Puncak itu Tidak Pernah Kita Daki Sendirian

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa saat lalu negeri ini dihebohkan dengan adanya tragedi Gunung Rinjani di Nusa Tenggara Barat. Penulis, karena tugas direktorat, beberapa kali datang ke Lombok memandang dari kejauhan bagaimana menakjubkannya gunung itu. Dan, sangat terkejut bagaimana puncak-puncak yang indah dipandang itu telah memakan korban, terakhir warga Brazil menemui ajalnya di lereng jurang di puncak sana. Terlepas dari cerita harubiru semua, ada satu komentar dari nitizen dalam caption media sosialnya “Puncak itu tidak pernah kita daki sendirian”. Untaian kata ini menusuk relung hati filsafat penulis; dan perburuan literaturpun dimulai. Karena ini bukan soal puncak gunung semata, akan tetapi puncak-puncak kehidupan.

Di tengah dunia yang semakin menekankan individualitas dan pencapaian pribadi, kita sering kali lupa bahwa setiap puncak yang berhasil kita taklukkan adalah hasil dari jaringan relasi, dukungan, dan pengaruh dari orang lain. Kalimat “puncak itu tidak pernah kita daki sendirian” bukan sekadar metafora tentang solidaritas, tetapi juga pernyataan eksistensial tentang hakikat manusia sebagai makhluk sosial, historis, dan spiritual.

Filsafat eksistensial banyak berbicara tentang individu, tentang kebebasan, pilihan, dan tanggung jawab. Namun, para pemikir besar seperti Martin Buber dan Gabriel Marcel menolak gambaran atomistik manusia sebagai subjek yang sepenuhnya mandiri. Buber dalam karyanya ”I and Thou” menegaskan bahwa manusia tidak bisa dipahami sepenuhnya dalam relasi “Aku-Itu” yang obyektif dan terpisah; manusia hanya mencapai keutuhannya dalam relasi “Aku-Kau,” yakni hubungan timbal balik yang otentik dan saling mengakui. Oleh sebab itu mendaki puncak kehidupan: baik itu karier, pendidikan, atau kebijaksanaan; tidak pernah merupakan hasil dari perjalanan soliter atau seorang diri. Akan tetapi selalu ada “Kau” yang menyertai: orang tua yang mendidik, sahabat yang menguatkan, guru yang menyalakan cahaya, atau bahkan lawan yang memaksa kita menjadi lebih baik. Dalam setiap puncak yang kita capai, ada jejak tangan orang lain yang membentuk, menantang, dan menyentuh kehidupan kita.

Setiap langkah yang kita ambil menuju puncak adalah respon terhadap perjumpaan-perjumpaan dengan orang lain. Bahkan ketika kita berjuang untuk membebaskan diri, kita melakukannya dalam konteks sosial yang membentuk perjuangan itu. Kita tidak dapat menafsirkan identitas kita, arah hidup kita, atau bahkan impian kita tanpa mengacu pada orang lain. Maka, puncak itu tidak pernah kita daki sendirian karena bahkan keinginan untuk mendaki pun sering kali muncul dari interaksi dengan orang lain.

Dalam pandangan filsuf hermeneutik seperti Hans-Georg Gadamer, pengalaman manusia tidak pernah netral. Setiap tindakan, keputusan, dan pemahaman kita terbentuk dalam horizon sejarah yang kita warisi. Kita membawa serta bahasa, nilai, kebudayaan, dan tradisi dalam setiap laku hidup. Maka, keberhasilan pribadi tidak dapat dilepaskan dari konteks sejarah kolektif yang melandasinya. Sebagai contoh, Seorang anak yang berhasil menjadi dokter bukan hanya mengandalkan kemauan dan usahanya sendiri, tetapi juga berdiri di atas fondasi yang dibangun oleh generasi sebelumnya: pengorbanan orang tua, sistem pendidikan, bahkan perjuangan dari banyak orang. Puncak itu bukan menara gading; ia adalah simpul dari ribuan ikatan sejarah.

Dalam filsafat personalisme yang digagas oleh filsuf seperti Karol Wojtyła, manusia dipahami bukan sebagai individu yang terisolasi, tetapi sebagai pribadi yang hanya menjadi diri sejatinya dalam relasi yang saling memberi. Pribadi tidak pernah selesai hanya dengan menjadi “aku,” tetapi terus menjadi dalam hubungan dengan “kamu” dan “kami.”

Saat kita mendaki puncak kehidupan, seperti mengatasi rasa takut yang melampaui batas, atau mewujudkan cita-cita. Semua itu kita melakukannya karena pernah disentuh oleh cinta, kepercayaan, dan harapan orang lain. Bahkan dalam kesendirian, memori dan makna hubungan itu menyertai kita. Kita didorong oleh suara ibu yang percaya kita mampu, oleh kenangan guru yang menyemangati kita, atau oleh sahabat yang pernah menolong kita berdiri kembali saat kita terpuruk. Pendakian menuju puncak tidak selalu mulus. Ada jurang, badai, dan kelelahan. Dalam momen-momen ini, kehadiran orang lain bukan hanya pelengkap, melainkan penopang eksistensial. Oleh karena itu orang bijak berpesan bahwa : Puncak yang sejati adalah ketika keberhasilan kita juga menjadi berkah bagi orang lain.

Dalam banyak tradisi spiritual, perjalanan menuju puncak adalah simbol dari transformasi batin. Puncak bukan sekadar tujuan eksternal, tetapi pencapaian integritas jiwa. Dalam konteks ini, pendakian adalah doa yang ditopang oleh banyak suara. Maka, puncak itu tidak pernah kita daki sendirian, karena dalam sunyi pun ada gema doa orang lain yang membela dan mendampingi kita.

Terakhir, kita harus menyadari bahwa setelah sampai di puncak, tugas kita bukanlah berdiam di sana, tetapi menolong yang lain untuk turut naik. Gabriel Marcel menyebutkan bahwa harapan adalah tindakan iman terhadap manusia dan masa depan. Kita tidak hanya mendaki bersama; kita juga terpanggil untuk menjadi jembatan bagi yang lain. “Puncak itu tidak pernah kita daki sendirian” bukan hanya pengakuan akan bantuan teknis dari orang lain. Ia adalah pernyataan filsafat tentang kodrat manusia yang saling bergantung, saling membentuk, dan saling mendefinisikan. Kita menjadi diri kita karena orang lain, dan kita mencapai apa yang kita capai karena jalinan kehidupan yang mengelilingi kita. Filsafat manusia mengajarkan bahwa keberhasilan bukan sekadar prestasi individual, tetapi juga refleksi dari relasi yang mendalam, sejarah yang dibagi, dan kasih yang menyertai. (SJ)

Editor: Gilang Agusman