebijaksanaan, ketidakmelekatan, dan perjalanan spiritual menuju kesempurnaan. Dalam perjalanan hidup manusia, masa lalu memegang peran penting sebagai sumber pelajaran, kenangan, dan refleksi. Namun, sikap terhadap masa lalu sangat menentukan kualitas kehidupan seseorang di masa kini dan masa depan. Dalam ungkapan “hanya mengenang, bukan mengambil”, tersimpan pesan filosofis yang dalam: bahwa mengenang masa lalu dapat menjadi sumber kebijaksanaan, sementara “mengambil” masa lalu secara harfiah; dengan maksud mengulang, mempertahankan, atau melekat padanya; Itu dapat menjadikan beban spiritual dan eksistensial, bahkan bisa jadi sia-sia.

Filusuf besar Islam seperti Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menekankan pentingnya muhasabah (introspeksi diri), sebagai salah satu bentuk memperoleh hikmah dari masa lalu. Muhasabah bukan berarti menghidupkan kembali masa lalu, tetapi merenunginya untuk memperbaiki masa kini. Kita dianjurkan untuk mengenang masa lalu dengan cara yang cerdas, dengan cara mengambil nilai-nilainya, bukan bentuk-bentuk historisnya. Yang kita butuhkan adalah transformasi spiritual, bukan restorasi formalistik.

Diksi “hanya mengenang, bukan mengambil” bukanlah ungkapan pasif atau pesimistis. Dalam kerangka filsafat Islam, ia merupakan ekspresi dari sikap spiritual yang matang. Mengenang adalah bagian dari ibrah, dari hikmah, dari tazkiyah, dan dari kesadaran eksistensial manusia. Sementara “mengambil” secara membabi buta masa lalu dapat menjebak manusia dalam kejumudan spiritual, ketergantungan emosional, atau stagnasi intelektual.

Filsafat Islam mengajarkan bahwa manusia harus hidup dalam kesadaran waktu dengan cara menghargai masa lalu sebagai pelajaran, memaksimalkan masa kini sebagai ladang amal, dan mempersiapkan masa depan sebagai tujuan akhir spiritual. Maka, sikap yang benar adalah mengenang masa lalu sebagai ibrah, namun tidak mengambilnya secara literal, karena kehidupan sejati bukan di belakang, melainkan di hadapan, menuju Allah. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Prodi Manajemen Universitas Malahayati Siap Mengabdi, Siap Berdampak untuk Generasi Muda

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Komitmen Universitas Malahayati dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi terus ditunjukkan secara nyata, salah satunya melalui program unggulan Pengabdian kepada Masyarakat yang digelar oleh Program Studi (Prodi) Manajemen. Dengan mengusung semangat “Siap Mengabdi, Siap Berdampak”, kegiatan ini menyasar siswa-siswi sekolah menengah atas di Bandar Lampung, demi membekali mereka dengan pengetahuan literasi keuangan digital dan bahaya judi online.

Kegiatan pengabdian ini dilaksanakan pada 4–5 Juni 2025 di lima sekolah mitra, yaitu SMAN 16, SMAN 7, SMKN 1, SMKN 7, dan SMK Palapa Bandar Lampung. Ratusan siswa kelas X dan XI dari sekolah-sekolah tersebut mengikuti kegiatan dengan penuh antusias, mencerminkan kepedulian generasi muda terhadap pentingnya pengelolaan keuangan yang cerdas dan bertanggung jawab di era digital.

Kepala Prodi Manajemen Universitas Malahayati, Dr. Febrianty, S.E., M.Si, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk implementasi nyata dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada aspek pengabdian kepada masyarakat. “Melalui mata kuliah Financial Technology yang berbasis Outcome Based Education, kami mendorong mahasiswa tidak hanya memahami materi secara teoritis, tetapi juga mampu menyalurkan pengetahuannya secara langsung kepada masyarakat, terutama pelajar yang kini sudah akrab dengan teknologi keuangan,” ujarnya.

Sosialisasi ini tidak hanya memberikan edukasi tentang manajemen keuangan pribadi, tetapi juga mengangkat isu krusial: bahaya judi online. Siswa diberikan pemahaman tentang risiko finansial dan konsekuensi hukum yang bisa ditimbulkan oleh praktik tersebut, serta pentingnya menjaga keamanan dalam menggunakan layanan keuangan digital.

Kegiatan ini turut melibatkan dosen-dosen Prodi Manajemen sebagai pembimbing dan narasumber, antara lain:
Euis Mufahamah, S.E., M.Ak, Lestari Wuryanti, S.E., M.M., Ayu Nursari, S.E., M.E., Anita, S.E., M.E., Hamida Nur Rahmawati, S.Pd., M.Pd., Hiro Sejati, S.E., M.M., Amril Samosir, S.Kom., M.T.I., Muhammad Irfan Pratama, S.E., M.M., Reza Hardian Pratama, S.E., M.M., dan Rizki Agung Wibowo, S.Mat., M.Mat. Tak ketinggalan, mahasiswa Prodi Manajemen juga ambil bagian aktif sebagai fasilitator dan pendamping kegiatan.

Dengan adanya pengabdian ini, Universitas Malahayati berharap dapat menanamkan nilai-nilai Smart Money Management sejak dini, sekaligus membentuk generasi muda yang cakap secara finansial dan bijak dalam menggunakan teknologi. Literasi digital dan keuangan menjadi kunci utama agar mereka dapat terhindar dari praktik yang merugikan seperti judi online.

“Ini bukan sekadar pengabdian biasa, tapi langkah strategis membangun bangsa melalui pemberdayaan generasi muda,” pungkas Dr. Febrianty.

Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus memperluas jangkauan pengabdiannya demi menciptakan dampak yang berkelanjutan bagi masyarakat, khususnya dalam meningkatkan literasi digital dan keuangan di kalangan pelajar. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Prestasi di Kejuaraan Provinsi Puisi & Orasi HMPSPP 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Kali ini datang dari M. Reza Fahlevi (2461055), mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hukum, yang berhasil meraih Juara 2 Lomba Orasi dan Juara 3 Lomba Baca Puisi dalam ajang bergengsi Kejuaraan Tingkat Provinsi Puisi & Orasi HMPSPP 2025, yang diselenggarakan di UIN Raden Intan Lampung pada 26 Mei 2025.

Kejuaraan ini menjadi ajang unjuk bakat dan intelektualitas mahasiswa se-Lampung dalam bidang seni dan retorika. M. Reza Fahlevi tampil memukau baik dalam orasi yang berisi gagasan kritis terhadap isu sosial, maupun dalam pembacaan puisi yang menggugah emosi penonton dan dewan juri.

Dalam pernyataannya, Reza mengaku sangat bersyukur atas prestasi yang ia raih.“Lomba ini bukan sekadar kompetisi, tapi ruang untuk menyuarakan nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan semangat perubahan melalui kata-kata”.

“Saya juga berterima kasih kepada Universitas Malahayati, dosen, teman-teman, dan keluarga yang selalu mendukung saya. Semoga ini menjadi motivasi bagi mahasiswa lain untuk terus berkarya dan berani bersuara,” ujar Reza.

Ke depan, Reza bertekad untuk terus mengasah kemampuannya dan mengikuti lebih banyak ajang serupa untuk membawa nama baik universitas di kancah yang lebih luas.

Keberhasilan Reza tidak hanya menunjukkan kapasitas akademik mahasiswa Universitas Malahayati dalam memahami isu hukum dan sosial, tetapi juga menggambarkan kepiawaiannya dalam menyampaikan gagasan secara ekspresif dan puitis. (gil)

Editor: Gilang Agusman

“Tedodok”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sepenggal dialog imajiner gaya “wong Plembang” saya pakai untuk membuka tulisan ini. Tidak ada interes tertentu menggunakan jalur etnik ini, hanya kebetulan saya lahir hingga remaja di tanah Sriwijaya sehingga sangat akrab dengan kultur maupun gaya bahasanya. Di luar itu, karena kisah ini lebih mengarah untuk lucu-lucuan saja, meskipun tetap memiliki makna. Yakni, dialog seseorang yang baru mendapat jabatan dengan tim suksesnya.

Dialognya begini:
Pejabat : “Apo lagilah kiro-kiro program yang pacak segera dilaksanake..dan populer..biar wong senang galo?”. (apa lagi kira kira program yang bisa segera dilaksanakan dan popular biar orang senang semua).
Tim Sukses: “Gratis ke bae wong tu makan apo bae di toko kito, asal jangan bawak balik”. (gratiskan saja semua orang untuk makan di toko (rumah makan) kita, asal jangan di bawa pulang).

Akhirnya toko gratisan itu dibuka. Dia berpikir, seberapa banyak rakyatnya untuk makan gratis, dia masih mampu meladeni. Dia juga berasumsi, seberapa kuat seorang makan pasti tak lebih dari dua piring. Pikir dia, lebih dari itu, pasti muntah. Program makan gratis itu berjalan. Rumah makan itu seketika penuh sesak, bahkan berjubel. Pejabat itu senang dan bangga karena program ini berhasil menyedot perhatian, bahkan diliput wartawan.

Namun, di hari kedua Sang Pejabat bingung. Hari itu tidak seperti hari sebelumnya yang ketika jam menunjuk pukul 13.00 WIB warga sudah selesai. Hari itu, antrean sampai mengular di jalan. Dia baru sadar kalau rakyatnya lebih licik. Mereka membawa sanak saudara dari kampung antri makan apa saja di toko pejabat tadi. Dia “tedodok” karena asal ucap saja dalam memerintah, tanpa perencanaan matang dan kalkulasi menyeluruh. Dalam Bahasa Palembang pejabat seperti ini masuk kategori “biar tekor asak kesohor” terjemahan bebasnya biar rugi asal terkenal.

Soal “tedodok” berdasarkan penelusuran digital ditemukan ringkasan informasi sebagai berikut: Dalam dinamika sosial dan politik masyarakat Sumatera Selatan, terdapat istilah lokal yang sangat kaya makna: “tedodok”. Dalam pengertian harfiah, kata ini merujuk pada seseorang yang duduk bersila atau diam di tempat tanpa banyak bergerak. Namun, dalam konteks kultural dan kiasan, tedodok memiliki makna yang jauh lebih dalam, yaitu keadaan seseorang, terutama pemimpin, yang tidak lagi mampu berbuat banyak karena kegagalannya sendiri. Kata ini sering digunakan untuk menggambarkan sosok yang kehilangan arah, kehilangan daya.

Di tengah hiruk-pikuk demokrasi, pemimpin sering datang membawa sederet janji dan retorika. Mereka memikat hati rakyat dengan visi-misi yang seolah menjanjikan masa depan yang lebih baik dalam sekejab. Namun tidak jarang, begitu duduk di kursi kekuasaan, janji-janji itu justru menjadi beban berat yang menghantui mereka sendiri. Saat ekspektasi publik tidak terpenuhi, krisis kepercayaan pun terjadi. Pemimpin yang semula dielu-elukan bisa berubah menjadi sorotan dan bahan cibiran. Dan di titik paling lemah itulah mereka menjadi “tedodok”; terdiam, tidak berdaya, tidak mampu bertindak.

Masyarakat Sumatera Selatan memiliki tradisi bahasa yang sangat ekspresif. Kata-kata seperti: tedodok, nganggur, atau idak ngapo-ngapo, ado gawe; bukan hanya kosakata harian, tetapi mencerminkan realitas sosial yang sering terjadi. Tedodok, dalam konteks ini, menjadi metafora yang kuat untuk menjelaskan kegagalan kepemimpinan yang berjanji manis di awal, tetapi pahit dipelaksanaan.

Dalam ungkapan sehari-hari, masyarakat bisa berkata, “Sudah tedodok nian pemimpin tu, dak pacak ngapo-ngapo lagi.” Artinya: “Pemimpin itu sekarang benar-benar hanya bisa diam saja, tidak bisa berbuat apa-apa lagi.” Ungkapan ini adalah bentuk kritik sosial, yang dalam konteks budaya Sumatera Selatan seringkali dilontarkan secara lugas, tetapi sarat makna.

Di sinilah terlihat bahwa masyarakat memiliki mekanisme tersendiri untuk menilai dan menyikapi fenomena kepemimpinan; bukan melalui kata-kata kasar atau demonstrasi besar, tetapi melalui sindiran yang halus yang menyakitkan. Dalam bahasa Jawa disebut hal ini disebut “nyelekit”.

Fenomena tedodok sering kali bermula dari janji-janji politik yang tidak realistis. Dalam masa kampanye, banyak pemimpin yang berlomba-lomba menunjukkan kepedulian, menawarkan program-program ambisius, bahkan menjanjikan perubahan besar dalam waktu singkat bahkan sekejab. Namun, ketika realitas birokrasi, keterbatasan anggaran, dan kompleksitas sosial mulai menghantam, janji-janji itu justru berubah menjadi beban yang sulit ditanggung.

Pemimpin yang terkurung dalam kebijakannya sendiri, tidak bisa bergerak, tidakak bisa bicara tanpa menciptakan ide-ide baru. Inilah yang oleh masyarakat Sumatera Selatan juga disebut sebagai kondisi “tedodok”.

Di era keterbukaan media sosial sekarang, kondisi seperti ini dengan mudah menjadi sangat cepat terlihat. Rakyat bisa langsung menyuarakan kekecewaannya, menyebarkan informasi, bahkan membuat pemimpin viral dalam waktu singkat bukan karena prestasi, tapi karena kesalahan dalam mengambil kebijakan strategis. Maka tak heran, banyak pemimpin yang akhirnya lebih memilih diam, tidak muncul ke publik, tidak memberikan pernyataan karena tahu, apapun yang diucapkan hanya akan memperburuk situasi.

Di sinilah keadaan “tedodok” menjadi semakin memprihatinkan karena bukan hanya menunjukkan kegagalan pribadi, tetapi kegagalan sistem kepemimpinan secara keseluruhan. Pemimpin yang tedodok bukan lagi aktor utama dalam narasi perubahan, tapi hanya menjadi pelaku pasif kehilangan kreatifitas dalam bertindak.

Tedodok adalah hasil akhir dari kepemimpinan yang gagal, dan itu tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia adalah proses akumulasi dari kelalaian, pengabaian, dan ketidakmampuan. Ia adalah harga yang harus dibayar ketika kekuasaan lebih digunakan untuk mempertahankan citra daripada memperjuangkan kesejahteraan. Akhirnya; berawal dari pemimpin yang dipuji saat kampanye, bisa berubah menjadi ditertawakan saat menjabat.

Salah satu kekuatan masyarakat Sumatera Selatan berdasarkan sumber literatur yang ada adalah; kemampuan menyampaikan kritik dalam bentuk yang khas tajam namun tidak vulgar, lugas, tetapi tetap beradab, bahkan cenderung berseloroh. Ungkapan seperti “tedodok” adalah contoh bagaimana bahasa lokal menjadi alat kontrol sosial yang efektif. Ia menyindir, tapi tidak menghina. Ia mempermalukan, tapi tidak menjatuhkan secara kasar. Semoga semua ini menjadi pembelajaran bagi kita semua. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Ikut atau Bawa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Salah seorang pemuka agama terkenal berceramah di muka jamaahnya, dan beliau berkata bahwa saat kita meninggal salah satu yang ikut adalah amal kita. Beliau membedakan antara ikut dan membawa: “Saat kita meninggal, amal akan ikut kita, baik yang baik maupun yang buruk. Jika bisa membawa, tentu kita akan pilih yang baik saja.” Kalimat ini terdengar seperti nasihat, tetapi jika direnungkan lebih dalam, ia adalah cermin bagi siapa pun yang hidup dan sadar bahwa setiap hari adalah ladang amal.

Berdasarkan penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa; amal, dalam makna yang luas, adalah segala bentuk perbuatan yang tampak maupun tersembunyi, yang ringan maupun berat, yang disengaja maupun tidak disengaja. Setiap tindakan manusia menyisakan jejak, dan jejak itu tidak lenyap ketika kita meninggal. Ia justru “mengikuti” kita, menjadi semacam identitas abadi yang dibawa menuju akhirat atau jika ingin lebih universal, menjadi warisan moral yang tercatat dalam sejarah keberadaan kita.

Kita sering berpikir bahwa kita adalah makhluk bebas yang bisa memilih apa saja dalam hidup. Namun kematian membatasi kebebasan itu. Saat tubuh kita ditinggalkan jiwa, tidak ada lagi ruang untuk memilih, yang bisa kita lakukan hanyalah menerima bahwa amal perbuatan kitalah yang menyertai perjalanan itu, baik amal baik maupun amal buruk. Itulah mengapa bagian kedua dari ungkapan itu begitu menggelitik nurani: “Jika bisa membawa, tentu kita akan pilih yang baik saja.” Benar sekali. Siapa yang ingin membawa dosa? Siapa yang ingin dikenang karena keburukannya? Tapi kita tidak bisa “membawa”; kita hanya bisa “diikuti”. Dan semua yang mengikuti itu adalah hasil dari pilihan-pilihan kita sendiri selama hidup di dunia ini. Oleh karena itu Tuhan sudah mengingatkan kepada kita semua bahwa satu permintaan orang kubur jika dibolehkan hidup sebentar saja di dunia, yaitu ingin berbuat baik; karena hanya perbuatan baiklah yang memudahkan kita segalanya di sana.

Maka dari itu, esensi dari ungkapan ini adalah kesadaran: sadar bahwa hari ini adalah kesempatan untuk menanam amal baik, sadar bahwa setiap tindakan adalah pilihan antara membawa kebaikan atau menambah beban, dan sadar bahwa kematian bukan akhir, melainkan awal dari pertanggungjawaban. Dalam dunia yang penuh godaan dan hiruk-pikuk, mudah sekali lupa bahwa hidup adalah tentang menyiapkan “bekal” yang tak terlihat. Tidak ada yang salah dengan mencari kebahagiaan duniawi, tetapi jika kita lupa bahwa hidup ini juga soal apa yang kita tinggalkan—baik dalam arti amal maupun pengaruh—maka kita sedang berjalan menuju akhir dengan tangan kosong.

Jadi, selama masih ada waktu, mari isi hidup ini dengan perbuatan yang akan “mengikuti” kita dengan bangga. Sebab kelak, saat kita tidak bisa memilih lagi, semoga yang mengikuti adalah kebaikan yang kita tanam dengan tulus. baik saja yang akan kita bawa. Oleh sebab itu tidak salah penjelasan pemuka agama ini lebih lanjut bahwa jika amal baik atau buruk itu akan ikut karena di sana ada pertanggungjawaban, sementara jika membawa berarti kita akan memilih yang baik-baik saja.

Manusia hidup dalam rentang waktu yang terbatas, tetapi setiap perbuatannya meninggalkan jejak yang tidak akan lenyap begitu saja. Dalam berbagai tradisi spiritual, termasuk ajaran agama-agama besar di dunia, terdapat keyakinan bahwa amal perbuatan seseorang—baik yang baik maupun yang buruk—akan menyertainya setelah kematian.

Ketika seseorang meninggal dunia, segala bentuk amal ini tidak serta merta hilang. Sebaliknya, ia “mengikuti” si pelaku, seolah menjadi bagian dari dirinya. Dalam tradisi Islam, konsep ini dikenal dengan istilah hisab—yakni perhitungan amal yang akan dilakukan di akhirat kelak. Makna penting dari ini adalah: amal tidak bisa dipisahkan dari diri kita. Ia bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, disembunyikan, atau dibuang. Ia melekat dan akan muncul kembali pada saat yang paling menentukan.

Kita tidak bisa memilih bagian mana dari sejarah hidup kita yang ingin kita tampilkan. Seperti rekaman yang jujur, hidup menyimpan semuanya dan tanpa edit, tanpa sensor. Maka pernyataan peringatan yang menyatakan: sekaranglah saatnya memilih, bukan nanti. Karena nanti sudah terlalu terlambat. Inilah yang membuat filosofi ini begitu kuat: ia menegaskan pentingnya kesadaran penuh dalam menjalani hidup, sebab setiap tindakan memiliki konsekuensi.

Ungkapan ini juga mengandung filosofi tentang kesadaran moral, yaitu dorongan untuk terus-menerus menilai dan mengevaluasi tindakan kita agar terus berada pada nilai kebaikan. Bukan karena ingin dipuji, tapi karena sadar bahwa kebaikan adalah satu-satunya “bekal” yang akan setia menemani kita setelah tubuh ini tiada.

Kita hidup di dunia yang penuh distraksi. Nilai dan standar seringkali ditentukan oleh hal-hal eksternal: status sosial, kekayaan, atau popularitas. Namun pada akhirnya, yang akan mengikuti kita bukanlah itu semua, melainkan amal dan perbuatan kita. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Call for Paper and Poster! ICESH 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): We’re thrilled to invite you to ICESH 2025 – the 2nd International Conference on Economy, Social, and Humanities, proudly hosted by the Faculty of Law and Faculty of Economics at Malahayati University, will be held on July 28-29, 2025, in Bandar Lampung, Indonesia.

This year, we’ll be exploring the theme: “Sustainable Development Goals: The Intersection of Economic Policies and Environmental Law.”
The deadline is
📍PAYMENT (PAPER & POSTER): JUNE, 30 2025
📍ABSTRACT DEADLINE: JULY, 01 2025
📍FULL PAPER & POSTER DEADLINE : JULY, 10 2025
📍REGISTRATION DEADLINE: JULY 01, 2025
🔗LINK Guidelines – Paper
https://acesse.one/B9z1v

🔗 LINK Guidelines – Poster
https://l1nk.dev/WXnOd

Don’t miss your chance to share your research!
Visit our website:
https://icesh2nd.malahayati.ac.id/

Contact us at:
+62812-6305-6906
For more informationn (gil)

Editor: Gilang Agusman