Oleh: Sudjarwo 
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat tulisan ini dibuat, Kota Bandarlampung sedang deras-deranya diguyur hujan. Diinformasikan melalui media sosial, seluruh kota banjir. Bahkan banyak sarana dan prasarana kota yang hancur, serta hanyutnya beberapa kendaraan.
Sejumlah pemukiman tenggelam bahkan sampai memakan korban jiwa akibat berbagai sebab. Kilas balik, kalau mau jujur, banjir seperti akibat tata kota dan tata kelola yang dilakukan oleh pemangku kepentingan sekitar sepuluh tahun lalu.
Masih ingat banjir yang melanda sungai dekat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek dan putusnya jalan raya utama akibat ditimbunnya daerah resapan oleh pengembang di Rajabasa? Tentu saja, banyak penyebabnya banjir.
Salah satu, kita coba lihat Sukadanaham. Semula, daerah tersebut merupakan kawasan tangkapan air. Kini, tumbuh pemukiman dengan beberapa pengembang.
Terakhir hutan kota yang dibabat untuk wilayah bisnis dengan berlindung menyerap tenaga kerja; sementara Pusat Pembelanjaan yang ada di sana sudah menjamur dan dengan kondisi “mati segan hidup pingsan”.
Puncaknya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang terancam ditutup Kementerian LH karena dari tahun 2013, Pemkot Bandarlampung abai terhadap Analisis Dampak Lingkungan dari wilayah ini.
Belum lagi daerah lereng Gunung Batu yang ada di atas Panjang; daerah tangkapan air itu sekarang sudah berubah menjadi rumah susun yang tak bersusun.
Sementara pembangunan jembatan layang yang tidak disertai kajian matang, dibangun dimana-mana; salah satu diantaranya diabaikannya drainase dari jembatan.
Pembangunan jembatan mungkin diperlukan untuk kelancaran mobilitas, namun jika akibat dari pembangunan itu menyengsarakan rakyat di bawahnya, apakah kita tidak termasuk kategori sombong.
Jika pembaca ada waktu sambil lalu di jembatan layang saat musim hujan, maka akan tampak genangan air yang mengalir kemana-mana. Seolah bingung mencari alamat akhir yang harus dia tuju.
Bahkan jembatan layang yang terpanjang, saat hujan menjadi sungai, dan diingatkan oleh jurnalis; pemerintah kota malah seolah menyalahkan laporan investigasi tadi.
Sekarang kita semua menuai hasil dari “keteledoran” masa lalu; yang pada waktu itu pemimpinnya jika diingatkan langsung dianggap penantangnya; sehingga seolah “lebih baik mati sombong, dari pada mati bengong”.
Untungnya penerusnya sekarang adalah teman tidurnya, akibatnya mereka berdua sekarang tidak bisa tidur; atau malah tidur pulas. Entahlah..
Belajar dari semua itu hal yang mendesak dilakukan adalah memperbaiki sistem drainase kota secara menyeluruh, dengan menyertakan masyarakat untuk memelihara melalui musyawarah desa menggunakan dana kelurahan.
Menata ulang daerah tangkapan air yang diawasi secara ketat agar terjaga, dan mental pejabatnya harus tahan godaan dari para pengembang yang membawa cuan.
Tidak lupa harus ada perencanaan jangka panjang yang mengikat tetang tata kota; sehingga siapapun walikotanya tidak bisa berbuat seenaknya sendiri dalam membangun.
Semua dilakukan secara terbuka dan transparan. Dewan kota difungsikan sebagai pemberi masukan, bukan lembaga “pengaminan” atau dalam bahasa Palembang “iyo ke bae ngecik ke balak”.
Bantuan sembako, perbaikan rumah yang dilakukan untuk saat ini adalah bersifat sementara, dan itu sah-sah saja; namun yang sangat urgen adalah perbaikan kedepan secara menyeluruh.
Jadi bukan hanya mengobati lukanya dengan obat luka, akan tetapi harus ada upaya jangan ada lagi yang terluka.
Di daerah ini, ada dua perguruan tinggi negeri yang memiliki bidang kajian “Perencanaan Wilayah” bahkan ada yang spesifik “Kota dan Pesisir”.
Semua itu adalah modal dasar yang sudah seharusnya diminta bantuan untuk mengurai benang kusut tentang banjir di kota ini, sebelum semakin parah.
Wali kota cukup mendatangi pimpinan perguruan tingginya untuk diminta partisipasi secara kelembagaan melalui program studi terkait.
Semoga musibah ini mengingatkan kita semua bahwa di sana ada campurtangan kita yang abai akan anugerah Tuhan akan alam-Nya.
Tulisan ini bukan mencari “kambing hitam” tetapi perenungan untuk kemudian membangkitkan kesadaran kita bersama menyelamatkan kota.
Untuk para pemimpin siapapun anda, jika ada warga anda yang peduli dengan memberikan peringatan, itu berarti warga tadi peduli pada anda dan kota kita; bukan berarti itu musuh anda. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Memberatkan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Secara umum, konsep “memberatkan” dalam ilmu sosial sering kali digunakan untuk mengeksplorasi hubungan kekuasaan, ketimpangan, dan ketidakadilan yang menciptakan beban tambahan dalam kehidupan individu atau kelompok. Sementara itu dalam Sosiologi kita kenal konsep beban struktural, yaitu: ketidakadilan sistemik atau ketimpangan sosial-ekonomi yang dapat memberatkan kelompok rentan, seperti buruh, perempuan, atau kaum miskin.
Bencana alam yang berakibat menjadikannya bencana sosial karena dampak langsung ada pada yang disebut di atas. Oleh karena itu bencana alam bisa saja terjadi hanya sekejap, tetapi akibat yang ditimbulkan menjadi munculnya bencana sosial yang berlangsung bisa memakan waktu yang lama dan melelahkan. Oleh karena itu kehadiran pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan serta sumberdaya adalah sesuatu keharusan; terutama untuk jangka panjang.
Hanya mendatangi, tidak untuk menindaklanjuti kunjungan kepada para korban bencana, adalah pekerjaan pencitraan belaka. Mereka tidak memerlukan ucapan “kasihan”, akan tetapi lebih kepada tindakan nyata; akan diberi apa, dan kelak akan bagaimana. Mereka lebih butuh kepastian akan nasib diri dan keluarganya pascabencana; yang semua ini pada umumnya jika ditanyakan kepada pejabat yang berwenang, akan menjawab kompak “sedang kami pikirkan”.
Lebih menyedihkan lagi jika “mereka ditinggal” oleh pemimpin yang dipilihnya, hanya karena alasan “jadwal tidak bisa diubah”. Kemustahilan seperti ini menjadikan masyarakat makin menjauh; sehingga bisa jadi mereka akan apatis serta tidak peduli lagi dengan apa yang mereka yakini selama ini baik. Bisa dibayangkan sampai waktu cukup lama yang hadir hanya bantuan, tidak muncul orang yang selama ini di gadang-gadang. Pada hal kehadiran fisik adalah pengobat luka relasi sosial yang bisa saja terjadi karena kelalaian selama ini.
Namun kelihatannya posisi rakyat tetap sebagai sub-ordinat yang memang menjadi obyek untuk “dikerjain”; oleh karena itu cara kooptasi yang dilakukan penguasa semakin sempurna manakala informasi dapat dikuasai atau paling tidak diminimalisir.
Posisi sub-ordinat ini semakin terasa manakala terkait dengan masalah ekonomi; bisa dibayangkan pengusaha besar yang tentu punya modal besar, bisa seenaknya menentukan harga produk hasil pertanian. Hal ini dikarenakan mereka memiliki alat produksi di luar negeri, yang nasilnya dapat untuk mengatur harga, dengan cara “memasukkan” barang milik perusahaan sendiri dengan berbaju “import”. Kondisi ini menjadi subur makmur karena pejabat yang menangani hal ini mendapat upeti.
Rakyat menjadi tersakiti, pejabat membela setengah hati; akhirnya mereka bertindak sendiri dengan terkadang terkesan “anarkhi”. Pada hal sebenarnya mereka menuntut haknya sebagai warga negara, dan meminta negara hadir ditengah mereka.
Pembenaran yang tidak benar terus terjadi; terakhir dengan pongah pengusaha menutup pabriknya untuk tidak menerima hasil pertanian dengan waktu yang tak terbatas. Tentu saja kemarahan rakyat memuncak sampai keubun-ubun mereka. Yang ada hanya dua pilihan, menyelamatkan keluarga atau perang melawan pengusaha.
Semua kita harus memahami bahwa beban berat masyarakat semakin hari semakin memberatkan dalam ukuran skala mereka. Harga yang berkaitan dengan hajat hidup semakin membumbung harganya, sementara harga hasil produk mereka dihargai rendah di pasar karena adanya sistem yang tidak memihak mereka. Untuk itu sudah waktunya untuk memperbaiki seluruh sitem distribusi ekonomi yang membela rakyat, salah satu diantaranya adalah “hadirnya negara” melalui instrument yang dibangun untuk menyelamatkan rakyat.
Tidak berarti selama ini tidak hadir, namun kehadiran yang terbungkus “pencitraan” dan “seolah-olah”; sudah bukan jamannya lagi. Tindakan nyata sangat diperlukan agar mengurangi beban sosial yang memberatkan rakyat kecil, atau paling tidak menguranginya. Sehingga capaian akan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar melalui falsafah hidup bangsa, bukan sekedar bahan hafalan di sekolah. Namun betul-betul dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat negeri ini tanpa melihat siapa dan apa latar belakang mereka. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Memeperingati Hari Raya Imlek 2025
Hari Raya Imlek memiliki akar yang dalam dalam sejarah dan tradisi Tionghoa. Merujuk pada kalender lunar, perayaan ini didasarkan pada siklus alamiah bulan, yang berbeda dengan kalender Gregorian yang digunakan secara internasional. Imlek dirayakan selama 15 hari, dimulai pada hari pertama bulan baru dan berakhir dengan Festival Lentera.
Hari Raya Imlek tidak hanya merayakan pergantian tahun dalam budaya Tionghoa, tetapi juga menghormati tradisi kuno yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan berbagai kegiatan, tradisi, dan simbolisme yang terkait, Imlek menjadi perayaan yang memperkaya budaya Tionghoa dan menyatukan komunitas dalam semangat sukacita dan harapan akan masa depan yang cerah. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Memperingati Isra Miraj 1446 Hijriah
Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH., dalam ucapan yang disampaikan melalui pesan resmi, mengajak seluruh keluarga besar Universitas Malahayati untuk mengambil hikmah dari perjalanan agung Nabi Muhammad SAW, baik Isra (perjalanan malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa) maupun Mi’raj (kenaikan ke langit untuk menerima wahyu).
“Isra Mi’raj adalah momen penting dalam sejarah Islam yang penuh dengan makna. Peristiwa ini mengajarkan kita tentang keteguhan iman, pentingnya ibadah, dan kesabaran dalam menghadapi segala ujian. Kami berharap, semangat dan hikmah dari Isra Mi’raj dapat menginspirasi kita semua untuk terus memperbaiki diri, memperkuat ibadah, serta menjaga akhlak yang mulia dalam setiap langkah kehidupan,” ujar Dr. Muhammad Kadafi.
Rektor juga mengingatkan pentingnya menjaga kedamaian, toleransi, dan kebersamaan dalam kehidupan kampus, sebagai cerminan dari nilai-nilai yang diajarkan dalam peristiwa Isra Mi’raj. “Semoga peringatan Isra Mi’raj ini semakin mempererat ukhuwah Islamiyah dan membawa keberkahan bagi seluruh keluarga besar Universitas Malahayati. Mari kita jadikan momentum ini untuk meningkatkan kualitas spiritualitas dan menjadi insan yang lebih baik,” tambahnya.
Selain itu, Universitas Malahayati juga mengajak seluruh civitas akademika dan keluarga besar untuk terus menumbuhkan rasa syukur atas segala nikmat dan karunia yang diberikan, serta menjadikan shalat sebagai sarana utama dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Peringatan Isra Mi’raj ini diharapkan dapat memperkuat semangat religius di kampus, serta menjadi pengingat bagi seluruh civitas akademika untuk selalu bersyukur, meningkatkan kualitas ibadah, dan menjaga integritas serta kebersamaan dalam menjalani kehidupan kampus dan masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Program Studi Manajemen Universitas Malahayati Gelar Seminar Kebudayaan “Membangun Citra Melalui Bahasa, Budaya, dan Kemampuan Berbicara”
Seminar yang menarik ini bertujuan untuk membekali mahasiswa Program Studi Manajemen dengan keterampilan komunikasi yang efektif, wawasan budaya yang luas, dan strategi praktis dalam membangun citra positif di tengah globalisasi yang semakin pesat. HMM berhasil menghadirkan narasumber yang tidak hanya berkompeten tetapi juga inspiratif, yakni Muli Provinsi Lampung yang juga merupakan Duta Bahasa Provinsi Lampung, untuk membagikan ilmunya sebagai pemateri utama.
Salah satu highlight dalam seminar ini adalah pembahasan tentang bagaimana bahasa dan budaya memiliki peran vital dalam membentuk citra diri yang kuat. Menurut para narasumber, bahasa lebih dari sekadar alat komunikasi; bahasa adalah cerminan dari budaya dan identitas seseorang. Dengan pemahaman yang mendalam terhadap bahasa dan budaya, kita tidak hanya dapat berkomunikasi dengan lebih baik, tetapi juga menjaga dan memperkenalkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia ke dunia internasional.
Tidak hanya bahasa, budaya lokal juga menjadi tema yang sangat ditekankan. Mahasiswa diajak untuk menyadari pentingnya pelestarian budaya sebagai bagian dari upaya memperkaya citra Indonesia di mata dunia. Para pembicara menekankan bahwa sebagai generasi muda, mahasiswa harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai budaya dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan akar tradisi.
Public Speaking: Kunci Sukses di Dunia Kerja
Sesi berikutnya yang tak kalah menarik adalah tentang kemampuan berbicara di depan umum. Para narasumber berbagi tips praktis tentang cara berbicara dengan percaya diri, mengatasi rasa gugup, dan cara membangun koneksi emosional dengan audiens. Mereka menjelaskan bahwa kemampuan berbicara yang baik bukan hanya meningkatkan performa pribadi, tetapi juga membuka peluang besar dalam dunia kerja yang semakin kompetitif.
“Public speaking itu sangat penting untuk membangun relasi yang baik, apalagi di dunia profesional. Ini adalah keterampilan yang akan selalu dibutuhkan,” ujar Muli, yang mengungkapkan bahwa komunikasi yang efektif menjadi kunci untuk sukses di berbagai bidang.
Antusiasme Mahasiswa yang Menggembirakan
Antusiasme mahasiswa Program Studi Manajemen sangat terasa selama seminar ini. Mereka aktif berdiskusi dan berbagi pandangan tentang berbagai tantangan komunikasi di era digital. Andini, salah satu peserta, menyampaikan kesan positifnya, “Acara ini sangat relevan dengan kebutuhan kami sebagai mahasiswa manajemen. Kemampuan berbicara dan pemahaman budaya sangat penting dalam dunia kerja, terutama untuk membangun relasi dan reputasi.”
Rekomendasi dan Harapan untuk Mahasiswa
Di akhir seminar, para narasumber memberikan sejumlah rekomendasi berharga bagi mahasiswa yang ingin terus mengasah kemampuan komunikasi mereka. Salah satunya adalah dengan berlatih secara rutin dan memperluas wawasan tentang budaya, baik lokal maupun internasional. Ketua Program Studi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si, juga mengungkapkan harapannya agar seminar ini dapat memotivasi mahasiswa untuk menjadi individu yang unggul dan berkarakter.
“Bahasa, budaya, dan kemampuan berbicara adalah modal utama untuk membangun citra diri yang positif. Dengan bekal ini, mahasiswa Manajemen Universitas Malahayati diharapkan mampu menjadi pemimpin yang tidak hanya berkarakter tetapi juga mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional,” tegasnya.
Seminar yang penuh wawasan ini ditutup dengan penyerahan sertifikat kepada peserta dan sesi foto bersama, menandai berakhirnya acara yang inspiratif ini. Program Studi Manajemen Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus menghadirkan kegiatan-kegiatan edukatif yang relevan dengan kebutuhan mahasiswa, sekaligus mendukung pengembangan potensi generasi muda.
Melalui seminar ini, mahasiswa Universitas Malahayati diharapkan dapat meraih kesuksesan dengan menguasai keterampilan komunikasi, memahami pentingnya budaya, dan membangun citra diri yang positif di dunia profesional. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Para Pemimpin Tak Boleh Banyak Meriang Ketimbang Sehatnya
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Tubuh senja seperti saya ini ternyata sudah susah dikondisikan, pagi segar bugar siang jelang sore meriang, mriang dalam Bahasa Jawa, bidapan dalam Bahasa Sumatera Selatan; maring dalam Bahasa Lampung.
Ternyata, usia di atas kepala tujuh, masalah kesehatan sama dengan cuaca, tidak bisa diprediksi alias tidak menentu.
Akan tetapi semua itu alami, usia biologis beriring dengan turunnya daya tahan tubuh. Jadi wajar, jika lamon maring ne jak sihat ne (banyak sakitnya ketimbang sehatnya).
Berbeda dengan pemimpin, harus dibalik: lamon sihat ne jak maring ne. Jika tidak demikian, maka akan terjadi seperti saat ini, antarpimpinan jawabannya berbeda bahkan bertolak belakang.
Seorang pemimpin mengatakan ada pelanggaran, satunya menjawab belum ada laporan, lainnya mengatakan sudah ada ijin. Lebih parah lagi, pemimpin menjawab: saya tidak tahu, kok tanya saya.
Kita menjadi bingung, mereka dalam satu garis komando yang sama tetapi memiliki jawaban yang berbeda. Sebagai contoh kasus pagar laut, antarpejabat saling lempar bola panas seolah melempar tanggung jawab.
Kebiasaan seperti ini menjadi lebih parah lagi jika berlindung pada alasan “saya baru diangkat, jadi belum paham persoalan, nanti akan saya tanyakan pada staf”. Tampak sekali “kemaringan” pejabat model begini, karena menunjukkan tingkat adaptasinya rendah, kemampuan menemukenali persoalan juga parah.
Seolah pejabat seperti ini hanya mau menikmati fasilitas jabatannya, tetapi enggan akan beban kerja, dan tanggung jawab bidangnya.
Bentuk kemaringan yang lain dipertontonkan sebagai contoh adalah sangat terlambatnya informasi yang menjadi tugas dari pejabat berkaitan dengan bencana.
Kota yang kita tinggali ini baru saja ditimpa musibah dengan adanya banjir di hampir semua wilayah. Namun sampai tulisan ini dibuat, siaran resmi dari pemerintah wilayah mana saja yang terkena langsung, terdampak, dan apa yang akan mereka lakukan untuk rakyat dalam jangka panjang semua mak jelas.
Langkah konferhensif dan koordinatif yang ditunggu tidak pernah terwujud sehingga masing-masing jalan sendiri-sendiri. Akibatnya, tak satu langkah dengan program diperorah programnya sendiri tidak jelas.
Belum lagi masalah penguasaan lahan sampai laut oleh pemilik modal yang sempat bermain mata dengan pejabat. Jika tidak dimuat di media masa secara berseri. Bahkan cenderung jika tidak dimuat berseri semua seolah aman terkendali.
Padahal pagar laut sudah dibentang, pagar tinggi sudah dipasang. Begitu diinvestigasi jurnalis dan dimuat, semua meriang; mulai jurus “saling tunjuk” dilakukan demi penyelamatan.
Tampaknya musibah selalu membawa hikmah itu benar adanya; dengan cara-Nya Tuhan menunjukkan sesuatu kepada mahluk-Nya di dunia ini. Keteledoran yang ditutup-tutupi selama ini akhirnya terkuak bahkan seolah “ditelanjangi” oleh waktu.
Hanya saja, apakah semua pemangku kepentingan mau menyadari, atau tetap asyik berlindung pada “lebih baik maring dari pada sihat”.
Sepertinya harus ada evaluasi menyeluruh kepada sistem pemerintahan yang terbangun sepuluh tahun terakhir, sebab indikasi “pembusukan” dari dalam tampaknya terus terjadi.
Apakah ini penanda bahwa kekuasaan yang diperoleh dengan cara yang tidak patut, akan berakibat hanyut; hanya Tuhan Yang Maha Mengetahui.
Mari dengan waktu yang ada ini, kita dang lamon ga cawa tapi lamon kerja se helau ini. Namun bukan berarti kita tidak boleh cawa sebab lamun mak cawa tian seago-ago.
Killu maaf lamun wat salah-salah, sebab salah sina pakaian manusia”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Gelar Yudisium, Angkat Tema “From Nothing to Something”
Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes selaku Wakil Rektor 4 Universitas Malahayati menyampaikan ucapan selamat kepada para mahasiswa yang akan menerima pengakuan atas kerja keras, dedikasi, dan prestasi akademik mereka.
“Perjalanan ini adalah awal dari petualangan baru, saya mengingatkan bahwa gelar yang diterima hari ini bukanlah akhir dari perjalanan kalian,” katanya.
“Terima kasih kepada dosen Fakultas Hukum atas bimbingan pengetahuan dan dukungan selama masa studi. Saya berharap bahwa gelar sarjana hukum yang diterima akan membuka pintu kesuksesan dan memberikan para sarjana kesempatan untuk berkontribusi dalam membangun masyarakat melalui pengetahuan hukum,” ucapnya.
Drs. Suharman, terus mengingatkan para lulusan untuk terus belajar dan mengasah keterampilan agar tetap relevan dan kompetitif di dunia hukum. Di akhir sambutan, Wakil Rektor 4 mengajak para lulusan untuk menjaga etika di manapun berada, menjunjung tinggi nama baik almamater, dan utamakan hubungan baik dengan rekan-rekan sesama lulusan.
Dekan juga menyoroti kecerdasan intelektual dan emosional sebagai komponen penting keberhasilan. “Selain memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional juga sangat diperlukan. Di dunia kerja, interaksi dengan rekan kerja, teman, dan lingkungan sekitar memerlukan kecerdasan emosional yang baik,” tambahnya.
Acara ini juga dihadiri oleh Kaprodi Ilmu Hukum Rissa Afni Martinouva, SH., MH, serta para dosen Program Studi Ilmu Hukum Universitas Malahayati Bandar Lampung. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Sedikit Sakit (Meriang)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Istilah “meriang” berasal dari bahasa Jawa yang merujuk pada kondisi tubuh yang tidak enak atau merasa sakit, biasanya ditandai dengan demam ringan, menggigil, atau badan terasa lemas. Kondisi ini seringkali dianggap sebagai tanda awal tubuh sedang melawan penyakit, seperti flu atau infeksi ringan. Istilah ini digunakan untuk menggambarkan perasaan tubuh yang kurang fit tanpa gejala berat. Dan, kondisi ini sering melanda penulis pada akhir-akhir ini; namun karena semangat untuk hidup dan keinginan selalu berguna untuk kepentingan orang banyak, maka kondisi itu sering terabaikan.
Untuk kali ini kita tidak membicarakan meriang dalam konteks personal, akan tetapi lebih kepada yang lebih luas yaitu sosial; dan dikhususkan lagi kepada para pemangku kepentingan. Karena akhir-akhir ini banyak diantara mereka terkena “meriang sosial” yaitu, situasi di mana seorang pejabat merasa tidak nyaman, tertekan, atau terganggu secara sosial akibat faktor-faktor tertentu di lingkungannya. Pejabat merasa “panas-dingin” karena sorotan media, kritik masyarakat, atau desakan dari berbagai pihak atas kebijakan atau tindakannya.
Bisa dibayangkan tekanan terhadap mereka saat ini sangat luar biasa: Pertama; mereka belum pasti masih dipakai pada periode kepemimpinan hasil pemilihan kepala daerah yang lalu. Bisa saja mereka akan terlempar miniml tergeser, oleh sebab itu saat seperti sekarang mau mengambil kebijakkan apapun, akan merasa takut, sekalipun secara perundangan sudah benar. Penyakit ragu seperti ini terutama bagi pejabat yang tidak memiliki kopetensi, hanya mengandalkan relasi, serta pemberi upeti; sehingga seolah layang-layang putus tali.
Kedua: bencana alam yang mengakibatkan kerusakan sarana dan prasarana yang ada, dan itu dibawah tanggungjawabnya. Ingin melakukan perbaikan, takut nanti persoalan pertanggungjawaban anggaran dikemudian hari jadi masalah; tidak melakukan juga bermasalah karena dianggap tidak becus. Akhirnya badan jadi meriang karena diam salah, berbuat juga takut salah. Kondisi serba salah ini membuat mereka “cari aman” dengan menghindar atau menghilang.
Ketiga: dengan sistem kementerian yang banyak dan departemen yang baru, mengakibatkan penyesuaian administrasi yang tidak mudah, dan cenderung melambat. Akibatnya sistem belum terbangun secara baik, dan berdampak pada budaya kerja yang belum terbentuk. Menjadi pemimpin dalam situasi seperti ini membuat banyak orang untuk bersikap sangat berhati-hati, karena jika salah melangkah di ujung sana sudah menunggu kejaksaan atau KPK.
Situasi di atas makin membuat “ketakutan” para pemangku kepentingan manakala pimpinan tertinggi hasil pemilihan yang belum dilantik saat ini tidak ada ditempat, karena sesuatu alasan yang tidak dapat diungkapkan. Akibatnya mereka bukan sibuk menyelesaikan pekerjaannya, tetapi memohon-mohon kepada media untuk tidak mengungkapkan hal ini kepada publik.
Ternyata meriang sosial itu lebih sulit obatnya dibandingkan dengan meriang badan, bagi para pejabat yang tidak memiliki maruwah. Bagi mereka yang memilik justru saat ini adalah tempat medan uji nyali bagaimana dia mengimplementasikan dirinya pada kehidupan nyata. Model pejabat seperti ini sangat yakin bahwa Tuhan adalah tempat bersandar untuk segalanya. Kelegowoan pejabat model inilah sebenarnya yang diharapkan dalam menghadapi persoalan; sebab mereka berprinsip “persoalan itu bukan untuk dihindari atau diabaikan, tetapi untuk diselesaikan”. Adapun konsekwensi dari pekerjaan itu sukses atau gagal, jika semua sudah sesuai dengan aturan, maka tinggal skenario Tuhan yang akan berjalan.
Namun sayang model yang terakhir tadi saat ini sudah menjadi sesuatu yang langka. Justru yang ada sekarang cenderung terjadi pembiaran akan semua persoalan yang ada. Jika sudah di viralkan oleh media sosial, baru mereka seolah sibuk. Sehingga jika ada pimpinan lembaga yang lurus dalam bekerja menjadi sesuatu yang aneh; dan tidak jarang yang begini sering dikerjain untuk dicari kesalahannya atau dibuatkan drama, agar yang bersangkutan terjebak menjadi “pemain”.
Ternyata meriang sosial itu sekarang sedang berjangkit dimana-mana, karena rakyat sudah semakin cerdas. Apakah ini bentuk seleksi alam yang di rancang Tuhan untuk mahluk ciptaanNYA; entahlah. Tetapi paling tidak ini merupakan peringatan bagi kita yang sadar akan keterbatasan manusia. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Pembenaran yang Tidak Benar
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sebenarnya badan ini belum begitu sehat, namun pikiran dan diskusi batin tidak bisa dihindari manakala melihat perilaku para petinggi daerah ini dalam menghadapi persoalan-persoalan warga. Seolah-olah masalahnya akan selesai jika mereka datang dengan membawa sedikit bantuan untuk hari itu, dan paling untuk jangka pendek. Sementara pokok H yang menjadi biangnya tidak pernah tersentuh. Akhirnya pikiran ini berkelana ke alam filsafat untuk mencari tahu tempat “gantungan” berpikir guna menemukenali perilaku mereka. Bisa dibayangkan ucapan janji kampanye saat “mengemis” kepada rakyat untuk dipilih, setelah dipilih mereka seolah mengidap amnesia. Dari alur inilah maka tulisan ini diberi “tetenger” seperti di atas.
Berdasarkan penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa filsafat pembenaran yang tidak benar merujuk pada upaya memberikan alasan atau argumen untuk sesuatu yang pada dasarnya salah atau keliru, baik dari segi fakta, logika, maupun moral. Dalam filsafat, konsep ini bisa dikaji dari beberapa perspektif.
Pertama, Rasionalisasi. Adalah proses menciptakan pembenaran logis untuk tindakan atau kepercayaan yang sebenarnya didasarkan pada motif atau alasan lain, sering kali tidak rasional. Orang yang merasionalisasi sering kali tidak menyadari bahwa pembenarannya tidak sahih. Contohnya, statemen ini: “saya korupsi karena atasan saya juga korupsi.”
Kedua, Ad Populum (Bandwagon Fallacy), yaitu, suatu kesalahan logika yang membenarkan sesuatu hanya karena banyak orang setuju dengannya. Dalam filsafat, ini dikenal sebagai fallacy. Contoh kalimatnya: “semua orang melakukannya, maka itu pasti benar; padahal bisa jadi itu adalah salah.”
Ketiga, Relativisme Moral yang Tidak Tepat. Dalam relativisme moral, pembenaran sering kali muncul berdasarkan budaya atau konteks individu. Namun, ini menjadi problematik jika digunakan untuk membenarkan tindakan yang melanggar nilai universal. Contoh: “Di budaya saya, korupsi adalah bagian dari tradisi, jadi tidak ada yang salah dengan itu.”
Keempat, Kesesatan Logika (Logical Fallacies). Banyak bentuk pembenaran yang salah timbul dari penggunaan kesesatan logika, seperti ini bentuknya berupa (1). Straw Man Argument : menggambarkan argumen lawan secara keliru untuk lebih mudah diserang. (2). Appeal to Emotion : menggunakan emosi, bukan fakta, untuk membenarkan sesuatu.
Kelima, Perspektif Nietzschean. Friedrich Nietzsche menyoroti bagaimana manusia sering menciptakan “kebenaran” untuk menutupi kenyataan yang tidak menyenangkan. Ia menyebut ini sebagai upaya untuk mempertahankan ilusi demi kenyamanan psikologis. Oleh sebab itu beliau mengatakan bahwa “Kebenaran adalah ilusi yang telah kita lupakan bahwa itu adalah ilusi.”
Keenam, Kritik dari Filsafat Postmodern. Postmodernisme, seperti yang disampaikan oleh Jean-François Lyotard, menolak klaim kebenaran universal dan menyoroti bagaimana narasi besar sering kali digunakan untuk membenarkan ketidakadilan atau kesalahan. Namun, kritik terhadap postmodernisme adalah bahwa relativisme ekstrem dapat membingungkan antara benar dan salah.
Atas dasar sejumlah aliran pemikiran filsafat di atas, maka kita akan menemukan dasar berpijak jika menjumpai pemimpin yang “lupa” akan janjinya saat kampanye dahulu. Mereka banyak tidak menyadari bahwa jejak digital mereka masih tersimpan di dunia maya, dan kapanpun bisa diunduh ulang. Namun dengan bersandar dari salah satu saja aliran filsafat di atas; maka seolah-olah mereka terbebas dari ucapannya dahulu.
Lebih sistemik lagi pembenarannya berkedok agama; dengan cara memberikan fasilitas khusus untuk melaksanakan kegiatan peribadatan. Padahal azaz kebermanfaatannya lebih pada personal, sementara kebutuhan umat yang lebih besar dan mendasar diabaikan. Perilaku seperti ini menjadikan pembenaran yang tidak benar menjadi semakin sempurna; sebab banyak pihak merasa sungkan untuk mempersoalkan, padahal dana itu bukan milik pribadi tetapi milik rakyat banyak dengan berlabel Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Keperuntukkannya harus berskala prioritas untuk kemaslahatan umat yang lebih besar kebermanfaatannya.
Kondisi ini dikamuflase lagi dengan bantuan sarana-prasarana (termasuk pendidikan), yang seyogyanya bersifat personal, dibuat massal. Akibatnya kualitas tidak memenuhi syarat, bahkan tidak layak; sehingga yang terjadi di lapangan ukuran hanya ada tiga kategori, dan perlengkapan prasarana bermutu rendah. Semua berakhir pada kehancuran material karena tidak layak guna; tetapi karena berlindung pada salah satu filsafat di atas; maka pembenaran yang tidak benar menjadi sempurna adanya. Dengan kata lain “pencuri berbaju dermawan”; karena begitu rapinya sistem dibangun dan “hukuman” diberlakukan kepada anak buah yang bersuara “miring”.
Upaya “akal-akalan” seperti ini sudah seharusnya dihentikan; mari kembali kepada khittah sebagai pemimpin umat, bukan golongan atau kelompok. Kepedulian untuk sesama, terutama mereka yang kurang beruntung, adalah skala prioritas negara untuk hadir dengan direpresentasikan oleh pemimpin guna mengentaskan mereka dari kepapaan. Jangan pula membantu yang kurang beruntung tetapi dengan cara membuntungkan pihak lain; karena perbuatan ini juga terkategori dholim. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Keterangan Berkelakuan Baik
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Surat Keterangan Berkelakuan Baik (SKKB) yang menjadi persyaratan apapun di negeri ini dan akhir abad 20 berubah menjadi Surat Keterangan Catatan Kepolisian, ternyata memiliki sejarah yang panjang. Berdasarkan penelusuran di mesin telusur digital, diketahui bahwa SKBB sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Dokumen serupa SKBB dikenal sebagai Verklaring van Goed Gedrag (Pernyataan Kelakuan Baik). Dokumen ini dikeluarkan oleh otoritas kolonial untuk memeriksa latar belakang seseorang, terutama bagi orang-orang yang ingin bekerja di lembaga pemerintah kolonial atau bepergian ke luar negeri.
Setelah Indonesia merdeka, konsep administrasi kolonial ini tetap dipertahankan dan diadaptasi ke dalam sistem hukum Indonesia. Surat semacam ini menjadi alat penting dalam memastikan latar belakang moral dan hukum seseorang bersih, terutama dalam konteks pembangunan institusi negara. Bahkan pada masa Orde Baru surat sakti ini harus didampingi dengan Surat Bersih Diri dan Lingkungan yang dikeluarkan oleh institusi militer yang berisi keterangan bahwa yang bersangkutan bukan anak atau dari keluarga yang tercatat berpaham komunis. Surat ini bisa keluar setelah melalui skrining yang ketat berkaitan dengan orang tua, paman, adik, kakak, mertua, saudara bapak/ibu dan sebagainya.
Surat Keterangan Kelakuan Baik (SKKB) digunakan hingga sekitar tahun 1980-an. Sejak akhir abad ke-20, istilah Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) mulai digunakan secara resmi menggantikan SKKB. SKCK lebih menekankan pada pemeriksaan catatan kriminal dalam arsip kepolisian.
Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) digunakan untuk memverifikasi bahwa seseorang tidak memiliki catatan kriminal. Oleh sebeb itu, SKCK menjadi dokumen wajib untuk keperluan tertentu, seperti: Melamar pekerjaan di instansi pemerintah atau perusahaan tertentu. Mengajukan visa untuk bepergian ke luar negeri. Mendaftar sebagai calon pejabat atau kepala desa atau lembaga lain yang mempersyaratkannya menjadi wajib. Dengan demikian, proses penerbitan SKCK membantu memastikan bahwa individu yang terlibat dalam kegiatan sosial atau ekonomi memenuhi kriteria keamanan tertentu.
SKBB, yang kini dikenal sebagai SKCK itu, telah melalui proses evolusi panjang dari masa kolonial hingga modern. Fungsinya tetap sebagai alat verifikasi moral dan hukum individu dalam masyarakat yang semakin kompleks.
Seiring perjalanan waktu ternyata surat ini menjelma menjadi “Surat Sakti” bagi para terpidana, termasuk terpidana korupsi (Koruptor). Karena surat sakti ini bisa dikeluarkan oleh pihak lembaga permasyarakatan dimana sang koruptor berada, untuk dilampirkan sebagai syarat pengurangan hukuman. Atau juga alasan “berkelakuan baik” selama mengikuti persidangan dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, termasuk perkara korupsi.
Di sini pintu masuk yang dapat dilakukan oleh pihak berwenang untuk memberikan alasan mengapa seorang koruptor yang menilep uang negara triyunan dapat dijatuhi hukuman lebih ringan dibandingkan dengan terpidana lain. Terlepas bagaimana cara untuk mendapatkan pertimbangan itu.
Tentu saja menyimak tontonan “sandiwara sosial” ini hati nurani mereka yang waras merasa terusik.
Akibatnya, media sosial sebagai lahan protes, ungkap pendapat, atau apapun namanya; menjadi tempat melempiaskan kekesalan yang paling dekat. Belum lagi parodi yang memang dirancang oleh mereka yang ahli bidang media, sehingga semakin sempurna kekesalahan massa tadi.
Tampaknya “auman singa asia” yang digadang-gadang dapat membersihkan kotoran sosial seperti ini, belum menembus telinga mereka yang ada; bahkan seolah semakin tidak ada takutnya. Hal ini dibuktikan dengan makin tidak sinkronnya antara harapan dengan kenyataan; akibatnya tingkat kepercayaan kepada lembaga penegakkan hukum makin rendah. Ditambah lagi perilaku yang dipertontonkan individu sebagai anggota institusi tidak mendukung atau bahkan bertentangan dengan prinsip-prinsip lembaganya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Banjir Bandarlampung, Lebih Baik Mati Sombong Ketimbang Mati Bengong
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat tulisan ini dibuat, Kota Bandarlampung sedang deras-deranya diguyur hujan. Diinformasikan melalui media sosial, seluruh kota banjir. Bahkan banyak sarana dan prasarana kota yang hancur, serta hanyutnya beberapa kendaraan.
Sejumlah pemukiman tenggelam bahkan sampai memakan korban jiwa akibat berbagai sebab. Kilas balik, kalau mau jujur, banjir seperti akibat tata kota dan tata kelola yang dilakukan oleh pemangku kepentingan sekitar sepuluh tahun lalu.
Masih ingat banjir yang melanda sungai dekat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Moeloek dan putusnya jalan raya utama akibat ditimbunnya daerah resapan oleh pengembang di Rajabasa? Tentu saja, banyak penyebabnya banjir.
Salah satu, kita coba lihat Sukadanaham. Semula, daerah tersebut merupakan kawasan tangkapan air. Kini, tumbuh pemukiman dengan beberapa pengembang.
Terakhir hutan kota yang dibabat untuk wilayah bisnis dengan berlindung menyerap tenaga kerja; sementara Pusat Pembelanjaan yang ada di sana sudah menjamur dan dengan kondisi “mati segan hidup pingsan”.
Puncaknya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang terancam ditutup Kementerian LH karena dari tahun 2013, Pemkot Bandarlampung abai terhadap Analisis Dampak Lingkungan dari wilayah ini.
Belum lagi daerah lereng Gunung Batu yang ada di atas Panjang; daerah tangkapan air itu sekarang sudah berubah menjadi rumah susun yang tak bersusun.
Sementara pembangunan jembatan layang yang tidak disertai kajian matang, dibangun dimana-mana; salah satu diantaranya diabaikannya drainase dari jembatan.
Pembangunan jembatan mungkin diperlukan untuk kelancaran mobilitas, namun jika akibat dari pembangunan itu menyengsarakan rakyat di bawahnya, apakah kita tidak termasuk kategori sombong.
Jika pembaca ada waktu sambil lalu di jembatan layang saat musim hujan, maka akan tampak genangan air yang mengalir kemana-mana. Seolah bingung mencari alamat akhir yang harus dia tuju.
Bahkan jembatan layang yang terpanjang, saat hujan menjadi sungai, dan diingatkan oleh jurnalis; pemerintah kota malah seolah menyalahkan laporan investigasi tadi.
Sekarang kita semua menuai hasil dari “keteledoran” masa lalu; yang pada waktu itu pemimpinnya jika diingatkan langsung dianggap penantangnya; sehingga seolah “lebih baik mati sombong, dari pada mati bengong”.
Untungnya penerusnya sekarang adalah teman tidurnya, akibatnya mereka berdua sekarang tidak bisa tidur; atau malah tidur pulas. Entahlah..
Belajar dari semua itu hal yang mendesak dilakukan adalah memperbaiki sistem drainase kota secara menyeluruh, dengan menyertakan masyarakat untuk memelihara melalui musyawarah desa menggunakan dana kelurahan.
Menata ulang daerah tangkapan air yang diawasi secara ketat agar terjaga, dan mental pejabatnya harus tahan godaan dari para pengembang yang membawa cuan.
Tidak lupa harus ada perencanaan jangka panjang yang mengikat tetang tata kota; sehingga siapapun walikotanya tidak bisa berbuat seenaknya sendiri dalam membangun.
Semua dilakukan secara terbuka dan transparan. Dewan kota difungsikan sebagai pemberi masukan, bukan lembaga “pengaminan” atau dalam bahasa Palembang “iyo ke bae ngecik ke balak”.
Bantuan sembako, perbaikan rumah yang dilakukan untuk saat ini adalah bersifat sementara, dan itu sah-sah saja; namun yang sangat urgen adalah perbaikan kedepan secara menyeluruh.
Jadi bukan hanya mengobati lukanya dengan obat luka, akan tetapi harus ada upaya jangan ada lagi yang terluka.
Di daerah ini, ada dua perguruan tinggi negeri yang memiliki bidang kajian “Perencanaan Wilayah” bahkan ada yang spesifik “Kota dan Pesisir”.
Semua itu adalah modal dasar yang sudah seharusnya diminta bantuan untuk mengurai benang kusut tentang banjir di kota ini, sebelum semakin parah.
Wali kota cukup mendatangi pimpinan perguruan tingginya untuk diminta partisipasi secara kelembagaan melalui program studi terkait.
Semoga musibah ini mengingatkan kita semua bahwa di sana ada campurtangan kita yang abai akan anugerah Tuhan akan alam-Nya.
Tulisan ini bukan mencari “kambing hitam” tetapi perenungan untuk kemudian membangkitkan kesadaran kita bersama menyelamatkan kota.
Untuk para pemimpin siapapun anda, jika ada warga anda yang peduli dengan memberikan peringatan, itu berarti warga tadi peduli pada anda dan kota kita; bukan berarti itu musuh anda. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman