Pilkada

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Berbagai media di Lampung saat ini sering menulis berita tentang pemilihan kepala daerah (pilkada). Selain Pilkada, pemilihan kepala daerah sering juga disingkat Pilkadal (dengan akhir huuf “l”). Penulisan Pilkadal kerap mengganggum karena maknanya sering tidak klop dengan maksudnya. Bahkan menjadi “diplesetkan” (sulih arti) dengan hal-hal yang bersifat kurang baik.

Kata “kadal” memang kerap multitafsir. Ada yang mengatakan bahwa dalam konteks yang lebih umum, kadal sering dianggap sebagai hewan yang dapat bertahan dalam berbagai kondisi, sehingga sering dijadikan simbol ketangguhan dan keuletan. Kadal sering dianggap sebagai simbol keberuntungan, kekuatan, dan perlindungan dalam budaya banyak masyarakat di dunia. Di beberapa budaya, kadal juga melambangkan kebijaksanaan, kecerdikan, dan kesabaran karena sifat-sifatnya yang diam dan hati-hati.

Dalam mitologi banyak suku, kadal sering kali dianggap memiliki kekuatan magis atau spiritual.
Namun, pada sisi lain, kata “ngadadali” merupakan istilah dalam bahasa Jawa yang berarti licik, cerdik, atau pandai dalam makna negatif. Jadi, jika ada yang dikatakan “ngadali”, mungkin itu merujuk pada kelicikan atau kecerdikan mencontoh kadal dalam mitologi atau cerita tertentu. Atau dalam pemaknaan metafora bermakna berlaku licik untuk hal-hal tertentu. Tidak ada referensi yang valid sejak kapan kata di-kadal-in dipakai orang, kenapa juga tidak dibilang “dicicakin” misalnya atau ” dibunglonin”.

Pemilihan umum secara nasional baru saja berlalu, tentu semua kita mempunyai kesan masing-masing secara personal maupun komunal. Demikian juga seluruh warga provinsi ini memiliki peta kognisi yang berbeda dari hasil pengalaman menghadapi peritiwa besar tersebut. Tentu dari hal-hal yang positif, sampai dengan hal-hal yang kurang baik; semua menjadi semacam hasil rekam yang ada dalam ingatan sebagai kesan dan membentuk persepsi. Termasuk rekaman berupa ingatan, persepsi atau apapun namanya yang merujuk pada “merasa dikadali”.

Sebagai contoh, banyak di antara mereka terbangun persepsi bahwa pemilihan itu berhubungan erat dengan bagi-bagi sembako atau angpau. Malah saat itu ada yang nyeletuk kalau bisa tiap bulan ada pemilihan, sehingga mereka tidak harus repot-repot bekerja cari makan, cukup menunggu pembagian jatah dari para calon. Kemudian ada yang berharap ada pemilihan terusmenerus karena mereka berprofesi sebagai tim sukses, maksudnya sukses “ngadali” para calon, untuk mendapatkan keuntungan material dari mereka.

Karena soal kadalmengadali ini tidak kenal saudara atau family; ada satu contoh saat pemilihan umum yang baru lalu, ada calon legeslatif yang cukup banyak mengeluarkan biaya dengan asumsi semua tim sukses adalah saudara dekatnya, dari paman, kemenakan, dan sepupu. Ternyata perhitungan teman tadi salah, sebab cuan tidak mengenal saudara, yang ada adalah mana yang lebih banyak atau besar memberi. Semua itu menembus batas ruang dan darah daging , yang selama ini diandalkan. Luka hati teman tadi sampai bersumpah untuk tidak akan mau lagi membantu saudara sekalipun itu paman atau kemenakan sendiri.

Ternyata Pemilu dapat membuat pilu, akibat kena kadal dari yang seharusnya sahabat kental.
Bentukan-bentukan persepsi di atas adalah merupakan residu sosial yang harus diwaspadai oleh mereka yang berkeinginan maju mencalonkan diri untuk jabatan apapun saat ini, yang prosesnya melibatkan pemilihan yang berbasis suara masa.

Pilkada ternyata akan meneruslestarikan perilaku ”sing penting entuk piro, sing dadi terserah sopo” (yang tpenting dapat berapa, yang jadi terserah siapa). Perilaku ini melanda pada lapisan akar rumput, walaupun di kelas menengah ditengarai ada juga walaupun sedikit malu-malu.

Mereka berpendapat bahwa para calon apapun dia, hanya datang kepada mereka saat memerlukan suara, setelah pemilihan usia, maka selesailah pula urusan dengan mereka. Anggapan yang ada di benak mereka, ”sebelum pemilihan meratappun jadi, setelah jadi tinggal pergi”. Tentu anggapan ini tidak seutuhnya benar, namun mereka menemukan contoh sudah terlalu banyak untuk menuju pada kesimpulan. Akibatnya terjadi baku tikam antara yang dipilih dan yang memilih. Mereka saling intai untuk menemukan kesempatan demi keuntungan.

Beberapa waktu lalu bahkan ada seorang penggiat demokrasi mengingatkan manakala masyarakat kita masih miskin dalam pengertian materi dan pendidikan; maka perilaku seperti ini akan terus ada. Namun asumsi itu tidak selamanya benar. Sebab, bisa jadi secara ukuran pendidikan formal cukup baik, namun perilaku “miskin” masih melekat sebagai budaya. Atau sebaliknya secara pendidikan ada pada level rendah, namun secara materi ada di atas rata-rata; ternyata perilakunya mengikuti hartanya.

Dengan kata lain, dengan berakhirnya pemilihan umum yang baru lalu ternyata menyisakan perilaku anomaly sosial pada masyarakat. Dan, ini menjadi modal kondisi yang harus diperhitungkan kepada mereka yang ada niat untuk mencalonkan diri menjadi pemimpin di daerah ini. Oleh sebab itu, melalui tulisan ini penulis mengingatkan kepada mereka yang berhasrat untuk maju kegelanggang pemilihan kepala daerah level manapun untuk selalu hati-hati dan waspada, serta berhitung cermat, karena di sana banyak orang baik tetapi tidak kurang banyak juga kadal.

Lebih berbahaya lagi sepertinya baik tetapi sebenarnya kadal yang siap mengadali anda. Selamat berjuang kawan hanya doa yang dapat kami bekalkan kepada kalian. (SJ)

SIMBAH

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Dalam konsep Jawa, “Simbah” merupakan panggilan untuk nenek atau kakek yang sangat dihormati. Kata “Simbah” digunakan sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua atau leluhur yang sudah lanjut usia. Penggunaan kata “Simbah” mencerminkan rasa hormat, penghargaan, dan kelembutan kepada orang yang lebih tua, terutama dalam budaya Jawa yang kaya akan nilai-nilai tradisional dan adat istiadat.

Pada tataran konsep nilai-nilai tradisional Jawa, Simbah memiliki makna yang sangat dalam dan dihormati. Berikut adalah beberapa konsep Simbah dalam nilai-nilai tradisional Jawa yang bersumber dari literatur kuno:

Pertama, Kehormatan dan Penghormatan: Simbah merupakan simbol kebijaksanaan, pengalaman, dan kedalaman spiritual. Oleh karena itu, Simbah dihormati dan dipandang sebagai sumber pengetahuan, nasihat, dan kearifan.

Kedua, Keluarga dan Kebijaksanaan: Simbah sering dianggap sebagai pusat keluarga dan sumber kebijaksanaan dalam menghadapi berbagai masalah. Mereka memiliki peran yang sangat penting dalam menjaga hubungan harmonis dalam keluarga.

Ketiga, Warisan Budaya: Simbah juga merupakan penjaga warisan budaya. Mereka sering menjadi pembawa tradisi, cerita-cerita nenek moyang, serta kearifan lokal yang turun-temurun.

Keempat, Pendidikan dan Pembelajaran: Simbah tidak hanya dihormati karena usianya yang lanjut, tetapi juga karena pengetahuan dan pengalaman hidup yang mereka miliki. Mereka menjadi guru bagi generasi muda, memberikan pelajaran tentang kehidupan, moral, dan nilai-nilai kehidupan.

Kelima, Kedekatan dengan Alam: Simbah juga sering dihubungkan dengan alam dan spiritualitas. Mereka dipandang memiliki koneksi yang dalam dengan alam dan dunia spiritual, serta mampu memberikan perlindungan dan berkah kepada keluarga dan masyarakat.

Meskipun ada perubahan dalam masyarakat jawa modern, konsep Simbah masih tetap relevan dan dihormati dalam budaya Jawa. Mereka tetap dianggap sebagai tokoh yang bijaksana, berpengalaman, dan dihormati oleh masyarakat. Oleh sebab itu tokoh simbah masih sering diminta nasehat, arahan, dan restu bagi para generasi penerus. Beberapa pesan simbah yang masih relevan sampai hari ini diantaranya adalah:

…. “Ingatlah selalu untuk berbuat baik kepada semua orang, jaga sikap, dan lakukanlah yang terbaik dalam segala hal.”…..

Pesan etika dan moral ini tampaknya sekarang sudah mulai memudar; kita sudah sangat jarang melihat dimasyarakat, terutama pada tataran sikap. Banyak mereka yang sudah merasa sukses, merasa tidak perlu sowan kepada simbah dalam hal ini sebagai figure orang yang dituakan, bahkan mungkin berjasa; untuk sekedar datang menyampaikan undangan dari suatu perhelatan. Mereka merasa cukup diwakilkan dengan selembar kertas undangan, atau bahkan pesan melalui piranti sosial; itu sudah cukup. Tampaknya tataran etika sudah mulai tergerus, dan ini melanda semua lapisan masyarakat, bahkan yang bergelar maha guru-pun tidak terkecuali.

…….”Jangan lupakan akar budaya dan tradisi nenek moyang kita. Itulah yang membuat kita tetap kuat dan bersatu sebagai satu keluarga.”….

Pesan inipun sudah tidak diingat lagi karena sikap individualitas yang melanda kehidupan saat ini begitu deras. Bahkan rasa kekeluargaan sudah luntur hanya karena jabatan dan cuan. Betapa banyak diantara kita yang sudah tidak bisa lagi sungkem dengan orang tua. Adat ketimuran sungkem dan atau cium tangan, tidak banyak lagi generasi penerus yang melakukan apalagi paham akan filosofinya.

……”Hidup ini penuh dengan cobaan dan ujian. Tetaplah bersyukur atas segala yang ada dan selalu bersabar dalam menghadapi setiap masalah.”….

Nasehat inipun sudah banyak diabaikan, banyak diantara kita inginnya serba cepat, instant. Prinsip yang ada kalau bisa segera kenapa nanti, kalau bisa beli kenapa harus repot. Prinsip ini juga melanda mereka yang berpendidikan tinggi; banyak indikasi mahasiswa membeli karya tulis ilmiah hanya karena alasan yang sangat sepele. Padahal secara kalkulatif mereka rugi dua kali, pertama rugi materi, kedua mereka membeli kebodohan sendiri.

Contoh lainnya yang tidak kalah tajamnya dalam bernasehat diantaranya ialah:

…”Kebaikan hati dan kasih sayang kepada sesama adalah hal yang paling utama. Jadilah orang yang selalu siap membantu dan peduli terhadap orang lain.”…..

……”Jangan pernah lupa berdoa dan berserah diri kepada Tuhan. Kekuatan doa akan membawa kita melewati segala cobaan dan kesulitan dalam hidup.”…

Sayangnya simbah sekarang banyak yang bergeser dari makna hakiki di atas. Tidak jarang status simbah mengalami gradasi yang luar biasa; sehingga sikap yang ditampilkan berbanding terbalik dengan yang seharusnya. Semula berperan sebagai penasehat, berubah menjadi penjahat. Ada nasehat dari bahasa Jawa Kuno yang mengatakan perubahan itu menjadikan jika berubah menjadi …. “sepa sepi lir sepah samun “… ditemukan dalam buku Wedhatama, karya dari Arya Adhipati Mangkunegara ke-IV dari Surakarta Hadiningrat, yang makna terjemahan aslinya yaitu: sepa = ora ana rasane (tidak ada rasanya = hambar). sepi = sepi ora ana apa-apane (tidak ada apa-apa nya). llir = kaya (seperti).  sepah = ampas (ampas sisa). samun = sepi banget (sunyi sekali). Arti bebasnya bahwa simbah sudah tidak memberi makna apa-apa pada orang lain dan lingkungan, ibarat sudah menjadi ampas yang layaknya hanya untuk dibuang.

Kehidupan sosial memang kejam, dan tidak bisa dihindari kita akan menjadi tua, dan pada waktunya akan dipanggil “simbah” dan atau sebutan lainnya. Mari kita siapkan diri untuk menjadi “simbah sejati” yang bermanfaat bagi negeri walau disisa umur yang tidak pasti. Ingat pesan orang terdahulu….”setiap perjalanan hidup adalah sebuah cerita…tetapi….tidak semua jalan kehidupan bisa diceritakan”……

Salam Waras. (SJ)

Rektor Universitas Malahayati Terima Kunjungan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keluarga Berencana BKKBN RI

Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, dr., MM., menerima kunjungan Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera BKKBN RI, dr. Hariyadi Wibowo, SH., MARS, di ruang Meeting lantai 5 Gedung Rektorat Universitas Malahayati, Selasa (7/5/2024).

dr. Hariyadi Wibowo datang bersama sejumlah anggota tim dari BKKBN, termasuk Ketua Tim Kerja Latbang Anastasia, Ketua Tim Kerja Jalwilsus Munawar Shodiq, Ketua Tim Kerja Ketahanan Lansia Anisa Kuswandari, Tim Kerja Pelatihan Rendy Ryandani, dan Tim Kerja Pelatihan Desi Relga.

Dalam sambutannya, dr. Hariyadi Wibowo menyatakan bahwa tujuan kunjungan ini adalah untuk bersilaturahmi dan mengenal lebih dekat Universitas Malahayati, terutama karena universitas ini sudah memiliki kerja sama dengan BKKBN Lampung.

“Saya berharap silaturahmi ini akan terus berlanjut. Paling tidak, hari ini kita sudah saling mengenal, sehingga di pertemuan selanjutnya, kita bisa membicarakan kerjasama lebih lanjut,” kata dr. Hariyadi.

Rektor Achmad Farich menyambut baik kedatangan tim dari BKKBN Pusat dan Provinsi Lampung, serta menegaskan bahwa Universitas Malahayati memang fokus pada pelayanan kesehatan masyarakat.

“Kami sangat terbuka untuk kerjasama di bidang kesehatan dan keluarga berencana. Terlebih, Universitas Malahayati adalah salah satu universitas yang mendapatkan program RPL profesi bidan. Oleh karena itu, kami terus mendorong lulusan-lulusan sarjana untuk melanjutkan pendidikan profesi bidan,” ujar Rektor Achmad Farich.

Pertemuan tersebut juga dihadiri oleh Wakil Rektor 1 Universitas Malahayati Dr. (Cand) Muhammad S. Kom, M.M., Kepala LPPM, Erna Listyaningsih, SE., M.Si., Ph.D., AFA., Marcelly Widyawardana, MT – Ketua KKLPPM, Prima Dian F, M.Kes – Koordinator DPL KKLPPM., Kepala Humas Emil Tanhar, S. Kom, dan sejumlah dosen Universitas Malahayati. (*)

Editor: Asyihin

271 (Dua Ratus Tujuh Puluh Satu)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Dua ratus tujuh puluh satu itu jika dibagi dengan angka dua puluh satu, maka akan diperoleh angka dua belas koma sembilan. Jika dibulatkan ke atas menjadi 13. Angka itu tidak bermakna apa-apa bagi mereka yang baru belajar berhitung ditingkat Sekolah Dasar. Juga tidak bermakna apa-apa untuk anak pelajar Sekolah Lanjutan Pertama saat mengerjakan soal Matematika di kelas satu. Baru sedikit bermakna jika ada di Sekolah Lanjutan Tingkat Atas saat mengerjakan soal Matematika, atau Akuntansi di Sekolah Kejuruan. Demikian halnya saat ada di Perguruan Tinggi pada Program Studi Akuntansi. Angka itu bisa jadi hasil dari perhitungan audit dari satu perusahaan yang menjadi kasus saat dijadikan bahan ujian oleh dosen.

Lalu dimana letak istimewanya angka itu? Ternyata angka itu menjadi begitu fantastis manakala diberi pengali menjadi triliun. Triliun itu angka nolnya dua belas, quadriliun angka nolnya lima belas, quintriliun itu nol nya delapan belas, sextiliun angka nolnya duapuluh satu, septiliun angka nolnya duapuluh empat, octiliun angka nolnya duapuluh tujuh, dan noniliun angka nolnya tiga puluh; tinggal menganti berapa angka nol dengan bilangan genap atau ganjil untuk menjadi lebih seru, terserah kita yang mau menikmatinya.

Kejadian penambahan nol dua belas itu ada di negeri ini, dan sangat fantastis karena dibagi untuk dua puluh satu orang yang berbeda peran, diantaranya ditengarai dari artis, sampai konon pemilik maskapai penerbangan, serta diduga juga ada pensiunan berbintang dipundaknya juga ikut menikmati. Dan, itu adalah hasil korupsi di bidang pertambangan timah; betapa besarnya angka itu; apalagi jika dibandingkan dengan anggaran pemerintah daerah tingkat dua. Berati orang dua puluh satu tadi menyedot anggaran dua puluh satu kabupaten-Kabupaten tertinggal di negeri ini.

Jika rata-rata jumlah penduduk miskin di kabupaten tertinggal dua ratus lima puluh ribu jiwa, maka mereka rata-rata dapat lima juta per-orang. Jika satu keluarga terdiri dari lima orang maka keluarga itu dapat duapuluh lima juta. Andai kata uang itu digunakan untuk modal usaha berarti roda perekonomian daerah itu terbantu sangat signifikan.
Andai pelaku korupsi tadi dimiskinkan, tidak disertai pemiskinan keluarga, maka mereka tetap bisa hidup tujuh turunan. Sekali lagi andai kata mereka dihukum mati tanpa disita seluruh harta kekayaannya, maka keluarganya masih bisa hidup untuk sampai generasi cicit, sekaligus menebus dosa si mati dengan membuat amal sholeh atas namanya. Kelakuan seperti ini sah-sah saja karena tidak ada aturan dilarang bersedekah. Berbeda jika dari kacamata agama, karena sebaik-baik sedekah itu dari rejeki yang halalan toyibah.

Andai kata dana sebesar itu didepositokan untuk dana abadi beasiswa pendidikan, dengan catatan tidak dikorupsi dalam perjalanannya, maka berapa banyak anak-anak negeri ini yang kurang beruntung tetapi kaya prestasi dapat terbantu untuk mewujudkan impiannya tentang pendidikan terbaik untuk diri dan negaranya.

Sayangnya semua dinegeri ini hanya berhenti di “andai” jika berkaitan dengan kemaslahatan umat. Sementara menjadi nyata jika berhubungan dengan kesejahteraan pribadi atau golongan, bahkan partai. Menggebu di awal dan melempem di akhir, seolah sudah menjadi cerita hidup, manakala berurusan dengan penegakan aturan. Sementara menggebu jika itu berkaitan dengan mencari salah orang kecil yang buta aturan. Akan berbeda jika berurusan dengan mereka yang berpunya.

Atas nama aturan, mereka yang terpidana baik koruptor maupun tukang palak sopir truk, pada waktu-waktu tertentu selalu mendapatkan remisi atau pengurangan tahanan. Bagi tukang palak tidak ada pekerjaan lain kecuali kembali kejalan untuk memalak. Sementara koruptor keluar penjara bisa tetap makan enak tidur nyenyak, dan pada waktunya bisa mencalonkan diri menjadi anggota dewan terhormat di negeri ini, atau menjadi petugas partai untuk mencuci diri agar kembali tampak “suci”.

Dua ratus tujuh puluh satu triliun sedang berjalan entah menyasar kemana; kita tidak bisa menduga apakah masalah ini akan hilang ditelan ombak selatan, karena sudah menjadi kebiasaan pola penanganan kasus mengunakan lagu Bengawan Solo.

Bisa dibayangkan jelas-jelas terbukti korupsi menerima suap, penyuapnya mengakui memberikan suap karena diminta; dan hukuman sudah dijatuhkan, masih punya muka untuk minta peninjauan kembali karena merasa tidak bersalah. Dan, yang menyedihkan lagi mereka ini berpendidikan tinggi berpenampilan alim bergelar akademik tertinggi. Selama di penjara ternyata bukan tobat tetapi malah kumat.
Salam waras (SJ)

Perpustakaan Universitas Malahayati Teken PKS dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Perpustakaan Universitas Malahayati Bandar Lampung menandatangani Perjanjian Kerjasama (PKS) dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Lampung, Kamis (2/5/2024). Acara ini disaksikan langsung oleh Gubernur Lampung.

Meni Sutarsih, S.Pd., M.Si., Kepala UPT Perpustakaan Universitas Malahayati, menjelaskan bahwa perjanjian kerjasama ini bertujuan untuk menjadi dasar dalam pemanfaatan Perpustakaan Daerah Provinsi Lampung, baik secara online maupun offline.

“Kerjasama ini mencakup berbagai bidang, termasuk peminjaman bahan pustaka, akses data dan informasi ePerpus Lampung, serta akses ke web link Perpustakaan Nasional Republik Indonesia melalui aplikasi Bintang Pusnas,” kata Meni.

Menurut Meni, dengan adanya perjanjian kerjasama ini, mahasiswa dan dosen Universitas Malahayati dapat memanfaatkan fasilitas peminjaman bahan pustaka serta akses data dan informasi baik secara perorangan maupun kelompok, sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan.

Hal ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dan ketersediaan sumber daya pendidikan, serta memberikan manfaat yang signifikan bagi komunitas akademik di Universitas Malahayati.

“Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk mengoptimalkan dan merevitalisasi peran serta fungsi Perpustakaan Daerah Provinsi Lampung, sehingga dapat lebih berkontribusi dalam mendukung pendidikan dan memberikan akses informasi yang lebih luas kepada masyarakat,’ terang Meni. (*)

 

Editor: Asyihin

42 Lulusan Universitas Malahayati Bandar Lampung Ikuti Sumpah Dokter ke-68

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Sebanyak 42 lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung yang mengikuti prosesi pengambilan sumpah dokter di Graha Bintang, Selasa, (7/5/2024)

Rektor Universitas Malahayati, Dr. Achmad Farich, dr., MM., menyampaikan selamat kepada para lulusan serta kepada orang tua yang turut hadir dalam momen ini.

“Sumpah dokter adalah titik penting yang tak akan terlupakan dalam perjalanan karier dokter. Bahkan bagi saya, momen ini masih menggema hingga kini,” ucap Rektor Achmad Farich, sambil berbagi kenangan.

Dalam sambutannya, Rektor menegaskan bahwa tantangan yang dihadapi oleh para lulusan sebagai dokter baru sangat besar. Jika sebelumnya tantangan lebih terfokus pada aspek akademik, kini tantangan akan semakin kompleks, termasuk dalam bidang sosial, hukum, dan teknologi yang terus berkembang.

“Tapi, tantangan ini juga membawa peluang baru dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk kemajuan kedokteran,” tambahnya.

Rektor Achmad Farich menjelaskan bahwa, di Lampung saat ini sedang dicanangkan warung sehat dalam program desa sehat untuk mendukung Smart Village, dimana salah satu kegiatannya adalah program Apotik masuk desa bekerjasama dengan badan usaha milik desa, tentunya ke depan hal ini akan menunjang pelayanan dokter di desa-desa.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD.,FINASIM, turut memberikan ucapan selamat kepada para lulusan.

“Saya berharap angka kelulusan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati terus meningkat ke depannya, mencapai 90 persen dan lebih baik lagi,” ungkap Dr. Toni.

Para lulusan juga diberi arahan untuk menjalani pengabdian selama satu tahun ke depan, dengan membagi waktu antara pelayanan di puskesmas dan di rumah sakit yang ditunjuk oleh pemerintah.

Untuk para dokter hari ini adalah awal untuk terus melangkah ke depan, satu tahun ke depan kita akan menjalankan pengabdian di mana 6 bulan di puskesmas dan 6 bulan di rumah sakit yang ditunjuk oleh pemerintah.

“Pesan saya jaga kedisiplinan, tunjukan prestasi dan jaga perilaku selama bertugas sehingga kita memiliki rekam perjalanan yang baik,” ucapnya.

Dr. dr. Alya Kairus, M. Kes, mewakili Ketua IDI Provinsi Lampung, memberikan pesan kepada para dokter untuk menjalankan profesi nya dengan profesional dan penuh amanah.

“Menyembuhkan pasien bukan hanya mengembalikan kesehatan fisik, tetapi juga kebahagiaan bagi keluarga dan teman-teman pasien,” ucapnya.

Dia juga mendorong para lulusan untuk memahami dengan baik kode etik kedokteran sebagai panduan dalam menjalankan tugas mereka.

Sementara itu, pemerintah telah meluncurkan program pendidikan dokter spesialis (PPDS) berbasis rumah sakit atau hospital based. hal ini membuka peluang baru bagi para dokter untuk melanjutkan spesialisasi mereka di rumah sakit. Dengan adanya program ini, diharapkan akan semakin banyak rumah sakit yang menjadi basis bagi program spesialisasi dokter. (*)

 

Editor: Asyihin

Dr. dr. Dollar Bekali Lulusan Dokter Muda Universitas Malahayati terkait Perubahan UU Kesehatan

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Rektor Iki Jakarta, Dr. dr. Dollar, Sp. KKLP, SH., MH., MM., FIHFAA, FRSPH, memberikan pembekalan kepada seluruh lulusan dokter Pada acara yudisium ke-68 Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati di Graha Bintang, Senin (6/5/2024).

Dalam paparannya, Dr. dr. Dollar menyoroti perubahan terbaru dalam undang-undang kesehatan yang signifikan memengaruhi praktik kedokteran di Indonesia.

Lebih lanjut, Dr. dr. Dollar menyampaikan bahwa undang-undang terbaru memberikan kemudahan dalam membuka tempat praktik bagi para dokter.

“Untuk membuka tempat praktik dengan undang-undang yang baru saat ini tidak perlu lagi mendapat izin atau rekomendasi izin praktek dari organisasi profesi seperti IDI atau PDSI, cukup memiliki STR dan diajukan ke Dinas Kesehatan setempat maka akan keluar Surat Izin Praktik (SIP),” ungkapnya.

Penting untuk dicatat bahwa terdapat perubahan signifikan dalam sistem registrasi dokter, dimana sebelumnya STR (Surat Tanda Registrasi) diperbaharui setiap lima tahun, kini STR memiliki masa berlaku seumur hidup sesuai dengan undang-undang nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan.

Dr. dr. Dollar juga mengungkapkan bahwa dalam proses perubahan undang-undang tersebut, sebanyak 11 undang-undang terdahulu telah dicabut dan digabungkan ke dalam UU nomor 17 tahun 2023 tentang kesehatan.

Hal ini mencakup berbagai aspek, mulai dari ordonansi obat keras, wabah penyakit menular, praktik kedokteran, kesehatan, rumah sakit, kesehatan jiwa, tenaga kesehatan, keperawatan, kekarantinaan kesehatan, pendidikan kedokteran hingga tentang kebidanan.

Selain membahas aspek hukum, Dr. dr. Dollar juga menyoroti hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para dokter dalam praktiknya. Diantara hak-hak tersebut adalah hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan akses atas sumber daya kesehatan, sementara kewajiban termasuk menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat serta mengikuti program jaminan kesehatan dalam sistem jaminan sosial nasional.

Pembekalan yang diberikan oleh Rektor Iki Jakarta ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih baik kepada para lulusan dokter mengenai perubahan-perubahan penting dalam praktik kedokteran di Indonesia serta tanggung jawab yang melekat dalam profesi kedokteran.

 

Editor: Asyihin

Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung Gelar Yudisium ke-68

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Bandar Lampung mengadakan acara yudisium di Graha Bintang, Senin (6/5/2024).

Dalam acara tersebut, Wakil Rektor 1 Universitas Malahayati, Dr. (Cand) Muhammad, S. Kom., M.M., menyampaikan apresiasi atas pencapaian luar biasa para lulusan dalam menyelesaikan pendidikan kedokteran mereka.

Ia juga memberikan pesan agar para lulusan terus mengasah keterampilan mereka, karena pendidikan kedokteran adalah awal dari perjalanan panjang dalam karier medis.

Selain itu, Dr. Muhammad mendorong para lulusan untuk membangun hubungan yang baik dengan para senior, salah satunya dengan bergabung dalam grup alumni Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.

“Banyak dokter senior yang sukses telah melalui perjalanan yang sama, jadi jangan ragu untuk memanfaatkan jaringan ini dalam pengembangan karier,” ujarnya.

Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, menekankan pentingnya momen sumpah dokter bagi para lulusan.

“Sumpah ini melekat seumur hidup dan mengikat kita dengan etika selain ilmu. Ilmu tinggi tanpa etika tidak akan membawa keberhasilan dalam profesi kedokteran,” katanya.

Sebagai seorang dokter, Dr. Toni lebih suka menyebut dokter sebagai sebuah jabatan yang diemban seumur hidup, bukan sekadar sebuah gelar.

“Dokter itu jabatan bukan sekedar Gelar, saya lebih suka menyebutnya begitu,” ujarnya.

Acara yudisium juga dihadiri Wakil Rektor 4 Drs Suharman, M.Pd., Rektor Iki Jakarta Dr. dr. Dollar, Sp. KKLP, SH., MH., MM., FIHFAA, FRSPH., kepala Biro administrasi akademik Tarmizi, SE., M.Ak,. Turut hadir pula para dosen dan staf Fakultas Kedokteran. (*)

 

Editor : Asyihin

Republik Ketoprak

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu badan saya terasa sangat lelah sekali karena lebih dari dua jam olah raga dengan cara membersihkan rumah beserta pernak-perniknya. Setelah mandi diteruskan dengan leyeh-leyeh sambil menikmati sayup-sayupnya puji-pujian Jawa klangenan, sehingga membawa kenangan lama melintas, diantaranya saat nonton pertunjukan ketoprak kelas ndeso pada zamannya.

Syahdan di suatu jazirah Mbagedat (Jawa = aslinya Bagdad) ada negara bernama Republik Ketoprak. Negeri ini sedang akan memilih pemimpin dengan cara melakukan pemilihan langsung. Maksudnya setiap rakyat Negeri Ketoprak harus menggunakan hak pilihnya guna memilih pasangan pemimpin. Dan, bagi pasangan yang dapat mengumpulkan suara pemilih terbanyak, dialah yang akan menjadi pemimpin di Negeri Republik Ketoprak. Hal ini dilakukan karena masa kepemimpinan negeri ini akan berakhir, sementara pemimpin utama tidak bisa melanjutkan karena dibatasi oleh aturan hanya dua kali saja, sekalipun yang bersangkutan sebenarnya sangat ingin terus menjadi “raja” di Negeri Ketoprak.

Setelah dilakukan woro-woro oleh panitia yang ditunjuk oleh lembaga rakyat guna memfasilitasi terselenggaranya pemilihan. Lembaga ini menetapkan semua calon harus melakukan kampanye keseluruh negeri atas biaya sendiri; mereka para calon dilarang menggunakan fasiltas milik negeri. Ternyata setelah menunggu waktu cukup lama; ada tiga pasang pendaftar. Pasangan pertama adalah orang muda intelektual agamis; pasangan ini terkenal santun dan memiliki latarbelakang pendidikan tinggi dengan gelar tertinggi. Pemikirannya cerdas, dibuktikan dengan narasi-narasi yang dibangun menggunakan logika ilmiah. Walaupun bagi yang tidak sampai otaknya akan mengucap hanya bisa omong tidak bisa kerja. Mereka yang komen begitu tidak salah karena konsep bekerja dikepalanya adalah mancul di sawah atau di ladang, bisa juga jualan kulakan di pasar; kalau tidak begitu bukan kerja namanya. Beda sudut pandang beginilah yang sering pasangan ini terantuk tembok, atau bulan-bulanan yang empuk.

Pasangan kedua adalah pensiunan  prajurit perang yang memiliki pengalaman tempur luar biasa, terutama saat melawan pemberontak. Jago naik kuda dan menembak, bahkan beliau memiliki olah raga menembak. Berpasangan dengan anak muda, yang semula berprofesi sebagai saudagar dan terakhir jadi kepala perdikan. Pasangan ini terkenal dengan ketajirannya, karena memiliki sumber dana yang tidak berseri. Ukuran banyaknya kepeng bukan lembar tetapi karung; sehingga mampu membiayai apa saja jika diperlukan. Ciri dari pasangan ini adalah bisa membuat heboh para pendukungnya karena senang bersukaria dan berjoged megal-megol. Pidatonya bisa membakar emosi masa, namun setelah suasana kembali normal saat ditanya apa isi pidato kampanyenya tadi, beliau dengan ringan menjawab “lali aku”. Soal janji jangan ditanya, soal realisasi, nanti saja setelah jadi.

Pasangan ketiga adalah mantan kepala kadipaten yang berpasangan dengan ahli hukum yang sangat mumpuni. Dari hukum rimba sampai hukum karma beliau kuasai dengan baik. Pasangan yang sudah tidak muda lagi ini memiliki keyakinan tinggi untuk menang karena sang calon sudah sejak lama mempersiapkan diri, dengan cara tidur dan makan bersama wong cilik. Terlepas apakah itu tulus dari hati atau hanya sekedar “lamis-lamis”, hanya Yang Maha Kuasa yang Maha Mengetahui. Pasangan ini didukung oleh para Banteng berkepala sapi, yang siap menggendong calon kapan saja.

Saat acara kampanye tiba, ketiga pasangan ini adu strategi untuk menarik pemilih dengan segala macam cara. Calon pertama menggelar diskusi-diskusi cerdas hadir ditengah anak-anak muda terdidik. Kehadiran mereka berdua dielu-elukan oleh mereka yang berpendidikan rerata baik, sementara wong ndeso hanya nonton dari jauh, bahkan sayub-sayub. Pasangan ini seolah lupa bahwa kebanyakan pendidikan di Republik Ketoprak belum merata, bahkan ada yang mengatakan rata-rata mereka baru kelas tujuh. Akibatnya orientasi mereka menggunakan istilah Maslow baru pada tahap level dua saja. Model beginian menjadi mayoritas pemilih dinegeri Ketoprak, yang memiliki kesukaan kumpul, makan dan njoged. Memang jadi mengasyikkan jika dihubungkan dengan kondisi keseharian mereka. Sementara jika disuruh mikir mereka akan berkilah itu bukan bidangnya.

Calon kedua setiap kampanye menghadirkan hiburan. Nanti dulu soal pidato program, yang penting happy atau senang dulu. Makanya pasangan ini selalu membuat heboh panggung karena digoyang oleh musik dan joget khas mereka. Tentu saja yang hadir tidak peduli lagi dengan sekitar, yang penting goyang dan mangan. Terkadang panggilan untuk menghadap Tuhan yang diterikan oleh para mukazin tidak didengar lagi. Calon kedua ini sangat jeli memanfaatkan peluang apapun, termasuk koneksi-koneksi informal dengan para petinggi negeri dan para saudagar. Sehingga jika ada bantuan dari negeri Ketoprak kepada warganya, pasangan ini memanfaatkan celah untuk mendapatkan momentum.

Calon ketiga setiap kampanye mendekatkan diri pada kelompok “sepuh” dengan harapan paling tidak mendapatkan tumpangan pengaruh untuk para wadyabala tingkat bawah. Mereka lupa para sepuh di negeri Ketoprak sudah terkontaminasi suguhan, sehingga tidak jarang mereka berubah menjadi “sepah”. Banteng yang disiapkan untuk memeriahkan situasi, ternyata banyak yang duduk-duduk dibawah pohon beringin sambil nggayemi.

Hari pemilihan tiba. Ternyata strategi calon nomor dua sangat jitu, terutama bisa memengaruhi kelompok kelas tujuh yang jumlahnya mayoritas untuk dapat memilihnya. Atau itu kehendak Tuhan, tidak seorang pun yang mengetahui. Kenyataan yang bicara calon nomor dua unggul dari calon yang ada. Tuhan menunjukkan kedigjayaannya bahwa yang mengatur dunia dan isinya ini bukan manusia, kita semua hanya mahluk dibawah kendali-Nya. Jangankan lagi kemenangan dalam apapun pemilihannya, selembar daun jatuhpun dialam ini adalah atas kuasa-Nya.

Pertarungan belum selesai, calon satu dan calon tiga menggugat ke pengadilan untuk mendapatkan paling tidak kejelasan mengapa mereka kalah. Sidang dilakukan berhari-hari karena masing-masing pihak ingin unjuk bukti, bahkan terkadang ditingkahi dengan kelakuan yang agak kurang terpuji; dengan cara dari unjuk gigi sampai unjuk cincin ditampilkan.

Semua seolah sudah lupa diri bahkan terkesan ingin mengatur Tuhan, padahal ada pesan bijak dari para ulama terdahulu; ..”Jangan mengatur Tuhan, wilayah kita hanya usaha”….. Banyak orang pandai teori ekonomi tidak punya warung, tetapi tidak sedikit orang yang tidak sekolah sukses menjadi pengusaha. Semua itu meneguhkan bahwa kuwasa Tuhan jauh lebih perkasa dibandingkan dengan kemauan mahlukNYA. Kita hanya diminta untuk ihlas dalam menerima takdir.

Sedang enak-enaknya menonton sidang sengketa pemilihan yang sedang berdebat; sayup-sayup terdengar bunyi jendela kamar diketuk, ternyata itu ketukan istri minta bukakan pintu. Baru sadar setelah bangun semua di atas hanya mimpi di siang bolong.

Salam waras. (SJ)

Jauh Berjalan Banyak Bertemu, Lama Hidup Banyak Dirasa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu ada seorang sohib memberi komen terhadap tulisan yang dikirim seperti judul di atas. Tampaknya sekalipun beliau bergelar doktor dari perguruan tinggi papan atas di negeri ini; nilai dan rasa diri kedaerahan masih tebal, bahkan nilai-nilai local masih sangat melekat dalam bertutur sapa sebagai anak negeri, terutama dalam beretika dengan orang yang dituakan. Ketinggian pendidikan tidak membuat dirinya angkuh apalagi sombong, justru sangat hormat dan merendah.

Jika kita simak komen yang kelihatan sederhana itu menunjukkan memang betul dalam perjalanan hidup ini menurut hasil nukilan dari orang-orang tua dulu: kita akan berjumpa paling tidak beberapa tipe orang, diantaranya: Pertama, “Tidak semua orang pintar itu benar”. Kenyataannya dalam masyarakat kita sering jumpai tipe seperti ini, justru dengan kepintarannya melakukan ketidakbenaran. Seolah-olah karena kepintarannnya itu dia memahami persis ketidakbenaran sesuatu, sehingga dia melakukannya.

Kedua, “Tidak semua orang benar itu pintar”; dengan kata lain kebenaran itu bukan monopoli orang pintar. Bisa jadi seseorang tidak pandai tetapi bertindak benar, oleh sebab itu kita harus sadar diri bahwa kebenaran itu bukanlah sesuatu yang dapat diklaim atau dimonopoli oleh siapapun.

Ketiga, “Banyak orang pandai tetapi tidak benar”; ini memberi pertanda bahwa kumpulan orang pintarpun tidak menjamin akan adanya kebenaran. Oleh sebab itu mayoritas bukan berarti memiliki nilai mutlak; karena bisa jadi justru himpunan orang pintarlah yang berjamaah melakukan ketidakbenaran.

Keempat, “Banyak orang benar walaupun tidak pintar”; ini menunjukkan bahwa kepintaran tidak menjamin kebenaran, karena perilaku keduanya bisa berbeda arah. Kita lihat bagaimana para petugas kebersihan mereka melakukan pekerjaannya dengan benar, sekalipun mereka tidak pintar.

Kelima, “dari pada menjadi orang pintar tetapi tidak benar, lebih baik jadi orang benar walaupun tidak pintar”. Potret seperti ini sering kita jumpai pada masyarakat kebanyakan; mereka lebih menghargai orang benar sekalipun tidak pintar.

Keenam, “ada yang lebih bagus lagi yaitu jadi orang pintar yang selalu bertindak benar”. Sekalipun jumlah orang seperti ini sangat sedikit, namun betapa bernilainya pribadi seseorang jika bisa berperilaku seperti ini, dan setiap jaman kita akan jumpai mereka-mereka ini. Mereka penghias jaman yang selalu meninggalkan sejarah kebajikan bagi sesama.

Ketujuh, “membuat pintar orang benar itu lebih mudah dari pada menunjukkan kebenaran kepada orang pintar”. Ternyata orang benar itu lebih mudah untuk diajak agar menjadi pintar, dibandingkan dengan menunjukkan kebenaran pada orang pintar; sebab orang pintar selalu berasa diri benar, sehingga jika ditunjukkan akan kesalahannya kemudian ditunjukkan yang benar, mereka kebanyakan lebih sulit untuk menerima kenyataan.

Kedelapan, “membenarkan orang pintar yang berbuat salah itu memerlukan beningnya hati dan kesadaran yang tinggi, karena sangat sulit untuk memahamkannya”. Pada banyak kasus orang yang berbuat salah padahal dia pandai secara intektual, itu sangat sulit untuk memberikan penyadaran padanya akan kesalahan yang diperbuat. Justru yang ada, dirinya merasa berada pada posisi yang selalu benar.

Dari semua di atas ada pembelajaran yang dapat kita petik ialah kita diharuskan selalu optimis atau berprasangka baik kepada siapapun dan apapun kejadian di dunia ini. Bahkan kepada Tuhan-pun kita diharuskan berprasangka baik dalam setiap kondisi. Karena yang diberikan kepada mahluknya pasti yang terbaik, walau terkadang mahluknya tidak menyadari bahwa dia adalah hasil ciptaan Sang Maha Pencipta, yang sudah menyiapkan segalanya.

Dengan kata lain; seseorang yang telah menjalani perjalanan panjang akan memiliki banyak pengalaman dan melihat banyak hal, dan orang yang telah hidup lama akan memiliki banyak pengalaman dan merasakan banyak hal dalam hidupnya. Oleh sebab itu para ulama berpesan bahwa

saat dirimu mempelajari ilmu syariat, maka engkau akan berperang dengan pikiranmu sendiri. Disaat dirimu mempelajari ilmu tarekat, maka dirimu akan selalu menganggap Jin dan Setan adalah musuhmu. Di saat dirimu mempelajari ilmu hakekat, maka engkau akan mulai mengerti bahwa musuh yang nyata itu adalah dirimu sendiri. Di saat dirimu mempelajari ilmu makrifat, maka engkau tidak lagi menemui semua itu”.

Tampaknya proses pengendapan dalam diri manusia itu sangat diperlukan karena jika ditelaah secara filosofis seseorang dalam laku agama harus sampai pada level cinta, yang makna hakikinya adalah mengamalkan ajaran agama dengan penuh kasih sayang serta kesadaran yang mendalam akan adanya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Pada level paripurna inilah sebenarnya kita dituntut, walau pada derajat mana, biarkan Sang Maha Mengetahui menilainya.

Salam waras. (SJ)