Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Juara 3 Seni Lukis di National Art Competition (NAC) 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Nala Salsabila Fitriana (23220348), mahasiswa Program Studi S1 Manajemen, sukses meraih Juara 3 dalam ajang bergengsi National Art Competition (NAC) Vol 2 Tahun 2025 untuk kategori Seni Lukis. Kompetisi ini diselenggarakan oleh Politeknik Negeri Lampung pada 15 Mei 2025 dan diikuti oleh peserta dari berbagai kampus di Indonesia.

Kemenangan ini menjadi sangat istimewa bagi Nala karena merupakan pengalaman pertamanya mengikuti NAC. “Menjadi juara 3 adalah sebuah kebanggaan bagi saya. Ini menjadi awal yang baik untuk mulai percaya diri dengan menunjukkan bakat yang saya punya,” ujar Nala penuh semangat.

Ia menambahkan bahwa mengikuti NAC memberikan pengalaman yang sangat menyenangkan sekaligus menjadi pelajaran berharga. “Saya belajar banyak dari ajang ini. Ke depan, saya ingin terus berkembang dan menjadi lebih baik,” tambahnya.

Keberhasilan Nala tidak hanya membanggakan dirinya secara pribadi, tetapi juga menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk berani mengekspresikan diri dan menggali potensi di luar kegiatan akademik. Seni, sebagai bagian dari kreativitas, menjadi wadah penting dalam membentuk karakter mahasiswa yang inovatif dan percaya diri.

Universitas Malahayati melalui berbagai program pengembangan minat dan bakat senantiasa mendukung mahasiswanya untuk berprestasi di berbagai bidang. Capaian ini membuktikan bahwa mahasiswa Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu bersaing secara nasional dalam bidang seni dan budaya.

Selamat kepada Nala Salsabila Fitriana atas prestasinya. Terus berkarya dan menginspirasi! (gil)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Teken MoU dan MoA dengan BAWASLU Kota Bandar Lampung, Perkuat Sinergi Pendidikan dan Demokrasi

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam memperluas jejaring dan memperkuat sinergi kelembagaan melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) dan Memorandum of Agreement (MoA) bersama Badan Pengawas Pemilihan Umum (BAWASLU) Kota Bandar Lampung. Kegiatan ini berlangsung di Kantor Bawaslu dan disambut hangat oleh jajaran pimpinan kedua lembaga. Rabu (18/6/2025).

Dari pihak Universitas Malahayati, kegiatan ini dihadiri oleh Dekan Fakultas Hukum, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, Kepala Bagian Kerja Sama, Kepala Bagian Humas dan Protokol, Emil Tanhar, S.Kom, serta beberapa perwakilan dosen Fakultas Hukum. Sementara dari pihak BAWASLU Kota Bandar Lampung hadir Muhammad Muhyi, S.Sos.I, Oddy Marsa JP, SH., MH, Juwita, S.H., MM, dan Hasanuddin Alam, S.P., M.Si.

Dalam sambutannya, Muhammad Muhyi, S.Sos.I menyampaikan apresiasi dan antusiasme atas kerja sama yang dibangun bersama Universitas Malahayati.

“Kami menyambut baik kehadiran rekan-rekan dari Universitas Malahayati. Kerja sama ini bukan hanya mempererat hubungan kelembagaan, tetapi juga menjadi bagian dari upaya kami untuk menanamkan nilai-nilai demokrasi, integritas, dan pengawasan partisipatif kepada generasi muda, khususnya para mahasiswa,” ujarnya.

Sementara itu, Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, menegaskan bahwa kerja sama ini merupakan kelanjutan dari nota kesepahaman yang sebelumnya telah dijalin antara kedua pihak. Ia menekankan pentingnya implementasi nyata dari kerja sama ini, khususnya dalam memberikan ruang magang dan pembelajaran langsung bagi mahasiswa.

“Kerja sama ini adalah langkah konkret untuk mendekatkan mahasiswa dengan praktik hukum dan demokrasi di lapangan. Kami berharap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati dapat memanfaatkan kesempatan ini untuk magang dan belajar langsung dari para profesional di BAWASLU. Ini menjadi bekal penting dalam pembentukan karakter dan pemahaman hukum secara komprehensif,” jelas Aditia.

Penandatanganan MoU dan MoA ini tidak hanya menjadi simbol kolaborasi, tetapi juga menjadi tonggak awal dari berbagai program bersama yang akan datang, termasuk penyuluhan hukum, riset kolaboratif, pelatihan kepemiluan, hingga pengembangan kapasitas mahasiswa dalam pengawasan partisipatif pemilu.

Universitas Malahayati melalui Fakultas Hukum terus berkomitmen untuk menghadirkan pendidikan hukum yang adaptif, aplikatif, dan responsif terhadap perkembangan zaman. Sinergi dengan lembaga seperti BAWASLU menjadi salah satu bentuk penguatan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam bidang pengabdian kepada masyarakat dan peningkatan mutu lulusan.

Kerja sama ini bukan hanya tentang MoU, tapi tentang membangun masa depan demokrasi Indonesia bersama generasi muda yang cerdas dan berintegritas. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Beradu Punggung

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seorang mahasiswa pasca datang untuk berkonsultasi tugas akhirnya, karena kebetulan yang bersangkutan adalah kepala unit pelayanan kesehatan tertentu, setelah selesai persoalan ilmiah yang bersangkutan ingin meminta pendapat tentang suatu keadaan yang dijumpai ditempat bekerja. Persoalannya adalah adanya staf yang semula sangat akrab dan terbuka; begitu beliau ini sekolah, staf tadi menjauh bahkan dapat terkategori “beradu punggung” dengan dirinya. Diskusi menjadi menarik dan tidak layak untuk dipaparkan pada media ini, karena itu personal sekali; namun adagium beradu punggung tampaknya menarik jika dibahas dari konsep filsafat manusia.

Filsafat manusia; sebuah cabang pemikiran yang tidak hanya bertanya tentang apa itu manusia, tetapi juga bagaimana manusia berelasi, mengenal diri, dan memahami orang lain. Melalui pandangan filsuf-filsuf seperti Martin Buber, Jean-Paul Sartre, Emmanuel Levinas, dan Erich Fromm, kita akan mencoba mengurai makna dan akar dari sikap beradu punggung ini.

Pada dasarnya, manusia adalah makhluk relasional. Filsafat humanistik mengakui bahwa identitas manusia tidak terbentuk dalam ruang hampa, tetapi dalam interaksi dengan yang lain. Bahkan, dalam konteks perkembangan psikologis awal, manusia tidak bisa menjadi “diri” tanpa hadirnya “yang lain” sebagai cermin dan penegas eksistensinya. Namun, ketika manusia mulai memperlakukan sesamanya sebagai alat, objek, atau ancaman, maka relasi itu akan berubah menjadi beradu punggung, ini terjadi ketika seseorang berhenti melihat yang lain sebagai pribadi dan mulai memandangnya sebagai sumber masalah, beban, atau bahkan musuh. Punggung yang saling membelakangi adalah simbol dari relasi yang telah kehilangan keintiman, kepercayaan, dan kehadiran sejati.

Jean-Paul Sartre berbeda lagi. Beliau memberikan perspektif lain yang lebih gelap. Beliau berpendapat bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk bebas, tetapi kebebasan ini membawa beban besar: tanggung jawab, kecemasan, dan kesepian. Dalam relasi antar manusia, Sartre melihat potensi konflik karena kehadiran orang lain dapat membatasi kebebasan kita. Dalam pandangannya yang terkenal beliau mengatakan “neraka adalah orang lain”. Oleh sebab itu beliau berpendapat ketika dua manusia saling beradu punggung, bisa jadi itu adalah ekspresi dari konflik kebebasan ini. Masing-masing merasa terancam oleh eksistensi yang lain. Mereka tidak mampu menghadapi kejujuran relasi yang memerlukan keterbukaan. Maka, lebih mudah untuk berpaling dengan memilih tidak melihat, tidak berinteraksi, tidak terlibat.

Erich Fromm sebagai seorang psikoanalis dan filsuf humanis; berpandangan fenomena ini dari kebutuhan manusia akan cinta dan keterhubungan. Dalam bukunya “The Art of Loving”, Fromm menyatakan bahwa cinta bukan hanya perasaan, tetapi tindakan aktif yang memerlukan disiplin, perhatian, dan keberanian. Oleh sebab itu Fromm berpendapat bahwa, keterasingan adalah kondisi dasar manusia modern. Manusia yang tidak mampu mencintai akan merasa terisolasi dan tidak terhubung, bahkan ketika secara fisik ia dikelilingi oleh orang lain. Beradu punggung adalah gejala dari kegagalan mencintai, kegagalan untuk berkomunikasi secara empatik, gagal untuk memberi, memahami, dan menyambut kehadiran yang lain.

Satu perspektif yang sangat menyentuh dan memberi harapan datang dari filsuf Emmanuel Levinas. Ia berbicara tentang “wajah yang lain” sebagai panggilan etis yang tak bisa diabaikan. Menurut Levinas, wajah orang lain adalah kehadiran yang menuntut kita untuk bertanggung jawab, bukan sekadar memahami atau menilai. Dalam konteks beradu punggung, wajah yang lain itu telah hilang dari pandangan. Ketika seseorang berpaling dari yang lain, ia bukan hanya menghindari konflik, tetapi juga menghindari tanggung jawab. Ia menolak untuk melihat kemanusiaan yang ada di depan mata. Ia menolak untuk mengakui luka, harapan, dan kerentanan yang ditawarkan oleh yang lain.

Jika beradu punggung adalah simbol keterasingan, maka menoleh adalah simbol dari keberanian untuk kembali hadir. Proses ini tidak mudah; Ia memerlukan kerendahan hati, keberanian menghadapi luka, dan pengakuan bahwa kita telah berjarak terlalu lama. Namun, inilah jalan satu-satunya menuju keutuhan relasi. Dalam kehidupan nyata, konflik antar manusia sering tidak hitam putih. Tidak ada yang sepenuhnya benar atau salah. Tapi yang paling penting adalah siapa yang bersedia membuka ruang pertama. Dalam filsafat timur, tindakan pertama untuk berdamai memiliki nilai moral yang tinggi dan ini menandakan kedewasaan batin yang baik.

Beradu punggung bukan hanya tindakan pasif, tapi sebuah sikap eksistensial yang mencerminkan krisis makna dalam relasi antar manusia. Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, kita perlu kembali pada filsafat-sebagai ruang refleksi-untuk menemukan kembali nilai-nilai relasional yang memanusiakan. Melalui pemikiran Buber, Sartre, Fromm, dan Levinas, kita diajak melihat bahwa manusia tidak akan pernah utuh tanpa yang lain. Bahwa keberadaan manusia sejati bukanlah dalam dominasi atau pelarian, tetapi dalam keterbukaan untuk hadir, mendengar, dan menatap. Orang bijak mengatakan “Manusia diciptakan untuk saling memandang, bukan saling membelakangi. Karena dalam mata yang lain, kita menemukan wajah kita sendiri.” Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara Harapan 1 Baca Puisi di National Art Competition 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Muhammad Maulana Yusuf (23220305), mahasiswa Program Studi S1 Manajemen, sukses meraih Juara Harapan 1 dalam ajang Baca Puisi National Art Competition (NAC) 2025 yang diselenggarakan oleh Politeknik Negeri Lampung pada 15 Mei 2025.

Kompetisi seni tingkat nasional ini menjadi panggung pertama bagi Maulana dalam dunia lomba baca puisi. Meski baru pertama kali mengikuti ajang seperti ini, Maulana berhasil mencuri perhatian dewan juri dengan penampilan yang penuh penghayatan dan sarat makna.

“Untuk kegiatan ini adalah hal pertama yang saya ikuti dan mendapatkan Juara Harapan 1 ini adalah sebuah kebanggaan bagi saya. Karena menjadi awal yang baik untuk terus maju menggapai tujuan yang kita mau,” ujar Maulana dengan semangat.

Ia juga mengungkapkan bahwa pengalaman ini bukan sekadar soal menang atau kalah, melainkan tentang proses kreatif dan keberanian mengekspresikan diri melalui puisi. “Ini adalah pengalaman yang luar biasa. Kemenangan ini bagaikan sayap yang membawaku melayang di atas puncak imajinasi. Setiap lirik yang kubaca kini memiliki gema yang indah, berkat apresiasi semuanya,” lanjutnya.

Pencapaian Maulana mendapat apresiasi hangat dari sivitas akademika Universitas Malahayati. Dosen dan rekan-rekan sesama mahasiswa turut bangga atas prestasi yang diraih, yang tidak hanya mengharumkan nama pribadi tetapi juga membawa nama baik universitas di kancah nasional.

Prestasi ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga memiliki potensi besar di ranah seni dan budaya. Semoga keberhasilan ini menjadi langkah awal bagi Maulana untuk terus berkarya dan menginspirasi generasi muda lainnya.

Selamat dan sukses untuk Muhammad Maulana Yusuf! Teruslah terbang tinggi bersama bait-bait puisi yang menggema. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Negeri “Jegog” (Antara Lelah, Pasrah, dan Salah)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Entah kenapa sore itu rasa kantuk menyerang begitu hebat. Menunggu datangnya waktu isya’-pun terasa begitu berat. Sepulang dari musala sebelah rumah, langsung ngglosor di kursi panjang rebahan. Di arasy setengah sadar, ada terasa yang membawa pergi bersama rombongan tour ke suatu tempat. Anehnya ketua rombongan dan supir pembawa kendaraan semua bermuka “jegog”. Saya pakai sebutan jegog untuk suatu benda hidup hanya untuk menghindari sarkasme. Jegog adalah kata dalam Bahasa Jawa yang artinya gonggong.

Kami rombongan bersepuluh yang tidak saling kenal satu sama lain, menaiki kendaraan itu dan masuklah ke suatu wilayah. Di tempat tujuan, kami disambut dengan meriah oleh warganya yang semua bermuka jegog.

Selamat datang di Negeri Jegog terpampang jelas di pintu gerbang kota dengan tulisan berhuruf arkrilik berwarna keemasan. Negeri ini konon katanya gemah ripah loh jinawi, tempat di mana air tumpah bisa jadi kolam renang, dan tanah subur cukup ditanam doa langsung panen harapan. Negeri yang katanya punya budaya luhur, masyarakat ramah, dan pemerintahan bijaksana. Dan, itu tertulis jelas semua dalam brosur pariwisata. Pada kenyataannya, Negeri Jegog adalah tempat di mana akal sehat sering digadaikan demi jabatan, dan logika dikorbankan hanya mengejar konten viral. Jangan salah, negeri ini sangat demokratis karena semua orang boleh bicara apa saja, asal suaranya tidak mengganggu para penguasa.

Salah satu keajaiban Negeri Jegog adalah sistem hukumnya yang sangat “mengasyikkan”. Di negeri ini, hukum itu seperti karet: bisa melar dan mengecil tergantung siapa yang memegang. Kalau rakyat kecil mencuri singkong sebatang, hukum datang dengan sirine dan borgol. Tapi kalau pejabat mencuri uang negara triliunan, hukum datang dengan undangan makan malam dan diskon hukuman secara besar-besaran bagai bazar.

Setiap lima tahun sekali, Negeri Jegog menggelar festival yang disebut Pemilu, yaitu “Pesta Elit Menipu Umat.” Rakyat diberi panggung sejenak untuk merasa penting; dirindu puja walau berdusta, diberi air mata palsu, dan yang tidak kalah seru dikasih goyang gemoy.

Mereka disodori janji manis seperti “akan ada banyak lapangan kerja disediakan”, “semua harga akan diturunkan”, “makan siang gratis untuk anak sekolah”, “semua sekolah gratis”, dan yang dihiperbolakan “korupsi diberantas”. Namun setelah kotak suara ditutup, janji itu dibungkus rapi dan disimpan sebagai koleksi. Hebatnya lagi, pemimpin yang pernah masuk penjara karena korupsi, bisa dengan bangga mencalonkan diri lagi untuk menjadi apapun. Anehnya rakyat, Entah karena amnesia massal atau efek kebanyakan nonton sinetron, seringkali memilih kembali; dengan alasan demi stabilitas, padahal yang stabil itu cuma penderitaan tanpa akhir.

Di Negeri Jegog, media berubah fungsi menjadi alat propaganda dan pengalihan isu. Berita korupsi disisipkan di antara gosip artis dan viralnya jegog berjoget. Ketika rakyat marah soal kenaikan harga, media akan menampilkan berita: “Menteri Bagi-Bagi Sembako Sambil Tersenyum.” Di Negeri Jegog, berita buruk bukan direspon untuk perbaikan, akan tetapi untuk ditutupi.

Menarik lagi di negeri Jegog ini, sebab pulau bisa berubah penguasanya dalam tempo sesaat; hari ini dikelola oleh penguasa A; besok mendadak dikelola penguasa B. Pola kepemimpinan simsalabim adalah hal yang biasa. Jika rakyatnya teriak, buru-buru mereka meralat dengan satu kata “kesalahan komunikasi”; karena komunikasi tidak bisa dipenjarakan, didenda atau dihukum mati.

Lebih seru lagi di Negeri Jegog, hutan lindung yang merupakan hutan larangan, ternyata sudah terbit sertifikat hak milik untuk ratusan orang. Begitu terbuka persoalannya kepermukaan, mereka ramai-ramai saling tuding untuk menyalahkan. Namun setelah waktu berlalu, kasus didiamkan, maka amanlah semua. Akhirnya anak cucu mereka nanti akan diwarisi gurun gundul yang membuat banjir dimana-mana. Hebatnya mereka berkata bagai koor paduan suara “Gimana nanti aja itu urusan yang lahir belakangan”. Di Negeri Jegog bisa terjadi “orang waras di tuduh gila, orang gila dipuja-puja”; dasar Negeri Jegog semua itu dianggap biasa-biasa saja.

Sayup-sayup terdengar suara “Pak..pak..bangun…bangun jangan tidur di sini, nanti lehernya sakit…pindah kekamar sana”. Ya Allah ternyata semua itu tadi mimpi; karena tidur di kursi tamu yang posisinya tidak sempurna. Sambil berbenah, terpaksa pindah tidur ke kamar utama dengan doa “semoga tidak mimpi lagi”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara Harapan 3 Solo Dance di National Art Competition 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Elsa Blezinsky (23220163) mahasiswi Program Studi S1 Manajemen berhasil meraih Juara Harapan 3 dalam ajang Solo Dance National Art Competition (NAC) Vol. 2 Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Politeknik Negeri Lampung pada 15 Mei 2025.

Kompetisi tingkat nasional ini menjadi ajang bergengsi bagi para pelaku seni muda dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia untuk menunjukkan bakat dan kreativitas mereka di bidang seni tari. Persaingan yang ketat tidak menyurutkan semangat Elsa untuk tampil maksimal dan memukau para juri serta penonton dengan penampilannya yang energik, ekspresif, dan penuh penghayatan.

Elsa mengungkapkan bahwa ini adalah kali keduanya mengikuti kompetisi NAC. “Bisa kembali mengikuti NAC Vol. 2 dan meraih juara merupakan kebanggaan tersendiri. Dari sekian banyak peserta, saya merasa bersyukur bisa terpilih menjadi salah satu pemenang,” ujar Elsa penuh semangat.

Lebih lanjut, ia memberikan pesan inspiratif kepada para mahasiswa dan generasi muda lainnya, “Jangan takut untuk menunjukkan bakat. Menang atau kalah hanyalah bonus, yang terpenting adalah kita sudah berani tampil, menunjukkan kemampuan kita secara maksimal, dan membuat orang lain terpukau.”

Pencapaian ini tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi bagi Elsa, tetapi juga menjadi motivasi bagi sivitas akademika Universitas Malahayati untuk terus mendukung mahasiswa dalam menyalurkan minat dan bakatnya, baik di bidang akademik maupun non-akademik.

Selamat kepada Elsa Blezinsky atas prestasi gemilangnya. Teruslah berkarya dan menginspirasi! (gil)

Editor: Gilang Agusman

Dukung Remaja Penyandang Disabilitas, Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Gelar Edukasi Gizi dan Kesehatan Reproduksi

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Komitmen Universitas Malahayati dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi kembali diwujudkan melalui kegiatan pengabdian masyarakat yang inspiratif. Kali ini, Program Studi Kesehatan Masyarakat melalui dosen dan mahasiswa semester 6 peminatan Epidemiologi dan Biostatistik, menyelenggarakan kegiatan edukasi gizi dan kesehatan reproduksi untuk remaja penyandang disabilitas, bertempat di UPTD Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitas, Dinas Sosial Provinsi Lampung.

Kegiatan yang berlangsung pada 7 Mei 2025 ini merupakan implementasi langsung dari mata kuliah Rapid Survey, Epidemiologi Gizi, dan Epidemiologi Kesehatan Reproduksi. Dalam praktiknya, mahasiswa tidak hanya menerapkan ilmu yang telah didapatkan di bangku kuliah, tetapi juga turut berkontribusi dalam meningkatkan kualitas hidup kelompok rentan.

Bentuk kegiatan yang dilakukan sangat variatif dan edukatif, meliputi: Penyuluhan dengan media video edukasi tentang gizi seimbang dan kesehatan reproduksi remaja, permainan edukatif seputar makanan sehat untuk meningkatkan pemahaman peserta dengan cara menyenangkan, praktik langsung perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), seperti mencuci tangan yang benar dan menjaga kebersihan diri.

Ketua tim pengabdian masyarakat, Fitri Eka Sari, SKM., M.Kes, menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bentuk kepedulian sosial sekaligus media pembelajaran kontekstual bagi mahasiswa.

“Kami ingin menanamkan kesadaran kepada mahasiswa bahwa ilmu kesehatan masyarakat tidak hanya dipelajari, tapi harus diturunkan kepada masyarakat, terutama kelompok rentan seperti penyandang disabilitas. Mereka memiliki hak yang sama untuk mendapatkan informasi kesehatan yang mudah dipahami dan aplikatif,” ujar Fitri.

Ia menambahkan, edukasi ini dirancang dengan pendekatan inklusif dan komunikatif, agar para peserta dapat berpartisipasi aktif dan merasa dihargai.

Kegiatan ini turut didampingi oleh dua dosen pendamping, yaitu Agung Aji Perdana, M.Epid. dan Dr. Wayan Aryawati, SKM., M.Kes. Keduanya menekankan pentingnya keterlibatan mahasiswa dalam pengabdian lapangan untuk menumbuhkan empati dan memperkuat keterampilan komunikasi publik yang adaptif.

“Mahasiswa belajar tidak hanya menyampaikan materi, tapi juga bagaimana berkomunikasi efektif dengan peserta yang memiliki kebutuhan khusus. Ini adalah pengalaman yang tak ternilai bagi mereka,” tandasnya.

Sementara itu, pihak UPTD Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial menyambut baik kegiatan ini. Mereka mengapresiasi kehadiran mahasiswa Universitas Malahayati yang turut serta membantu meningkatkan kesadaran kesehatan bagi remaja penyandang disabilitas yang mereka bina.

Melalui kegiatan ini, Prodi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati kembali menunjukkan bahwa pendidikan tinggi tidak hanya berorientasi pada akademik, tetapi juga berdaya guna secara sosial, membawa manfaat nyata bagi masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Dilihat Marah, Tidak Dilihat Murka (Sebuah Tinjauan Filsafat Manusia)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Dampak adanya media sosial digital, semua individu bebas mengekspresikan keadaan dirinya melalui media ini. Termasuk diantaranya saat yang bersangkutan marah, gembira dan atau keadaan apapun. Tentu dengan tujuan sesuai dari keinginan individu pelaku. Hal ini terjadi karena manusia bukan hanya makhluk yang berpikir (homo sapiens), tetapi juga makhluk yang merasakan, menyimpan, dan mengekspresikan emosi.

Dari seluruh spektrum emosi, amarah adalah salah satu yang paling kuat dan paling mudah dikenali. Namun, di balik amarah yang tampak, sering tersembunyi sesuatu yang lebih dalam dan lebih berbahaya, yaitu murka. Marah dapat dilihat melalui raut wajah, suara, atau tindakan. sedangkan murka, sering tidak terlihat, sebab ia bersembunyi di ruang terdalam kesadaran manusia.

Bersumber dari berbagai referensi konvensional, serta ditelusuri melalui penjejak digital, ditemukan informasi bahwa dalam filsafat manusia, istilah “dilihat marah, tidak dilihat murka” membuka medan refleksi yang luas.

Marah sebagai ekspresi fenomenal sering kali dianggap destruktif, tetapi murka yang tidak terungkap dapat menjadi lebih membahayakan bagi individu maupun masyarakat. Apalagi jika hal itu dikaitkan dengan maruwah atau martabat suatu kaum, maka sangat membahayakan bagi keberlangsungan kebersamaan yang selama ini dirawat dan dipelihara.

Sementara itu dalam pendekatan fenomenologi, emosi dipahami bukan hanya sebagai reaksi psikologis, melainkan sebagai bagian dari cara manusia mengalami dunia secara utuh. Marah tampak sebagai ekspresi yang keluar sebagai fenomena. Kita bisa melihat seseorang marah: alis mengerut, suara meninggi, tangan mengepal. Namun, murka bersifat laten. Ia adalah emosi yang ditahan, dipendam, dan tidak selalu punya ekspresi fisik. Ia bisa bertahan bertahun-tahun, bahkan menjadi bagian dari karakter seseorang. Dalam konteks ini, murka adalah eksistensi yang ditahan untuk tidak mewujud, dan oleh k arena itu, ia menumpuk, mengendap, dan bisa meledak tanpa peringatan.

Berbeda lagi dalam filsafat eksistensialisme, seperti pada pemikiran Sartre atau Heidegger, manusia adalah makhluk yang “dilemparkan ke dunia” dan dipanggil untuk mengafirmasi keberadaannya dengan kebebasan dan tanggung jawab. Ketika manusia mengalami peristiwa yang menyakitkan seperti: pengkhianatan, ketidakadilan, penindasan; Dia bisa memilih untuk marah sebagai bentuk perlawanan eksistensial. Namun, jika ia tidak mampu atau tidak berani mengungkapkan amarah itu, maka yang muncul adalah murka. Dengan kata lain murka adalah bentuk dari “eksistensi yang terpenjara”; terpenjara dalam luka yang tidak disuarakan. Murka bukan sekadar reaksi emosional, tapi bisa menjadi bentuk eksistensial dari kehilangan makna dan kehilangan kendali terhadap hidup sendiri.

Dalam etika Aristotelian, marah itu sah, bahkan perlu, selama berada dalam proporsi yang tepat. Aristoteles menekankan bahwa menjadi marah tidak salah, tetapi harus marah pada hal yang tepat, dalam kadar yang tepat, dan pada waktu yang tepat. Dengan kata lain, marah adalah bagian dari kehormatan dan keberanian moral jika diarahkan dengan benar. Sedangkan murka, sebaliknya, adalah emosi yang kehilangan orientasi etis. Ia tidak mempedulikan keadilan atau kebaikan, hanya ingin membalas atau menyakiti. Ia bisa menjadi akar dari dendam, kekerasan, atau pengingkaran terhadap nilai-nilai dasar kemanusiaan.

Pada budaya Indonesia, mengekspresikan kemarahan secara terbuka sering dianggap tidak sopan atau tidak dewasa. Ini menghasilkan budaya di mana banyak orang menahan emosi, memendam, dan memilih diam hanya demi menjaga harmoni semu. Dalam jangka pendek, ini mungkin dapat menciptakan stabilitas sosial. Namun dalam jangka panjang, budaya ini melahirkan generasi yang tidak mampu mengelola emosi secara sehat, dan akhirnya menyimpan murka dalam diam.

Inilah yang dikhawatirkan untuk kasus empat pulau di Aceh. Bisa jadi jangka pendek itu bisa diselesaikan dengan cara patgulipat; namun jangka panjang ada murka kolektif yang tertanam pada generasi berikut. Di sini, kita harus jujur melihat bagaimana murka tidak hanya menjadi urusan personal, tetapi juga kolegial. Ia menyebar sebagai trauma kolektif, kekecewaan massal, dan apatisme sosial yang membeku.
“Dilihat marah, tidak dilihat murka” adalah lensa yang tajam untuk membaca kondisi manusia; baik secara personal maupun kolektif.

Dalam konteks Indonesia hari ini, ia bukan sekadar metafora, tapi kenyataan politik, sosial, dan eksistensial. Oleh sebab itu tidak salah bila orang bijak mengatakan demokrasi sejati bukan hanya tentang hak suara, tapi juga tentang kemampuan kolektif untuk menyatakan luka, menyembuhkan murka, dan membangun masa depan yang lebih baik secara jujur dan adil. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Malahayati Raih Juara 1 Nasional di Bidang Matematika

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali diraih oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Defa Azzah Dianti, mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hukum, berhasil meraih Juara 1 Kategori Bidang Matematika dalam ajang Kejuaraan Sains Nasional (KSN) 2025 yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Sains Nasional (PUSKASNAS) di Yogyakarta pada 29 April 2025.

Kejuaraan Sains Nasional merupakan ajang bergengsi yang diikuti oleh ratusan peserta dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Ajang ini menjadi wadah pengembangan potensi akademik mahasiswa di berbagai bidang ilmu, termasuk Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, dan lainnya.

Yang menarik, Defa yang berasal dari jurusan Ilmu Hukum, justru berhasil menorehkan prestasi gemilang di bidang Matematika—bidang yang umumnya didominasi oleh mahasiswa sains dan teknik. Keberhasilannya ini tidak hanya membanggakan Universitas Malahayati, tetapi juga membuktikan bahwa minat dan kemampuan lintas disiplin bisa melahirkan capaian luar biasa.

Dalam wawancara singkat, Defa mengungkapkan bahwa pencapaiannya adalah hasil dari ketekunan dan semangat untuk terus belajar. “Pengalaman ini sangat berharga bagi saya. Selain menambah wawasan dan keterampilan, saya belajar banyak hal tentang bagaimana berpikir logis, sistematis, dan analitis,” ujar Defa.

Ia juga membagikan pesan inspiratif kepada rekan-rekan mahasiswa lainnya, “Jangan mudah menyerah saat menghadapi kegagalan. Karena dari kegagalan kita belajar. Proses itu penting, dan setiap langkah adalah bagian dari perjalanan menuju keberhasilan.”

Keberhasilan Defa Azzah Dianti ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang ilmu yang ditekuninya, tetapi juga mampu bersaing di kancah nasional di luar disiplin ilmunya. Pihak kampus pun turut mengapresiasi prestasi Defa dan berharap pencapaiannya dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus mengembangkan potensi diri. Selamat dan sukses untuk Defa Azzah Dianti! Teruslah berkarya dan menginspirasi. (gil)

Editor: Gilang Agusman