LPMI Universitas Malahayati adakan Sosialisasi Instrumen Monev Kinerja Dosen dan Program Studi Periode Tengah Semester T.A. 2024/2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Lembaga Penjaminan Mutu Internal (LPMI) Universitas Malahayati menyelenggarakan kegiatan Sosialisasi Instrumen Monev Kinerja Dosen dan Program Studi Periode Semester Ganjil T.A. 2024/2025. Sosialisasi instrumen dibuka oleh Plt. Kepala LPMI Unmal Dr. M.Arifki Zainaro,S.Kep.,Ns.,M.Kep. Senin (11/11/2024).

Kegiatan ini dilaksanakan via Zoom yang dihadiri oleh Dekan dan Wakil Dekan dari 5 Fakultas di lingkungan Unmal serta 20 Ketua Program Studi beserta Sekretaris Program Studi di tingkat D3,S1,Profesi, dan S2. Instrumen Monev Kinerja Dosen dan Program Studi Periode Semester Ganjil T.A. 2024/2025 mengacu pada Permendikbudristek no 53 tahun 2023 dan instrumen Indikator Kerja Utama (IKU) mengacu pada Permendikbudristek no 210/M/ 2023.

LPMI sebagai pengawal mutu Unmal mengharapkan masukan positif dari peserta sosialisasi. Masukan-masukan tersebut menjadikan instrumen lebih baik dan dapat mulai diimplementasikan dalam tahap evaluasi pada siklus PPEPP semester ganjil 2024-2025. Diharapkan kegiatan sosialisasi ini dapat mempercepat implementasi pelaksanaan Evaluasi terhadap ketercapaian kinerja Perguruan Tinggi Unmal meliputi target Tri Dharma Perguruan Tinggi.

Untuk pengisian data dan instrumen Kinerja Dosen dan Prodi Periode Tengah Semester T.A. 2024/2025 didasarkan pada situasi dan kondisi Program Studi dimulai sejak tanggal 16 September s.d 17 November 2024 melalui tautan https://s.id/Monev_Kinerja_2024 . Untuk periode pelaporan ditunggu paling lambat tanggal 24 November 2024 pukul 23.59 WIB.

Contak Person : Prima Dian Furqoni,S.Kep.,Ns.,M.Kes (082378999207). (gil)

Program Studi Manajemen Universitas Malahayati Gelar Bootcamp “Penggunaan Aplikasi Statistik untuk Penyusunan Skripsi”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id)Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati Bandarlampung menggelar Seminar Karya Ilmiah. Acara ini bertajuk Bootcamp “Penggunaan Aplikasi Statistik untuk Penyusunan Skripsi” dan berlangsung di Gedung MCC Universitas Malahayati. Jumat (8/11/2024).

Acara yang dihadiri oleh para dosen Prodi Manajemen, serta pimpinan program studi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam mengolah data penelitian secara profesional. Acara ini disambut antusias sebanyak 150 mahasiswa Prodi Manajemen.

Dalam sambutannya, Ketua Pelaksana acara menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada para peserta, dosen, dan seluruh pihak yang telah mendukung acara ini. “Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kita dapat berkumpul dalam acara yang sangat penting ini. Saya berharap bootcamp ini memberikan manfaat yang sebesar-besarnya, khususnya bagi mahasiswa yang tengah menyusun skripsi,” ujar ketua pelaksana acara.

Bootcamp ini bertujuan untuk memberikan pelatihan intensif dalam penggunaan aplikasi statistik, yang merupakan salah satu alat utama dalam penelitian ilmiah. Dengan penguasaan yang lebih baik terhadap aplikasi-aplikasi statistik, mahasiswa diharapkan dapat menganalisis data secara lebih akurat, sehingga kualitas skripsi yang dihasilkan pun akan semakin meningkat.

Dalam kesempatan yang sama, Kaprodi Manajemen, Febrianty, S.E., M.Si. menyampaikan dukungannya terhadap penyelenggaraan acara ini. Ia berharap agar mahasiswa dapat memanfaatkan acara ini sebaik-baiknya untuk meningkatkan kualitas penelitian mereka. “Statistik adalah bagian yang tak terpisahkan dari setiap penelitian, dan kemampuan dalam mengolah data statistik akan sangat membantu mahasiswa dalam menyusun skripsi yang berkualitas,” tambah Febrianty.

Tidak lupa, ucapan terima kasih juga disampaikan kepada para dosen yang turut berperan sebagai narasumber dan fasilitator dalam bootcamp ini. Mereka akan memberikan pemahaman lebih mendalam terkait penggunaan berbagai aplikasi statistik yang dapat menunjang penelitian mahasiswa.

Dengan semangat yang tinggi, para peserta berharap acara ini dapat berjalan lancar dan sukses, serta memberikan pengalaman berharga untuk memperkaya pengetahuan dan keterampilan dalam bidang statistik. Bootcamp ini juga menjadi kesempatan emas bagi mahasiswa untuk bertanya langsung kepada para ahli, serta mendalami teknik-teknik statistik yang relevan dengan skripsi mereka.

Acara ini diharapkan menjadi langkah awal yang positif dalam meningkatkan kualitas pendidikan, penelitian, dan hasil skripsi di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Semua peserta menyambut baik inisiatif ini, yang diharapkan dapat memperkaya kemampuan teknis mahasiswa di dunia akademik. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Gelem Dhuwite, Emoh Wonge

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi buta setelah salat subuh dawai sosial berdering. Seorang keluarga mengabarkan bahwa ada Om yang istrinya meninggal dunia. Maka, semua acara hari itu saya dibatalkan. Semua disusun serba mendadak, setelah selesai makan pagi, karena ini wajib sifatnya, maka kendaraan dipacu kearah selatan untuk mengupayakan agar bisa menyalatkan jenazah.

Sementara menunggu pemandian dan pengkafanan jenazah para tamu duduk ditenda yang sudah disediakan, saat itu lamunan melayang begitu singkatnya hidup. Almarhum tiga pekan lalu masih sempat bicara dan canda di suatu perhelatan pernikahan, tenyata hari ini beliau pulang.

Saat lamunan menerawang, tiba tiba orang sebelah menegur dengan bahasa Jawa kromo inggil “Panjenengan saking pundi Pak”.

Tentu saja bahasa ibu yang sangat akrab ditelinga dan jarang terdengar akibatnya menjadikan diri seolah berada dikomunitas yang berbeda. Pembicaraan dimulai dalam adat Jawa yang istilah jawa nya “mbagekke”; yaitu menanyakan kabar kemudian berangkat jam berapa dengan siapa; hal seperti ini semacam standard untuk masyarakat jawa. Bahasa itu menjadikan rindu sosok almarhum orang tua yang sudah berpulang sejak 2006 lalu.

Pembicaraan begitu “gayeng” (mengasyikkan), mgelantur sampai pada moment pemilihan kepala daerah. Beliau “ngudo roso” (mengeluarkan isi hati) bagaimana dari pemilihan ke pemilihan. Selama itu beliau menjadi relawan salah satu pasangan calon. Dan, semua calon yang didukungnya selalu menang selama tiga kali pemilihan; namun betapa kecewanya beliau saat kandidat sudah duduk, untuk dijumpai saja setengah mati, bahkan cenderung menolak ketemu. Dari peristiwa itu maka pada saat ini beliau mengubah prinsip “gelem duwit e, emoh wong nge” seperti judul tulisan ini yang terjemahan bebasnya “Uangnya mau, milih orangnya tidak”. Tentu saja jawaban ini sangat mengejutkan, dan saat didesak untuk menjelaskan dasar filosofinya, setengah berbisik ditelinga beliau menjelaskan hakikat dan filosofinya, dan sayangnya apa yang dibisikkan itu tidak patut untuk ditulis pada media ini.

Setelah upacara pensholatan dan pemakaman jenazah selesai kami berpisah, dan dalam perjalanan pulang itulah renungan akan filosofi tadi menantang untuk disimak melalui jejak digital. Ternyata ditemukan informasi digital bahwa dalam filosofi Jawa, ungkapan “gelem duwit e, emoh wong nge” memiliki makna mendalam yang terkait dengan prinsip dan etika dalam menjalani kehidupan. Secara harfiah, frasa ini dapat diartikan sebagai “mau uangnya, tapi tidak mau orangnya.” Filosofinya berfokus pada hubungan antara kebutuhan materi dan hubungan antarmanusia, serta mengajarkan agar tidak hanya mencari keuntungan semata tanpa menghargai orang lain yang terlibat.

Keluasan dan kedalaman makna diksi ini mencakup: Pertama, Prinsip Keserakahan: Ungkapan ini mengingatkan agar seseorang tidak menjadi tamak atau hanya memikirkan keuntungan materi tanpa menghormati dan menghargai pihak lain.

Kedua, Etika dalam Hubungan: Mengajarkan pentingnya menjaga hubungan baik dengan orang-orang di sekitar, bukan hanya memanfaatkan mereka untuk kepentingan pribadi.

Ketiga, Keseimbangan Moral: Pentingnya keseimbangan antara materialisme dan kemanusiaan, di mana mengejar kekayaan tidak seharusnya membuat seseorang melupakan moralitas dan etika sosial.
Dalam kehidupan sehari-hari, pepatah ini menasihati kita agar menghargai kontribusi dan keberadaan orang lain, bukan hanya memanfaatkan hasil yang mereka berikan. Seperti apa yang dirasakan oleh “piyantun jawi” tadi, sehingga kita paham jika beliau pada akhirnya menjadi pragmatis. Pertanyaannya berapa banyak individu yang seperti ini pada era sekarang; dan tentu ini sangat membahayakan perjalanan demokrasi negeri ini.

Pertanyaan lanjut sadarkah para pengambil kebijakkan dan keputusan ditingkat pusat sampai daerah akan perubahan fenomena ini di tengah masyarakat. Belajar dari sejarah masa lalu kita sering baru menyadari setelah semuanya terlambat; akhirnya kita sibuk mencari “kambing hitam”, sementara sebenarnya kambing sudah lama berubah menjadi hitam.

Jangan sampai bak pepatah mengatakan “arang habis besi binasa”; kita sudah mengeluarkan dana triliunan rupiah hanya untuk mendudukan pasangan memimpin daerah, yang kita peroleh tidak sebanding dengan itu semua. Akibatnya kita akan memperoleh sosok pemimpin yang standard-standar saja akibat dari buah sistem yang kita bangun tidak melahirkan pemimpin yang berkualitas. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Hari Pahlawan “Teladani Pahlawanmu, Cintai Negerimu”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Hari Pahlawan Nasional dirayakan untuk mengenang jasa para pahlawan dalam memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan. Bahkan tidak sedikit dari mereka harus berkorban nyawa di tengah perjuangan tersebut.

Tanggal 10 November ditetapkan sebagai waktu khusus untuk mengenang para pahlawan. Pemilihan tanggal tersebut merujuk pada sebuah peristiwa sejarah kelam Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.

Tema Hari Pahlawan Nasional 2024 adalah “Teladani Pahlawanmu, Cintai Negerimu”. Tema tersebut sebagaimana tercantum dalam Pedoman Penyelenggaraan Hari Pahlawan Nasional 2024 oleh Kemensos RI.

Tema Hari Pahlawan 2024 ini mencerminkan semangat meneladani perjuangan para pahlawan bangsa dalam keberanian, pengorbanan, dan semangat juang. Serta menyimbolkan semangat meneruskan cita-cita para pendiri bangsa dan mencintai negeri.

Di hari yang istimewa ini, mari kita sejenak merenung dan menghormati jasa para pahlawan yang telah gugur dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Semangat juang mereka akan selalu menjadi inspirasi bagi generasi muda. Selamat Hari Pahlawan! (gil)

Balas Dendam

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sore menjelang malam alat komunikasi memberi sinyal bahwa ada berita masuk; betapa terkejutnya membaca pemberitahuan dari pembuat berita bahwa ada berita tentang sahabat yang tersandung persoalan hukum. Naluri ingin tahu menjadi tergelitik untuk menelusuri kebenaran berita tadi, sebab pada hari-hari ini dikejutkan beberapa berita yang berkaitan dengan masalah ketersandungan akan hukum. Secara nasional ada “kapten” pemilu yang kalah, ternyata dikulik kerjaan yang bersangkutan nyaris lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sementara orang lain yang terang benderang melakukan penyimpangan import produk makanan, hari ini menikmati kursi menjadi menteri. Sejalan dengan itu siangnya bertemu seorang kepala unit satuan pendidikan di daerah nun jauh di sana, yang tidak merasa melakukan penyimpangan, ternyata didatangi pemeriksa dari pusat untuk mengetahui “dugaan” yang tidak terduga yang dilakukan oleh yang bersangkutan. Sementara ongkos mendatangkan team dengan jumlah besaran terindikasi berbanding terbalik.

Pertanyaannya adalah apakah ini merupakan salah satu cara membalas yang tertunda, atau popular dengan istilah “balas dendam”. Tulisan ini tidak masuk pada perkara ketersandungan masalah hukumnya, atau pendugaan akan kebalasdendaman; akan tetapi ingin membahas masalah balas dendam dalam konteks filsafat sosial. Karena perilaku seperti ini ternyata dari penelusuran sejarah banyak ditemukan dalam perjalanan manusia di muka bumi ini.

Berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi Dalam ilmu sosial, balas dendam dijelaskan melalui berbagai teori yang mempelajari motif, dampak sosial, dan psikologis di balik perilaku tersebut. Beberapa teori utama yang menyoroti konsep balas dendam meliputi:

1. Teori Pembalasan (Retributive Justice)
Teori ini berfokus pada gagasan bahwa pelaku kejahatan atau pelanggaran p erlu menerima hukuman yang setara sebagai bentuk keadilan. Dalam balas dendam, individu atau kelompok berusaha mengembalikan keseimbangan atau keadilan dengan membalas tindakan buruk (menurut mereka). Konsep ini juga diterapkan dalam sistem hukum, di mana pelaku kejahatan dihukum untuk mengimbangi dampak yang ditimbulkan kepada korban. Terlepas apakah hukuman yang ditimpakan berazazkan keadilan, atau sudah benar secara perundangan.

2. Teori Keadilan Distributif (Distributive Justice)
Balas dendam bisa muncul ketika seseorang merasa keadilan tidak ditegakkan, terutama dalam hal pembagian sumber daya, kekuasaan, atau pengakuan. Ketidakadilan dalam distribusi ini menciptakan ketidakseimbangan, yang bisa mendorong orang melakukan balas dendam untuk memulihkan perasaan adil dan menegakkan status sosial yang dianggap layak. Tampaknya teeori ini lebih menekankan pada pandangan subyektif dari yang merasa menerima ketidakadilan.

3. Teori Keadilan Restoratif (Restorative Justice)
Berbeda dengan pembalasan, teori keadilan restoratif berfokus pada pemulihan hubungan yang rusak dan perbaikan kerugian. Namun, ketika pemulihan ini gagal, individu atau kelompok cenderung menganggap balas dendam sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah emosional. Orang yang gagal mendapatkan keadilan restoratif kadang merasa bahwa balas dendam adalah satu-satunya jalan keluar. Tampaknya teori ini pada masyarakat tertentu seolah mendapatkan legitimasi dari sistem sosial yang hidup ditengah mereka.

4. Teori Emosi Sosial
Menurut teori ini, balas dendam merupakan hasil dari respons emosional terhadap ketidakadilan, di mana perasaan marah, sakit hati, atau terhina mendorong individu untuk bertindak agresif. Emosi negatif yang tidak diatasi dapat memicu perilaku balas dendam sebagai upaya untuk meredakan ketegangan dan mencari kepuasan emosional. Keadaan seperti ini akan lebih membahayakan jika terkena pada emosional kolektif, sebab menjadikan perilaku masa yang sulit diatasi atau dibendung.

5. Teori Identitas Sosial
Dalam konteks identitas sosial, balas dendam kadang terjadi sebagai pembelaan terhadap kelompok atau komunitas. Ketika suatu kelompok merasa diserang atau diperlakukan tidak adil, anggota-anggota kelompok tersebut mungkin merasa perlu untuk membalas dendam demi mempertahankan identitas dan harga diri kelompok. Dendam kolektif seperti ini bisa terjadi menjadi turuntemurun, akibatnya mereka akan menciptakan garis demarkasi maya dalam sistem sosialnya.

6. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
Menurut teori ini, balas dendam adalah respons terhadap ketidakseimbangan dalam hubungan sosial. Ketika seseorang merasa dirugikan, ia ingin “mengembalikan” kerugian tersebut kepada pelaku. Balas dendam dilihat sebagai upaya untuk mencapai keseimbangan dalam “timbangan sosial” antara hak dan kewajiban.

Teori-teori di atas memberikan wawasan tentang motivasi dan tujuan di balik balas dendam, serta dampak sosialnya. Secara umum, agama-agama besar (terutama agama agama langit) mendorong umatnya untuk menghindari balas dendam dan mencari kedamaian melalui pengampunan dan kasih sayang. Tujuannya adalah untuk mengakhiri siklus konflik dan mencapai ketenangan jiwa, mengingat bahwa balas dendam sering kali hanya memperburuk perasaan negatif tanpa membawa kedamaian sejati.

Namun kondisi itu akan berbeda jika dipandang melalui kacamata politik kekuasaan. Ditemukan informasi dalam kaji digital bahwa, balas dendam dalam politik kekuasaan sering kali adalah strategi untuk menjaga posisi, mempertahankan loyalitas, dan mencegah tantangan yang bisa mengancam stabilitas kekuasaan. Perlu diingat, tindakan balas dendam yang terus-menerus cenderung menghasilkan siklus konflik dan ketegangan yang merugikan stabilitas dan kemajuan demokrasi. Di sisi lain, dalam banyak sistem politik, balas dendam ini dianggap sebagai dinamika kekuasaan yang tidak dapat dihindari dan sering kali dilihat sebagai cara untuk menyeimbangkan kekuatan dan memulihkan rasa keadilan di mata pendukung masing-masing pihak.

Kalau alur berfikir di atas yang kita pakai, maka balas-membalas akan terus terjadi sepanjang masa. Kedamaian hanya sebagai utopia yang ada dalam perjalanan hidup anak manusia; oleh sebab itu apakah negeri ini akan kita kelola dengan saling intai akan kesalahan kita masing-masing. Semua kembali kepada kita semua sebagai warganegara yang Berketuhanan Yang Esa.  Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Tim Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Malahayati, Raih Juara 2 dan 3 Ajang Civil On Stage ITERA 2024

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat kepada Tim Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Malahayati yang berhasil mendapatkan Juara 2 & 3 Struktur Jembatan Civil On Stage 2024. Acara ini diselenggarakan oleh Institut Teknologi Sumatera pada 28 September 2024.

Lomba Struktur Jembatan Civil On Stage 2024 (ITERA) adalah salah satu kompetisi yang diselenggarakan dalam rangkaian acara Civil On Stage 2024 di Institut Teknologi Sumatera (ITERA). Lomba ini biasanya dirancang untuk menguji kemampuan mahasiswa dalam merancang, membangun, dan menguji struktur jembatan dengan menggunakan berbagai material yang disediakan atau yang mereka pilih sendiri.

Lomba struktur jembatan ini merupakan salah satu ajang bergengsi bagi mahasiswa Teknik Sipil, yang bertujuan untuk mengasah kreativitas, keterampilan teknis, dan kemampuan analisis dalam merancang struktur yang kuat dan efisien. Berikut adalah beberapa aspek yang umumnya ada dalam lomba struktur jembatan.

Gibral Putra Hermawan (23110043), Nakhwah Nida Aaliyah (23110076), Ulia Rahma (23110115) Berhasil mendapatkan Juara 2. Septiana Aulia Ningrum (23110099), Annisa Vica Aulia (2311016), Alya Hafiza (23110013) mendapatkan Juara 3.

Gibral selaku ketua tim mengungkapkan rasa syukur dan bangga atas raihan ini. “Kami bersyukur kepada Allah SWT atas prestasi yang kami capai, dan kami menjadi lebih terinspirasi untuk mengikuti perlombaan yang akan datang,” ujarnya.

Septiana, juga mengungkapkan hal yang sama atas raihan timnya mendapat Juara 3. Ia berharap dapat memotivasi rekan-rekan sesama Teknik Sipil agar terus meraih prestasi dan memberikan prestasi untuk kampus tercinta Universitas Malahayati. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Si Mata Satu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu agak kesiangan menuju kampus karena ada urusan domestik yang harus diselesaikan, setelah menghadap atasan untuk lapor prihal keterlambatan, sebagai tatakrama yang harus dijunjung tinggi, baru lah masuk keruangan dan sedikit menghentakkan diri untuk duduk melepas lelah.

Sejurus kemudian kedatangan tamu salah seorang staf di lembaga ini dengan tampilan muka agak kurang ceria, bahkan lebih cenderung murung. Tampilan seperti ini tidak biasanya beliau tampilkan yang terkenal riang; apa gerangan yang terjadi pada beliau. Ternyata setelah sedikit cair suasana karena diisi guyon-guyon segar, beliau memajukan kursi seraya berkata ..”Prof..saya ingin mengutarakan sesuatu untuk minta pencerahan dan bagaimana saya harus bersikap”… Tentu saja dengan senang hati mau mendengarkan ungkapan kata dari sang tamu.

Ternyata beliau tadi pagi ada selisih pendapat dengan yang di rumah, dan saat beliau mau menuju kantor mendengar umpatan yang keluar dari mulut orang yang dicintainya itu dengan satu kata ..”dasar Dagjjal”.. Kalimat itu membuat beliau berjalan terhuyung, dan sampai di tempat ini meminta pendapat dan pencerahan. Ringkas cerita beliau mau menerima nasehat yang intinya sejauh kita masih bermata dua, maka kita masih manusia. Andai mendapat julukan si mata satu-pun tidak apa-apa kalau mata yang dimaksud adalah menuju pada satu keharibaan illahi. Kata kucinya adalah sabar, walaupun terkadang sabar dimaknai sama dan sebangun dengan takut. Dan, satu kata itu mudah dan enak mengucapkannya, tetapi sangat sulit, dan perlu upaya untuk melaksanakannya. Hanya orang-orang pilihan yang mampu melakukannya.

Selepas beliau pamit undur diri, maka terbayanglah makna hakiki dari diksi tadi; akhirnya tergerak untuk menelusurinya secara digital apa sejatinya makna itu dari sudut lain. Dajjal biasanya digambarkan dalam teks agama sebagai sosok yang membawa ujian besar bagi umat manusia, di mana ia memperdaya banyak orang dengan kekuatan dan kedigjayaannya. Dalam konteks teori sosial atau filosofis, istilah ini dapat merujuk pada entitas atau konsep yang merepresentasikan keburukan dalam bentuk yang sangat mempengaruhi masyarakat luas.

Ternyata jika kita cermati dengan jeli para dajjal itu sudah ada sekarang. Dan tidak perlu menunggu nanti, hanya saja dalam bentuk wujud yang berbeda. Bisa dibayangkan jika penimbunan BBM terbakar marak dimana-mana, tetapi tak satupun dapat diusut dari mana bahan itu, siapa penimbunnya, untuk apa dan sebagainya. Karena penyidik dan yang disidik mata-nya sama-sama satu, maka sangat sulit untuk diungkap, bahkan tidak akan mungkin terungkap. Karena satu mata yang mereka miliki mampu mengalahkan banyak mata yang melihatnya.

Contoh lain bisa dibayangkan jika ingin mencalonkan diri menjadi pemimpin nomor satu, ternyata berijazah palsu, lalu apakah negeri yang mau dipimpinnya juga palsu. Anehnya lagi jika tidak dikejar oleh netizen, peristiwa ini juga akan selesai dengan bermata satu, sebab kenapa baru pencalonan sekarang itu dipersoalkan, lalu selama ini waktu periode lalu apa pemeriksanya bermata satu.

Belum lagi sekala yang lebih luas, bagaimana calon pemimpin yang minta dipilih, tetapi saat dipanggung menggunakan satu mata, sehingga yang terjadi “Panggung Srimulat Tanpa Pelawak”. Semua pertanyaan yang diajukan dan dipertajam oleh moderator selalu dicurigai; akibatnya sifat aslinya tampak dan tentu sangat merugikan diiirinya karena yang selalu emosian jadi begitu kentara.

Nun jauh di sana beda lagi, calon tersangka keburu ditangkap; ternyata bukti belum kuat. Terpaksa menggunakan mata satu untuk membenarkan kelakuannya, sampai-sampai ada yang mempertanyakan “sekolahnya dimana”. Sementara yang ditersangka-kan senyum-senyum tipis karena dirinya memegang kartu truf jika nanti dipersidangan akan dibuka seterang-terannya. Tentu saja itu belum seru, yang hebat lagi departemen yang mengurusi informasi malah jadi sarang penjudi. Lebih gila lagi uangnya bagai Lagu Bengawan Solo…”uangnya mengalir sampai jauhhh”….

Di tengah sana beda cerita, guru honor dibidik dengan pasal penganiayaan bocah kecil anak didiknya, dan bu guru diperas sejumlah uang, jadi bulan-bulanan penegak keadilan. Anehnya semua bermata satu yaitu hanya melihat uang dan uang; begitu terbuka secara nasional, buru-buru mau cuci tangan, sayang sabunnya sabun cair sehingga keburu meleleh kemana-mana.

Lalu, apakah “si mata satu” itu mahluk atau sifat. Jika mahluk memang belum tampak batang hidungnya, tetapi ika itu ditengarai sebagai sifat, rasanya sifat-sifat itu sudah mulai muncul dimana-mana. Tinggal parameter apa yang akan kita pakai untuk mengukur dan menimbangnya, sebab bisa jadi terukur tapi tak tak berat; atau berat tapi tak terukur. Apakah negeri ini menjadi negeri para badut…semoga itu tidak terjadi, karena Tuhan pasti memiliki skenario akan semua ciptaan-Nya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Omon-Omon Debat Cagub Lampung dan Kepemimpinannya Kelak

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menonton debat pilkada, apapun persoalannya menjadi sangat menarik manakala peserta menunjukkan perilaku aneh-aneh. Sama halnya dengan perdebatan calon pimpinan kepala daerah level provinsi di daerah ini dua hari lalu.

Terus terang, saya semula tidak tertarik dengan “adu gagasan” dengan pola debat; namun karena diberi tahu oleh HBM tentang keseruan acara, maka mulialah menyimak apa yang diminta simak oleh “Kolpah” saya ini.

Benar saja, saat petahana diminta tanggap balik dari persoalan yang terlempar pada acara itu, justru yang bersangkutan menampilkan perilaku yang tidak seharusnya beliau tampilkan.

Ingat pesan emak dulu bahwa kalau kau benci terhadap sesuatu jangan pula kau bawa sampai mimpi, karena itu akan merusak dirimu. Lalu apa itu “benci” dan apapula itu “mimpi”.

Berdasarkan penelusuran digital diperoleh informasi; Teori benci atau hate theory menjelaskan mengapa dan bagaimana perasaan benci muncul dan berkembang dalam diri individu atau kelompok.

Kebencian bisa dipahami sebagai emosi yang kuat, seringkali negatif, terhadap seseorang, kelompok, atau ide tertentu. Berikut beberapa perspektif dan teori yang relevan:

PERTAMA
Teori Sosial-Psikologis: Frustrasi-Agresi: Kebencian sering kali timbul akibat frustrasi. Teori ini menjelaskan bahwa ketika individu atau kelompok merasa terhalang dalam mencapai tujuannya, mereka bisa mengalihkan agresi tersebut ke target yang dianggap lebih lemah atau yang dianggap sebagai penyebab frustrasi.

Teori Pengelompokan Sosial (SocialIdentityTheory). Seseorang cenderung mengidentifikasi diri dengan kelompok tertentu (ingroup) dan melihat kelompok lain (outgroup) sebagai ancaman. Hal ini bisa menimbulkan bias dan permusuhan yang berkembang menjadi kebencian.

KEDUA
Teori Kognitif: pembingkaian dan persepsi. Cara seseorang memandang dunia memengaruhi kecenderungan mereka untuk merasa benci. Misalnya, jika seseorang dibiasakan dengan narasi atau retorika yang menjelekkan kelompok tertentu, mereka mungkin akan mengembangkan perasaan benci terhadap kelompok tersebut.

Teori ini menganggap bahwa kebencian bisa dipicu atau diperparah oleh eksposur terhadap media yang mempromosikan stereotip atau ideologi tertentu.

MIMPI

Sementara “mimpi” memiliki banyak teori yang mengupasnya, paling tidak ada tujuh teori yang membahasnya. Namun pada kesempatan ini ada teori yang relevan untuk dijadikan bahan pijak analisis, yaitu:

Pertama, Teori Kognitif (Calvin Hall dan David Foulkes). Pendapat teori ini mimpi sebagai pemikiran yang berkelanjutan. Teori ini menyatakan bahwa mimpi adalah kelanjutan dari proses berpikir yang terjadi selama siang hari.

Dengan kata lain, otak melanjutkan aktivitas berpikir saat tidur, dan mimpi merefleksikan minat, kekhawatiran, dan kegiatan harian seseorang.

Kedua Teori Jungian (Carl Jung). Mimpi Sebagai Komunikasi dengan Alam Bawah Sadar: Jung berpendapat bahwa mimpi tidak hanya mencerminkan keinginan pribadi tetapi juga terhubung dengan alam bawah sadar kolektif, yang berisi arketipe dan simbol universal.

Mimpi membantu individu memahami diri sendiri dan terhubung dengan aspek-aspek universal dari pengalaman manusia.

Oleh sebab itu jika yang dominan pada diri seseorang adalah aspek ketidaksukaan, atau kecurigaan yang berlebih; maka sangat bisa jadi yang bersangkutan akan menjadi pemimpi yang pembenci, dan lebih parah lagi kalau pembenci yang pemimpi.

Manakala model begini diberi amanah untuk memimpin negeri, maka nasib negeri itu “Hanya Tuhan Yang Maha Tahu”.

Kita diminta mencermati sebelum menentukan pilihan, apapun yang kita pilih; apalagi jika itu adalah “calon pemimpin” kita semua. Menjadi sangat aneh manakala kita tidak bisa jeli dalam melihatnya kalau itu sudah terbentang dihadapan kita.

Oleh sebab itu orang bijak pernah berkata “Terlalu mencintai jangan pula sampai menutupi, terlalu membenci jangan pula sampai menjauhi”.

Akan tetapi berada pada posisi tengah bukan pula kita berada pada wilayah “omon-omon”. Selamat memilih yang layak di pilih. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

UKMBS Universitas Malahayati Sukses Gelar Tabu 11, Pentaskan Keindahan Budaya Aceh

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Universitas Malahayati gelar pementasan Temu Anggota Baru (TABU) Angkatan 11 di Gedung Serba Guna Rumah Sakit Bintang Amin. TABU 11 tahun ini,mengangkat budaya-budaya Aceh ‘Samsara Bumantara Pancacita’ yang artinya mengenal bumi pancacita, pancacita sendiri merupakan motto masyarakat Aceh yang berarti lima cita (Keadilan, Kepahlawanan, Kemakmuran, Kerukunan, dan Kesejahteraan). Sabtu (2/11/2024).

Mulai dari area luar gedung pertunjukan, pengunjung disuguhkan instalasi miniatur monumen PLTD APUNG dan diberikan camilan khas Aceh yaitu sale pisang. Pertunjukan dibuka dengan oleh “Divisi Musik Unknown” yang membawakan lagu “Bungong Jeumpa” yang telah diaransemen. Selain itu, penonton disambut oleh para penari “Divisi Tari Badra” dengan tarian Tari Ratoh Jaroe dan penampilan terakhir oleh “Divisi Teater Kita” dengan naskah “Nenek Tercinta” karya Arifin C. Noer, dan ditutup dengan musikalisasi puisi.

“Antusias penonton cukup tinggi, teman-teman dari Malahayati, SIKAM Lampung dan juga masyarakat umum, sekitar 400 penonton hadir didalam gedung” Ucap Ridho Dwi Putra selaku Ketua Umum UKMBS Malahayati.

Penonton yang hadir pada TABU 11 memang terlihat lebih banyak dibandingkan denga TABU sebelum-sebelumnya. “Wahh keren banget pertunjukkan yang ditampilkan temen-temen dari UKMBS Malahayati, gak ekspek sampai serame itu malam ini” Ujar salah satu penonton dari UKM STKIP PGRI Bandar Lampung yang enggan di sebut namanya.

Acara dihadiri juga oleh pihak kampus Universitas Malahayati yang diwakili oleh Pembina UKMBS Malahayati yaitu Ahmad Iqbal S.S yang biasa disapa Bang Ibe dan juga Ka.Biro Kemahasiswaan, Riko Gunawan S.Kep., M.Kes. Mereka sangat mengapresiasi kegiatan tahunan ini, dan berharap kegiatan ini bisa menjadi pemantik semangat temen-teman dari UKMBS Malahayati.

“Semoga kegiatan ini bisa jadi pemantik semangat buat adik-adik” Ujar Bang Ibe.

“Mudah-mudahan dari kegiatan ini, adik-adik UKMBS Malahayati bisa lebih semangat untuk mendapat prestasi-prestasi yang lebih dari ini” ucap Riko Gunawan S.Kep., M. Kes sebelum membuka acara secara resmi.

Diakhir kegiatan, Ridho Dwi Putra mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh penonton dan seluruh elemen yang sudah membantu kegiatan TABU 11. “Saya banyak mengucapkan terimakasih kepada seluruh orang tua/wali, penonton, dan juga seluruh elemen yang telah membantu pementasan ini, semoga kami dapat terus menghibur temen-temen semua kedepannya” Tutupnya. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Menulis yang Tidak Tertulis

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat senja dan matahari menuju peraduannya,  bersamaan dengan itu sedikit demi sedikit binatang malam bermunculan. Pertama yang sudah mendengung di telinga yaitu nyamuk, diikuti kelelawar menyerbu pohon ceri dekat musala. Sesekali ditingkahi kicauan burung kutilang yang mencari dahan tempat tidurnya. Tidak ketinggalan burung gereja mencari celah-celah teras rumah atau kanopi yang terlindung. Semua kembali keperaduannya masing-masing. Tinggal manusia menungu panggilan untuk hadir menghadap menunaikan perintah-Nya.

Rutinitas seperti itu jarang kita cermati karena seolah sudah menjadi bagian dari siklus keharusan dalam pergantian waktu kehidupan, walaupun sebenarnya banyak hal yang dapat kita ambil sebagai iktibar. Salah satu di antaranya adalah makhluk-makhluk itu memiliki waktu jeda dalam menjalani siklus hidup. sementara manusia sering tidak menemukan waktu jedanya; yang ada hanya mengejar waktu yang tidak mungkin dapat tergapai. Sama halnya banyak di antara kita mampu menulis. Bahkan pelajaran menulis sudah diajarkan semenjak kita mengenal sekolah formal. Namun kenyataannya banyak di antara kita sebenarnya tidak pandai menulis, termasuk menulis tentang dirinya sendiri.

“Filsafat menulis yang tidak tertulis” merujuk pada gagasan bahwa ada makna, ide, atau pemikiran mendalam yang diungkapkan melalui tulisan, tetapi tidak selalu secara eksplisit disampaikan dalam bentuk kata. Istilah ini jika dinukil dari leteratur digital bisa merujuk pada konsep-konsep berikut:

Pertama, Makna Tersirat: Penulis sering menyampaikan pesan atau ide yang lebih dalam melalui simbolisme, metafora, atau implikasi, yang tidak langsung dijelaskan. Pembaca diharapkan untuk “membaca di antara baris” dan menemukan makna yang lebih dalam di balik apa yang terlihat.

Kedua, Pengalaman dan Emosi yang Tidak Terucap: Dalam tulisan, sering kali ada lapisan emosi, pengalaman, atau intuisi yang hanya bisa dipahami jika pembaca merasakan dan menafsirkan di luar teks yang tertulis secara literal. Filsafat ini mengakui bahwa tidak semua hal bisa atau harus diekspresikan secara langsung, tetapi lebih kepada cara pembaca menangkap esensi dari apa yang ditulis. Berpikir esensial seperti ini memang tidak mudah, namun para pujangga terkenal pada jamannya justru selalu bekerja dengan cara ini.

Ketiga, Keterbatasan Bahasa: Ada konsep dalam filsafat dan linguistik yang menyatakan bahwa bahasa memiliki batas dalam menyampaikan makna. Beberapa gagasan atau pengalaman terlalu kompleks untuk sepenuhnya diungkapkan dalam kata-kata, dan tulisan hanya bisa menggambarkan sebagian dari keseluruhan makna.

Dengan demikian hakikat dari “menulis yang tidak tertulis” adalah memahami bahwa proses menulis tidak selalu terbatas pada apa yang secara eksplisit dituangkan dalam kata-kata di atas kertas, melainkan juga mencakup makna-makna mendalam, perasaan, dan pemikiran yang tidak langsung diucapkan.

Secara keseluruhan, hakikat dari “menulis yang tidak tertulis” menekankan bahwa di balik teks yang terlihat ada lapisan-lapisan makna dan pesan yang hanya dapat dipahami melalui perenungan, interpretasi, dan pengalaman mendalam. Persoalannya sekarang apa yang dibalik teks itu sering ditangkap berbeda dari masing-masing pembacanya, dan ini sekaligus menunjukkan kelemahan bahasa. Berlembar tulisan disajikan untuk dibaca, namun saat membacanya tidak menghadirkan rasa bahasa, maka apa yang dibaca tidak lebih hanya komat-kamitnya bibir dalam mengartikulasi deretan huruf.

Secara filosofis, “menulis yang tidak tertulis” bisa juga merujuk pada komunikasi non-verbal, bahasa batin, atau pengalaman intuitif yang tidak bisa dijelaskan sepenuhnya melalui bahasa. Ini berkaitan dengan hal-hal yang sering kali lebih berhubungan dengan pemahaman personal, perasaan mendalam, atau penghayatan yang tidak dapat dinarasikan dengan kata-kata.

Dalam konteks ini, hakikat menulis adalah usaha manusia untuk menangkap dan mekomunikasikan sesuatu yang mungkin tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, tapi bisa dirasakan atau dipahami melalui pengalaman atau interpretasi. Jadi, maknanya adalah pengungkapan hal-hal yang lebih mendalam, implisit, atau spiritual yang tidak bisa dijelaskan dengan cara menulis yang biasa.

Oleh sebab itu, sangat sulit menjelaskan dengan bahasa, baik lisan maupun tulis, jika ada pertanyaan bagaimana tulisan itu bahasanya bagus, penyampaiannya baik. Sebab, apa pun jawaban yang diberikan tidak dapat mewadahi atau mewakili hakekat dari jawabannya. Banyak hal yang tidak dapat diwakili oleh deretan tulisan untuk menjelaskan makna; sebab makna itu sendiri adalah bahasa yang tidak tertulis.

Dalam menulis yang tidak tertulis, seorang penulis dituntut untuk memiliki sensitivitas terhadap detail-detail yang tidak disadari banyak orang dan keberanian untuk menggali lebih dalam dari apa yang terlihat di permukaan. Ini bukan hanya soal menemukan fakta baru, tetapi juga soal memberikan konteks yang lebih kaya dan narasi yang lebih lengkap terhadap suatu peristiwa. Tidak heran jika ada media cetak yang menjadi terkenal dan akurasinya terpercaya karena para jurnalisnya dapat menemukan makna yang tidak tertulis dari suatu rekaman peristiwa. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari bahwa “melawan lupa” adalah salah satu bentuk dari mengingatkan memori taktertulis untuk tetap permanen sebagai penggalan pengalaman yang tinggal dalam ingatan. Oleh sebab itu, manakala ada janji yang diucapkan menjadi “kenangan kolektif” yang pada saatnya tiba tidak bisa dipenuhi maka bisa berdampak negative kepada si pembuat janji. Demikian juga janji kebahagiaan akan menjadi kekecewaan manakala itu hanya digantung pada harapan. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman