Edi Purwanto Mahasiswa Universitas Malahayati, Menjadi Pemenang IV Duta Bahasa Provinsi Lampung

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat kepada Edi Purwanto (22220108) Mahasiswa Prodi S1 Manajemen Universitas Malahayati  yang berhasil Menjadi Pemenang IV pada Ajang Pemilihan Duta Bahasa Provinsi Lampung. Acara ini diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Provinsi Lampung, di Hotel Novotel Lampung.  Sabtu (18/5/2024).

Edi menceritakan bahwa Ajang Pemilihan Duta Bahasa Provinsi Lampung yang diikuti 294 pendaftar dari seluruh Provinsi Lampung. “Saya berkesempatan bertemu dengan banyak orang baru dari berbagai daerah Lampung dan belajar tentang budaya Lampung”.

Proses seleksi yang ketat dan persiapan yang panjang menjadi tantangan tersendiri. Namun, hal ini memotivasi Edi untuk terus belajar dan mengembangkan diri.

Ajang ini menjadikan saya dapat melangkah lebih jauh, untuk dapat mengembangkan kemampan dalam berbicara didepan publik dan wawasan kebahasaan. Ini semua juga berkat support dan dukungan kepada saya selama ini. “Saya merasa bersyukur atas dukungan keluarga, teman, bapak ibu dosen dan Universitas Malahayati tercinta yang telah memberikan semangat dan motivasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, Edi mengungkapkan harapannya dapat menjadi duta bahasa Provinsi Lampung yang kompeten dan berdidkasi tinggi. “Saya ingin membawa bahasa dan budaya Lampung untuk lebih dikenal meluas sampai dunia internasional,”ungkapnya.

Edi juga berkomitmen untuk menggunakan platform media sosialnya untuk mempromosikan budaya dan Trigratra bangun bahasa. “Saya ingin menjadi inspirator bagi generasi muda Lampung untuk berani bermimpi mengejar cita-cita mereka,” tambahnya.

Edi juga berkeinginan untuk merubah kondisi yang terjadi sekarang, dengan kurangnya penggunaan bahasa daerah terutama bahasa Lampung di Provinsi Lampung itu sendiri. Ia juga ingin meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya bahasa daerah dan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa.

Editor: Gilang Agusman

 

Pengabdian Masyarakat Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati, Angkat Tema “Edukasi Kesehatan dan Teknologi Tepat Guna”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati Bandarlampung mengadakan Pengabdian Masyarakat (Pengmas) di  Pondok Pesantren Al-Firdaus Kemiling, Bandarlampung. Kegiatan ini diikuti oleh para santri yang berjumlah 89 orang. Tema dari pengabdian Masyarakat ini adalah “Edukasi Kesehatan dan Teknologi Tepat Guna”. Rabu (22/5/2024).

Agenda ini merupakan salah satu program pengabdian masyarakat yang berbasis pada teknologi tepat guna. Adapun kegiatan yang dilaksanakan  yaitu pembuatan paving blok dari limbah plastik, penyaringan filter air sederhana, pembuatan sabun cuci cair dengan campuran bunga telang, pembuatan  sabun mandi padat kombinasi Olive oil dan pembuatan Sabun cuci tangan dengan bahan buah Pepaya.

Selain itu juga kegiatan lainnya yang dilakukan adalah  dengan berbagi pengetahuan melalui penyuluhan tentang bullying ,Personal Hygine dan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Kegiatan ini dihadiri juga oleh Kepala BPPM FIK, Dosen FIK yang berjumlah 22 orang dosen dan 30 mahasiswa.

Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Djunizar Djamaluddin, S.Kep., Ns., MS  menyatakan bahwa kegiatan ini merupakan kegiatan yang sudah menjadi agenda rutin di FIK dengan tujuan untuk memberikan Pengetahuan tentang kesehatan dan penerapan Teknologi Tepat Guna bidang kesehatan. Djunizar juga berharap agar para santri dapat menerapkan dan mengaplikasikan materi yang mereka dapatkan dari dosen dan Mahasiswa.

Pimpinan Pondok Pesantren Ustadz KH. Amirudin,S.Pd.,M.Pd  membuka langsung acara Pengmas ini . Dalam sambutannya, Pimpinan Ponpes menyambut  baik kegiatan pengmas yang merupakan bentuk kepedulian Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayatil kepada para santri di ponpes Al Firdaus. “Semoga dengan kegiatan ini dapat meningkatkan pengetahuan santri tentang kesehatan dan bisa menerapkan teknologi tepat guna untuk mendukung kewirausahaan yang saat ini sedang di tanamkan di ponpes ini,” ujarnya.

Para santri yang terlibat menyambut hangat dan penuh antusias dalam kegiatan ini. Salah satu santri bernama Fattah berujar, “Saya mengucapkan terima kasih dengan kedatangan dosen dan kakak-kaka mahasiwa yang mengajarkan kami tentang pembuatan sabun, saya mendapatkan ilmu baru katanya menutup akhir dari kegiatan ini”.

Editor: Gilang Agusman

Sanepa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sanepa (biasa dibaca sanepo) merupakan bentuk gaya bahasa dalam kesusatraan Jawa yang berfungsi untuk menyampaikan sindiran secara halus. Berdasarkan penelusuran digital, ditemukan makna “sanepo” dalam bahasa Jawa merujuk pada bahasa kiasan atau ungkapan yang tidak disampaikan secara langsung, melainkan melalui perumpamaan, sindiran, atau simbol. Makna sanepa biasanya memerlukan penafsiran lebih lanjut untuk memahami maksud sebenarnya yang ingin disampaikan oleh pembicara. Dalam budaya Jawa, sanepa sering digunakan dalam percakapan sehari-hari, karya sastra, maupun dalam tradisi lisan seperti wayang dan tembang.

Penggunaan sanepo dapat berfungsi sebagai cara untuk menyampaikan kritik atau nasihat secara halus agar tidak menyinggung perasaan orang lain secara langsung. Selain itu, sanepo juga bisa menjadi bentuk penghormatan, kebijaksanaan, dan kearifan lokal dalam komunikasi antarindividu maupun dalam masyarakat luas.
Contoh sanepo adalah peribahasa atau pepatah Jawa seperti “ngunduh wohing pakarti” yang berarti “memetik hasil dari perbuatan sendiri”. Kalimat ini tidak menyatakan secara eksplisit perbuatan baik atau buruk, tetapi mengandung makna bahwa setiap tindakan akan membawa konsekuensi yang harus diterima oleh pelakunya.

Penjelasan lebih lanjut mengatakan aanepa merupakan salah satu bentuk seni berbahasa yang sangat dihargai dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam berbagai karya sastra.

Berikut adalah beberapa aspek lain dari sanepa yang memberikan penjelasan lebih mendalam tentang maknanya. Pertama, simbolisme dan perumpamaan. Maksudnya,  sanepa sering menggunakan simbol atau perumpamaan untuk menyampaikan pesan. Misalnya, dalam cerita wayang, tokoh-tokoh dan peristiwa sering merupakan simbol dari nilai-nilai moral atau sosial tertentu, seperti Sengkuni untuk mewakili mereka yang suka adu domba, Bimasena untuk mewakili mereka yang berjiwa kesatria, dan lain sebagainya.

Kedua, kearifan lokal.  Sanepa mencerminkan kearifan lokal masyarakat (Jawa) yang mengutamakan kesopanan dan keharmonisan dalam berkomunikasi. Melalui sanepo, seseorang dapat menyampaikan kritik atau nasihat dengan cara yang lebih halus dan tidak langsung, sehingga lebih bisa diterima dan didengar oleh pihak lain yang dimaksud.

Ketiga, pembelajaran dan pendidikan. Dalam konteks pendidikan, sanepa digunakan sebagai alat untuk mengajarkan nilai-nilai dan kebijaksanaan kepada generasi muda. Cerita-cerita rakyat, mitos, dan legenda yang mengandung sanepo sering digunakan untuk menyampaikan pesan moral. Contoh, cerita Joko Tingkir untuk menanamkan nilai-nilai kejuangan, dan sebagainya.

Pertanyaan tersisa, masih efektifkah sanepa digunakan pada saat ini dalam rangka menemukenali dan melestarikan budaya para leluhur, umumnya pada masyarakat Nusantara? Jawabannya tentu sangat sulit sekali mengingat perubahan nilai, dan budaya saat ini sedang berlangsung begitu cepat akselerasinya.

Sebagai contoh ungkapan  “ngono yo ngono..ning ojo ngono”. Secara harfiah dapat diterjemahkan menjadi “begitu ya begitu, tapi jangan begitu.” Namun, untuk memahami makna ungkapan ini dengan lebih dalam, kita perlu melihat konteks budaya dan makna kiasan yang ada di baliknya.

Secara lebih rinci, ungkapan ini mengandung makna sebagai berikut. Pertama, pengakuan situasi. “Ngono yo ngono” berarti mengakui bahwa suatu tindakan atau keadaan memang benar atau bisa dimaklumi dalam konteks tertentu.

Kedua, peringatan atau batasan moral. “Ning ojo ngono” berarti “tetapi jangan begitu”. Ini maksudnya memberikan peringatan atau batasan bahwa meskipun tindakan tersebut dapat dimaklumi, sebaiknya jangan dilakukan dengan cara yang berlebihan, merugikan, atau tidak sesuai dengan norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku.

Pada konteks kedua ini lebih kepada kepatutan yang saat ini sudah tergerus oleh sifat hedonis, ingin menang sendiri, mencari selamat sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana pupusnya harapan orang tua kepada anak untuk sekolah manakala pejabatnya mengatakan pendidikan tinggi itu kebutuhan tersier; oleh sebab itu harganya mahal. Seolah-olah negara tidak mau hadir ditengah rakyatnya; dan ini menciderai nilai-nilai yang hidup ditengah masyarakat. Secara tersirat hal tersebut ingin mengatakan ..”kalau miskin gak usah kuliah”….

Meminjam istilah H.Oma Irama itu, terlalu, jika sanepa di atas digunakan pada konteks ini akan berubah menjadi “silakan begitu, walaupun memang harus begitu”. Oleh sebab itu, tidak salah jika orang bijak memberikan sanepa sebagai ssindiran yang sangat tajam dan menghunjam yang berujar: “Di dunia ini ada tiga golongan yang tidak bisa di lawan, yaitu orang kaya, penguasa, dan  orang gila.

Kalau ketiga konteks tadi disejajarkan, maka betapa tidak enaknya pada kesejajaran ketiga. Namun tampaknya itu yang ingin dimaksud oleh pembuat sanepo tadi, yaitu mensejajarkan orang kaya yang lalim, penguasa yang dholim itu sama dan sebangun dengan orang gila.

Pada akhirnya negara tidak salah jika akan menjadi pengekspor tenaga kerja keluar negara lain karena negaranya tidak mampu mengurus dan menghidupi rakyatnya. Dengan bangganya mereka diberi label “sanepa” sebagai “pahlawan devisa” padahal mereka bekerja pada sector informal dinegara lain dengan diberi label sanepa keren “asisten trumah tangga”. Itupun saat ingin pulang ke negerinya sendiri harus berhadapan dengan kadal-kadal yang siap mengadali semua barang bawaan yang mereka kumpulkan bertahun-tahun dengan nilai tak seberapa.

“Jika zaman penjajah sekolah negeri bukan untuk anak pribumi, setelah merdeka sekolah  bukan untuk anak miskin”.  Luarbiasa memang sanep di negeri ini. Itu pun dibela oleh menterinya mengatakan bahwa uang kuliah tunggal hanya untuk mahasiswa baru. Bayangkan jika ada anak dari satu keluarga masuk fakultas tertentu dengan biaya pertama di atas seratus juta, dengan biaya setiap semesternya duapuluh lima juta. Apakah rasional jika ini dikenakan kepada mereka yang berpenghasilan rata-rata lima juta perbulan dengan jumlah keluarga lima orang dalam satu rumah tangga.

Pertanyaannya, apa yang mau dijual untuk bayar uang kuliah? Keanehan itu semakin menjadi-jadi jika dikaitkan dengan adanya perguruan tinggi yang tidak menaikkan biaya kuliahnya. Peristiwa ini sebenarnya suatu sanepa untuk menterinya, ternyata ada lembaga yang dipimpinnya berbeda pendapat dengan dirinya.

Ini adalah bentuk mbalelo terhadap sang menteri. Dan, jika pertanda ini diterjemahkan dalam bahasa verbal “yang tidak paham siapa”. Konsep mbalelo memang sudah sejak lama dikenal pada budaya nusantara khususnya Jawa, dan itu adalah bentuk penentangan terhadap kekuasaan yang dirasakan tidak adil oleh warganya.

Sebenarnya kalau kita mau jujur bahwa menterinya tidak salah, karena dia tidak begitu paham dengan pengelolaan perguruan tinggi. Yang bermasalah adalah yang mengangkat menteri. Sebab bagaimanapun ahlinya seorang sopir truk gandengan, namun tetap saja dia mengalami kesulitan jika harus menjadi pilot pesawat terbang. Semoga sanepa ini menjadikan kita paham; karena kegagalpahaman kita selama ini disebabkan oleh ketidakmampuan kita menangkap apa dibalik mengapa.

Editor: Gilang Agusman

Pemberdayaan yang Memberdayai

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pemberdayaan dan memperdayai adalah dua konsep yang bertolak belakang dan memiliki implikasi yang sangat berbeda. Merujuk dari beberapa sumber keduanya dapat dibedakan sebagai berikut: Pemberdayaan mengacu pada proses memberikan kekuatan, otoritas, atau kemampuan kepada individu atau kelompok agar dapat mengambil kontrol atas hidup mereka sendiri, meningkatkan kemandirian, dan mengambil keputusan yang memengaruhi mereka secara positif. Ini melibatkan memberikan sumber daya, keterampilan, pengetahuan, atau dukungan yang diperlukan agar individu atau kelompok dapat mencapai potensi mereka sepenuhnya. Pemberdayaan biasanya berfokus pada upaya untuk meningkatkan kualitas hidup dan kemandirian.

Memperdayai adalah tindakan memanipulasi, menipu, atau menggunakan kekuatan atau otoritas untuk mengelabui atau menyesatkan individu atau kelompok agar melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka sendiri. Ini melibatkan penggunaan tipu muslihat, kebohongan, atau praktik-praktik yang tidak etis untuk mendapatkan keuntungan atau mengendalikan orang lain. Memperdayai bertentangan dengan konsep pemberdayaan karena melibatkan pengurangan kekuatan atau kendali dari individu atau kelompok yang terkena dampak.

Perbedaan mendasar antara pemberdayaan dan memperdayai terletak pada niat dan hasil dari tindakan tersebut. Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuatan dan kemandirian individu atau kelompok, sedangkan memperdayai bertujuan untuk mengambil keuntungan dari atau mengendalikan orang lain guna kepentingan diri atau kelompoknya.

Perbedaan hitam-putih di atas tidak menimbulkan masalah, karena semuanya terang benderang, disebabkan ada pada tataran konsep; namun pada tataran praksis tidak sesederhana itu. Sebab banyak kita jumpai memperdaya dibungkus dengan pemberdaya; akibatnya menciptakan ketergantungan yang masif dan jangka panjang. Sebab, memperdaya yang dibungkus pemberdaya itu adalah upaya merusak sistem secara sistimatis yang ada dalam masyarakat, karena hubungan yang terbangun dibuat ketergantungan baik struktural maupun fungsional.

Sebagai ilustrasi; jika bantuan yang diberikan akibat dari mengerjakan sesuatu guna kepentingan bersama; ini adalah bentuk pemberdayaan  dalam arti minimalis. Namun jika bantuan diberikan secara cuma-cuma dan mengakibatkan ketergantungan akan bantuan itu baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, berarti hal itu adalah perdayaan. Karena apa yang dilakukan tidak lebih dari “candu” yang membuat ketagihan. Bantuan yang diberikan sengaja dibuat untuk timbul sikap berharap, dan harap inilah menjadi candu untuk selalu meminta karena dibuat tak berdaya. Orang yang terkena tadi disebut terkena tipu daya; akibatnya muncul sikap ketergantungan dan berharap akan pemberian.

Dari sisi teori kedudukan masing-masing konsep tadi jelas; namun saat diaplikasikan kedalam kondisi nyata dalam masyarakat menjadi sangat berbeda. Sebab jika pemberdayaan dalam konsep diimplementasikan, tidak menutup kemungkinan terjadi penyimpangan; salah satu diantaranya adalah berbentuk proyek fiktif. Bisa terjadi proyeknya yang fiktif, bisa juga jumlah yang mengerjakan yang fiktif; lebih parah lagi semuanya fiktif.

Jika pilihan kedua yang dipilih, dan selama ini pilihan jatuh kemari, yang terjadi adalah sifat ketergantungan dan sikap hidup malas. Lebih parah lagi jika perdayaan ini diisi dengan muatan syahwat politik; maka terjadilah hubungan simbiose mutualistic nyaris sempurna. Mereka yang diberi selalu haus akan pemberian, sipemberi akan mengatur ritme bantuan sesuai kepentingan. Penelikungan kekuasaan “memberi” inilah yang menyempurnakan perubahan menjadi tipu daya.

Hasil penelusuran sejarah ditemukan bukti-bukti bahwa cara penelikungan ini dilakukan menjadi sempurna jika dikaitkan dengan keadaan darurat; karena sifat kedaruratan itulah yang mempermudah jalan untuk melakukan apa saja; tentu berlindung pada jargon besar “penyelamatan” atau bisa juga dengan lebih halus lagi “tanggap darurat”. Oleh sebab itu tidak heran jika setelah kondisi darurat berlalu, akan ditemukan penyimpangan besar yang berujung pada pemanfaatan situasi untuk kepentingan pribadi.

Ternyata orang bijak pernah berpesan …”bisa jadi bencana bagi orang lain…justru menjadi keberkahan bagi yang lainnya..”.  Di sana tampaknya keagungan keilahian dalam mengatur harmoni alam ini, dan semua itu diatur dengan skenaro kodrat yang tidak satu mahluk-pun di dunia ini mengetahui akan semua itu. Sama halnya kita semua seolah yakin bahwa besok matahari akan terbit, namun tidak ada diantara kita yang mengetahui hakekatnya mengapa matahari harus terbit, karena itu semua adalah wilayah transidental, hanya Sang Maha Pencipta yang Maha Mengetahui.

Salam waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Azzahra Nur Ariyanti Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih 2nd Runner Up Putri Hijabfluencer

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat kepada Azzahra Nur Ariyanti (23370022) Mahasiswa Prodi S1 Psikologi Universitas Malahayati yang berhasil mendapatkan “2nd Runner Up Putri Hijabfluencer” pada acara Beauty Pageant Putri Hijabfluencer Indonesia. Acara ini berlangsung di Hotel Horison Lampung, 11 Mei 2024.

Azzahra mengucapkan rasa syukur atas pencapaian ini, “Alhamdulilah puji syukur dengan pencapaian yang telah saya raih ini”. Azzahra meyakinkan bahwa pencapaian ini menjadikan motivasi untuk dirinya agar lebih berkreatif dan mengembangkan potensi diri lagi.

Lebih lanjut, ia bercerita proses ini melalui seleksi yang cukup ketat dan membutuhkan waktu yang cukup panjang. “Suatu kebanggaan bagi saya bisa mendapatkan 2nd runner up dalam ajang bergengsi ini,” lanjutnya.

Dalam harapan dan motivasinya, Azzahra berharap dengan prestasi ini dapat memotivasi teman-teman mahasiswa agak mengikuti jejaknya. “Semoga dengan prestasi ini mendapatkan dampak positif untuk teman-teman dan Universitas Malahayati tercinta,” ujarnya.

Tak lupa, Azzahra ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Universitas Malahayati, Prodi Psikologi, keluarga dan teman-teman yang sudah support dirinya sampai sejaih ini. “Langkah besar ini telah dilalui, dan semua ini berkat support yang yang telah diberikan oleh semuanya,” ucapnya.

Azzahra pun berpesan agar kita selalu percaya diri bahwa kita bisa dan akan selalu ada hasil yang diinginkan. “Kembangkan minat dan bakat yang kita miliki agar kita bisa menjadi mahasiswa berprestasi,” tandasnya.

Editor : Gilang Agusman

Nur Indah Afwa Dianti Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih Juara Favorit Ajang Kejuaraan Poster Tingkat Nasional 2024

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Selamat kepada Nur Indah Afwa Dianti (23370082) Mahasiswa Prodi S1 Psikologi Universitas Malahayati yang berhasil mendapatkan “Juara Favorit Poster” pada Kejuaraan Poster Tingkat Nasional. Acara ini diselenggarakan oleh Angkasa Seni Indonesia, 11-16 Januari 2024.

Nur Indah menyampaikan terima kasih kepada semua yang telah berkontribusi dalam pencapaiannya hingga saat ini. “Saya ingin berterima kasih kepada orang-orang di sekitar saya yang telah memberikan dukungan dan motivasi dalam setiap langkah perjalanan kompetisi ini. Prestasi ini adalah hasil kerja keras bersama,” ucapnya.

Mahasiswa yang memiliki minat dalam desain ini menjelaskan bahwa keikutsertaannya dalam lomba desain poster didasarkan pada kecintaannya terhadap karya seni dan keterampilan desain. Nur Indah telah mengembangkan bakatnya sejak SMP dan kini berhasil menguasai desain, seperti poster publik, ilustrasi, dan infografis.

Dalam harapan dan motivasinya ke depan, Nur berkomitmen untuk terus menciptakan ide dan karya baru. “Saya ingin terus mengembangkan minat dan bakat yang ada dalam diri saya, serta berharap dapat meraih prestasi yang lain di masa depan,” ujarnya.

Prestasi Nur Indah menjadi kebanggaan bagi Universitas Malahayati, dan harapannya dapat menginspirasi mahasiswa lain untuk terus mengejar passion dan berprestasi dalam berbagai bidang. “Semoga prestasi ini dapat menjadi motivasi bagi teman-teman mahasiswa semua,” sambungnya.

Nur Indah menambahkan agar kita sebagai mahasiswa terus berkarya dan selalu memberikan yang terbaik dibidang kita masing-masing.

Editor : Gilang Agusman

 

60 Dosen Universitas Malahayati Ikuti Workshop Peningkatan Kapasitas Penulisan Artikel Ilmiah Internasional

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Sebanyak 60 dosen Universitas Malahayati Bandar Lampung mengikuti Workshop Peningkatan Kapasitas Dosen dalam Penulisan Artikel Ilmiah pada Jurnal Internasional Bereputasi. Acara ini berlangsung di lantai 5 gedung rektorat, Selasa (21/5/2024).

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Malahayati Bandar Lampung dan menghadirkan narasumber Prof. Amirul Mukminin, S.Pd., M.Sc.Ed., Ph.D dari Universitas Jambi, seorang pakar di bidang penulisan artikel ilmiah internasional.

Workshop dibuka oleh Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, dr. M.M. Dalam sambutannya, beliau menekankan pentingnya bimbingan dari narasumber untuk membantu dosen-dosen Universitas Malahayati dalam menyusun artikel ilmiah yang layak diterbitkan di jurnal internasional bereputasi.

“Saya sangat senang narasumber berkenan hadir memberikan wawasannya kepada para dosen Universitas Malahayati. Semoga para dosen lebih terbantu dalam menyusun jurnal, khususnya untuk melancarkan jenjang akademik hingga mencapai guru besar,” ujar Dr. Achmad Farich.

Rektor juga mengajak para dosen, khususnya yang muda, untuk lebih bersemangat dalam meningkatkan jenjang akademiknya. “Saat ini sudah banyak dosen-dosen muda yang usianya masih di kisaran 40 tahun sudah menjadi guru besar. Ini adalah kesempatan yang sangat luas bagi dosen Universitas Malahayati untuk mencapainya,” tambahnya.

Kepala LPPM Universitas Malahayati Bandar Lampung, Erna Listyaningsih, SE, M.Si., Ph.D., menyampaikan bahwa banyak dosen yang mengalami hambatan dalam proses peningkatan jenjang akademik, terutama terkait dengan publikasi di jurnal internasional bereputasi. “Dengan adanya workshop ini, diharapkan dosen Unmal dapat meningkatkan luaran publikasi di jurnal internasional bereputasi,” ujarnya.

Prof. Amirul Mukminin, S.Pd., M.Sc.Ed., Ph.D., yang merupakan dosen dan guru besar di Universitas Jambi, dikenal ahli di bidang Linguistik Terapan dan Studi Pendidikan. Beliau memiliki berbagai bidang penelitian, termasuk Perencanaan dan Kebijakan Bahasa, Revitalisasi Bahasa, Kebijakan Pendidikan, Administrasi Pendidikan, Manajemen Pendidikan, Penilaian dan Evaluasi Pendidikan, serta Pembinaan Bahasa. Gelar doktornya diperoleh dari Florida State University, USA. (*)

 

Editor: Asyihin

UKT = Uang Kuliah “Tinggi”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Berita tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang sangat tinggi, akhir-akhir ini menyeruak ke permukaan, bahkan ada perguruan tinggi negeri yang mematok sampai harga seratus juta rupiah lebih. Di sisi lain, badan statistik nasional merilis data bahwa rata-rata tingkat pendidikan di negeri ini hanya kelas tujuh; berarti setara dengan pendidikan anak sekolah lanjutan pertama kelas satu. Jika dibuka kurikulumnya mereka baru sampai batasan pengenalan benda, proses sederhana, dan hal-hal remeh temeh lainnya.

Keadaan itu dikejutkan bak halilintar di tengah hari dengan pernyataan petinggi yang mengurusi bidang pendidikan dengan pernyataan…”jenjang pendidikan tinggi itu bersifat tersier”…. Artinya bukan skala prioritas untuk anak negeri ini, dengan alasan perioritas utama ada pada pendidikan dasar. Dengan logika sederhana maka tidak harus kuliah karena kuliah itu untuk mereka yang berduit.

Pejabat sekelas profesor itu mengucapkannya tanpa ada rasa empati atas anak negeri; bahkan terkesan memperlebar jurang antara orang kaya dengan mereka yang kurang beruntung. Label yang ditabalkan kepada pendidikan tinggi seolah-olah membenarkan apa yang diterapkan pemerintah kepada rakyatnya. Beliau lupa bahwa tugas profesor itu diantaranya adalah ikut mencerdaskan bangsa, bukan ikut membodohkan bangsa dengan mengkuti kemauan pemerintah yang juga kadang sesat.

Berbeda lagi dengan saat anak negeri ini melamar pekerjaan dimanapun berada, mereka selalu dihadapan dengan kalimat …..”berijazah minimal sarjana”…. Padahal untuk menjadi calon anggota parlemen tidak setinggi itu syaratnya, bahkan menjadi presiden cukup Sekolah Lanjutan Atas.

Menjadi lebih gila lagi jika kita bandingkan secara statistik, ternyata jumlah sarjana dari total penduduk di negeri ini dibandingkan negara-negara lain masih sangat minim. Data lain menunjukkan jumlah perguruan tinggi negeri jauh lebih sedikit dibandingkan perguruan tinggi swasta; ini berarti seharusnya pemerintah punya keleluasaan dana untuk membiayai perguruan tinggi negeri, dibandingkan dengan swasta. Namun ini justru terbalik; perguruan tinggi swasta yang dana operasionalnya sangat tergantung dari uang masuk sumbangan mahasiswa, dan jumlahnya sangat kecil itu; masih mampu bertahan dan berkualitas, bahkan masih ngopeni anak negeri yang secara ekonomi kurang beruntung.

Anehnya urusan standardisasi pemerintah sibuk menyetandarkan swasta menjadi negeri untuk urusan akademik, tetapi untuk urusan pendanaan mereka tidak pernah mau belajar kepada swasta bagaimana harus mengelola dengan baik. Buktinya rektor perguruan tinggi negeri yang ditangkap KPK jumlahnya lebih banyak jika dibandingkan dengan rektor perguruan tinggi swasta. Bahkan ada rektor perguruan tinggi negeri yang tega memeras calon mahasiswa untuk membayar sejumlah uang guna masuk kefakultas favoritnya. Sementara uangnya dibagi-bagikan kepada para pendereknya, dan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

Atas pertimbangan yang sulit dipahami dengan menggunakan istilah uang kuliah tunggal yang mengharuskan masuk sebanyak-banyaknya, maka jumlah mahasiswa yang diterima menjadi tidak terbatas. Berlindung dengan beragam jalur, yang ujung-ujungnya harus bayar sekian. Ada mantan dekan dari perguruan tinggi negeri mengeluh karena harus mengajar mahasiswa program sarjana jumlahnya tiga kali lipat dari kapasitas normal. Beliau sangat prihatin akan mutu yang akan diperoleh, sementara perguruan tinggi swasta harus mau menanggung beban, sisa-sisa mahasiswa yang tidak lulus “obyokan” dari perguruan tinggi negeri. Adagium kalau di perguruan tinggi negeri susah mencari dosen, sementara kalau di perguruan tinggi swasta susah mencari mahasiswa; seolah menjadi sempurna jadinya.

Upaya seleksi sosial yang dibangun di negeri ini seolah-olah memang dijadikan semacam nilai yang bersifat kontradiktif. Satu sisi setiap lembaga pendidikan, terutama negeri, diberi dana bantuan dengan bermacam nama, tetapi tetap saja peserta didik harus bayar; itupun jumlahnya tidak lagi memperhatikan rasio dosen dengan mahasiswa, lebih kepada orientasi profit. Sementara perguruan tinggi swasta yang mengandalkan jumlah mahasiswa untuk pendanaan dibiarkan mencari upaya sendiri; namun untuk administrasi akademik yang terkadang tidak ada hubungannya dengan kelembagaannya diminta untuk diadakan, dengan ancaman jika tidak bisa memenuhi aturan itu dipersilahkan tutup.

Pada batas-batas tertentu untuk pengendalian mutu, hal tersebut baik-baik saja; namun jika pelayanan itu menyangkut semua aspek, termasuk aturan administrasi personal, rasanya kurang tepat; sebab yayasan mempunyai kebijakan sendiri dalam rangka mengamankan asset dan kepemilikian dan keberlanjutan.

Di negeri ini menjadi terkesan jika berurusan dengan uang, jika untuk kepentingan pemerintah harus sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya, tiba giliran untuk warganya maka prinsipnya berubah menjadi …“ kalau bisa nanti kenapa harus sekarang”. Contohnya sampai tulisan ini dibuat ada sekolah negeri yang gurunya belum menerima uang sertifikasi; bahkan kenaikan gaji duabelas persenpun belum mereka nikmati. Jika ditanyakan ke pusat jawabannya itu wewenang daerah, jika ditanyakan ke daerah, jawabannya itu wilayah pusat. Namun begitu nanti ada pemilihan kepala daerah, maka hampir semua calon mendatangi guru dengan berbagai dalih.

Masih banyak lagi persoalan yang tidak mungkin diurai pada media ini, sebab membacanya akan membosankan, dan banyak lagi komentar “itu curhat saja” atau “kelompok tidak puas…jangan didengar…”; yang lebih menyakitkan lagi dijawab “ini kan era kami”. Semoga yang waras atau merasa waras dapat memahami, jika masih ada orang yang peduli berarti di sana masih ada rasa sayang kepada negeri.
Salam Waras (SJ)

Selamat Hari Kebangkitan Nasional, Bangkit Untuk Indonesia Emas!

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Hari ini, kita mengenang dan merayakan semangat perjuangan bangsa yang telah mengantarkan kita pada kemerdekaan dan kemajuan. Semoga semangat kebangkitan nasional senantiasa menginspirasi kita untuk terus berinovasi, bersatu, dan bekerja keras demi mewujudkan Indonesia yang lebih baik. Mari kita jadikan momentum ini sebagai pengingat bahwa kebersamaan dan tekad kuat adalah kunci untuk menghadapi segala tantangan.

Dengan semangat kebangkitan nasional, mari kita terus berkontribusi dan berkolaborasi untuk kemajuan bangsa. Bersama, kita wujudkan cita-cita dan harapan untuk Indonesia yang lebih maju, adil, dan sejahtera.

Selamat Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 2024. “Bangkit Untuk Indonesia Emas”.

Editor : Gilang Agusman

Dewi Pilkadawati

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Cerita pewayangan tentang Baratayudha memang menarik dan tidak habis-habisnya digandrungi bagi mereka yang mengerti dan paham akan cerita karya Walmiki itu. Namun kreativitas penikmat cerita ini juga tinggi. Salah satu di antaranya adalah mempertanyakan setelah Lakon Pandawa Moksa, cerita berikutnya apa. Di sana mulai kreatifitas muncul, terutama para Dalang Wayang Kulit untuk membuat lakon gubahan sendiri atau dikenal dengan “Carangan”. Tulisan ini juga ingin menyajikan satu carangan cerita lanjutan dengan judul di atas, soal autentifikasi , orsinilitas, atau mungkin juga pengawuran; kita abaikan dulu, karena jika ditelaah hubungan antara Mahabarata dengan judul di atas tidak ada hubungan sama sekali, bahkan mungkin ngawur.

Syahdan pada suatu perdikan negeri sempalan bekas kerajaan besar Hastinapura masyarakatnya sedang dihadapkan pada tatacara pemilihan Kepala Perdikan. Kalau masa kerajaan besar dulu Kepala Perdikan selalu ditunjuk “Pusat” dengan berbagai teknik; ada yang ditunjuk langsung, ada yang melalui kolusi dengan para penggawa kerajaan, dan masih banyak lagi cara yang ditempuh. Sementara sekarang tidak ada orang pusat kerajaan yang peduli, karena merekapun sibuk korupsi masing-masing. Bahkan saking rakusnya “Celana Dalam Wanita” oleh-oleh dari pekerja migran yang pahlawan devisa-pun mereka korupsi. Konon makanan ringan Coklat yang harganya serepes juga mereka embat dengan cara menaikkan harga menjadi lima kepeng. Dan, ujung-ujungnya mereka badog sendiri.

Jika masa “kuno” orang akan menjadi kepala, termasuk kepala perdikan harus mencari “Wahyu” sebagai mandat langit guna pengesahan dan membangun kekuatan spiritual. Dengan cara bertapa di gua atau hutan untuk dapat wangsit, lakunya puasa menutup semua hawa nafsu. Kemudian wahyu berubah menjadi restu pusat sebagai pemegang kendali wilayah perdikan. Sementara sekarang semua berubah menjadi kuasa rakyat, sementara rakyatnya memerlukan “kayu bakar” agar dapur mereka ngebul. Berarti siapapun calon kepala perdikan harus punya kepeng untuk membeli bahan bakar dan dibagikan kepada kawulo alit. Terus pertanyaannya dari mana kepeng yang sebanyak itu didapat, karena itu diperlukan sumber kepeng atau paling tidak adalah dermawan yang mau mengucurkan sedikit kepengnya, walau tentu tidak ada Dermawan Syurga kalau urusan beginian.

Untung di Perdikan itu ada seorang wanita dermawanwati bernama Ibu Dewi Pilkadawati yang menjadi saudagar, sekaligus memiliki kebon gula yang sangat luas. Beliau dikenal seorang dermawanwati, dan sangat open (jawa: perhatian) dengan pendidikan katanya, dan juga pada orang terlantar. Tidak kalah pentingnya open dengan calon kepala perdikan; tentu dengan konsesi-konsesi tertentu, yang semua itu dibicarakan di bawah meja; tidak seorangpun yang mengetahui kecuali Tuhan.

Sekarang para calon kepala perdikan sedang pusing tujuh keliling karena banyak calon yang berminat, tentu persaingan makin ketat, entah apa penyebabnya. Para calon harus mempu meyakinkan para kawulo alit sebagai orang yang akan memilih, dan konon jumlahnya sekarang cukup besar. Para calon juga harus selalu pasang mata-mata untuk mematamatai calon lain berkaitan dengan strategi pemenangan. Berarti harus menyiapkan team sukses yang tangguh, dan itu semua tidak ada yang gratis. Terakhir harus mampu meyakinkan Ibu Dewi Pilkadawati bahwa dirinya banyak memiliki pendukung dan mampu memberikan konsesi kepada ibu agar pabriknya tetap ngebul asapnya, pajaknya bisa terjaga dan masih banyak lagi tentunya.

Menariknya, para kawula alit sekarang sudah pada cerdas; mereka adalah para pemain sandiwara yang gamben alias lihai. Semua bisa dilakonkan dengan nyaris sempurna; bila ada calon kepala perdikan mendatangi, mereka pasang aksi seolah pendukung beratnya, setelah dikasih kepeng mereka tidak segan berjanji siap membantu. Demikian seterusnya manakala ada calon lain yang datang, dengan sikap sempurna yang sama mereka lakukan, dan, bantuan kepeng datang lagi. Bahkan diantara mereka ada yang teriak “enak jaman sak iki to……ngapusi wae entuk duwit”…. Terjemahan bebasnya enak jaman sekarang…berbohong saja dapat uang.

Lalu bagaimana cara Ibu Dewi Pilkadawati mencari kepeng guna menyediakan maunya para calon kepala perdikan. Beliau cukup menaikkan setengah margin harga produknya yang merupakan kebutuhan utama sebagian besar para kawulo alit; maka selesailah urusan semuanya. Dengan kata lain beliau menterjemahkan hukum sosial “dari kita untuk kita” dengan sempurna. Beliau beramal tidak harus dengan bersusah payah menghitung nisabnya harta; tetapi dengan kecerdasan model emak-emak saat anak-anaknya meminta uang jajan saat mau berangkat sekolah; semua selesai nyaris sempurna.

Semoga Perdikan yang akan melakukan pemilihan kepala ini mendapatkan pimpinan sesuai tuntutan jamannya. Semoga Tuhan menunjukkan jalan terang dan menuntun mereka yang dikodratkan untuk menjadi pemimpin terbaik dengan tidak harus emosian apalagi temperamental. Tancep Kayon Gunungan Keluar tanda wayang sudah berakhir.

Salam Waras (SJ)