Ketika Rencana Bertemu Takdir
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menjadi rutinitas setelah duduk dua jam lebih, maka guna menjaga kebugaran tubuh, karena memang sudah tidak muda lagi, aktivitas rutine mengelilingi separoh lantai lima Gedung Rektorat, sambil ketoilet. Entah hari itu tidak begitu bersemangat, berjalan sedikit gontai. Ternyata diujung sana ada seorang yunior, lelaki bergas, tampan, dan pandai; sedang berdiri gotai bersandar kepagar. Tatkala melewati yang bersangkutan, orang muda ini sedikit menyergah untuk sedikit berbincang. Ternyata beliau sedang dalam posisi “tidak baik-baik” saja, karena hampir separoh rencana kerjanya berantakan. Beliau bertanya dengan pertanyaan filosofis, lengkapnya “…Profesor, mengapa rencana itu terlalu sering tidak jumbuh dengan takdir ?..”. tentu pertanyaan berat ini harus diuraikan panjang kali lebar dan dalam.
Manusia adalah makhluk yang berpikir, merencanakan, dan berharap. Dalam setiap langkah hidupnya, manusia menata masa depan dengan penuh kesungguhan, seolah nasibnya dapat dibentuk sepenuhnya oleh kekuatan kehendak dan kecerdasannya. Namun, sering kali kenyataan menunjukkan bahwa sehebat apa pun rencana yang disusun dengan teliti, selalu ada ruang bagi hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Kalimat “Sehebat apa pun rencanaanmu akan kalah dengan takdirmu” mencerminkan pergulatan eksistensial manusia antara keinginan untuk mengatur kehidupan dan kesadaran akan keterbatasan di hadapan kekuatan yang melampaui dirinya.
Ketika manusia membuat rencana, ia sebenarnya sedang menegaskan eksistensinya sebagai makhluk yang sadar dan berkehendak. Ia menolak pasrah terhadap arus kehidupan yang acak. Rencana menjadi bentuk perjuangan untuk menata kekacauan menjadi keteraturan, memberi makna pada hidup yang seolah tidak menentu. Dalam tindakan merencanakan, manusia menegaskan dirinya sebagai subjek yang ingin menentukan arah hidupnya sendiri. Namun, pada saat yang sama, ketika rencana-rencana itu gagal atau berubah, manusia diingatkan akan realitas bahwa dirinya bukan penguasa tunggal atas hidup ini. Ia hanyalah bagian kecil dari keseluruhan semesta yang bekerja dengan hukum-hukum dan misteri yang tidak seluruhnya dapat dijangkau.
Takdir itu hadir sebenarnya bukan sebagai bentuk pengekangan, melainkan sebagai cermin dari keterbatasan manusia. Dalam setiap kegagalan rencana, terdapat kesempatan untuk merenungi makna eksistensi itu sendiri. Mengapa manusia merencanakan? Mengapa manusia kecewa ketika rencananya gagal? Karena di balik rencana itu ada harapan akan kendali dan kepastian. Namun, hidup menolak untuk sepenuhnya dikendalikan. Ketika takdir melampaui rencana, manusia belajar tentang kerendahan hati dan penerimaan. Ia mulai memahami bahwa kebijaksanaan tidak selalu berarti kemampuan menguasai segalanya, melainkan kesadaran untuk berdamai dengan hal-hal yang tak bisa dikendalikan.
Manusia yang hanya berpegang pada rencana cenderung terjebak dalam ilusi kontrol. Ia menganggap dunia sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat diprediksi dan diatur. Padahal, dalam pengalaman konkret, justru peristiwa yang tidak direncanakan sering kali membawa perubahan besar dalam hidup. Banyak perjumpaan, peluang, atau kesadaran baru muncul justru dari hal-hal yang tidak pernah masuk dalam skema perencanaan. Dari sini dapat dipahami bahwa ketidakpastian bukan semata musuh, melainkan ruang kebebasan tempat manusia menemukan dimensi terdalam dari keberadaannya.
Namun, menerima takdir bukan berarti menyerah. Penyerahan tanpa kesadaran hanyalah bentuk keputusasaan. Sebaliknya, penerimaan yang sejati adalah pengakuan bahwa manusia berhak berusaha, tetapi hasil akhirnya tidak selalu berada dalam genggamannya. Di sinilah keseimbangan antara kehendak dan kepasrahan menemukan bentuknya. Manusia perlu merencanakan hidupnya dengan sungguh-sungguh karena melalui rencana itu ia mempraktikkan kebebasannya. Tetapi ia juga harus siap menghadapi kenyataan bahwa setiap rencana memiliki kemungkinan untuk gagal. Dalam kegagalan itu, manusia belajar tentang arti ikhlas, yaitu sebuah sikap yang tidak berarti berhenti berjuang, melainkan tetap berusaha sambil menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kehendaknya sendiri.
Ketika seseorang berkata bahwa sehebat apa pun rencanamu akan kalah oleh takdirmu, hal itu bukanlah seruan untuk berhenti merencanakan. Sebaliknya, kalimat itu mengandung ajakan untuk menyadari bahwa hidup memiliki lapisan makna yang lebih luas daripada sekadar hasil. Rencana menunjukkan usaha manusia, sementara takdir menunjukkan rahasia kehidupan. Ketika keduanya dipahami secara seimbang, manusia tidak lagi merasa hancur ketika rencana gagal, karena ia tahu bahwa setiap kejadian, bahkan yang tidak diinginkan, membawa pesan yang dapat memperkaya jiwanya.
Pada akhirnya, manusia harus menerima kenyataan bahwa ia tidak dapat mengendalikan arah angin, tetapi ia dapat mengatur layar perahunya. Rencana adalah layar itu; bentuk konkret dari usaha manusia untuk mencapai tujuan. Takdir adalah angin yang menentukan arah perjalanan, kadang lembut, kadang kencang, kadang berlawanan dengan keinginan. Namun justru dalam perjumpaan antara layar dan angin itulah kehidupan menemukan maknanya. Jika hanya ada rencana tanpa takdir, hidup akan menjadi mekanis dan membosankan; jika hanya ada takdir tanpa rencana, hidup kehilangan arah dan makna.
“Sehebat apa pun rencanamu akan kalah dengan takdirmu” bukanlah kalimat yang mematikan semangat, melainkan pengingat agar manusia tetap rendah hati di hadapan misteri kehidupan. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap usaha manusia untuk menata masa depan, selalu ada ruang bagi takdir untuk berbicara. Dan mungkin, justru di situlah letak keindahan hidup: pada ketidakpastian yang mengajarkan manusia untuk terus berusaha, berharap, dan sekaligus pasrah, karena pada akhirnya hidup bukan hanya tentang mencapai rencana, tetapi tentang bagaimana kita bertumbuh di antara kehendak dan ketentuan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman


