Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seperti halnya wabah yang menular cepat dan “beringas” ; hampir semua kepala daerah terpilih membentuk pola untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya, dikenal dengan program seratus hari. Dari yang membongkar bantaran sungai, masukkan anak-anak bermasalah ke barak militer, membebaskan uang komite sekolah, melakukan bedah rumah, pelayanan kesehatan gratis, dan masih banyak lagi.
Semua dilakukan bagai air bah dimana-mana; para pemimpin ingin menunjukkan komitmennya kepada rakyatnya. Namun ada juga yang duduk manis menikmati mimpi di singgasana yang diperoleh dengan mengeluarkan dana luar biasa banyaknya. Sesekali biar kelihatan bekerja menandatangani sambil tiduran penggantian kepala sekolah, dari pelaksana tugas ke pelaksana tugas lainnya; atau mendatangi rakyat yang sedang berduka dengan menyelipkan sedikit amplop; setelah itu kembali tidur lagi mengikuti irama lagu almarhum Mbah Surip.
Sudah semacam ciri realitas politik modern, terutama di era demokrasi elektoral seperti sekarang, mimpi kerap kali menjadi komoditas. Setiap kali pemilu tiba, ruang publik dipenuhi janji-janji politik yang menjanjikan kesejahteraan, keadilan sosial, dan perubahan besar, pendidikan gratis, bantuan sembako murah, bahan bakar murah, listrik gratis dan sebagainya.
Janji-janji itu dikemas dalam bentuk narasi, slogan, dan visi yang menyentuh emosi rakyat. Dalam proses ini, suara rakyat ditukar dengan harapan yang kadang-kadang terlalu idealis bahkan terkadang utopis. Fenomena seperti ini, yang dalam bahasa awam disebut sebagai “menjual janji”, dalam konteks filsafat bisa dilihat sebagai praktik “membeli mimpi”.
Menjadi pertanyaan apakah sah menjual atau membeli mimpi dalam politik? Apakah mimpi tentang keadilan, kemakmuran, dan perubahan sah diperjualbelikan dalam ruang demokrasi? Jawabannya tentu tergantung dari sudut mana kita memandang, dan dalam perspektif apa.
Dalam konteks politik, janji sejatinya bukan hanya sekadar alat kampanye, melainkan kontrak moral antara pemimpin dan rakyat. Maka ketika politisi menjanjikan sesuatu kepada rakyat, ia bukan hanya sedang bernegosiasi secara politis, tetapi juga mengikat dirinya secara moral dan spiritual. Janji politik, jika dimaknai dari perspektif religiusitas, adalah bagian dari pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
Setiap bangsa besar dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi tentang masyarakat adil dan makmur, bebas dari penjajahan, korupsi, dan kebodohan. Dalam politik, mimpi itu menjadi bagian penting dari visi kepemimpinan. Tanpa mimpi, politik kehilangan arah. Namun, mimpi yang disampaikan tanpa kejujuran, tanpa perencanaan yang matang, dan hanya digunakan untuk meraih kekuasaan, maka dia berubah menjadi manipulasi.
Di tengah derasnya kontestasi politik, terutama di negara demokratis yang sedang berkembang, mimpi sering dijadikan alat manipulasi. Rakyat dijanjikan hal-hal besar seperti pendidikan gratis, lapangan kerja melimpah, dan harga-harga terjangkau, makan siang gratis, dan serba gratis lainnya; namun tanpa perhitungan rasional dan rencana implementasi yang matang dan jelas. Maka tidak jarang begitu ditagih janji ini menjadi kebingungan tersendiri bagi sang pemimpin; walhasil dipenuhi dengan setengah hati.
Para politisi mengetahui bahwa rakyat ingin percaya dan mereka selalu dalam kondisi lapar akan harapan. Pada kondisi seperti itu; mimpi menjadi komoditas yang laku keras di pasar demokrasi. Dalam bahasa satir: “Politisi menjual mimpi, rakyat membelinya dengan suara, lalu banyak yang kecewa karena tidak ada barang yang dikirim ke rumahnya”.
Filsuf Islam kontemporer Muhammad Iqbal mengingatkan agar kita tidak hidup dalam dunia imajinasi kosong. Politik harus menjadi proyeksi kreatif dari nilai-nilai spiritual ke dalam tatanan sosial. Ia bukan tentang kekuasaan demi kekuasaan, melainkan pembentukan masyarakat yang adil, bermartabat, dan berorientasi pada ridha Ilahi.
Oleh sebab itu jika membeli mimpi dipahami sebagai tindakan rakyat memberikan kepercayaan kepada seorang pemimpin karena ia menjanjikan visi dan perubahan, maka tindakan itu adalah sah dan bahkan penting dalam politik. Namun agama memberikan satu syarat penting yaitu: “tanggung jawab”.
Pemimpin politik adalah penjaga amanah publik. Setiap janjinya adalah hutang moral. Maka ketika ia menjual mimpi dan gagal menunaikannya, ia bukan hanya gagal secara politik, tapi juga secara etis dan spiritual. Sebaliknya, rakyat yang membeli mimpi juga tidak boleh pasif. Mereka harus terlibat aktif dalam mengawasi, mengkritisi, dan menagih janji. Oleh karena itu para ahli terdahulu mengingatkan mimpi bisa menjadi industri politik yang kuat namun berbahaya jika tidak disertai dengan kedewasaan politik, pendidikan publik, dan kontrol sosial. Oleh sebab itu kita sebagai bagian dari warga negara harus berperan aktif dalam merawat mimpi kolektif yang realistis dan etis.
Dengan demikian “membeli mimpi” dalam politik bukan hal yang salah selama mimpi itu dilandasi oleh visi, niat baik, dan rencana nyata untuk perubahan. Namun, ketika mimpi hanya dijadikan alat meraih kekuasaan tanpa tanggung jawab, maka praktek seperti ini menjadi pengkhianatan terhadap nilai-nilai universal. Selamat membeli mimpi asal jangan ditukar dengan janji; karena kita sangat sering dikhianati oleh janji manis di awal pahit di kemudian. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Ucapkan Dirgahayu ke-343 untuk Kota Bandar Lampung
Dengan mengusung tema “Bandar Lampung Gemilang, Sinergi Potensi Lokal Menuju Kota yang Sehat, Cerdas, Berbudaya, Nyaman, Unggul, dan Berdaya Saing”, Universitas Malahayati meyakini bahwa kolaborasi lintas sektor – termasuk dunia pendidikan, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci utama dalam mewujudkan visi besar tersebut.
Sebagai institusi pendidikan tinggi yang berada di jantung Kota Bandar Lampung, Universitas Malahayati siap bersinergi dalam mencetak sumber daya manusia yang unggul dan berkontribusi nyata terhadap pembangunan kota yang sehat, cerdas, dan berbudaya.
Selama lebih dari dua dekade berdiri di Bandar Lampung, Universitas Malahayati telah menjadi bagian penting dalam ekosistem pendidikan dan pengembangan masyarakat. Berbagai program Tri Dharma Perguruan Tinggi; pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat secara aktif dijalankan demi mendukung kemajuan Kota Bandar Lampung.
Universitas Malahayati mengajak seluruh elemen masyarakat untuk terus menjaga semangat gotong royong, memperkuat identitas budaya lokal, dan bersama-sama melangkah menuju Bandar Lampung yang lebih gemilang.
Dirgahayu ke-343 Kota Bandar Lampung! Terus maju dan bersinar untuk Indonesia yang lebih baik. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Butuh Uangnya, Tidak Orangnya
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Di banyak media sering kita mendapatkan informasi informasi bagaimana “rakus”nya manusia dalam mengarungi kehidupan ini. Bukan hanya nasi yang dimakan, tetapi bisa saja aspal, semen, pasir, batu koral, besi; bahkan tenaga sesama teman. Menyedihkan lagi ditemukan informasi pasangan pasutripun berperilaku demikian. Semula mereka diikat oleh cinta yang luhur; namun seiring perjalanan waktu justru berubah menjadi saling mengekploitir satu sama lain. Jika dahulu ada pemeo “ada uang abang sayang”; sekarang hal itu nyata adanya, dan berubah menjadi lebih dahsyat; “jika ada uang kau abangku, jika miskin tinggalkan aku”. Oleh sebab itu sekarang ungkapan “Butuh uangnya, tidak orangnya” mulai sering sayup-sayup terdengar di berbagai lini kehidupan masyarakat, terutama dalam percakapan sehari-hari yang berkaitan dengan relasi kerja, bantuan sosial, pinjam-meminjam, bahkan hubungan keluarga. Pernyataan ini terdengar sinis namun jujur, menunjukkan fenomena bahwa manusia hari ini cenderung lebih menghargai apa yang dimiliki seseorang, terutama secara finansial; daripada siapa sejatinya orang itu.
Di tengah era digital yang memacu produktivitas, kompetisi, dan efisiensi, manusia perlahan-lahan menjelma menjadi alat, bukan lagi subjek. Dalam berbagai ruang sosial, keberadaan individu tak lagi bernilai jika tidak memberikan manfaat ekonomi. Hubungan personal pun tereduksi menjadi transaksional: siapa yang bisa memberi, dialah yang dicari; siapa yang tidak berguna secara finansial, cepat atau lambat akan disingkirkan dari lingkaran sosial yang ada.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kita sedang berada dalam krisis kemanusiaan yang dibungkus rapi oleh kemajuan peradaban. Maka, sebenarnya penting untuk membongkar ulang kenyataan ini; bukan hanya untuk mengkritisi budaya yang terbentuk saja, akan tetapi juga untuk memulihkan nilai-nilai dasar dalam interaksi sosial: penghargaan terhadap martabat manusia, empati, dan solidaritas.
Berbicara tentang uang; secara sosiologis, uang pada awalnya adalah instrumen tukar-menukar, diciptakan untuk mempermudah distribusi sumber daya. Namun dalam perjalanan waktu, uang mengalami transfigurasi peran: dari sekadar alat menjadi simbol kekuasaan, status, bahkan nilai diri. Seseorang yang memiliki banyak uang sering kali lebih dihormati, bahkan tanpa perlu mempertontonkan kualitas moral atau intelektualnya. Sementara yang miskin, meskipun berintegritas, kerap kali dipinggirkan. Dalam relasi personal maupun institusional, seseorang bisa menjadi “berharga” hanya karena kemampuan ekonominya. Inilah yang melahirkan fenomena “butuh uangnya, tidak orangnya” wujud dari sebuah mentalitas yang mereduksi manusia menjadi angka di rekening atau aset yang bisa dimanfaatkan.
Di media sosial, kita sering melihat konten tentang hubungan antarmanusia yang diukur dari seberapa besar pasangan “berinvestasi”: apakah ia memberi hadiah mahal, menanggung biaya hidup, atau mentransfer saldo harian. Narasi ini menjadi begitu populer hingga membentuk standar sosial baru. Bahkan, tidak jarang seseorang mengakhiri hubungan karena pihak lain dianggap “tidak bercuan”.
Fenomena ini juga melanda wilayah pertemanan, seseorang akan lebih mudah diterima jika memiliki “manfaat”: bisa mencarikan pekerjaan, punya koneksi, atau bisa “mentraktir kapan saja”. Maka tidak mengherankan jika orang mulai membangun relasi dengan tujuan yang sangat pragmatis, bukan lagi emosional atau ideologis. Akibatnya hubungan sosial menjadi sejenis investasi: harus menghasilkan return. Jika tidak ada keuntungan, maka relasi dianggap sia-sia.
Tampaknya kapitalisme modern sudah bertriwikrama bukan hanya sekedar sistem ekonomi; akan tetapi berubah; ia adalah sistem nilai yang membentuk cara berpikir manusia. Dalam logika kapitalisme, segalanya harus produktif, efisien, dan mendatangkan keuntungan. Empati, solidaritas, dan ketulusan menjadi nilai yang kalah pamor karena tidak bisa “dikapitalisasi”. Dalam iklim seperti ini, manusia lebih mencintai keuntungan dari pada mencintai sesama. Ironisnya lagi lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, mengarahkan peserta didiknya untuk menjadi “tenaga kerja kompetitif”, bukan warga negara yang peduli. Kita perlahan tetapi pasti akan menjadi manusia yang kering: hidup dalam lingkungan yang penuh transaksi tapi minim interaksi sejati.
Relasi darah yang semestinya jadi tempat terakhir manusia menemukan cinta tanpa syarat, kini pun tak luput dari krisis. Berapa banyak konflik keluarga yang berakar pada sumber keuangan, warisan, tanggungan jawab finansial, hingga utang-piutang sering kali membuat hubungan keluarga renggang bahkan hancur berkeping-keping. Lebih mengerikan lagi ada anak yang menilai orang tuanya berdasarkan jumlah harta yang diwariskan. Begitu pula sebaliknya, orang tua yang memperlakukan anak sebagai “investasi masa depan” demi menjamin kehidupan di hari tua. Cinta dan kasih sayang pun berubah menjadi perhitungan untung rugi, dan akhirnya menjadikan keluarga kehilangan fungsi emosionalnya. Kita tidak lagi menemukan kehangatan kemanusiaan didalamnya.
Di titik ini, kita mesti bertanya ulang: apakah kita bekerja untuk bertumbuh sebagai manusia, atau sekadar menjadi mesin ekonomi. Kemajuan teknologi, terutama media sosial, turut memperkuat kecenderungan relasi materialistic ini. Di saat yang sama, manusia menjadi lebih kesepian. Relasi yang dijalin lewat layar sering kali superficial. Kita lebih mengenal dompet digital seseorang daripada isi hatinya. Hubungan menjadi lebih instan, dangkal, dan tidak berumur panjang. Ternyata teknologi disamping memberi kecepatan, tetapi juga sekaligus mencuri kedalaman dalam relasi manusia.
“Butuh uangnya, tidak orangnya” bukan sekadar guyonan semata; ini adalah cermin atau tanda jaman. Ungkapan ini mencerminkan dunia yang lebih menghargai kapital daripada karakter, lebih menghormati rekening bank daripada rekam jejak moral, dan lebih mengejar untung daripada hubungan. Apakah ini tanda-tanda akhir jaman, entahlah…. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kegaduhan Aceh vs Medan, Belajar dari Penelitian Desa Tertukar
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kegaduhan eksploitasi tambang nikel di Raja Ampat belum reda, muncul kehebohan empat pulau milik Aceh beralih ke Sumatera Utara. Bendera Palam Peudeung kembali berkibar di Tanah Rencong. Aceh bergejolak atas putusan Mendagri Tito Karnavian.
Terkait kehebohan tersebut, seorang sahabat lulusan perguruan tinggi ternama luar negeri yang pernah menjadi kuasa penelitian perguruan tinggi terkenal daerah ini mengingatkan penulis pernah meneliti desa “tertukar” di wilayah perbatasan.
Teringat, kebijakan pemekaran wilayah merupakan upaya pemerataan pembangunan dan pelayanan publik agar secara administrasi dekat dengan masyarakat serta pembangunan yang lebih merata.
Namun, dalam praktiknya, pemekaran wilayah tidak selalu berjalan mulus. Salah satu fenomena yang muncul akibat pemekaran adalah kasus “desa yang tertukar” akibat kesalahan penempatan administrasi desa.
Fenomena ini menimbulkan berbagai dampak administratif, sosial, dan hukum yang cukup kompleks akibat kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat, daerah induk, dan daerah pemekaran.
Dalam beberapa kasus, peta batas wilayah yang digunakan masih mengacu pada peta lama yang belum diperbarui, atau bahkan hanya menggunakan patokan alami seperti sungai atau bukit yang telah berubah.
Akibatnya, satu atau lebih desa bisa “terseret” ke wilayah administratif yang salah. Demikian juga halnya dengan keberadaan, pulau bisa jadi menjadi korban dari kebijaksanaan yang carut marut ini.
Contoh, satu desa yang sebelumnya berada di Kabupaten A, setelah pemekaran justru tercatat masuk ke Kabupaten B. Padahal secara geografis, budaya, bahkan sosial-ekonomi, desa tersebut lebih dekat dan memiliki keterkaitan erat dengan Kabupaten A.
Hal ini bukan hanya kesalahan teknis, tetapi juga berdampak pada jati diri desa dan keabsahan administrasi pemerintahan desa itu sendiri. Dan, beberapa tahun lalu saat penelitian dilakukan, juga ditemukan di lapangan hal seperti ini.
Dampak paling nyata dari desa yang tertukar adalah kebingungan administratif. Warga desa menghadapi kesulitan saat mengurus dokumen seperti KTP, KK, akta lahir, maupun surat kepemilikan tanah.
Selain itu, layanan kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial pun terhambat karena tumpang tindih data kependudukan. Pemerintah daerah yang merasa tidak memiliki tanggung jawab atas desa tersebut sering enggan mengalokasikan anggaran pembangunan.
Di sisi lain, daerah asal desa merasa kehilangan hak pengelolaan terhadap wilayah yang sejak lama menjadi bagian dari mereka.
Selain itu, konflik sosial juga dapat muncul. Warga desa mungkin merasa “dipaksa pindah” secara administrati bisa menimbulkan ketegangan antara masyarakat dan pemerintah serta melemahkan kepercayaan terhadap sistem pemerintahan yang ada.
Belajar dari kasus yang ada, maka sebaiknya antara Aceh, Sumatera Utara, bersama Pemerintah Pusat menyelesaikan masalah dengan cara melakukan verifikasi ulang batas wilayah secara partisipatif, melibatkan masyarakat, tokoh adat, dan pemangku kepentingan lokal.
Teknologi pemetaan digital dan sistem informasi geografis (GIS) menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan harus disertai dengan ketelitian administratif dan partisipasi publik yang memadai.
Tanpa itu, niat baik pemerataan pembangunan bisa berubah menjadi sumber masalah baru.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah, perlu belajar dari kasus ini agar ke depan setiap kebijakan pemekaran tidak hanya bersifat formalitas administratif, tetapi benar-benar mencerminkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat lokal.
Mempertahankan Aceh agar tetap menjadi satu kesatuan dengan negara kesatuan republic tidaklah mudah dan murah. Banyak darah dan air mata tumpah di sana; jangan hanya karena ambisi sesaat atau kepentingan sesaat dari generasi penerus- yang tidak paham sejarah, semua menjadi berantakan.
Tulisan ini bukan bermaksud menggurui, apalagi mengajari buaya berenang; akan tetapi hanya sekedar mengingatkan demi keutuhkan negeri ini, hanya karena kelalaian atau pendiaman dari mereka yang paham. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Tetirah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menghubungi seorang sohib jurnalis senior untuk berbagi kabar, ternyata beliau sedang melakukan “tetirah” di tempat keluarga yang kebetulan tidak jauh dari tanah kelahiran beliau. Diksi ini sudah lama sekali tidak terdengar di telinga penulis, mungkin sudah lebih dari satu dekade, karena istilah ini untuk telinga orang yang berbudaya Jawa memiliki makna magis tersendiri.
Berdasarkan penelusuran literatur digital ditemukan definisi operasional dalam konsep filosofi Jawa, menjelaskan bahwa “tetirah” memiliki makna yang cukup dalam, tidak hanya secara harfiah tetapi juga secara simbolik dan spiritual.
Secara harfiah, tetirah berarti beristirahat sejenak atau menyepi, biasanya dengan tujuan untuk memulihkan kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Dalam konteks modern, tetirah sering digunakan untuk menyebut rehat dari rutinitas atau menjauh dari keramaian demi mencari ketenangan.
Sementara dalam falsafah Jawa, tetirah mencerminkan proses introspeksi dan penjernihan batin. Ini sejalan dengan nilai-nilai spiritualitas Jawa yang menghargai kontemplasi (merenung), laku prihatin (hidup sederhana dan menahan diri), manembah (mendekatkan diri pada Tuhan). Pada pandangan filsafat Jawa, tetirah adalah momen ketika seseorang “munggah kawruh” (menaikkan pengetahuan dan kesadaran), dengan cara menarik diri sejenak dari dunia luar untuk mendengar suara batinnya sendiri.
Dalam praktiknya, tetirah bisa berupa retret ke alam (gunung, hutan, tempat sepi), tapa brata (sejenis meditasi atau lelaku spiritual), menepi ke padepokan atau pesantren, atau sekadar diam di rumah dan mengurangi interaksi sosial. Adapun tujuan utama dari tetirah dalam budaya Jawa adalah mencapai harmoni antara jagad cilik (diri) dan jagad gede (alam/semesta), menemukan jati diri sejati (sangkan paraning dumadi), menjernihkan hati dari hawa nafsu, ego, dan kegaduhan duniawi.
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dikejar target, manusia kerap terjebak dalam pusaran aktivitas yang seolah-olah tanpa henti. Waktu terasa sempit, ruang terasa penuh, dan pikiran terus bergerak bahkan saat tubuh diam. Kita hidup dalam era produktivitas, di mana diam sering kali dianggap malas, dan rehat dinilai sebagai kelemahan. Namun dalam filosofi Jawa laku tetirah adalah jawabannya. Tetirah bukan sekadar istirahat akan tetapi adalah rehat yang penuh kesadaran batin; sebuah keputusan untuk menepi, bukan karena kalah atau lelah, melainkan karena sadar bahwa diri ini butuh ruang untuk kembali utuh. Dalam budaya Jawa, tetirah adalah bentuk laku proses spiritual dan emosional untuk menyelami diri, menenangkan batin, dan menemukan kembali arah hidup yang sejati.
Hari-hari kita dipenuhi dengan kebisingan: suara mesin, notifikasi dari gawai, percakapan yang tak putus, dan tekanan dari ekspektasi luar. Kita terus bergerak, berpacu dengan waktu, mengejar target, dan memenuhi peran sebagai pekerja, anak, orang tua, pasangan, teman. Namun, pertanyaan kemudian muncul kapan terakhir kali kita duduk dalam diam dan benar-benar mendengar suara hati kita sendiri?.
Tetirah muncul sebagai bentuk jawaban atas kerinduan akan sunyi. Ia bukan eskapisme, bukan pelarian dari tanggung jawab, tapi bentuk keberanian untuk mengambil jarak. Jarak dari rutinitas, dari tekanan sosial, bahkan dari ego diri sendiri. Dalam tetirah, kita memberi waktu bagi batin untuk kembali jernih karena kita sadar, kadang justru dalam diam kita bisa melangkah paling jauh. Menggunakan istilah teman tadi “sedang reloading”; sehingga seolah-olah kita sedang mereduksi file kehidupan yang tidak terpakai.
Dalam kehidupan yang terus mendorong kita untuk bergerak lebih cepat, tetirah mengajarkan nilai yang kontras, tetapi sangat relevan: berhenti bukan berarti kalah, dan diam bukan berarti tak berjalan. Justru dalam rehat yang sadar itulah, kita bisa menemukan kembali arah, energi, dan makna untuk melangkah lebih jauh dengan hati yang lebih tenang dan jiwa yang lebih utuh.
Semoga sohib yang sedang tetirah mendapatkan ketenangan batin, dan menemukan kembali jati dirinya. Oleh karena itu tetirah bukan berarti berlama-lama menjauh dari dunia; sebab kita harus sadar bahwa kita masih ada di dunia. Kita masih perlu dunia untuk menjadikannya ladang amal; kita masih di dunia karena untuk meneruskan perjalanan abadi kelak, justru kita harus melewati dunia ini. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Prodi Manajemen Universitas Malahayati Gelar Kuliah Umum Kewirausahaan: Dorong Mahasiswa Jadi Wirausahawan Muda yang Kreatif, Inovatif, dan Berkelanjutan
Dibuka langsung oleh Ketua Program Studi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si., kuliah umum ini menekankan pentingnya menanamkan karakter wirausaha sejak di bangku kuliah. Dalam sambutannya, ia menggarisbawahi peran strategis koperasi dan UMKM sebagai pilar ekonomi bangsa yang mampu membuka peluang usaha baru, menciptakan lapangan kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
“Wirausaha bukan hanya soal bisnis, tapi juga soal karakter dan keberanian untuk mencipta. Melalui koperasi dan UMKM, kita bisa membentuk ekosistem usaha yang lebih inklusif, kolaboratif, dan berkelanjutan,” ujar Dr. Febrianty di hadapan lebih dari 100 mahasiswa Konsentrasi Kewirausahaan.
Suasana acara berlangsung hangat dan penuh antusiasme. Dipandu oleh moderator energik, Septa Putri Yanti, para peserta tampak aktif berdiskusi, bertanya, bahkan berbagi ide-ide kreatif mereka seputar dunia usaha.
Para narasumber juga membagikan tips praktis membangun usaha, mulai dari mengenali pasar, mengembangkan ide produk, hingga membangun tim yang solid. Diskusi interaktif pun menjadi momen penting bagi mahasiswa untuk menggali lebih dalam wawasan yang disampaikan, menciptakan ruang tukar gagasan yang membangun.
“Kuliah umum ini sangat membuka pikiran saya. Ternyata, menjadi wirausahawan itu tidak harus menunggu lulus, tapi bisa dimulai dari sekarang dengan langkah-langkah kecil,” ungkap salah satu peserta seminar.
Sebagai kampus yang terus berkomitmen mencetak generasi muda yang mandiri dan berdampak, Universitas Malahayati melalui Program Studi Manajemen akan terus menghadirkan ruang-ruang pembelajaran seperti ini. Karena setiap langkah kecil bisa menjadi awal dari perubahan besar. Mari terus bergerak, mencipta, dan berdampak! (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara 3 Fashion di Ajang Internasional Arfestor 2025
Kompetisi ini merupakan bagian dari festival internasional yang menggabungkan nuansa kebudayaan Arab dengan semangat akademik global. Dalam kategori fashion, para peserta ditantang untuk menampilkan kreativitas dalam balutan busana bernuansa budaya Arab dengan sentuhan modern. Novita tampil memukau dan berhasil mencuri perhatian dewan juri berkat keunikan gaya dan kepercayaan dirinya di atas panggung.
Novita menyampaikan pesan inspiratif,“Jangan takut untuk percaya diri, kamu adalah calon juara. Dari calon juara, kamu bisa menjadi juara”.
“Dengan mengikuti perlombaan ini, saya jadi lebih percaya diri, menambah pengalaman, dan belajar untuk tidak takut kalah. Saya ingin terus mencoba, karena saya percaya apapun yang sudah tertakar, tidak akan tertukar,” jelasnya.
Prestasi ini tidak hanya membawa kebanggaan bagi Novita pribadi, tetapi juga menjadi motivasi bagi seluruh mahasiswa Universitas Malahayati untuk terus mengembangkan bakat, keberanian, dan semangat kompetisi di berbagai bidang—tak hanya akademik, tetapi juga seni dan budaya.
Selamat kepada Novita Sari atas pencapaiannya. Semoga langkah ini menjadi awal dari berbagai prestasi gemilang di masa depan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Program Studi Manajemen Gencarkan Sosialisasi Pencegahan Kekerasan Seksual di Kampus
Kegiatan ini menjadi bukti nyata kolaborasi lintas unsur kampus dalam menciptakan ruang aman bagi seluruh sivitas akademika. Hadir membuka acara, Kepala Program Studi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si, menekankan pentingnya kepedulian bersama terhadap isu yang masih menjadi tantangan serius di banyak institusi pendidikan.
“Melalui kegiatan ini, seluruh peserta diajak untuk lebih peduli dan peka terhadap isu kekerasan seksual. Kita ingin menciptakan ruang dialog terbuka, agar mahasiswa dapat saling menguatkan dan membangun kesadaran kolektif untuk mencegah serta menangani kasus-kasus kekerasan seksual secara tepat,” ujar Dr. Febrianty.
Sosialisasi ini diikuti oleh 40 mahasiswa Program Studi Manajemen serta dihadiri oleh para dosen pendamping, yakni Euis Mufahamah, S.E., M.Akt dan Reza Rahadian Pratama, S.E., M.M. Kegiatan berlangsung dalam suasana yang terbuka dan interaktif, memberi ruang bagi peserta untuk berdiskusi dan berbagi pandangan.
“Mari bersatu, lawan kekerasan, dan jadikan kampus sebagai tempat tumbuh yang sehat bagi semua,” menjadi seruan penutup dalam kegiatan yang sarat nilai kemanusiaan ini.
Dengan langkah kecil ini, harapannya akan tumbuh kesadaran besar dari seluruh elemen kampus untuk bersama-sama menolak segala bentuk kekerasan seksual. Kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga rumah kedua yang harus menjadi ruang aman bagi semua. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Tingkatkan Kompetensi Mahasiswa, Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Gelar Workshop Metodologi Penelitian dan Manajemen Data
Workshop ini dirancang sebagai wadah pembekalan yang intensif dan aplikatif, membahas beragam materi penting dalam metodologi penelitian dan manajemen data. Pada aspek metodologi, materi yang dipelajari meliputi: rumusan masalah penelitian, kerangka teori dan konsep, hipotesis, definisi operasional, serta penyusunan alat ukur atau kuesioner.
Sementara itu, untuk aspek manajemen data, mahasiswa mendapatkan pelatihan mengenai uji validitas dan reliabilitas alat ukur, uji normalitas data, serta analisis statistik bivariat dan multivariat. Beberapa teknik statistik yang dibahas mencakup:
• Data numerik: uji t-independen dan t-dependen, serta korelasi
• Data kategori: uji chi-square dan Somers’ D
• Analisis multivariat (data numerik): ANOVA, regresi linier sederhana, regresi linier ganda, hingga analisis jalur (path analysis)
• Data kategori (multivariat): regresi logistik
“Kegiatan ini sangat penting untuk membekali keterampilan Saudara-saudara dalam menganalisis data. Saat ini, banyak dari Anda yang tengah memasuki tahap akhir penelitian. Jangan sampai, setelah lulus, masih ada yang belum memahami cara menganalisis data di lingkungan kerja masing-masing,” tegas Dr. Lolita.
Dekan didampingi oleh Wakil Dekan, Khoidar Amirus, SKM., M.Kes, Ketua Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Dr. Samino, SH., M.Kes, serta para staf pengajar yang turut hadir dan memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan ini.
“Masih ada mahasiswa yang kurang mampu menjelaskan hasil penelitiannya secara logis dan sistematis. Oleh karena itu, kegiatan ini kami rancang agar mereka tidak hanya paham teori, tetapi juga mampu menyampaikan dan mempertanggungjawabkan data penelitiannya secara ilmiah,” jelasnya.
Workshop ini menghadirkan sejumlah narasumber berkompeten dari lingkungan akademik Universitas Malahayati, antara lain:
• Prof. Dr. Diah Wulan Sumekar, SKM., M.Kes
• Dr. Angga, MM
• Dr. Samino, SH., M.Kes
• Khoidar Amirus, SKM., M.Kes
• Nova Muhani, S.ST., MKM
Kelima pemateri tersebut membawakan materi dengan pendekatan yang interaktif dan berbasis kasus nyata, sehingga mahasiswa dapat langsung menerapkannya pada data dan penelitian mereka masing-masing.
Saat berita ini diturunkan, kegiatan masih berlangsung dan dijadwalkan selesai sesuai rencana pada 19 Juni 2025. Para peserta tampak antusias mengikuti setiap sesi, dan diharapkan hasil workshop ini mampu memberikan dampak nyata terhadap kualitas penyusunan tesis dan kesiapan lulusan menghadapi dunia kerja. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Membeli Mimpi, Menukar Janji
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seperti halnya wabah yang menular cepat dan “beringas” ; hampir semua kepala daerah terpilih membentuk pola untuk mendekatkan diri dengan rakyatnya, dikenal dengan program seratus hari. Dari yang membongkar bantaran sungai, masukkan anak-anak bermasalah ke barak militer, membebaskan uang komite sekolah, melakukan bedah rumah, pelayanan kesehatan gratis, dan masih banyak lagi.
Semua dilakukan bagai air bah dimana-mana; para pemimpin ingin menunjukkan komitmennya kepada rakyatnya. Namun ada juga yang duduk manis menikmati mimpi di singgasana yang diperoleh dengan mengeluarkan dana luar biasa banyaknya. Sesekali biar kelihatan bekerja menandatangani sambil tiduran penggantian kepala sekolah, dari pelaksana tugas ke pelaksana tugas lainnya; atau mendatangi rakyat yang sedang berduka dengan menyelipkan sedikit amplop; setelah itu kembali tidur lagi mengikuti irama lagu almarhum Mbah Surip.
Sudah semacam ciri realitas politik modern, terutama di era demokrasi elektoral seperti sekarang, mimpi kerap kali menjadi komoditas. Setiap kali pemilu tiba, ruang publik dipenuhi janji-janji politik yang menjanjikan kesejahteraan, keadilan sosial, dan perubahan besar, pendidikan gratis, bantuan sembako murah, bahan bakar murah, listrik gratis dan sebagainya.
Janji-janji itu dikemas dalam bentuk narasi, slogan, dan visi yang menyentuh emosi rakyat. Dalam proses ini, suara rakyat ditukar dengan harapan yang kadang-kadang terlalu idealis bahkan terkadang utopis. Fenomena seperti ini, yang dalam bahasa awam disebut sebagai “menjual janji”, dalam konteks filsafat bisa dilihat sebagai praktik “membeli mimpi”.
Menjadi pertanyaan apakah sah menjual atau membeli mimpi dalam politik? Apakah mimpi tentang keadilan, kemakmuran, dan perubahan sah diperjualbelikan dalam ruang demokrasi? Jawabannya tentu tergantung dari sudut mana kita memandang, dan dalam perspektif apa.
Dalam konteks politik, janji sejatinya bukan hanya sekadar alat kampanye, melainkan kontrak moral antara pemimpin dan rakyat. Maka ketika politisi menjanjikan sesuatu kepada rakyat, ia bukan hanya sedang bernegosiasi secara politis, tetapi juga mengikat dirinya secara moral dan spiritual. Janji politik, jika dimaknai dari perspektif religiusitas, adalah bagian dari pertanggungjawaban di dunia dan akhirat.
Setiap bangsa besar dimulai dari sebuah mimpi. Mimpi tentang masyarakat adil dan makmur, bebas dari penjajahan, korupsi, dan kebodohan. Dalam politik, mimpi itu menjadi bagian penting dari visi kepemimpinan. Tanpa mimpi, politik kehilangan arah. Namun, mimpi yang disampaikan tanpa kejujuran, tanpa perencanaan yang matang, dan hanya digunakan untuk meraih kekuasaan, maka dia berubah menjadi manipulasi.
Di tengah derasnya kontestasi politik, terutama di negara demokratis yang sedang berkembang, mimpi sering dijadikan alat manipulasi. Rakyat dijanjikan hal-hal besar seperti pendidikan gratis, lapangan kerja melimpah, dan harga-harga terjangkau, makan siang gratis, dan serba gratis lainnya; namun tanpa perhitungan rasional dan rencana implementasi yang matang dan jelas. Maka tidak jarang begitu ditagih janji ini menjadi kebingungan tersendiri bagi sang pemimpin; walhasil dipenuhi dengan setengah hati.
Para politisi mengetahui bahwa rakyat ingin percaya dan mereka selalu dalam kondisi lapar akan harapan. Pada kondisi seperti itu; mimpi menjadi komoditas yang laku keras di pasar demokrasi. Dalam bahasa satir: “Politisi menjual mimpi, rakyat membelinya dengan suara, lalu banyak yang kecewa karena tidak ada barang yang dikirim ke rumahnya”.
Filsuf Islam kontemporer Muhammad Iqbal mengingatkan agar kita tidak hidup dalam dunia imajinasi kosong. Politik harus menjadi proyeksi kreatif dari nilai-nilai spiritual ke dalam tatanan sosial. Ia bukan tentang kekuasaan demi kekuasaan, melainkan pembentukan masyarakat yang adil, bermartabat, dan berorientasi pada ridha Ilahi.
Oleh sebab itu jika membeli mimpi dipahami sebagai tindakan rakyat memberikan kepercayaan kepada seorang pemimpin karena ia menjanjikan visi dan perubahan, maka tindakan itu adalah sah dan bahkan penting dalam politik. Namun agama memberikan satu syarat penting yaitu: “tanggung jawab”.
Pemimpin politik adalah penjaga amanah publik. Setiap janjinya adalah hutang moral. Maka ketika ia menjual mimpi dan gagal menunaikannya, ia bukan hanya gagal secara politik, tapi juga secara etis dan spiritual. Sebaliknya, rakyat yang membeli mimpi juga tidak boleh pasif. Mereka harus terlibat aktif dalam mengawasi, mengkritisi, dan menagih janji. Oleh karena itu para ahli terdahulu mengingatkan mimpi bisa menjadi industri politik yang kuat namun berbahaya jika tidak disertai dengan kedewasaan politik, pendidikan publik, dan kontrol sosial. Oleh sebab itu kita sebagai bagian dari warga negara harus berperan aktif dalam merawat mimpi kolektif yang realistis dan etis.
Dengan demikian “membeli mimpi” dalam politik bukan hal yang salah selama mimpi itu dilandasi oleh visi, niat baik, dan rencana nyata untuk perubahan. Namun, ketika mimpi hanya dijadikan alat meraih kekuasaan tanpa tanggung jawab, maka praktek seperti ini menjadi pengkhianatan terhadap nilai-nilai universal. Selamat membeli mimpi asal jangan ditukar dengan janji; karena kita sangat sering dikhianati oleh janji manis di awal pahit di kemudian. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Raih Penghargaan Penerima Pendanaan Program Pengabdian kepada Masyarakat 2025 Berdasarkan Nominal Pendanaan
Penghargaan tersebut diterima langsung oleh Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., yang hadir mewakili Rektor Universitas Malahayati. Prof. Dessy didampingi oleh Kepala Humas dan Protokol, Emil Tanhar, S.Kom., dalam acara yang berlangsung pada 11–12 Juni 2025 di Gedung Mahligai Agung, Universitas Bandar Lampung, Kampus Pascasarjana.
Capaian ini menegaskan komitmen Universitas Malahayati dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada aspek pengabdian kepada masyarakat. Besarnya nominal pendanaan yang diraih menunjukkan kepercayaan pemerintah terhadap kapasitas dan kredibilitas institusi ini dalam mengelola program-program pemberdayaan masyarakat berbasis riset dan inovasi.
“Ini adalah hasil dari kerja keras sivitas akademika Universitas Malahayati yang konsisten melakukan pengabdian yang berdampak langsung kepada masyarakat. Penghargaan ini menjadi penyemangat bagi kami untuk terus berkarya dan berinovasi demi kemajuan bangsa,” ujar Prof. Dessy Hermawan dalam keterangannya usai menerima penghargaan.
Kepala LLDIKTI Wilayah II, Prof. Dr. Iskhaq Iskandar, M.Sc., menyampaikan bahwa forum ini juga menjadi wadah untuk mendorong transformasi pendidikan tinggi yang lebih berkualitas dan kompetitif, termasuk melalui program penggabungan perguruan tinggi kecil ke institusi yang lebih besar.
“Dari 204 perguruan tinggi pada 2022, kini tinggal 156. Ini bukan pengurangan, tapi penguatan. Dengan konsolidasi ini, kita bisa menghadirkan lembaga yang lebih kuat dan prodi-prodi baru yang relevan dengan kebutuhan zaman,” ungkap Prof. Iskhaq.
Meski demikian, ia mengakui masih ada tantangan, seperti keterlambatan anggaran dan penurunan jumlah tenaga pengajar. Namun, optimisme tetap dikedepankan dengan peningkatan signifikan jumlah guru besar aktif—dari 28 pada tiga tahun lalu menjadi 56 hingga Mei 2025.
Acara silaturahmi ini diikuti oleh pimpinan dari 160 perguruan tinggi swasta dan 10 perguruan tinggi negeri dari empat provinsi: Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, dan Kepulauan Bangka Belitung. Forum ini menjadi momentum strategis untuk bertukar gagasan, membangun kerja sama, dan memperkuat jejaring kelembagaan demi kemajuan pendidikan tinggi di Indonesia.
“Melalui forum seperti ini, kami berharap terjalin sinergi yang lebih kuat antar lembaga pendidikan tinggi untuk terus berinovasi, mengembangkan talenta muda, dan membangun budaya ilmiah yang kuat,” pungkas Prof. Iskhaq dalam penutupan sambutannya.
Penghargaan ini sekaligus menjadi pengingat bahwa kualitas pendidikan tinggi tidak hanya diukur dari prestasi akademik, tetapi juga dari sejauh mana perguruan tinggi hadir dan memberi manfaat bagi masyarakat luas. (gil)
Editor: Gilang Agusman