Oleh: Sudjarwo 
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari-hari ini dunia maya dihebohkan berita seorang tanpa bukti sedikit pun melakukan kejahatan, namun divonis oleh hakim dalam sidang pengadilan dengan jumlah waktu tahun tertentu dan denda tertentu. Alasan yang dijadikan dasar putusan adalah memperkaya pihak ketiga, dan menjalankan paham filosofi tertentu. Sementara filosofi itu sedang dijalankan oleh banyak pihak dimana hakim itu bekerja – bisa jadi hakim sendiri sedang menjalankan paham itu.
Banyak orang geleng kepala, namun apa daya yang benar tidak selamanya menang.
Dalam idealisme moral, kita diajarkan sejak kecil bahwa kebaikan akan menang, kejujuran akan dihargai, dan kebenaran akan selalu muncul sebagai pemenang. Tapi seiring berjalannya waktu, kita menyaksikan realitas lain: orang jujur justru dikorbankan, yang korup justru naik jabatan, yang tulus disingkirkan, dan yang menipu dipuja. Inilah ironi dunia.
Tulisan ini akan mencoba membahas mengapa hal ini terjadi, apa dampaknya bagi nilai-nilai kemanusiaan, serta bagaimana kita tetap bisa berpegang pada kebenaran meski tahu ia tak selalu membawa kemenangan duniawi.
“Yang Benar tidak Selalu Menang”. Kalimat ini bukan pernyataan pesimis, melainkan pengakuan atas realitas sosial dan politik yang sering kali tidak adil. Kemenangan, dalam konteks umum, sering kali ditentukan oleh kekuatan, uang, pengaruh, dan kemampuan manipulasi. Sedangkan kebenaran adalah soal integritas, kejujuran, dan prinsip, hal-hal yang seringkali berjalan lambat dan sunyi. Dan, keduanya sering tidak berjalan seiring, bahkan tidak jarang sering bertentangan.
Lalu mengapa kebenaran bisa kalah? Ada beberapa alasan mengapa kebenaran, meskipun jelas, bisa tetap kalah dalam sistem sosial kita.
Pertama, sistem yang rusak. Banyak institusi tidak lagi berjalan untuk melayani keadilan, melainkan menjadi alat kepentingan yang berkuasa. Dalam sistem seperti ini, kebenaran bisa dikubur oleh kekuasaan.
Kedua, ketidakseimbangan kekuasaan. Yang benar sering tidak punya sumber daya. Sementara yang salah, tapi kuat, bisa menyewa pengacara, membeli opini publik, bahkan menekan hukum; karena memiliki uang yang tak terhitung banyaknya. Sehingga dapat berbuat apa saja, terutama bisa membeli pejabat yang lemah imannya.
Ketiga, publik yang tak peduli. Kebenaran membutuhkan pembela. Namun banyak masyarakat terlalu sibuk atau apatis untuk memperjuangkannya. Dalam ruang kosong itu, kebohongan tumbuh subur. Dan, akhirnya kebohongan dibangun untuk menjadi alasan pembenaran.
Keempat, kebenaran itu mahal. Berpihak pada yang benar sering berarti menanggung risiko: kehilangan pekerjaan, diancam, atau disingkirkan. Tak semua orang siap membayar harga itu.
Dampak dari Kekalahan Kebenaran, adalah: Pertama, melemahnya Kepercayaan pada Hukum dan Sistem.
Kedua, ketika orang melihat bahwa orang jujur dikalahkan dan yang salah bebas, mereka kehilangan kepercayaan pada hukum dan institusi. Ini bisa melahirkan sikap sinis atau bahkan anarki. Dan, tidak jarang menjadi apatis.
Ketiga, frustrasi moral masyarakat. Orang baik menjadi takut bicara. Nilai-nilai moral kehilangan tempat. Kita mulai percaya bahwa untuk menang, kita harus menipu. Ini membunuh etika kolektif.
Keempat, budaya diam dan kompromi. Semakin banyak orang memilih diam demi aman. Mereka lebih memilih bertahan di zona nyaman ketimbang melawan arus demi kebenaran. Dengan alasan menyelamatkan periuk nasi dan keluarga, seolah membenarkan sikapnya.
Saat kebenaran dikalahkan oleh sistem, masih ada satu bentuk kemenangan yang tak bisa dirampas yaitu: kemenangan moral. Ketika seseorang tetap berdiri di pihak yang benar meski dikalahkan, ia menang atas dirinya sendiri. Ia menang atas rasa takut. Ia menang atas rayuan kompromi. Kemenangan moral tidak memberikan harta, tetapi memberikan dignitas atau harga diri. Dan, harga diri adalah satu-satunya hal yang tidak bisa dibeli.
Apa yang harus kita lakukan saat yang benar tidak menang? Pertama, angan ikut menyerah meskipun pahit. Kebenaran tetap layak diperjuangkan. Karena jika tidak, maka hanya kebohongan yang akan bersuara.
Kedua, dukung mereka yang berani. Whistleblower, aktivis, dan pembela kebenaran perlu dukungan dan bukan hanya tepuk tangan, tapi perlindungan dan solidaritas.
Ketiga, pendidikan moral sejak dini. Generasi baru perlu diajarkan bahwa menang dengan curang bukan kemenangan sejati. Etika harus ditanam sejak sekolah.
Keempat, gunakan suara dan posisi kita. Dalam media sosial selalu ada ruang untuk menyuarakan kebenaran. Jangan biarkan suara kebenaran tenggelam.
“Ironi Dunia: Yang Benar Tidak Selalu Menang” adalah kenyataan yang menyakitkan, tapi bukan alasan untuk menyerah. Kebenaran mungkin tidak menang hari ini, tapi ia meninggalkan jejak. Ia menginspirasi. Ia memperkuat nurani. Dan, seringkali, dalam sunyi, dalam kekalahan yang menyakitkan, kebenaran sedang membangun jalannya sendiri menuju kemenangan yang lebih abadi. Kebenaran yang tidak menang akan diterima dengan kepala tegak sebagai kasatria keadilan. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Hidup Ini Diawali Dengan Membuka Mata, Diakhiri Dengan Menutup Mata
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu mendapat kiriman hasil kreasi seorang murid empat puluh lima tahun lalu, yang sekarang sudah menjadi creator handal, dengan caption seperti judul di atas. Ada rasa bangga, senang, dan haru membacanya; karena itu dibuat oleh anak cerdas yang empat puluh lima tahun lalu masih berpakain putih abu-abu; dan sekarang sama-sama sudah bercucu. Akhirnya atas ijin yang bersangkutan penulis mencoba menelusuri dari sisi filsafat manusia. berdasarkan kajian literature baik digital maupun konvensional, ditemukan uraian sebagai berikut: Ungkapan “Hidup diawali dengan membuka mata, diakhiri dengan menutup mata” adalah kalimat yang secara sederhana menggambarkan perjalanan hidup manusia: lahir, tumbuh, mengalami, dan mati. Namun jika ditelusuri secara filosofis, ungkapan ini menyimpan makna eksistensial yang dalam. Dalam filsafat manusia, hidup bukan sekadar rentang biologis antara kelahiran dan kematian, melainkan sebuah dinamika keberadaan yang melibatkan kesadaran, kebebasan, kehendak, makna, dan tujuan.
Dalam filsafat, manusia tidak sekadar dipahami sebagai makhluk biologis, melainkan sebagai makhluk eksistensial. Eksistensi manusia adalah keberadaan yang sadar, reflektif, dan mampu mempertanyakan dirinya sendiri. Filsuf Ernst Cassirer menyebut manusia sebagai animal symbolicum, yaitu makhluk yang hidup dalam dunia simbol, makna, dan budaya. Dengan membuka mata, manusia tidak hanya melihat dunia secara indrawi, tetapi menafsirkan realitas: memberi nama, menyusun konsep, membangun bahasa dan budaya.
Membuka mata bukan sekadar gerakan refleks bayi yang baru lahir, melainkan simbol lahirnya kesadaran pertama. Dari titik inilah, manusia mulai “hadir” ke dalam dunia. Menurut Edmund Husserl, pengalaman manusia bersumber dari kesadaran. Kesadaran selalu “akan sesuatu” (intentionality). Ketika seorang bayi membuka mata, ia belum memahami apa yang ia lihat, tetapi mulai membentuk kesadaran prareflektif yang kelak berkembang menjadi persepsi, pemahaman, dan refleksi diri.
Setelah membuka mata, manusia tidak langsung menjadi makhluk dewasa secara penuh. Ia mengalami proses menjadi, yang melibatkan pengalaman, pembelajaran, kegagalan, dan pertumbuhan eksistensial. Oleh sebab itu Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein—ada-yang-menyadari-keberadaannya. Dasein selalu “menuju ke depan”, mengada dalam kemungkinan-kemungkinan, dan menyusun proyek-proyek kehidupannya. Dengan membuka mata pada dunia, manusia memasuki dunia historis, sosial, dan personal yang harus ia hadapi dan bentuk secara otentik.
Jika membuka mata adalah awal kesadaran, maka menutup mata adalah akhir kesadaran duniawi. Dalam pandangan filosofis, kematian bukan semata-mata akhir biologis, tapi juga peristiwa eksistensial yang memberi makna pada kehidupan. Oleh karena itu Heidegger menyebut manusia sebagai “ada-untuk-mati”. Artinya, kesadaran akan kematian memberi bobot pada setiap tindakan manusia. Tanpa kematian, hidup tidak akan berarti. Dengan menyadari bahwa kita akan menutup mata suatu hari nanti, kita menjadi lebih sadar untuk hidup secara otentik dan bermakna.
Viktor Frankl, seorang psikiater dan filsuf eksistensialis, berpendapat bahwa manusia terdorong oleh kebutuhan akan makna (will to meaning). Bahkan dalam penderitaan dan keterbatasan, manusia tetap bisa menemukan makna hidup. Pengetahuan akan kematian memperdalam kesadaran kita akan nilai dari waktu, relasi, dan kontribusi kita pada dunia.
Perjalanan manusia dari membuka hingga menutup mata mencerminkan keseluruhan dinamika eksistensi: dari tidak sadar menjadi sadar, dari potensi menjadi aktual, dari pengembaraan menuju peristirahatan. Dalam pandangan Hegel, kehidupan manusia adalah proses dialektika: tesis, antitesis, dan sintesis. Manusia bertumbuh melalui konflik, kontradiksi, dan penyatuan kembali. Membuka mata adalah tesis, menghadapi dunia adalah antitesis, dan makna hidup tercapai sebagai sintesis yang membawa ke penyatuan atau transendensi.
Hidup adalah jeda singkat di antara dua keheningan: saat sebelum mata terbuka dan sesudah ia tertutup. Dalam rentang yang fana itu, kita belajar melihat; bukan sekadar dengan mata, tetapi dengan kesadaran yang terus tumbuh. Membuka mata bukan hanya tanda lahir, melainkan awal dari pencarian makna, dan menutupnya kelak bukan sekadar akhir, melainkan kepulangan yang sunyi. Maka, hidup sejatinya adalah perjalanan untuk memahami apa arti melihat, merasakan, dan menjadi. Sebab hanya mereka yang sungguh “terjaga” selama hidupnya, yang dapat menutup mata dengan damai. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
UPT Perpustakaan Universitas Malahayati Perkuat Kolaborasi Melalui Rapat Kerja FPPTI dan Penandatanganan MoU
Kegiatan penting ini dihadiri oleh Nowo Hadiyanto, S.Sos., selaku Kepala UPT. Perpustakaan Universitas Malahayati, bersama sejumlah pejabat dan kepala perpustakaan dari berbagai lembaga pendidikan tinggi yang tergabung dalam FPPTI wilayah Lampung untuk periode 2025–2026.
“Kami percaya bahwa kolaborasi adalah kunci untuk memajukan dunia perpustakaan di era digital ini. Dengan bekerjasama, kita tidak hanya saling memperkuat layanan, tapi juga menciptakan pengalaman belajar yang lebih kaya bagi para pemustaka,” ujar Nowo Hadiyanto.
Kerjasama ini diyakini akan memberikan dampak positif, baik bagi perpustakaan maupun pengguna layanan. Bagi pemustaka, kolaborasi ini berarti terbukanya akses yang lebih luas terhadap koleksi dan layanan informasi dari berbagai institusi, serta meningkatnya mutu layanan yang diberikan.
UPT. Perpustakaan Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus mendorong inovasi dan kolaborasi di bidang perpustakaan, sejalan dengan visi universitas sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan yang modern dan inklusif. Kolaborasi dalam forum seperti FPPTI diharapkan menjadi katalis bagi terwujudnya perpustakaan yang adaptif, progresif, dan relevan di tengah tantangan zaman.
Dengan semangat kolaborasi dan sinergi, perpustakaan bukan hanya menjadi tempat menyimpan buku, tetapi juga pusat pembelajaran yang dinamis, inklusif, dan terhubung. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswi Akuntansi Universitas Malahayati Raih Juara 2 Karate di Kejuaraan Piala Gubernur Lampung 2025
Kejuaraan bergengsi ini diikuti oleh para atlet karate terbaik dari berbagai daerah di Lampung dan sekitarnya. Dalam kompetisi yang berlangsung ketat dan penuh semangat, Anissa berhasil menunjukkan ketangguhan dan teknik bertanding yang luar biasa hingga berhasil naik podium sebagai juara kedua.
“Hasil tidak akan mengkhianati proses. Tidak perlu banyak kata-kata, yang penting bukti nyata,” ujar Anissa usai menerima medali. Kalimat sederhana ini mencerminkan ketekunan dan dedikasinya dalam berlatih selama ini.
Capaian ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tak hanya berprestasi di bidang akademik, tetapi juga mampu menunjukkan kemampuan luar biasa di bidang olahraga. Prodi Akuntansi khususnya, turut bangga atas prestasi Anissa yang telah membawa nama baik kampus ke tingkat provinsi.
Universitas Malahayati terus mendorong mahasiswanya untuk aktif dan unggul di berbagai bidang, baik akademik, seni, maupun olahraga. Dukungan terhadap pengembangan minat dan bakat menjadi bagian penting dalam mencetak generasi muda yang cerdas, tangguh, dan berintegritas.
Selamat untuk Anissa Ade Amelliya! Terus semangat dan terus berprestasi! (gil)
Editor: Gilang Agusman
ICESH 2025 Universitas Malahayati, Ribuan Peserta Tunjukkan Antusiasme Gagas Solusi Pembangunan Berkelanjutan
Tak hanya menjadi ajang diskusi ilmiah, ICESH 2025 juga membuka ruang kompetisi karya ilmiah dan presentasi poster yang menarik partisipasi luas dari mahasiswa. Tercatat, terdapat 98 artikel dari Fakultas Hukum, 44 artikel dari Program Studi Manajemen, dan 22 artikel dari Program Studi Akuntansi. Tak kalah signifikan, kontribusi eksternal pun mencolok dengan 59 artikel dari institusi Co-Host, 19 artikel dari peserta regular eksternal, serta 38 peserta dalam kategori presentasi poster.
Jumlah ini bukan hanya angka, melainkan wujud nyata semangat kolaboratif dan kepedulian akademisi baik dari dalam maupun luar kampus terhadap isu-isu krusial seputar pembangunan berkelanjutan.
Puncak kegiatan lomba artikel ilmiah dan poster dipusatkan di Lapangan Futsal Lantai VI Gedung Rektorat Universitas Malahayati, pada Selasa (29/7/2025). Mahasiswa dan mahasiswi Universitas Malahayati mempresentasikan hasil penelitiannya yang merupakan bagian dari proyek akademik, seperti skripsi dan tesis, yang dilakukan di bawah bimbingan dosen masing-masing.
Para finalis memaparkan karya mereka di hadapan tiga dewan juri eksternal, dengan durasi presentasi 5–7 menit. Suasana penuh semangat dan intelektualitas mewarnai sesi ini, menunjukkan kesiapan mahasiswa untuk tampil sebagai agen perubahan yang berpihak pada keberlanjutan.
“Kita butuh pengatur yang adil dalam menjaga keseimbangan antara pembangunan dan keberlanjutan. Saya harap kegiatan ini melahirkan ide-ide besar dan menjadi tonggak sejarah bagi semuanya,” ujar Dr. Kadafi.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa ICESH merupakan ruang dialog lintas negara dan lintas disiplin ilmu, yang mempertemukan pemikir, akademisi, dan praktisi untuk saling bertukar informasi serta menyumbangkan solusi terhadap persoalan global.
ICESH 2025 mengangkat tema besar: “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Titik Temu antara Kebijakan Ekonomi dan Hukum Lingkungan”, yang dinilai sangat relevan dengan kondisi dunia saat ini. Tema tersebut menjadi pengingat bahwa pembangunan tidak boleh berjalan sendiri, melainkan harus seiring sejalan dengan perlindungan lingkungan dan keadilan sosial.
ICESH 2025 tak hanya menjadi ruang unjuk karya, tetapi juga tonggak bagi mahasiswa Universitas Malahayati untuk membuktikan bahwa mereka siap menjadi bagian dari solusi global. Dengan semangat kolaboratif dan kepekaan terhadap isu pembangunan berkelanjutan, generasi muda kampus ini tengah membangun masa depan yang lebih baik—untuk Indonesia dan dunia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Maklamo Tula
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Ada teman yang sekalipun sudah lama meninggalkan kota kelahirannya di salah satu daerah wilayah Sumatera Selatan; namun aksen palembangnya sebagai bahasa sehari-hari, masih sangat kental. Pada waktu jumpa ditanya bagaimana perkembangan kehidupannya, terutama masalah ekonomi. Beliau menjawab dengan khas palembangnya “maklamo tula, idak begerak, malah banyak tekornya”, terjemahan bebasnya “masih seperti dulu, tidak bergerak, malah banyak ruginya”. Setelah itu beliau menjelaskan dengan bahasa khasnya tadi bagaimana hidup sekarang semakin susah. Setelah berlalu, istilah yang beliau ungkapkan maklamo tula, masih terngiang, dan itu menginspirasi untuk menulisnya dari kaca mata filsafat manusia.
Dalam bahasa Palembang, ungkapan “Maklamo Tula” menggambarkan kondisi yang stagnan, tidak berubah, dan tetap sama seperti sebelumnya. Istilah ini sering kali digunakan secara sarkastik untuk mengekspresikan kekecewaan kolektif masyarakat, khususnya terhadap keadaan yang dianggap tidak membawa perubahan signifikan dalam kehidupan. Dalam konteks sosial-politik, ungkapan ini menjadi semacam kritik budaya yang kuat, dan tidak selalu frontal, namun menyimpan makna eksistensial dan reflektif yang mendalam.
Dari perspektif eksistensialisme, manusia adalah makhluk yang sadar dan bebas, tetapi juga terjebak dalam absurditas kehidupan yang kadang tidak memberinya makna. Filsuf seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus banyak berbicara tentang kegelisahan manusia modern dalam menghadapi kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan. Ketika rakyat menggunakan istilah maklamo tula, mereka sedang mengekspresikan kesadaran eksistensial; bahwa harapan mereka terhadap perubahan telah menemui jalan buntu. Mereka merasa hidup dalam suatu realitas sosial yang absurd, di mana perjuangan untuk hidup layak, adil, dan bermartabat selalu menemui tembok birokrasi, korupsi, dan ketidakpedulian dari penguasa. Dalam konteks ini, “maklamo tula” adalah bentuk kesadaran kolektif akan ketiadaan perubahan yang mereka harapkan. Ini adalah sebuah pengalaman eksistensial yang getir: manusia yang sadar akan deritanya, tetapi tidak mampu mengubahnya karena sistem yang membelenggu.
Filsafat Karl Marx mengenalkan konsep alienasi, yaitu keterasingan manusia dari hasil kerjanya, dari dirinya sendiri, dari sesama, dan dari sistem sosial yang tidak manusiawi. Dalam sistem yang gagal memberikan keadilan dan kesejahteraan, rakyat menjadi terasing, tidak merasa menjadi bagian dari pemerintahan yang harusnya mewakili mereka. Ungkapan “maklamo tula” mencerminkan alienasi rakyat terhadap negara. Mereka merasa bahwa suara dan aspirasinya tidak didengar.
Pembangunan yang dijanjikan tidak menyentuh mereka, bantuan yang dijanjikan tidak pernah datang, dan perubahan yang digaungkan hanya menjadi pepesan kosong. Dalam kondisi ini, rakyat kehilangan rasa memiliki terhadap negara. Pemerintah bukan lagi representasi dari kehendak rakyat, tetapi menjadi entitas asing yang tidak menyentuh realitas kehidupan sehari-hari mereka. Rakyat hanya menjadi penonton dari drama kekuasaan yang tidak melibatkan mereka.
Filsuf Gabriel Marcel, seorang eksistensialis, menyebut harapan sebagai unsur spiritual yang membuat manusia tetap manusiawi. Namun, ketika harapan terus-menerus dikhianati oleh kenyataan, manusia akan mengalami apa yang disebut sebagai “keletihan eksistensial”. Rakyat yang telah berkali-kali percaya pada janji kampanye, rencana pembangunan, dan wacana perubahan, akhirnya mengalami kejenuhan, akhirnya mereka menjadi apatis dan sinis.
“Maklamo tula” adalah bentuk pudarnya harapan. Ini bukan hanya sindiran sosial, tetapi sebuah pengakuan kultural bahwa idealisme dan realitas telah terputus. Manusia, dalam hal ini rakyat, berhenti berharap karena tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Dalam kondisi ini, mereka tidak hanya kecewa, tetapi juga terluka secara moral.
Dalam filsafat, manusia dipandang sebagai makhluk historis, dan ia tidak hidup dalam ruang kosong, tetapi terikat pada sejarah, budaya, dan memori kolektif. Ungkapan seperti “maklamo tula” adalah hasil akumulasi pengalaman historis dalam melihat ketimpangan yang terus berulang.
Manusia sebagai makhluk kritis tidak bisa dipisahkan dari sejarahnya. Ketika rakyat mengucapkan “Maklamo Tula”, mereka sesungguhnya sedang mengekspresikan kesadaran historis atas siklus kekecewaan yang terus berulang. Ini adalah kritik yang tidak bisa diabaikan, sebab ia lahir dari perenungan yang panjang, bukan sekadar emosi sesaat.
“Maklamo Tula” menjadi cermin bahwa tanggung jawab etis pemimpin telah diabaikan. Rakyat tidak menuntut kemewahan; mereka hanya ingin keadilan, pelayanan publik yang manusiawi, dan kesempatan yang adil untuk hidup layak. Ketika kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, maka yang muncul bukan hanya kekecewaan, tetapi juga krisis moral.
Filsafat manusia menegaskan bahwa martabat manusia tidak boleh dikorbankan oleh sistem apa pun. Ketika rakyat bangkit dari sikap pasif dan menjadi pelaku perubahan, maka kekuasaan yang lalai tidak akan lagi memiliki legitimasi moral. Sebagaimana dikatakan oleh filsuf Martin Heidegger, bahasa adalah rumah bagi keberadaan. Ketika rakyat mengucapkan “Maklamo Tula”, mereka sedang mendiami realitas melalui bahasa, dan mengekspresikan makna hidup mereka yang penuh luka, harapan, dan penantian. Apakah kita akan tetap berada pada posisi ini, semua berpulang pada kita baik secara individu maupun kolektif. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi Lepas 1.420 Mahasiswa KKL-PPM 2025 ke Tanggamus
Selama 40 hari ke depan, para mahasiswa akan diterjunkan langsung ke tengah masyarakat, tepatnya di 5 kecamatan dan 70 pekon (desa) yang tersebar di wilayah Kabupaten Tanggamus, Lampung. Program ini menjadi salah satu bentuk nyata kontribusi civitas akademika Universitas Malahayati dalam mendukung pembangunan daerah, khususnya di desa-desa yang membutuhkan sentuhan inovasi, edukasi, dan penguatan kapasitas masyarakat.
“KKL-PPM adalah ladang praktik bagi ilmu yang kalian peroleh di bangku kuliah. Jaga attitude, berbudaya di mana pun kalian berada, dan beradaptasilah dengan masyarakat. Jadikan ini sebagai momentum pembelajaran sekaligus kontribusi nyata bagi pembangunan masyarakat Tanggamus,” tegas Rektor.
Lebih lanjut, Rektor juga berpesan kepada para Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) agar senantiasa mendampingi dan membimbing mahasiswa dengan optimal. Ia berharap kegiatan ini tidak hanya berjalan lancar, tetapi juga membawa manfaat yang luas bagi semua pihak yang terlibat.
“Saya titip kepada para DPL untuk terus mengawal mahasiswa. Semoga KKL-PPM ini menjadi berkah untuk kita semua, mempererat hubungan kampus dengan masyarakat, dan menjadi pengalaman tak terlupakan bagi mahasiswa,” tandasnya.
Program KKL-PPM tahun ini mengangkat tema besar “Gerakan Kampus Berdampak pada Penanganan Stunting Tanggamus 2025”. Mahasiswa dari berbagai program studi akan melaksanakan berbagai kegiatan edukatif, promotif, dan preventif sesuai dengan latar belakang keilmuannya. Mulai dari penyuluhan kesehatan, penguatan ekonomi lokal, pemberdayaan ibu dan anak, hingga pelatihan manajemen organisasi desa.
Selamat bertugas para mahasiswa KKL-PPM 2025. Bawa nama baik almamater, berikan yang terbaik untuk masyarakat, dan jadikan pengabdian ini sebagai pijakan awal menjadi insan profesional yang berintegritas. (gil)
Editor: Gilang Agusman
ICESH 2025 Jadi Forum Internasional Strategis Bahas Interseksi Ekonomi dan Hukum Lingkungan
Konferensi bergengsi ini mengangkat tema besar “Sustainable Development Goals: The Intersection of Economic Policies and Environmental Law” yang menyoroti pentingnya sinergi antara kebijakan ekonomi dan hukum lingkungan dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Dari Indonesia, turut hadir para akademisi dan praktisi terkemuka: Assoc. Prof. Dr. Fajar Gustiawaty Dewi, S.E., M.Si., Akt. – Universitas Lampung, Prof. Dr. Nunung Rodliyah, M.A. – Universitas Lampung, Dr. (Cand.) Tri Umaryani, S.P., M.Si. – Kepala Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan Kabupaten Lampung Barat.
Konferensi ini secara resmi dibuka oleh Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, S.H., M.H., dan dihadiri oleh jajaran pimpinan universitas termasuk Wakil Rektor I hingga IV, kepala LPPM, LPMI, BAAK/BAAU Humas dan Protokol, serta para dekan fakultas di lingkungan kampus.
ICESH 2025 diwarnai oleh kehadiran 281 pemateri, baik oral maupun poster, dari lebih dari 15 universitas dalam dan luar negeri, termasuk dari: Universitas Dokuz Eylül – Turki, King’s College London – Inggris, Pemerintah Daerah Kurdistan – Irak, Universitas Peking – Tiongkok, Universitas Walailak – Thailand.
Menariknya, rangkaian kegiatan sudah dimulai sejak 25 Juli dengan Klinik Pelatihan yang dipandu langsung oleh Dr. Memiyanti Abdul Rahim, membahas teknik tinjauan sistematis dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam riset akademik.
ICESH 2025 juga didukung oleh sponsor-sponsor terpercaya, seperti: Bank Syariah Indonesia (BSI), BNI, PT Prabutirta Jaya Lestari, PT HES Cipta Kreasi, dan Ayam Bebek Haji Soleh.
Puncak kegiatan diisi dengan presentasi paralel dan pameran poster yang berlangsung di lantai 6 Gedung Graha Bintang. Dalam sesi ini, panitia akan memberikan penghargaan kepada Artikel Terbaik, Presenter Terbaik, dan Poster Terbaik, sebagai bentuk apresiasi atas kontribusi ilmiah para peserta.
Dr. Febrianty menambahkan dengan semangat kolaborasi lintas negara dan lintas disiplin, ICESH 2025 menjadi bukti komitmen Universitas Malahayati dalam mendorong penelitian dan pendidikan yang mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).
“Harapannya, konferensi ini dapat melahirkan pemikiran-pemikiran strategis untuk menjawab tantangan global—baik di bidang ekonomi, sosial, hukum, maupun lingkungan”. tandasnya.
Selamat dan sukses untuk ICESH 2025! Semoga semangat inovasi dan kolaborasi terus tumbuh demi dunia yang lebih adil, hijau, dan berkelanjutan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Dosen Universitas Malahayati, Rissa Afni Martinouva Resmi Sandang Gelar Doktor
Dalam sidang terbuka tersebut, Dr. Rissa berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul:
“Konstruksi Tanggung Jawab Produk yang Menjamin Kepastian Hukum dalam Perjanjian Pembelian Rumah Subsidi.”
Penelitian ini berangkat dari kegelisahan terhadap ketidakpastian hukum yang kerap dialami oleh konsumen rumah subsidi, khususnya terkait tanggung jawab pengembang terhadap produk rumah yang dijual. Disertasi ini memberikan kontribusi penting dalam pengembangan hukum perlindungan konsumen di bidang properti, dengan menekankan pentingnya adanya jaminan hukum yang kuat terhadap kualitas produk rumah subsidi dalam kerangka perjanjian jual beli.
Adapun jajaran penguji yang hadir dalam sidang terbuka tersebut terdiri dari para pakar di bidang hukum, yaitu, Ketua Penguji: Prof. Dr. Ir. Murhadi, M.Si, Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum, Dr. Muhammad Kadafi, S.H., M.H, Dr. M. Fakih, S.H., M.S, Prof. Dr. I. Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H, Prof. Dr. FX Sumarja, S.H., M.Hum, Dr. Ahmad Zazili, S.H., M.H.
“Alhamdulillah, puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para promotor, penguji, dan seluruh pihak yang telah memberikan ilmu, bimbingan, saran, doa, dan motivasi kepada saya. Gelar ini saya persembahkan untuk keluarga, sivitas akademika Universitas Malahayati, dan semua pihak yang percaya bahwa ilmu hukum harus terus berkembang untuk menjawab tantangan masyarakat. Semoga ilmu ini bermanfaat untuk dunia pendidikan, praktik hukum, dan masyarakat luas,” ujar Dr. Rissa penuh haru.
Rektor Universitas Malahayati dan seluruh sivitas akademika turut mengucapkan selamat atas pencapaian akademik ini. Keberhasilan Dr. Rissa menjadi teladan dan motivasi bagi seluruh dosen serta mahasiswa untuk terus berprestasi dan berkontribusi bagi kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang hukum.
Dengan diraihnya gelar doktor ini, Universitas Malahayati semakin memperkuat komitmennya dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan mencetak akademisi unggul yang siap berperan aktif dalam menjawab dinamika hukum dan masyarakat di era modern. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Rektor Universitas Malahayati Resmi Membuka The 2nd International Conference on Economy, Social, and Humanities (ICESH 2025)
Dengan tema “Tujuan Pembangunan Berkelanjutan: Titik Temu antara Kebijakan Ekonomi dan Hukum Lingkungan,” ICESH 2025 menjadi forum penting yang mempertemukan para pakar lintas negara dan disiplin ilmu, untuk merumuskan gagasan serta solusi dalam menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan di era modern.
Konferensi ini, lanjut Dr. Kadafi, bukan sekadar forum ilmiah biasa, melainkan ruang dialog strategis yang mempertemukan para pemikir untuk membahas sinergi antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan melalui perspektif hukum dan kebijakan.
“Kita perlu mencetak ekonom yang memahami ekologi, dan ahli hukum yang berpihak pada kelestarian lingkungan. Inilah esensi dari kolaborasi lintas disiplin,” ujar Dr. Kadafi dalam pidatonya.
Dr. Kadafi juga menegaskan bahwa universitas memiliki peran moral dalam mengarahkan arah pembangunan, serta menjembatani pengetahuan akademik dengan implementasi nyata. “Penelitian akademik tidak seharusnya hanya tersimpan dalam jurnal—ia harus hadir dalam kebijakan publik, memengaruhi tata kelola, mendukung masyarakat, serta membentuk generasi pemikir dan pelaku masa depan,” tegasnya.
Lebih dari sekadar forum akademik, ICESH 2025 diharapkan menjadi titik tolak bagi kolaborasi jangka panjang berupa penelitian bersama, pertukaran mahasiswa, hingga advokasi kebijakan berbasis riset.
Semoga konferensi ini menjadi ajang pertukaran gagasan yang produktif, pemantik kolaborasi lintas negara, serta fondasi kuat menuju pembangunan yang adil, lestari, dan inklusif. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Ironi Dunia
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari-hari ini dunia maya dihebohkan berita seorang tanpa bukti sedikit pun melakukan kejahatan, namun divonis oleh hakim dalam sidang pengadilan dengan jumlah waktu tahun tertentu dan denda tertentu. Alasan yang dijadikan dasar putusan adalah memperkaya pihak ketiga, dan menjalankan paham filosofi tertentu. Sementara filosofi itu sedang dijalankan oleh banyak pihak dimana hakim itu bekerja – bisa jadi hakim sendiri sedang menjalankan paham itu.
Banyak orang geleng kepala, namun apa daya yang benar tidak selamanya menang.
Dalam idealisme moral, kita diajarkan sejak kecil bahwa kebaikan akan menang, kejujuran akan dihargai, dan kebenaran akan selalu muncul sebagai pemenang. Tapi seiring berjalannya waktu, kita menyaksikan realitas lain: orang jujur justru dikorbankan, yang korup justru naik jabatan, yang tulus disingkirkan, dan yang menipu dipuja. Inilah ironi dunia.
Tulisan ini akan mencoba membahas mengapa hal ini terjadi, apa dampaknya bagi nilai-nilai kemanusiaan, serta bagaimana kita tetap bisa berpegang pada kebenaran meski tahu ia tak selalu membawa kemenangan duniawi.
“Yang Benar tidak Selalu Menang”. Kalimat ini bukan pernyataan pesimis, melainkan pengakuan atas realitas sosial dan politik yang sering kali tidak adil. Kemenangan, dalam konteks umum, sering kali ditentukan oleh kekuatan, uang, pengaruh, dan kemampuan manipulasi. Sedangkan kebenaran adalah soal integritas, kejujuran, dan prinsip, hal-hal yang seringkali berjalan lambat dan sunyi. Dan, keduanya sering tidak berjalan seiring, bahkan tidak jarang sering bertentangan.
Lalu mengapa kebenaran bisa kalah? Ada beberapa alasan mengapa kebenaran, meskipun jelas, bisa tetap kalah dalam sistem sosial kita.
Pertama, sistem yang rusak. Banyak institusi tidak lagi berjalan untuk melayani keadilan, melainkan menjadi alat kepentingan yang berkuasa. Dalam sistem seperti ini, kebenaran bisa dikubur oleh kekuasaan.
Kedua, ketidakseimbangan kekuasaan. Yang benar sering tidak punya sumber daya. Sementara yang salah, tapi kuat, bisa menyewa pengacara, membeli opini publik, bahkan menekan hukum; karena memiliki uang yang tak terhitung banyaknya. Sehingga dapat berbuat apa saja, terutama bisa membeli pejabat yang lemah imannya.
Ketiga, publik yang tak peduli. Kebenaran membutuhkan pembela. Namun banyak masyarakat terlalu sibuk atau apatis untuk memperjuangkannya. Dalam ruang kosong itu, kebohongan tumbuh subur. Dan, akhirnya kebohongan dibangun untuk menjadi alasan pembenaran.
Keempat, kebenaran itu mahal. Berpihak pada yang benar sering berarti menanggung risiko: kehilangan pekerjaan, diancam, atau disingkirkan. Tak semua orang siap membayar harga itu.
Dampak dari Kekalahan Kebenaran, adalah: Pertama, melemahnya Kepercayaan pada Hukum dan Sistem.
Kedua, ketika orang melihat bahwa orang jujur dikalahkan dan yang salah bebas, mereka kehilangan kepercayaan pada hukum dan institusi. Ini bisa melahirkan sikap sinis atau bahkan anarki. Dan, tidak jarang menjadi apatis.
Ketiga, frustrasi moral masyarakat. Orang baik menjadi takut bicara. Nilai-nilai moral kehilangan tempat. Kita mulai percaya bahwa untuk menang, kita harus menipu. Ini membunuh etika kolektif.
Keempat, budaya diam dan kompromi. Semakin banyak orang memilih diam demi aman. Mereka lebih memilih bertahan di zona nyaman ketimbang melawan arus demi kebenaran. Dengan alasan menyelamatkan periuk nasi dan keluarga, seolah membenarkan sikapnya.
Saat kebenaran dikalahkan oleh sistem, masih ada satu bentuk kemenangan yang tak bisa dirampas yaitu: kemenangan moral. Ketika seseorang tetap berdiri di pihak yang benar meski dikalahkan, ia menang atas dirinya sendiri. Ia menang atas rasa takut. Ia menang atas rayuan kompromi. Kemenangan moral tidak memberikan harta, tetapi memberikan dignitas atau harga diri. Dan, harga diri adalah satu-satunya hal yang tidak bisa dibeli.
Apa yang harus kita lakukan saat yang benar tidak menang? Pertama, angan ikut menyerah meskipun pahit. Kebenaran tetap layak diperjuangkan. Karena jika tidak, maka hanya kebohongan yang akan bersuara.
Kedua, dukung mereka yang berani. Whistleblower, aktivis, dan pembela kebenaran perlu dukungan dan bukan hanya tepuk tangan, tapi perlindungan dan solidaritas.
Ketiga, pendidikan moral sejak dini. Generasi baru perlu diajarkan bahwa menang dengan curang bukan kemenangan sejati. Etika harus ditanam sejak sekolah.
Keempat, gunakan suara dan posisi kita. Dalam media sosial selalu ada ruang untuk menyuarakan kebenaran. Jangan biarkan suara kebenaran tenggelam.
“Ironi Dunia: Yang Benar Tidak Selalu Menang” adalah kenyataan yang menyakitkan, tapi bukan alasan untuk menyerah. Kebenaran mungkin tidak menang hari ini, tapi ia meninggalkan jejak. Ia menginspirasi. Ia memperkuat nurani. Dan, seringkali, dalam sunyi, dalam kekalahan yang menyakitkan, kebenaran sedang membangun jalannya sendiri menuju kemenangan yang lebih abadi. Kebenaran yang tidak menang akan diterima dengan kepala tegak sebagai kasatria keadilan. (SJ)
Editor: Gilang Agusman