Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Belum selesai kasus perundungan di salah satu sekolah menengah atas negeri di daerah ini; muncul lagi peristiwa hampir sama di salah satu sekolah menengah pertama swasta yang terkenal disiplin, siswanya melakukan hal yang sama.
Beruntung semua itu diliput oleh media masa sekelas media yang kita baca saat ini; tentu memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi. Terutama Herman Batin Mangku (HBM) jurnalis senior yang sangat peduli dengan pendidikan.
Sekalipun HBM sering mendapatkan “perundungan” juga saat meminta klarifikasi kepada sumber berita. Tulisan ini mencoba mmbahasnya dengan meminjam lensa Filsafat Pendidikan, bukan untuk menghakimi, atau memberi solusi, namun paling tidak memberikan referensi.
Perundungan atau bullying, dalam berbagai bentuknya, telah menjadi fenomena sosial yang tidak hanya menyentuh ruang-ruang sekolah saja, akan tetapi juga merembes ke media sosial, lingkungan kerja, bahkan dalam relasi keseharian yang tampak normal.
Ia menyaru dalam candaan, merayap dalam budaya kompetisi, dan terkadang mewujud dalam sistem yang tak lagi berpihak pada kemanusiaan.
Pertanyaannya bukan sekadar mengapa perundungan marak terjadi, tetapi apa yang telah berubah secara mendasar dalam cara manusia dididik hingga kekerasan, baik verbal maupun fisik, menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial kita hari ini.
Filsafat pendidikan kontemporer mengajak kita untuk tidak berhenti pada identifikasi gejala, melainkan menggali struktur pemikiran, nilai, dan orientasi pendidikan yang melandasi tindakan manusia.
Dalam perspektif ini, perundungan bukan sekadar tindakan salah individu terhadap individu lain, melainkan adanya gejala krisis kemanusiaan dalam pendidikan.
Kita hidup dalam dunia yang semakin menilai manusia dari performa, pencapaian, dan tampilan, bukan dari nilai-nilai keberadaan mereka sebagai subjek utuh.
Pendidikan, alih-alih menjadi ruang emansipasi dan penguatan identitas diri, justru sering berubah menjelma menjadi medan tempur, di mana hanya yang “unggul” yang mendapat pengakuan, dan yang “berbeda” menjadi objek cemooh; dan ini mendapat peneguhan yang jelas dan terang ada dalam visi lembaga.
Dalam masyarakat yang dibentuk oleh paradigma seperti ini, perundungan menemukan tanah suburnya. Ketika peserta didik tidak lagi diajak mengenali diri secara jujur dan utuh, tetapi terus-menerus dibandingkan, ditekan, dan diarahkan untuk menjadi sesuatu yang di luar dirinya, maka kegelisahan, kecemasan, dan agresi menjadi respons yang wajar.
Mereka yang merasa tidak cukup baik, tidak cukup pintar, tidak cukup populer, mulai menyalurkan frustrasi mereka dengan menciptakan hierarki baru: “aku boleh tidak pintar, tapi aku bisa menjadi penguasa di antara teman-temanku lewat intimidasi”.
Kekerasan verbal menjadi alat untuk menunjukkan eksistensi. Kekerasan fisik menjadi bahasa baru untuk mengklaim kuasa.
Filsafat pendidikan kontemporer tidak hanya menggugat isi kurikulum atau metode pengajaran, melainkan juga menyentuh kedalaman eksistensial relasi manusia dalam pendidikan. Di mana letak kemanusiaan ketika sekolah menjadi tempat di mana anak-anak merasa terancam?
Apa arti pendidikan ketika seorang anak lebih takut ke sekolah daripada menghadapi ujian? Bukankah seharusnya pendidikan menjadi proses pembebasan, bukan penindasan?
Dalam dunia yang semakin kehilangan arah moral, di mana kebenaran menjadi relatif dan nilai menjadi cair, pendidikan seharusnya menjadi jangkar yang meneguhkan kembali hakikat manusia sebagai makhluk yang saling membutuhkan, saling menghargai, dan saling menjaga.
Namun kenyataan yang kita hadapi hari ini justru sebaliknya. Kegagalan kita dalam membangun ruang pendidikan yang inklusif, terbuka, dan empatik menjadi akar dari tumbuhnya perundungan.
Ketika norma sosial lebih menghargai kekuatan daripada kelembutan, dominasi daripada dialog, maka perundungan bukan lagi penyimpangan, melainkan produk sistemik dari pola pikir yang telah menyimpang.
Anak-anak belajar dari lingkungan mereka. Jika mereka melihat kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik di rumah, jika mereka menyaksikan penghinaan sebagai hiburan di televisi atau media sosial, dan jika mereka merasakan tekanan konstan untuk menjadi sempurna, maka perundungan hanya menjadi manifestasi dari pelajaran-pelajaran tak terlihat itu.
Maraknya perundungan juga mencerminkan ketimpangan dalam relasi kuasa yang sering diabaikan dalam sistem pendidikan. Ketika anak-anak dididik dalam struktur hierarkis yang kaku, di mana otoritas lebih penting daripada keadilan, maka mereka akan meniru pola itu dalam interaksi mereka.
Mereka yang merasa berkuasa: karena status sosial, fisik, atau prestasi, cenderung menggunakannya untuk mengontrol yang lain. Sementara mereka yang dianggap lemah terus mengalami penindasan tanpa ruang untuk bersuara. Pendidikan yang membebaskan tidak membiarkan struktur semacam ini bertahan.
Ia menantang dominasi dan membuka ruang partisipasi bagi semua suara, terutama yang kerap dibungkam.
Selain itu, peran media sosial dalam memperburuk fenomena perundungan tidak bisa diabaikan.
Di ruang digital, perundungan menemukan bentuk baru yang jauh lebih kompleks dan mengerikan: ia tak lagi terbatas ruang dan waktu, dan bisa menyebar dalam hitungan detik. Anonimitas memberi keberanian bagi pelaku, sementara algoritma memperkuat ekosistem kekerasan simbolik ini.
Sayangnya, pendidikan digital masih sangat minim diberikan. Banyak anak dan remaja yang masuk ke dunia digital tanpa dibekali kesadaran etis dan tanggung jawab sosial.
Mereka tidak tahu bagaimana menggunakan kebebasan berpendapat secara bijak, karena mereka sendiri belum pernah mengalami bagaimana rasanya dihargai sebagai manusia yang utuh.
Guru dan pendidik perlu dipersiapkan bukan hanya sebagai pengajar materi, tetapi sebagai fasilitator kemanusiaan. Mereka harus mampu membangun relasi yang otentik dengan peserta didik, menjadi teladan dalam kepekaan sosial, dan memiliki keberanian untuk berdiri di pihak yang tertindas.
Dalam kerangka filsafat pendidikan kontemporer, guru bukan sekadar agen transformasi kognitif, melainkan agen perubahan sosial. Tugas mereka adalah membantu peserta didik menemukan identitas mereka yang sejati, membangun kesadaran kritis terhadap realitas yang mereka hadapi, dan mengembangkan kapasitas untuk hidup bersama secara damai dan bermakna.
Dan, tidak kalah pentingnya lembaga pencetak guru jangan tinggal diam di menara gading, mari turun lihat ke bumi karena alumni anda ada di sana.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa perundungan adalah cermin dari kegagalan kita memahami dan mempraktikkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam pendidikan.
Selama pendidikan hanya mengejar standar, ranking, dan sertifikat, maka selama itu pula kita akan menciptakan generasi yang lebih terampil secara teknis, tetapi lumpuh secara moral. Kita harus kembali ke pertanyaan mendasar: untuk apa kita mendidik?
Jika jawabannya adalah untuk menciptakan manusia yang utuh, yang mampu hidup berdampingan dengan yang lain dalam perbedaan, maka seluruh orientasi sistem pendidikan kita harus dirombak agar sejalan dengan visi itu.
Terakhir, terimakasih patut diucapkan kepada media sosial (termasuk Hello Indonesia) yang konsisten mewartakan kejadian serupa ini, sekalipun diyakini saat mengkonfirmasi berita justru juga mendapatkan “perundungan jurnalistik” dari mereka yang merasa terusuk.
Semoga dinas pendidikan terkait dapat melakukan tindakan edukasi kepada semua jajarannya terutama yang berkait dengan masalah. Dan, tidak kalah pentingnya harus mampu bertindak tegas kepada mereka yang bertanggung jawab akan hal ini.
Bukan justru membuat kebijakkan kontradiktif, yang akhirnya memumbuhsuburkan perundungan di lingkungan dunia pendidikan. Salam Waras (gil)
Editor: Gilang Agusman
Jatuh tanpa Langit, Naik tanpa Tangga
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Di tengah malam sunyi dinihari gawai penulis berdering. Ada pemberitahuan dari seorang rekan bahwa ada seorang sohib yang tertimpa musibah kehidupan. Tentu saja berita itu membuat syok. Hanya ldoa yang keluar dari mulut. Semoga dimudahkan segala persoalannya.
Di tengah arus kehidupan yang deras, manusia seringkali terlempar ke dalam keadaan yang tidak pernah dia duga. Dia bisa jatuh tanpa sebab yang jelas, tanpa langit untuk menyaksikan runtuhnya diri; dia pun bisa naik tanpa usaha nyata, tanpa tangga untuk dipijak. Fenomena ini bukan hanya paradoks eksistensial, melainkan cerminan dari suatu kenyataan yang lebih dalam: manusia hidup dalam suatu ruang di mana logika kadang kalah oleh absurditas, dan perjuangan tidak selalu berjalan linier menuju hasil.
Manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya, sadar akan tempatnya di dunia, serta sadar akan kemungkinan-kemungkinan yang terbentang di hadapannya. Kesadaran ini menjadikannya mampu merancang hidup, menata langkah, dan mengejar tujuan. Namun, justru karena dia sadar, dia juga tahu bahwa banyak hal di luar kendalinya.
Dalam ruang antara harapan dan kenyataan, terdapat jurang yang kadang-kadang tak dapat dijembatani oleh nalar ataupun kerja keras. Di situlah jatuh yang tak terlihat langitnya dan naik yang tak memiliki tangga menjadi simbol realitas manusia.
Jatuh tanpa langit berarti runtuhnya eksistensi tanpa sebab yang dapat dimengerti. Tidak ada “penyebab utama”, tidak ada narasi besar yang menjustifikasi mengapa seseorang kehilangan segalanya dalam sekejap. Dunia tidak memberi peringatan ketika gempa batin itu datang.
Manusia bisa terlempar dari tempat yang tinggi, dari kedudukan, dari harga diri, dari makna hidup yang ia yakini, dan tidak ada yang menyaksikan atau mencatat momen itu. Langit yang biasanya menjadi simbol pengawasan, saksi spiritual, atau bahkan tempat pengaduan, kini absen. Kejatuhan itu sunyi, tak terlihat, seolah tak penting. Dan justru di situlah kepedihan manusia mencapai puncaknya: dia jatuh, dan tak ada yang tahu.
Sebaliknya, naik tanpa tangga menggambarkan absurditas keberhasilan yang datang tanpa usaha nyata, tanpa peta jalan yang dapat ditiru. Ada yang menemukan dirinya di puncak; diakui, dimuliakan, diberi tempat tinggi, tanpa tahu jalan yang ia lewati. Atau, bahkan lebih tragis, ketika dia tahu bahwa jalan itu bukan miliknya. Dia naik, bukan karena layak, tapi karena kebetulan.
Dunia kadang memberinya keberuntungan, atau sistem yang kacau mengangkatnya tanpa dasar. Dan naik seperti itu menimbulkan kekosongan lain dalam jiwa manusia: dia berada di tempat tinggi, namun tak tahu siapa dirinya sebenarnya.
Fenomena semacam ini bukan hanya peristiwa sosial atau psikologis, melainkan pengalaman eksistensial. Dia menyentuh inti dari makna manusia sebagai makhluk yang mencari tujuan, mencari alasan di balik segala hal. Dalam dunia yang tak terduga, manusia berhadapan dengan absurditas, yaitu ketidaksesuaian antara kebutuhan akan makna dan keheningan dunia. Ketika dia jatuh tanpa langit, dunia tidak menjawab tangisannya.
Ketika dia naik tanpa tangga, dunia tidak memberi peta untuk memahami posisi itu. Dia sendirian, terjebak antara kehampaan dan harapan. Namun justru dalam kejatuhan yang sunyi dan keberhasilan yang absurd itulah, manusia diuji dan dibentuk. Dia dihadapkan pada pertanyaan paling kuno: siapa aku, bila semua yang kukenal hancur? Siapa aku, bila semua yang kumiliki bukan hasil usahaku? Dia tidak lagi bisa mengandalkan dunia untuk menjelaskan dirinya. Maka satu-satunya tempat dia bisa berpaling adalah ke dalam: ke dalam dirinya sendiri, ke dalam ruang sunyi kesadaran, tempat dia bisa menggali ulang dasar dari eksistensinya.
Dalam kesunyian inilah manusia menemukan bahwa nilai dirinya tidak dapat sepenuhnya ditentukan oleh pencapaian maupun kehancuran. Dia mulai menyadari bahwa jatuh dan naik adalah bagian dari siklus yang tidak selalu adil, tidak selalu logis, dan tidak selalu memberi penjelasan. Maka, nilai hidup tidak bisa hanya diletakkan pada hasil, tapi pada keberadaan itu sendiri yaitu; pada bagaimana manusia menyikapi kejatuhan dan keberhasilan.
Dunia memang tak selalu adil. Tidak semua kerja keras membuahkan hasil. Tidak semua kegagalan berakar pada kesalahan. Namun, justru karena itulah manusia tidak hidup semata untuk hasil. Dia hidup untuk menjadi. Menjadi pribadi yang utuh, sadar, dan merdeka dalam berpikir. Bahkan ketika dia tak memiliki langit untuk bersandar atau tangga untuk berpijak.
Kita tidak bisa mengendalikan arah angin zaman. Kita tidak bisa memprediksi kapan kita akan jatuh atau naik. Tapi kita bisa mempersiapkan jiwa kita. Kita bisa melatih kesadaran, memperdalam pemahaman, dan memperkuat nilai. Kita bisa hidup dengan integritas, meskipun dunia tampak tidak peduli. Kita bisa menjadi manusia yang berdiri tegak, bahkan di tengah badai yang membingungkan.
Pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa tinggi kita bisa naik atau seberapa parah kita bisa jatuh. Hidup adalah tentang bagaimana kita hadir dalam setiap kondisi itu; dengan kejujuran, dengan keberanian, dan dengan cinta. Dunia boleh kacau, tetapi manusia masih bisa memilih untuk tidak ikut menjadi kacau. Dunia boleh absurd, tapi manusia masih bisa memilih untuk menjadi makna di tengah absurditas itu.
Maka ketika kita jatuh, dan langit pun tak terlihat, mari tetap memilih untuk bangkit. Dan ketika kita naik, dan tak ada tangga yang menopang, mari tetap memilih untuk bersyukur dan membumi. Karena hidup bukanlah perhitungan untung-rugi, tapi perjalanan menjadi manusia yang utuh, yang mampu melihat jauh ke dalam dirinya sendiri dan tetap menemukan alasan untuk bertahan, mencinta, dan memberi arti. Semoga sahabat yang sedang ditimpa musibah kehidupan tetap mampu mencerna makna di balik peristiwa. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati dan Kantor Hukum Curia Magna Indonesia Tandatangani MoA, Perkuat Hubungan Kemitraan Strategis
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Hukum Universitas Malahayati dan Kantor Hukum Curia Magna Indonesia resmi menjalin kerja sama melalui penandatanganan Memorandum of Agreement (MOA) di Ruang Rapat Abdul Qosyim di Lt 5 Gedung Rektorat Universitas Malahayati. Selasa (23/9/2025).
Langkah strategis ini bertujuan untuk memperkuat hubungan kemitraan antara kedua lembaga, serta mendukung pengembangan keilmuan dalam bidang hukum. Melalui kolaborasi ini, diharapkan dapat terbuka peluang baru dalam penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan peningkatan kualitas pendidikan hukum di Indonesia.
Penandatanganan MoA ini merupakan bagian dari komitmen kedua lembaga untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam rangka pelaksanaan program-program akademik magang kampus berdampak yang inovatif, serta memperluas jangkauan layanan pendidikan hukum dan bantuan bagi masyarakat.
Dengan adanya MoA ini, diharapkan sinergi antara kedua lembaga terus berkembang, memberikan kontribusi signifikan dalam dunia hukum, serta memberikan manfaat bagi mahasiswa dan masyarakat luas.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, menegaskan bahwa kerja sama ini merupakan kelanjutan kesepahaman yang sebelumnya telah dijalin antara kedua pihak. Ia menekankan pentingnya implementasi nyata dari kerja sama ini, khususnya dalam memberikan ruang tempat pelaksanaan ma.gang dan pembelajaran langsung bagi mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati
“Kerja sama ini adalah langkah konkret untuk mendekatkan mahasiswa dengan praktik teori-teori hukum di lapangan. Kami berharap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk magang dan belajar langsung dari para profesional di Kantor Hukum Curia Magna Indonesia. Ini menjadi bekal penting dalam pembentukan karakter dan pemahaman hukum secara komprehensif,” jelas Aditia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Dosen Universitas Malahayati Adhitya Rizky Prabowo Resmi Sandang Gelar Doktor
Dalam sidang terbuka yang berlangsung khidmat tersebut, Dr. Adhitya Rizky Prabowo memaparkan hasil penelitiannya dengan judul “Keabsahan Formil Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam Menjamin Keadilan Hukum”. Penelitian ini menyoroti aspek penting keabsahan hukum dalam praktik pemberian hak tanggungan, yang berperan besar dalam menjamin kepastian dan keadilan hukum, khususnya di bidang perjanjian utang-piutang dan kredit perbankan.
1. Prof. Dr. Ayi Ahadiat, S.E., M.B.A. – Ketua Penguji
2. Prof. Dr. Muhammad Akib, S.H., M.Hum. – Sekretaris Penguji
3. Dr. Rani Sri Agustina, S.H., M.H. – Penguji Eksternal
4. Dr. M. Fakih, S.H., M.S. – Penguji Internal
5. Prof. Dr. FX. Sumarja, S.H., M.Hum. – Penguji Internal
6. Dr. Ahmad Zazili, S.H., M.H. – Penguji Internal
7. Prof. Dr. I Gede A.B. Wiranata, S.H., M.H. – Promotor
8. Dr. Sunaryo, S.H., M.Hum. – Ko-Promotor
Melalui paparannya, Dr. Adhitya menegaskan bahwa aspek formil dalam surat kuasa membebankan hak tanggungan serta akta pemberian hak tanggungan seringkali menjadi titik krusial dalam praktik hukum di Indonesia. Disertasinya memberikan kontribusi penting untuk memperkuat fondasi keadilan hukum, baik bagi kreditur maupun debitur.
Dengan keberhasilan ini, Universitas Malahayati semakin meneguhkan posisinya sebagai kampus yang konsisten melahirkan akademisi dan peneliti berkualitas. Fakultas Hukum pun menambah daftar panjang dosen bergelar doktor yang diharapkan dapat memperkuat kualitas pendidikan dan penelitian di bidang hukum.
Atas capaian ini, keluarga besar Universitas Malahayati menyampaikan ucapan selamat dan kebanggaan. “Semoga ilmu yang diperoleh dapat memberikan manfaat besar, tidak hanya bagi pengembangan ilmu hukum, tetapi juga dalam praktik hukum untuk masyarakat luas,” demikian harapan yang disampaikan civitas akademika.
Keberhasilan Dr. Adhitya Rizky Prabowo menjadi inspirasi bagi dosen dan mahasiswa untuk terus berprestasi serta berkontribusi dalam dunia akademik maupun profesional. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Keberanian Melepas dan Kerendahan Hati Menerima
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Dini hari menjelang subuh sudah menjadi kebiasaan untuk bangun dan bersuci diri; namun entah mengapa saat itu seperti mendapat dorongan untuk membuka perangkat medsos. Dan, mata terbelalak mendapat berita dari seorang sahabat, bahwa ada teman dekat yang tersandung prahara kehidupan. Hati merasa teriris bagaimana melihat wajah yang selama ini akrab dalam diskusi filsafat, harus berhadapan dengan persoalan hukum. Sekalipun beliau memiliki pengalaman panjang tentang kehidupan ini, namun manakala berhadapan dengan posisi diri sebagai sasaran, tentu manusiawi saja jika tampak gugup.
Manusia, sebagai makhluk berkesadaran, senantiasa berhadapan dengan kenyataan bahwa hidup adalah proses yang tak sepenuhnya dapat dikendalikan. Dalam setiap fase kehidupan, kita dihadapkan pada dua tuntutan eksistensial yang tak terhindarkan: melepas dan menerima. Melepas berarti menghadapi kehilangan, perubahan, atau perpisahan; sementara menerima berarti membuka diri terhadap realitas baru, seringkali yang tak diinginkan. Keduanya membutuhkan kualitas manusiawi yang tinggi: keberanian untuk melepas dan kerendahan hati untuk menerima.
Dalam kehidupan kita sering beranggapan banyak hal tampak seperti milik kita: pasangan, pekerjaan, nama baik, bahkan masa lalu. Namun, seiring waktu, kita menyadari bahwa tidak ada satu pun yang benar-benar berada dalam kendali mutlak kita. Inilah mengapa melepas memerlukan keberanian, bukan karena kita lemah, tetapi karena kita sadar bahwa mempertahankan sesuatu yang sudah tak sesuai dengan kenyataan justru dapat membelenggu jiwa.
Melepas, menurut Kierkegaard, bukan tindakan nihilistik, melainkan wujud keberanian eksistensial untuk menaruh kepercayaan di tengah ketidakpastian. Dalam konteks manusia modern, ini bisa berarti melepas keterikatan terhadap karier yang tidak sejalan dengan nilai-nilai batin, atau berani meninggalkan relasi yang tidak sehat demi pertumbuhan jiwa. Keberanian eksistensial adalah kemampuan untuk berdiri tanpa sandaran eksternal, dan tetap memilih untuk hidup secara autentik. Melepas di sini bukan sekadar menyerah, melainkan tindakan aktif yang mengafirmasi kebebasan manusia dalam menciptakan makna hidup.
Martin Heidegger beranggapan bahwa manusia adalah Dasein, yaitu makhluk yang “ada-di-dunia”, yang sadar akan keberadaannya, termasuk kesadarannya akan kematian. Melepas dalam konteks ini adalah kesadaran akan kefanaan dan keterbatasan. Kita tak bisa menggenggam semuanya karena waktu akan selalu menggiring kita menuju perubahan dan akhir.
Kesadaran akan keterbatasan ini bukan melemahkan, melainkan membebaskan. Melepas bukan berarti kehilangan kontrol, tetapi justru mengakui batas-batas keberadaan kita. Kita tidak bisa memaksa dunia sesuai kehendak, dan dalam pengakuan itu, ada kekuatan yang diluar jangkauan kemampuan manusia. oleh karena itu Heidegger menyatakan bahwa manusia yang otentik adalah mereka yang hidup dalam kesadaran akan kematian. Maka, keberanian sejati adalah berani hidup dalam ketidaktentuan, berani melepaskan ilusi permanensi, dan menerima bahwa kita sedang “menuju akhir”, dengan tetap menciptakan makna di sepanjang perjalanan.
Jika melepas membutuhkan keberanian, maka menerima menuntut kerendahan hati. Kerendahan hati bukan kelemahan atau inferioritas, melainkan pengakuan jujur atas kenyataan bahwa kita bukan pusat semesta. Banyak hal terjadi di luar kendali kita, dan menerima realitas seperti apa adanya adalah bentuk kebijaksanaan tertinggi.
Gabriel Marcel, seorang filsuf eksistensialis membedakan antara “memiliki” dan “menjadi.” Menurut Marcel, manusia sering kali mengobjektifikasi dunia dan mencoba memilikinya. Namun dalam kehidupan yang sejati, kita dipanggil untuk menjadi; terlibat, hadir, dan terbuka terhadap apa pun yang diberikan kehidupan. Menerima, dalam kerangka ini, adalah sikap eksistensial dari seseorang yang menyadari keterlibatan dirinya dalam jaringan makna yang lebih besar dari dirinya sendiri.
Kerendahan hati juga mengandaikan bahwa kita tidak selalu tahu apa yang terbaik. Kadang hal yang tampaknya buruk justru membawa kebaikan. Menerima bukan hanya soal menerima kebaikan, tetapi juga menerima kekecewaan, kegagalan, kehilangan. Dan dalam penerimaan itu, manusia mengalami kedewasaan spiritual.
Secara dialektis, melepas dan menerima bukanlah tindakan yang sepenuhnya berlawanan. Keduanya saling membutuhkan. Tidak mungkin kita benar-benar menerima sesuatu yang baru jika kita masih menggenggam yang lama. Sebaliknya, pelepasan tanpa penerimaan hanya akan melahirkan kehampaan. Oleh karena itu Simone Weil berpendapat kekuatan spiritual tertinggi bukanlah kehendak untuk mendominasi, melainkan pengosongan diri (self-emptying). Dengan melepas ego, kita membuka ruang untuk yang ilahi. Weil menulis bahwa “penerimaan adalah bentuk tertinggi dari perhatian.” Maka menerima bukan sekadar membiarkan, tapi hadir secara penuh terhadap apa yang terjadi. Dengan kata lain dari perspektif ini, melepas dan menerima bukan dua gerakan terpisah, melainkan satu tarian batin, di mana manusia terus bergerak antara keterikatan dan keterbukaan, antara memiliki dan memberi ruang.
Erich Fromm, dalam The Art of Loving, menyatakan bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang “memberi tanpa syarat, tanpa mengharapkan balasan, dan tanpa ingin memiliki.” Dalam cinta seperti itu, melepas menjadi wujud tertinggi dari kasih, dan menerima menjadi wujud tertinggi dari kepercayaan. Relasi yang sehat adalah relasi yang penuh keberanian dan kerendahan hati: berani memberi ruang bagi yang lain untuk menjadi dirinya, dan rendah hati untuk menerima bahwa kita tidak bisa mengontrol jalan hidup mereka.
Dalam Islam, konsep tawakkal (penyerahan diri kepada Tuhan) juga merupakan kombinasi keberanian dan kerendahan hati. Manusia berusaha sekuat tenaga, lalu melepas hasilnya kepada Allah. Ini bukan pasrah, tapi bentuk tertinggi dari kepercayaan dan kedewasaan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Profesi Ners Universitas Malahayati Jalani Stase Keperawatan Dasar di RS Bintang Amin
Kegiatan ini menjadi salah satu tahapan penting dalam proses pendidikan profesi Ners, di mana mahasiswa dituntut untuk mengasah kemampuan dasar keperawatan melalui pengalaman praktik langsung di lapangan.
Dalam sambutannya, Aryanti Wardiyah, Ns., M.Kep., Sp.Kep.Mat menekankan pentingnya kreativitas dan berpikir kritis dalam menjalani stase ini. “Mahasiswa Profesi Ners harus mampu berinovasi serta mengasah daya analisis, khususnya dalam pemenuhan kompetensi pada ranah keperawatan dasar”.
“Hal ini sangat penting agar mereka dapat memberikan pelayanan terbaik di masa depan,” tambahnya.
Sementara itu, Direktur RS Bintang Amin, dr. Rahmawati, MPH, menyampaikan dukungan penuh terhadap pelaksanaan stase mahasiswa Unmal. Ia menegaskan bahwa mahasiswa Profesi Ners harus selalu tampil profesional.
“Mahasiswa harus lebih cakap, rapi, dan responsif. Hal ini akan menjadi bekal penting bagi mereka untuk terjun ke dunia kerja dan menghadapi dinamika pelayanan kesehatan,” katanya.
Editor: Gilang Agusman
Selamat Berjuang! Mahasiswa Universitas Malahayati Wakili Lampung di POMNAS XIX 2025
Mereka adalah Mario Hafizh P (24130031) Prodi S1 Teknik Industri, Dinda Cantika (2370030) Prodi S1 Psikologi, Lydia Salsabilah (24210031) Prodi S1 Akuntansi, Qori Ramadani S (23230096) Prodi S1 Ilmu Keperawatan.
Keempat mahasiswa ini akan turun di cabang olahraga masing-masing dan siap memberikan performa terbaiknya untuk membawa nama baik Lampung Berjaya sekaligus mengharumkan Universitas Malahayati di tingkat nasional.
Ajang POMNAS sendiri menjadi wadah kompetisi sekaligus pembinaan talenta olahraga mahasiswa dari seluruh Indonesia. Tahun ini, Jawa Tengah menjadi tuan rumah, dengan ribuan atlet mahasiswa yang akan bertanding di berbagai cabang olahraga.
Universitas Malahayati berharap keempat mahasiswa tersebut dapat tampil dengan penuh semangat, menjunjung tinggi sportivitas, dan membuktikan bahwa mahasiswa Lampung mampu bersaing di kancah nasional.
Selamat berjuang Mario, Dinda, Lydia, dan Qori! Universitas Malahayati selalu mendukung langkah kalian untuk meraih prestasi terbaik. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Kenyang yang Membungkam
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Akhir-akhir ini bergema adanya upaya untuk menggantikan program Makan Bergizi dengan beras. Tentu dengan alasan yang “rasional” menurut versi pandangan pemerintah. Tampak sekilas program itu menarik dan sekilas tampak sederhana, bahkan menyentuh hati. Siapa yang tak luluh melihat warga miskin mengantri beras, tertawa kecil di depan kamera, lalu menyebut betapa bersyukurnya mereka atas bantuan pemerintah. Namun di balik potret syukur itu, tersimpan tragedi yang lebih sunyi, lebih dalam, dan lebih berbahaya dari sekadar kelaparan: lenyapnya martabat manusia yang perlahan-lahan digantikan oleh rasa cukup yang dikondisikan. Kenyang, Tenang, Diam. Tiga kata itu menjadi mantra baru dalam proyek kemanusiaan yang sebenarnya kehilangan ruh.
Di zaman ketika manusia seharusnya semakin sadar akan hak-haknya, kita justru dihadapkan pada pergeseran nilai yang begitu tajam. Bantuan yang idealnya bersifat sementara dan membebaskan, kini menjadi sistemik dan meninabobokan. Beras menjadi alat pemadam gejolak sosial, pelipur lara ekonomi, bahkan alat kontrol politik paling halus. Satu karung beras bisa menjadi pengganti pendidikan tentang hak, kesehatan, kebebasan, dan pemberdayaan. Ia menjadi simbol kepuasan semu; bahwa selama perut kenyang, tak perlu ada yang dipertanyakan. Tak perlu mempersoalkan struktur ekonomi yang timpang. Tak perlu menyuarakan aspirasi yang lebih adil. Karena diam dianggap sebagai bentuk syukur yang paling tinggi.
Kemanusiaan dalam kondisi seperti ini mengalami degradasi. Ia direduksi menjadi kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dengan cara paling cepat dan murah, tanpa memperhitungkan efek jangka panjang terhadap kesadaran kolektif. Padahal manusia bukan sekadar tubuh yang lapar, tetapi juga kesadaran yang berkembang. Manusia membutuhkan pangan, itu benar, tapi juga membutuhkan ruang untuk berpikir, bertanya, dan menentukan arah hidupnya sendiri. Ketika negara atau kekuasaan memilih untuk menyelesaikan persoalan dengan hanya memberi beras, itu adalah pilihan politik: bukan untuk membebaskan, tapi untuk menenangkan. Karena manusia yang kenyang lebih mudah dikendalikan daripada manusia yang lapar dan berpikir.
Lebih dari itu, pemberian yang terus-menerus tanpa membentuk kemandirian adalah bentuk relasi yang tidak setara. Ia menempatkan pemberi sebagai sosok yang tinggi, penuh kuasa, dan penentu hidup orang banyak. Sedangkan yang menerima dilatih untuk bersikap patuh, penuh terima kasih, dan tidak banyak menuntut. Dalam sistem semacam ini, muncul ilusi bahwa negara telah hadir dan bekerja untuk rakyat. Padahal yang sebenarnya hadir adalah pengganti dari keadilan: kenyang sesaat. Maka muncul logika sosial baru: selama rakyat diberi makan, maka mereka tidak berhak mengeluh. Kritik dianggap tidak tahu diri. Protes dianggap bentuk pengingkaran terhadap “kebaikan hati” pemberi bantuan.
Pola pikir seperti ini perlahan meracuni kesadaran kolektif. Di satu sisi, rakyat miskin semakin kehilangan kepercayaan diri untuk menentukan masa depan mereka sendiri. Di sisi lain, mereka yang berada di pusat kekuasaan semakin merasa sah mengatur hidup orang lain tanpa partisipasi, karena merasa telah “berbuat baik.” Keduanya terjebak dalam relasi semu yang jauh dari nilai kemanusiaan sejati.
Di sinilah persoalan etis paling mendasar muncul: apakah tujuan negara hanya untuk membuat rakyatnya kenyang. Ataukah negara harus hadir untuk menjamin kehidupan yang bermakna dan bermartabat. Bantuan beras memang tampak sebagai bentuk keberpihakan, tetapi jika tidak dilandasi dengan agenda transformasi sosial yang transparan dan terbuka, maka dia akan hanya menjadi alat stabilisasi. Ini tidak membawa rakyat keluar dari kemiskinan struktural, tetapi justru memperpanjangnya dalam bentuk yang lebih tersembunyi.
Kondisi semacam ini berbahaya karena ia menciptakan normalisasi yang anomali: bahwa cukup kenyang, cukup. Cukup tenang, beres. Cukup diam, aman. Padahal demokrasi yang sehat hanya bisa tumbuh dari rakyat yang berpikir, bersuara, dan berani menuntut yang lebih baik. Bukan dari rakyat yang dibentuk untuk tunduk pada kenyamanan semu. Filsafat kontemporer menolak narasi ini, karena ia tahu bahwa kehidupan bukan sekadar berlangsung, tapi juga harus layak dijalani. Tidak cukup hanya hidup, akan tetapi manusia harus merasa hidup, utuh, dan dihargai.
Dalam praktik ideal, bantuan bukan untuk membuat rakyat tenang, melainkan untuk membuat mereka mampu bergerak. Bantuan seharusnya menjadi batu loncatan, bukan tali pengikat. Ia harus disertai dengan pendidikan, akses terhadap sumber daya, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Tanpa itu semua, bantuan hanyalah bentuk belas kasihan yang dibungkus dalam sistem. Dan belas kasihan yang sistemik tanpa perubahan struktural hanyalah penjara dengan tembok lembut.
Tugas kita hari ini bukanlah mempertanyakan apakah bantuan beras perlu atau tidak. Bantuan dibutuhkan, terutama dalam situasi krisis. Namun kita harus bertanya lebih jauh: apakah bantuan itu membebaskan? Apakah ia membawa manusia kepada kesadaran baru tentang hak, tanggung jawab, dan masa depan? Atau justru ia mengurung manusia dalam rasa puas yang palsu? Inilah pertanyaan-pertanyaan mendasar yang harus terus diajukan jika kita tidak ingin terjebak dalam peradaban yang menganggap cukup kenyang sebagai tujuan akhir. Dan, perlu dipahami bahwa hakekat membantu itu bukan membuat gradasi baru, akan tetapi tetap dalam kesetaraan; oleh karena itu diperlukan formula agar bantuan itu memanusiakan manusia, bukan sebaliknya. Kenapa kita tidak mau belajar dari sejarah; dahulu ada pola bantuan bernama Padat Karya yang digagas oleh Soedomo saat menjadi Menteri Tenaga Kerja. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
LPPM Universitas Malahayati Gelar Monev Internal Hibah Pengabmas 2025 Kemendikti Saintek, Wujudkan Perguruan Tinggi yang Berdampak
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Lembaga Penelitian, Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Malahayati, menyelenggarakan Monitoring dan Evaluasi (Monev) Internal Perguruan Tinggi bagi penerima Hibah Pengabdian kepada Masyarakat (Pengabmas) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek) Tahun Anggaran 2025. Kegiatan Monev dilaksanakan selama 3 hari yaitu pada tanggal 18 – 20 September 2025, adapun tempat Monev […]
Monolog Senja di Ruang Sepi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sore itu kebetulan banyak tenaga pengajar yang sudah meninggalkan kampus, karena jam kuliah mereka sudah berakhir. Yang tersisa hanya penulis dengan seorang staf administrasi; seorang lelaki tampan berkacamata tebal, sebagai orang yang diserahi mengurus semua keperluan mahasiswa dari alfa sampai zero. Semua dia kerjakan sendiri dalam sunyi tanpa pamrih, dengan satu harapan semua lancar. Dan, dalam kesendirian di ruang kerja yang nyaman ini, terbayang saat tadi “mucuki” kuliah perdana pada program sarjana. Istilah mucuki dikenal pada dunia pedalangan wayang kulit dimana seorang dalang senior membuka pertunjukkan, dengan segala macam kebesarannya. Kemudian sang senior menepi, selanjutnya digantikan oleh dalang yunior guna menuntaskan cerita babat yang sedang digelar.
Pagi tadi saya terkejut setelah mempersilakan masing-masing mahasiswa untuk menyebutkan latar belakang pendidikan, serta hal-hal lain yang melingkupinya. Ternyata latar belakang pendidikan mereka sangat beragam. Hal itu bisa menjadi sangat aneh jika dikaitkan dengan program studi yang mereka pilih hari ini. Terbayang bagaimana beratnya dosen sebagai tenaga pengajar berhadapan dengan keadaan seperti itu. Dosen harus memiliki jurus metodologis bagai pemain kungfu. Semua harus dilakukan agar transfer ilmu pengetahuan, dan pembentukan kepribadian dapat berjalan bersama.
Di ruang akademik itu, mereka semua diminta untuk berjalan di atas satu garis: garis kelulusan, garis derajat sarjana, garis status yang oleh luar sana disebut sama; “sama dengan lulusan perguruan tinggi negeri”.
Tantangannya bukan hanya pada mereka yang duduk di bangku, tetapi sangat berat bagi yang di muka kelas. Ia bukan semata mengajar, tetapi mengorkestrasikan keberagaman agar menghasilkan harmoni yang tak terlihat, setidaknya kelihatannya serasi di atas kertas ijazah nantinya.
Bagaimana mempertimbangkan keadilan dalam situasi tersebut? Apakah keadilan berarti memperlakukan semua mahasiswa dengan sama persis? Atau adakah keadilan justru memberi perbedaan sesuai kebutuhan dan kondisi?
Filsafat kontemporer telah banyak membincang ini lewat teori-teori yang mencermati prinsip keadilan, kesetaraan, kesetaraan peluang, keadilan distributif, dan keadilan korektif.
Pada senja yang sepi ini, pertanyaan-pertanyaan itu bermunculan dari kepala, menuntut jawaban tidak sekadar teknis, tetapi etis.
Pertama, mempertimbangkan bahwa bukan semua mereka yang datang dengan modal yang sama. Ada yang lahir dari keluarga dengan kemampuan membeli buku pelajaran lengkap, bisa ke les privat, dukungan keluarga dalam bentuk ruang belajar yang nyaman. Ada yang harus berjibaku dengan tugas rumahan, bekerja paruh waktu, atau bahkan menempuh perjalanan jauh setiap hari untuk mencapai kampus.
Ada yang bahasa ibunya bukan bahasa pengantar resmi, sehingga kesulitan menangkap jargon akademik.Bahkan tidak jarang dialek rumah pun masih kental mereka pakai di kampus. Ada yang sejak kecil telah terbiasa meraba-raba bacaan, sementara yang lain nyaris tak pernah melihat buku tebal tebal. Ada yang belum bisa memanfaatkan toilet dengan baik dan benar. Kondisi-kondisi ini bukan sekadar latar; ia mempengaruhi bagaimana kapasitas belajar bisa tumbuh.
Tanpa pengakuan terhadap latar ini, tuntutan “kelulusan dengan standar yang sama” bisa menjadi bentuk kekerasan epistemis, yaitu menuntut sesuatu yang mungkin tidak lengkap sama secara modal mental, material, dan sosial.
Kedua, dosen berada di posisi yang paradoks. Di satu sisi, ada tuntutan institusi: standar minimal yang mesti dijaga agar perguruan tinggi tidak kehilangan reputasi. Dosen harus menilai berdasarkan rubrik, bobot tugas, jumlah SKS, dan kurikulum yang ditetapkan.
Keseragaman dalam kurikulum dimaksudkan untuk menjamin bahwa gelar yang diperoleh lulusan menggambarkan kompetensi tertentu.
Di sisi lain, sebagai manusia yang melihat mahasiswanya bukan angka, ia melihat kemampuan yang tak kasat mata begitu “njomplang”, kerja keras yang di luar hitungan kelas, perjuangan hidup yang dalam diam. Ia tahu bahwa meskipun target adalah “lulus dengan kompetensi”, tidak semua mahasiswanya bisa berjalan di lintasan yang serupa.
Teori keadilan distributif mengajarkan bahwa keadilan tidak selalu berarti identik, melainkan memberi bagian yang sesuai kebutuhan; redistribusi agar ketidaksetaraan bisa dikecilkan. Di samping itu, teori equality of opportunity menekankan bahwa kesempatan harus diakses secara setara sejak awal, bukan hanya saat di puncak seleksi. Tetapi bagaimana mengimplementasikan ini di kampus? Apakah dengan remedial khusus, pemberian sumber belajar tambahan, kebijakan toleran terhadap latar sosial, pengurangan beban biaya, atau fleksibilitas dalam metode pengajaran?
Tentu semua ini memerlukan komitmen moral dan material yang luar biasa beratnya bagi dosen perguruan tinggi swasta.
Senja makin menuju temaram bersamaan bersitan di sanubari muncul keraguan: apakah usaha dosen tersebut tidak akan dianggap memanjakan? Apakah akan ada tuduhan bahwa standar akan direndahkan jika diadakan kompensasi?
Inilah titik ketegangan antara idealisme dan pragmatisme. Filsafat pendidikan kontemporer menolak ide bahwa standar harus dijaga dengan mengabaikan ketidaksetaraan latar belakang.
Sebaliknya, ia menawarkan bahwa standar itu sendiri harus sensitif terhadap konteks; bahwa standar tak boleh menjadi jangkar penghukum yang lemah; ia harus menjadi tongkat yang membantu semua untuk menaiki gunung pendidikan; namun bukti di lapangan jauh panggang dari api.
Keadilan, dalam perspektif pragmatis kontemporer, bukan sekedar pembauran persamaan, melainkan proses transformasi. Proses di mana institusi memperhitungkan bahwa mahasiswa mungkin punya “beban tersembunyi”: kekurangan bahasa, minim bahan ajar, keterbatasan teknologi, tekanan ekonomi, tanggung jawab di rumah. Mahasiswa yang datang dengan “keunggulan modal budaya” tidak diminta mundur; mereka tetap bisa bersinar. Tetapi mereka yang modalnya kurang, perlu diberi pijakan agar tidak terjungkal saat menginjak tangga-tangga pendidikan tinggi yang curam. Dosen menjadi semacam penjaga pintu yang tidak boleh menolak siapapun, tetapi membantu mereka untuk masuk dengan bekal yang cukup.
Gelarnya sama dengan sarjana negeri. Tetapi di hati dosen dan mahasiswa yang berproses dalam keberagaman, ada kisah yang tak tertulis di ijazah: usaha melewati tantangan, melintasi jurang perbedaan sosial, budaya, bahasa, material.
Akhirnya pertanyaan di udara menggema; Apakah kelulusan yang sama akan terasa bermakna jika saat di jalaninya ada yang harus menanggung beban berlipat, bergulat dengan rintangan yang tidak dipercayakan kepada yang lain? Apakah gelar itu menjadi pengakuan keadilan, atau sekadar cap seragam tanpa isi bagi sebagian? Apakah dosen, yang dianggap sebagai dirigen, tidak hanya menggiring ke arah satu tempo standar, tetapi juga mampu meresapi irama yang berbeda, tempo yang berbeda pada tiap mahasiswanya, agar keseluruhan simfoni pendidikan menjadi kaya, penuh nuansa, dan setia pada panggilan kemanusiaan?.
Pertanyaan-pertanyaan seperti menjadi sangat liar dalam benak dosen pengajar di perguruan tinggi swasta; namun mereka terbiasa dengan sunyi untuk mengabdi.
Biarlah senja itu menjadi saksi bahwa perguruan tinggi swasta yang harus memungut sisa-sisa remah-remah dari PTN “hawak”; karena menggunakan pukat harimau dalam menjaring calon mahasiswanya; berjuang menyamakan kualitas lulusannya agar sama dengan mereka, sementara bahan bakunya sisa mereka.
Lalu siapakah sejatinya yang pahlawan? Entahlah. Yang jelas pembedanya adalah kerja akademik dosen perguruan tinggi swasta saat ini menjadi jauh lebih berat. Namun yakinilah bahwa pendidikan tinggi adalah medan bagi manusia-manusia yang berbeda untuk tumbuh menjadi satu generasi yang tidak seragam dalam asal tetapi seragam dalam kepekaan, tanggung jawab, dan harapan, serta bersama menjaga negeri ini dari “para perampok berdasi”. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Membaca Perundungan di Sekolah Favorit Bandarlampung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Belum selesai kasus perundungan di salah satu sekolah menengah atas negeri di daerah ini; muncul lagi peristiwa hampir sama di salah satu sekolah menengah pertama swasta yang terkenal disiplin, siswanya melakukan hal yang sama.
Beruntung semua itu diliput oleh media masa sekelas media yang kita baca saat ini; tentu memiliki tingkat kredibilitas yang tinggi. Terutama Herman Batin Mangku (HBM) jurnalis senior yang sangat peduli dengan pendidikan.
Sekalipun HBM sering mendapatkan “perundungan” juga saat meminta klarifikasi kepada sumber berita. Tulisan ini mencoba mmbahasnya dengan meminjam lensa Filsafat Pendidikan, bukan untuk menghakimi, atau memberi solusi, namun paling tidak memberikan referensi.
Perundungan atau bullying, dalam berbagai bentuknya, telah menjadi fenomena sosial yang tidak hanya menyentuh ruang-ruang sekolah saja, akan tetapi juga merembes ke media sosial, lingkungan kerja, bahkan dalam relasi keseharian yang tampak normal.
Ia menyaru dalam candaan, merayap dalam budaya kompetisi, dan terkadang mewujud dalam sistem yang tak lagi berpihak pada kemanusiaan.
Pertanyaannya bukan sekadar mengapa perundungan marak terjadi, tetapi apa yang telah berubah secara mendasar dalam cara manusia dididik hingga kekerasan, baik verbal maupun fisik, menjadi bagian tak terpisahkan dari dinamika sosial kita hari ini.
Filsafat pendidikan kontemporer mengajak kita untuk tidak berhenti pada identifikasi gejala, melainkan menggali struktur pemikiran, nilai, dan orientasi pendidikan yang melandasi tindakan manusia.
Dalam perspektif ini, perundungan bukan sekadar tindakan salah individu terhadap individu lain, melainkan adanya gejala krisis kemanusiaan dalam pendidikan.
Kita hidup dalam dunia yang semakin menilai manusia dari performa, pencapaian, dan tampilan, bukan dari nilai-nilai keberadaan mereka sebagai subjek utuh.
Pendidikan, alih-alih menjadi ruang emansipasi dan penguatan identitas diri, justru sering berubah menjelma menjadi medan tempur, di mana hanya yang “unggul” yang mendapat pengakuan, dan yang “berbeda” menjadi objek cemooh; dan ini mendapat peneguhan yang jelas dan terang ada dalam visi lembaga.
Dalam masyarakat yang dibentuk oleh paradigma seperti ini, perundungan menemukan tanah suburnya. Ketika peserta didik tidak lagi diajak mengenali diri secara jujur dan utuh, tetapi terus-menerus dibandingkan, ditekan, dan diarahkan untuk menjadi sesuatu yang di luar dirinya, maka kegelisahan, kecemasan, dan agresi menjadi respons yang wajar.
Mereka yang merasa tidak cukup baik, tidak cukup pintar, tidak cukup populer, mulai menyalurkan frustrasi mereka dengan menciptakan hierarki baru: “aku boleh tidak pintar, tapi aku bisa menjadi penguasa di antara teman-temanku lewat intimidasi”.
Kekerasan verbal menjadi alat untuk menunjukkan eksistensi. Kekerasan fisik menjadi bahasa baru untuk mengklaim kuasa.
Filsafat pendidikan kontemporer tidak hanya menggugat isi kurikulum atau metode pengajaran, melainkan juga menyentuh kedalaman eksistensial relasi manusia dalam pendidikan. Di mana letak kemanusiaan ketika sekolah menjadi tempat di mana anak-anak merasa terancam?
Apa arti pendidikan ketika seorang anak lebih takut ke sekolah daripada menghadapi ujian? Bukankah seharusnya pendidikan menjadi proses pembebasan, bukan penindasan?
Dalam dunia yang semakin kehilangan arah moral, di mana kebenaran menjadi relatif dan nilai menjadi cair, pendidikan seharusnya menjadi jangkar yang meneguhkan kembali hakikat manusia sebagai makhluk yang saling membutuhkan, saling menghargai, dan saling menjaga.
Namun kenyataan yang kita hadapi hari ini justru sebaliknya. Kegagalan kita dalam membangun ruang pendidikan yang inklusif, terbuka, dan empatik menjadi akar dari tumbuhnya perundungan.
Ketika norma sosial lebih menghargai kekuatan daripada kelembutan, dominasi daripada dialog, maka perundungan bukan lagi penyimpangan, melainkan produk sistemik dari pola pikir yang telah menyimpang.
Anak-anak belajar dari lingkungan mereka. Jika mereka melihat kekerasan sebagai cara menyelesaikan konflik di rumah, jika mereka menyaksikan penghinaan sebagai hiburan di televisi atau media sosial, dan jika mereka merasakan tekanan konstan untuk menjadi sempurna, maka perundungan hanya menjadi manifestasi dari pelajaran-pelajaran tak terlihat itu.
Maraknya perundungan juga mencerminkan ketimpangan dalam relasi kuasa yang sering diabaikan dalam sistem pendidikan. Ketika anak-anak dididik dalam struktur hierarkis yang kaku, di mana otoritas lebih penting daripada keadilan, maka mereka akan meniru pola itu dalam interaksi mereka.
Mereka yang merasa berkuasa: karena status sosial, fisik, atau prestasi, cenderung menggunakannya untuk mengontrol yang lain. Sementara mereka yang dianggap lemah terus mengalami penindasan tanpa ruang untuk bersuara. Pendidikan yang membebaskan tidak membiarkan struktur semacam ini bertahan.
Ia menantang dominasi dan membuka ruang partisipasi bagi semua suara, terutama yang kerap dibungkam.
Selain itu, peran media sosial dalam memperburuk fenomena perundungan tidak bisa diabaikan.
Di ruang digital, perundungan menemukan bentuk baru yang jauh lebih kompleks dan mengerikan: ia tak lagi terbatas ruang dan waktu, dan bisa menyebar dalam hitungan detik. Anonimitas memberi keberanian bagi pelaku, sementara algoritma memperkuat ekosistem kekerasan simbolik ini.
Sayangnya, pendidikan digital masih sangat minim diberikan. Banyak anak dan remaja yang masuk ke dunia digital tanpa dibekali kesadaran etis dan tanggung jawab sosial.
Mereka tidak tahu bagaimana menggunakan kebebasan berpendapat secara bijak, karena mereka sendiri belum pernah mengalami bagaimana rasanya dihargai sebagai manusia yang utuh.
Guru dan pendidik perlu dipersiapkan bukan hanya sebagai pengajar materi, tetapi sebagai fasilitator kemanusiaan. Mereka harus mampu membangun relasi yang otentik dengan peserta didik, menjadi teladan dalam kepekaan sosial, dan memiliki keberanian untuk berdiri di pihak yang tertindas.
Dalam kerangka filsafat pendidikan kontemporer, guru bukan sekadar agen transformasi kognitif, melainkan agen perubahan sosial. Tugas mereka adalah membantu peserta didik menemukan identitas mereka yang sejati, membangun kesadaran kritis terhadap realitas yang mereka hadapi, dan mengembangkan kapasitas untuk hidup bersama secara damai dan bermakna.
Dan, tidak kalah pentingnya lembaga pencetak guru jangan tinggal diam di menara gading, mari turun lihat ke bumi karena alumni anda ada di sana.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa perundungan adalah cermin dari kegagalan kita memahami dan mempraktikkan nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam pendidikan.
Selama pendidikan hanya mengejar standar, ranking, dan sertifikat, maka selama itu pula kita akan menciptakan generasi yang lebih terampil secara teknis, tetapi lumpuh secara moral. Kita harus kembali ke pertanyaan mendasar: untuk apa kita mendidik?
Jika jawabannya adalah untuk menciptakan manusia yang utuh, yang mampu hidup berdampingan dengan yang lain dalam perbedaan, maka seluruh orientasi sistem pendidikan kita harus dirombak agar sejalan dengan visi itu.
Terakhir, terimakasih patut diucapkan kepada media sosial (termasuk Hello Indonesia) yang konsisten mewartakan kejadian serupa ini, sekalipun diyakini saat mengkonfirmasi berita justru juga mendapatkan “perundungan jurnalistik” dari mereka yang merasa terusuk.
Semoga dinas pendidikan terkait dapat melakukan tindakan edukasi kepada semua jajarannya terutama yang berkait dengan masalah. Dan, tidak kalah pentingnya harus mampu bertindak tegas kepada mereka yang bertanggung jawab akan hal ini.
Bukan justru membuat kebijakkan kontradiktif, yang akhirnya memumbuhsuburkan perundungan di lingkungan dunia pendidikan. Salam Waras (gil)
Editor: Gilang Agusman