Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Gelar Muli Berbakat Provinsi Lampung 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Antika Apriani (24310010), mahasiswi Program Studi S1 Pendidikan Dokter, berhasil meraih gelar Muli Berbakat Provinsi Lampung 2025 dalam ajang Pemilihan Muli Mekhanai Provinsi Lampung tahun ini.

Acara bergengsi yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung ini berlangsung megah di Gedung Graha Wangsa, Bandar Lampung, pada Kamis, 22 Mei 2025. Puluhan finalis dari berbagai kabupaten dan kota di Lampung berkompetisi untuk menjadi duta pariwisata dan budaya yang mampu mewakili wajah provinsi di tingkat nasional maupun internasional.

Antika tampil memukau selama rangkaian seleksi dan penjurian. Bakatnya dalam menciptakan dan membacakan puisi menjadi sorotan, hingga akhirnya ia dinobatkan sebagai Muli Berbakat Provinsi Lampung 2025.

“Terpilih dan tergabung menjadi bagian dari Muli Mekhanai Provinsi Lampung adalah suatu pencapaian luar biasa. Ini merupakan kesempatan besar untuk menjadi wajah baru Lampung dalam memperkenalkan pariwisata dan kebudayaan ke tingkat nasional dan internasional,” ungkap Antika.

Ia juga mengungkapkan bahwa keberhasilannya tak lepas dari dukungan orang tua, keluarga, serta lingkungan kampus Universitas Malahayati yang selalu mendorongnya untuk berkembang dan mengekspresikan diri. “Hobi saya dalam menulis dan membacakan puisi ternyata bisa membawa saya ke panggung prestasi ini. Ini menjadi motivasi tersendiri untuk terus memaksimalkan potensi saya sebagai generasi muda Lampung,” tambahnya.

Pencapaian Antika ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga aktif dan berprestasi dalam kegiatan non-akademik, terutama yang berkaitan dengan pelestarian budaya dan promosi pariwisata daerah.

Selamat kepada Antika Apriani atas pencapaian luar biasa ini. Semoga prestasi ini menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berkarya dan berkontribusi bagi daerah dan bangsa. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Bangsa Ini Tak Butuh Lagi Bicara Adu Urat, tetapi Bagaimana Mendengar Lebih Baik

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

BEBERAPA hari ini, pikiran saya lama-lama ikut terganggu oleh kegaduhan yang terjadi di lembaga akademik negeri ini. Makin sesak di dada, sikap-sikap mereka yang berada pada lingkaran persoalan “memaksa” sikapnya dengan “pokoknya begini-begitu, titik.”

Tampaknya, kita sudah tak terbiasa lagi “mendengar”dan semakin larut dengan kalimat pamungkas menghadapi persoalan dengan cukup satu kata: “pokoknya”. Sehingga, masalah apapun semuanya kandas.

Padahal, di kalangan masyarakat perguruan tinggi, mendengarkan pendapat orang lain, tidak ngotot, adalah sikap dewasa akademik yang seharusnya hidup di kalangan komunitas perguruan tinggi.

Lebih elok dan elegan lagi ketika pada posisi tidak benar, kita mengakui kekeliruan atau kesalahan. Namun, hal itu jadi mustahil manakala sikap mentulikan diri sebagai penyakit baru.

Semakin banyak orang yang bersikap “pokoknya” sampai menyelusup ke para akademisi. Apalagi dengan semakin derasnya informasi dan berseliweran dari segala arah, banyak manusia yang akhirnya bersikap “mentulikan” diri.

Bukan karena tak bisa mendengarkan, tapi menolak menyimaknya, tuli secara mental dan emosional sehingga menolak mendengar saran, kritik, atau pendapat orang lain. Walau, hal itu datang dari tempat yang penuh niat baik.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang pribadi, tetapi juga meresap ke dalam budaya kolektif, termasuk di dunia kerja, politik, akademisi dan juga penggiat media sosial. Kita hidup dalam era di mana semua orang ingin bicara, tapi sangat sedikit yang benar-benar mau mendengar.

Mentulikan diri seringkali bersumber dari ego. Perasaan sudah tahu segalanya, sudah cukup pintar, atau merasa paling benar menjadikan telinga tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya: sebagai alat untuk memahami, bukan sekadar mendengar.

Dalam kondisi ini, nasihat dianggap gangguan. Kritik dianggap serangan. Pendapat berbeda dianggap ancaman terhadap identitas diri. Padahal, pertumbuhan pribadi hanya mungkin terjadi jika kita membuka diri terhadap masukan.

Tentu saja tidak semua saran harus diikuti, tetapi menolaknya mentah-mentah hanya karena tidak sesuai dengan pandangan kita merupakan bentuk penutupan diri. Walaupun seringkali, orang yang mentulikan diri itu justru adalah mereka yang paling membutuhkan pandangan dari luar.

Dalam ruang sosial, sikap menutup telinga ini menciptakan ketimpangan komunikasi. Percakapan berubah menjadi monolog. Dialog kehilangan makna. Orang tidak lagi berbicara untuk memahami, tapi untuk menang. Akibatnya, hubungan menjadi dangkal, penuh asumsi, dan minim empati.

Kita mungkin berada dalam satu ruangan yang sama, tapi tidak benar-benar saling mendengarkan. Kita bisa melihat hal ini dalam dinamika kelompok kerja, pertemanan, bahkan dalam keluarga.

Ketika seseorang terlalu kaku dengan pendapatnya dan menolak mendengarkan sudut pandang lain, konflik menjadi tak terhindarkan. Setiap orang merasa paling tahu, paling benar, dan akhirnya tidak ada yang benar-benar didengar.

Dari hasil penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa, sikap mentulikan diri tidak selalu lahir dari kesombongan. Kadang, ini adalah bentuk pertahanan diri.

Orang takut mendengar hal yang membuatnya tidak nyaman. Takut tersinggung, takut terlihat lemah, takut harus berubah. Dalam banyak kasus, ini adalah respons terhadap trauma masa lalu dimana saran pernah disalahgunakan sebagai kontrol, bukan dukungan.

Namun, bersembunyi di balik ketakutan bukanlah solusi jangka panjang. Karena dalam proses tumbuh, ketidaknyamanan adalah harga yang harus dibayar. Mendengarkan bukan berarti tunduk. Itu adalah bentuk kedewasaan untuk memahami bahwa dunia tidak berputar di sekitar kita.

Mendengarkan adalah keterampilan, bukan bawaan lahir. Oleh sebab itu, kita butuh latihan, keberanian, dan kerendahan hati. Butuh kesediaan untuk berhenti sejenak, meredam ego, dan benar-benar hadir dalam percakapan.

Dalam dunia yang dibanjiri suara, kemampuan untuk mendengar, bukan sekadar mendengarkan, menjadi semakin langka. Padahal orang-orang bijak dari masa lalu selalu menekankan pentingnya mendengar.

Dalam filsafat Timur maupun Barat, mendengarkan adalah pintu menuju kebijaksanaan. Tapi hari ini, banyak yang lebih memilih untuk mentulikan diri demi menjaga ilusi kendali atas hidupnya.
Tentu, tidak semua saran patut diikuti.

Ada saatnya kita harus teguh pada pendirian, apalagi jika saran datang dari tempat yang manipulatif atau tidak memahami konteks kita. Namun, ada perbedaan besar antara selektif dan defensif.

Menyaring saran adalah perlu, tapi memutus semua saluran masuk hanya akan membuat kita terjebak dalam gema suara sendiri. Kita butuh ruang untuk berpikir sendiri, tapi juga butuh cermin dari luar untuk melihat diri lebih jernih.

Dalam hidup, seringkali kita butuh suara orang lain untuk menyadarkan kita akan titik buta yang tak bisa kita lihat sendiri.
Di dunia yang penuh dengan orang yang ingin didengar, mungkin menjadi pendengar adalah tindakan yang paling radikal.

Dan menjadi pendengar bukan hanya soal memperhatikan orang lain, tetapi juga membuka diri terhadap kemungkinan bahwa kita belum tahu segalanya. Bahwa kita bisa salah. Bahwa orang lain bisa benar.

Sikap mentulikan diri mungkin memberi rasa aman sesaat, tapi dalam jangka panjang, ia menciptakan kesepian yang dalam. Sebab dalam dunia nyata, kita hidup berdampingan dalam arti bukan hanya dalam ruang fisik, tetapi juga dalam percakapan, pemahaman, dan keterbukaan.

Maka jika ada satu keterampilan yang layak dilatih hari ini, mungkin bukan berbicara lebih keras, tetapi mendengar lebih baik. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Seminar Farmasi Digital Universitas Malahayati, Siapkan Mahasiswa Hadapi Revolusi Layanan Kefarmasian

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Berkembangnya arus transformasi digital yang melaju pesat, dunia kefarmasian ikut bergerak menuju era baru. Digitalisasi bukan hanya menghadirkan efisiensi, tetapi juga membuka akses yang lebih luas terhadap layanan kefarmasian, baik bagi tenaga profesional maupun masyarakat umum. Untuk menjawab tantangan ini, keterlibatan generasi muda terutama mahasiswa farmasi menjadi kunci penting.

Menjawab kebutuhan tersebut, Program Studi Farmasi Universitas Malahayati menggelar Seminar Farmasi Digital pada Selasa, 27 Mei 2025. Mengusung tema “Meningkatkan Akses dan Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Era Digital”, acara ini menghadirkan dua pembicara inspiratif: apt. Gusti Rai Ayu Saputri, M.Si., seorang dosen sekaligus apoteker dan entrepreneur, serta apt. Arviyanti, S.Farm., praktisi Digital Marketing dari Dexa Medica.

Seminar dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Khoidar Amirus, SKM., M.Kes. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya adaptasi di tengah perubahan zaman.

“Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, dunia kefarmasian dituntut untuk terus bertransformasi agar mampu memberikan pelayanan yang lebih efektif, efisien, dan inklusif,” ujarnya.

Sementara itu, Kaprodi Farmasi, apt. Ade Maria Ulfa, M.Kes., menambahkan bahwa transformasi digital dalam dunia farmasi bukan sekadar tren, melainkan sebuah keniscayaan.

“Teknologi berkembang begitu cepat, termasuk dalam bidang farmasi. Digitalisasi bukan pilihan lagi, tapi kebutuhan yang harus direspons dengan inovasi,” tegasnya.

Melalui seminar ini, para mahasiswa diajak untuk mengeksplorasi berbagai teknologi mutakhir yang tengah merevolusi dunia farmasi. Mulai dari sistem informasi farmasi, telefarmasi, kecerdasan buatan (AI), hingga aplikasi mobile, semua dikupas secara mendalam. Beragam inovasi tersebut diyakini mampu mempercepat layanan, meningkatkan akurasi terapi, serta memperluas jangkauan pelayanan kefarmasian, terutama ke wilayah terpencil.

Tak hanya membahas teknologi, seminar ini juga menyoroti tantangan dan peluang profesi farmasi di era digital. Para narasumber membagikan wawasan strategis seputar kebijakan, penerapan teknologi di dunia kerja, hingga pentingnya etika profesional dalam pelayanan farmasi berbasis digital.

Melalui kegiatan ini, diharapkan mahasiswa tidak hanya memahami konsep digitalisasi, tetapi juga termotivasi untuk menjadi agen perubahan—merancang solusi inovatif demi terciptanya layanan kefarmasian yang lebih merata, aman, dan berkualitas.

Karena masa depan pelayanan kesehatan ada di tangan generasi muda, mari ambil bagian dalam transformasi digital kefarmasian. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Si Pandir dan Pendusta Gabung, Intelektualitas Tumbuh Moralitas Mundur

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu, seorang sohib jurnalis senior Lampung yang kami sering panggil HRW mengirimkan satu tulisan yang jadi inspirasi penulisan opini ini. Selain. respon terhadap keprihatinan banyak pihak yang peduli terhadap pendidikan tingg daerah ini yang banyak area abu-abu.

Area abu-abu tersebut yang kadang terkesan sengaja diciptakan agar yang bukan circle nya tidak betah dan ingin keluar dari ketidaknyamanan area tersebut. Untuk circlenya, area abu-abu itu yang bisa “dimainkan” buat keuntungan gengnya.

Salah satu eksesnya, berdasarkan penyelusuran informasi dan literature digital ditemukan informasi bahwa di tengah harapan besar akan pendidikan sebagai pencerah peradaban malah berhadapan dengan kenyataan pahit.

Kenyataan pahit, bagaimana kebohongan semakin canggih, sistematis, dan sering kali datang dari mereka yang bergelar tinggi. Mereka menjelma jadi penipu dan manipulator bersertifikat doktoral, pendusta berseragam institusi, dll.

Mereka bicara dengan tenang, penuh data, bahkan dengan referensi ilmiah. Tapi, di balik semua itu, kebohongan tetaplah kebohongan. Intelektualitas tumbuh, tapi moralitas kering.

Sistem pendidikan kita banyak mengajarkan apa yang harus dipahami, tapi jarang menyentuh mengapa kita perlu bertanggung jawab secara etis. Intelektualitas tumbuh, tapi moralitas kering.

Tak heran, kita melihat orang-orang dengan gelar akademik tinggi justru menjadi bagian dari jaringan korupsi, pembenaran kebijakan zalim, atau promotor disinformasi. Mereka tidak bodoh—justru terlalu pintar.

Tapi kepintaran yang dilepaskan dari nurani, hanya menghasilkan kecerdasan tanpa arah. Karena mereka cerdas, kebohongan mereka pun sulit dibantah. Mereka tahu cara merancang narasi, memelintir istilah, menyembunyikan motif pribadi di balik jargon profesionalisme.

Tapi kepintaran yang dilepaskan dari nurani, hanya menghasilkan kecerdasan tanpa arah. Dan karena mereka cerdas, kebohongan mereka pun sulit dibantah. Mereka tahu cara merancang narasi, memelintir istilah, menyembunyikan motif pribadi di balik jargon profesionalisme.

Inilah dunia kita sekarang: saat kebodohan diejek, tapi kebohongan dimaklumi. Ketika rakyat tertipu, kita menyalahkan mereka karena tak cukup kritis. Tapi ketika pemimpin atau pejabat berbohong dengan rapi, kita memujinya sebagai “pandai bersiasat”.

Citra telah mengalahkan isi. Gelar lebih dipercaya daripada hati nurani. Dan semakin canggih seseorang, semakin besar potensi ia menjadi pendusta yang tak terdeteksi.
Kita saat ini butuh pendidikan yang bukan hanya mencetak ahli, tapi juga manusia.

Yang mengajarkan cara berpikir, bukan hanya cara menjawab soal. Yang mendorong keberanian bertanya, bukan hanya ketundukan pada otoritas. Karena hari ini, dunia tidak kekurangan orang pintar. Yang langka adalah orang pintar yang jujur.

Dalam masyarakat yang sehat, orang semacam itu harusnya yang paling kita percayai. Ada yang salah dengan cara kita mendefinisikan “orang pintar”. Kita menganggap cerdas itu cukup dengan menguasai teori, bisa menjawab soal ujian, atau berbicara fasih di forum.

Kita lupa bahwa kecerdasan tanpa karakter hanyalah pisau tajam tanpa gagang—mudah melukai, sulit dikendalikan.
Sistem pendidikan kita, baik formal maupun informal, masih terlalu fokus pada kemampuan kognitif.

Nilai ujian lebih dihargai daripada keberanian mengakui kesalahan. Siswa yang patuh lebih dipuji daripada yang kritis. Dalam jangka panjang, sistem ini membentuk generasi yang pintar memanipulasi sistem, tapi gagap ketika diminta jujur atau bertanggung jawab.

Tak heran jika banyak dari lulusan terbaik justru terjebak dalam praktik curang, baik dalam riset akademik, pelayanan publik, hingga politik. Mereka tidak bodoh. Mereka tahu persis apa yang mereka lakukan. Tapi karena tidak diajarkan untuk peduli pada kebenaran, mereka menganggap kebohongan hanyalah bagian dari strategi bertahan.

Solusi dari semua ini bukan sekadar memperbanyak kelas logika atau debat. Kita butuh pendidikan yang mengakar pada nilai, pada integritas, pada keberanian berkata “saya salah”. Kita perlu ruang belajar yang menghargai pertanyaan jujur lebih dari jawaban sempurna.

Tak ada yang salah dengan menjadi pintar. Dunia memang butuh orang-orang cerdas untuk menyelesaikan masalah kompleks.

Tapi jika kecerdasan hanya digunakan untuk menipu, merugikan orang lain, dan menyelamatkan diri sendiri, maka itu bukan prestasi—itu pengkhianatan.

Maka, sebelum kita memuji seseorang karena gelarnya, tanyakan dulu: apa yang ia perbuat dengan kecerdasannya? Apakah ia memperbaiki hidup orang banyak, atau sekadar memperkaya dirinya sendiri? Karena hari ini, dunia tidak kekurangan orang pintar. Yang langka adalah orang pintar yang masih jujur.

Tampaknya si pandir dan pendusta berkerja makin mesra sampai mereka lupa bahwa jejak digital tidak bisa dihapus begitu saja. Bisa jadi perilaku sekarang adalah sambungan dari jilid yang kemarin, hanya beda orang dan waktu, tetapi kelakuan persis sama.Guru Besar Universitas Malahayati Lampung. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Kolaborasi Prodi Kesmas Unmal, YSC Indonesia, dan YKWS Gelar Pelatihan Fasilitator Muda untuk Perubahan Sosial

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dalam upaya mencetak agen-agen perubahan di tingkat masyarakat, Program Studi Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati berkolaborasi dengan YSC Indonesia dan Yayasan Konservasi Way Seputih (YKWS) menyelenggarakan Pelatihan Dasar Fasilitasi Masyarakat. Kegiatan ini menjadi wujud nyata komitmen ketiga lembaga dalam membangun kapasitas pemuda sebagai fasilitator yang mampu merancang dan memimpin proses partisipatif di tengah masyarakat.

Pelatihan ini resmi dibuka oleh Ketua Prodi Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Universitas Malahayati (Unmal), Nurul Aryastuti, SST., MKM, pada 26 Mei 2025, dan berlangsung selama dua hari hingga 27 Mei. Sebanyak 30 peserta yang terdiri dari mahasiswa Program Based Learning (PBL) II serta perwakilan dari YSC dan YKWS mengikuti pelatihan ini dengan antusias.

Mengusung pendekatan partisipatif, interaktif, dan berbasis praktik langsung, pelatihan ini dirancang untuk memperkuat pemahaman peserta tentang paradigma pembangunan kesehatan lingkungan. Selain itu, peserta juga dibekali keterampilan dalam merancang dan memfasilitasi proses pemberdayaan masyarakat yang efektif dan berkelanjutan.

“Semoga pelatihan ini menjadi ruang pembelajaran yang inspiratif dan mampu melahirkan fasilitator handal yang dapat mendorong perbaikan kesehatan lingkungan di masyarakat,” ujar Nurul Aryastuti dalam sambutannya.

Pelatihan ini menghadirkan Bambang Pujiatmoko sebagai fasilitator utama. Ia adalah pembina YKWS sekaligus pakar dalam bidang capacity building masyarakat, dengan pengalaman lebih dari 30 tahun di tingkat lokal maupun nasional. Materi yang diberikan mencakup berbagai aspek penting, mulai dari konsep dasar pembangunan kesehatan lingkungan, strategi partisipasi, prinsip pendidikan orang dewasa, teknik fasilitasi, hingga komunikasi efektif untuk advokasi dan perubahan perilaku.

Pada hari kedua, peserta melakukan praktik fasilitasi secara langsung melalui simulasi terhadap berbagai kelompok masyarakat. Mereka mempresentasikan rencana dan mensimulasikan proses fasilitasi yang mencakup warga umum, aparat kelurahan, pemangku kebijakan, hingga kelompok pemuda.

Direktur Eksekutif YSC Indonesia, Iffah Rachmi, S.I.Kom., M.Si, menyampaikan bahwa pelatihan ini merupakan bagian dari upaya jangka panjang dalam mencetak fasilitator muda yang mampu menjadi agen perubahan di komunitas masing-masing. “Kunci dari proses fasilitasi yang efektif adalah pendekatan yang partisipatif dan berbasis empati. Selain itu, fasilitator juga harus memiliki kemampuan refleksi diri dan komunikasi yang kuat,” jelasnya.

Senada dengan itu, Direktur Eksekutif YKWS, Febrilia Ekawati, menilai kegiatan ini sebagai bukti bahwa kolaborasi lintas sektor—antara perguruan tinggi, organisasi pemuda, dan lembaga masyarakat sipil—dapat melahirkan inisiatif nyata yang berdampak langsung bagi masyarakat.

Dengan semangat kolaboratif dan pembelajaran aktif, pelatihan ini diharapkan menjadi langkah awal terbentuknya jaringan fasilitator muda yang siap menjadi ujung tombak dalam menggerakkan perubahan perilaku dan meningkatkan kualitas kesehatan lingkungan di berbagai wilayah. (gil)

Editor: Gilang Agusman

“Nglangut” (Sebuah Kontemplasi Psikologis)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Malam terasa dingin, hujan turun sejak sore; Pak Kasdi tinggal berdua bersama istrinya yang juga sudah tidak muda lagi. Istrinya sudah tidur lelap sejak sore selepas isya, itu merupakan kebiasaan lamanya. Rumah sederhana mereka di pojok desa menjadi tempat tinggal yang asri. Hanya disinari lampu listik redup, dan ditemani pesawat televisi tua yang masih bisa menangkap siaran beberapa stasiun. Di meja kecil pojok ruang yang berfungsi serba guna itu ada satu gelas kopi yang sudah mulai dingin, serta goreng pisang yang juga sudah dingin.

Selepas isya, biasanya Pak Kasdi langsung tidur agar bisa bangun di sepertiga malam untuk melakukan khiyamullail, tetapi entah mengapa, untuk malam ini Pak Kasdi tidak bisa memejamkan mata. Kelebat bayangan lima anaknya yang sedang berjuang di tengah kehidupan, datang dan pergi dalam angannya.

Sebenarnya, anak-anaknya sudah dewasa, semua sudah berkeluarga, memiliki rumah sendiri-sendiri, tetapi beberapa malam ini bayang mereka silih berganti menghampiri ingatan; membuat pikirannya menjadi nglangut.

Di budaya Jawa, “nglangut” bukan sekadar melamun atau merasa sedih. Itu adalah ekspresi batiniah yang kompleks—perpaduan antara sepi, kegalauan, kekosongan, dan perenungan yang mendalam. Nglangut adalah saat dimana pikiran dan rasa larut dalam diam, menyeberangi batas antara kenyataan dan kenangan. Dan malam itu Pak Kasdi nglangut memikirkan nasib anak-anaknya yang kini hidup di zaman yang berbeda jauh dari masa mudanya dulu.

Pak Kasdi sebenarnya pria yang ramah dalam bicara, tetapi sejak muda, ia terbiasa menunjukkan cinta dengan kerja keras, bukan dengan kalimat manis. Ia bukan tipe bapak yang memeluk atau memuji anaknya secara langsung. Namun, setiap pagi, ia bangun sebelum ayam jantan berkokok untuk menyiapkan cangkul, berangkat ke sawah, dan pulang sore hari dengan tubuh lelah, tapi hati tenang. Semua itu ia lakukan demi satu hal: masa depan anak-anaknya.

Anak-anaknya pun dibekali pendidikan agama secukupnya, dia juga selalu berpesan kepada anak-anaknya untuk tidak meninggalkan kewajiban agama lima waktu walau sesibuk apapun. Kini, ketika rambutnya mulai memutih dan tenaganya tak sekuat dulu, ia duduk sendiri seperti itu, memikirkan kemana arah hidup anak-anak yang pernah ia timang. Semuanya tampak sibuk, tetapi di matanya, mereka juga tampak lelah, terombang-ambing oleh zaman yang tak pasti.

Pak Kasdi menyadari, dunia anak-anaknya kini penuh dengan persaingan dan berbeda dengan dunianya. Gelar sarjana yang mereka sandang bukan jaminan bisa langsung bekerja dan hidup enak. Hidup di kota bukan berarti mereka pasti lebih baik, karena mereka harus berlomba, harus cepat, harus berani. Dan di tengah semua itu, Pak Kasdi tahu: mereka juga lelah, meski tak pernah mengungkapkannya. Sejurus Pak Kasdi bertanya dalam hati: “Apa aku sudah cukup menjadi Bapak yang baik? Apakah perjuanganku selama ini cukup menjadikan bekal untuk mereka?”.

Kekhawatiran itu tumbuh dalam diam. Pak Kasdi tidak bisa memaksa anak-anaknya untuk tetap bersamanya atau untuk hidup seperti dirinya. Namun, ia juga takut mereka tersesat di dunia yang terlalu cepat berubah. Dunia yang kadang kejam pada orang baik, dan memuja keberhasilan instan tanpa nilai, bahkan hampa; namun anehnya banyak yang menjadi pengikut.

Dalam pikirannya, Pak Kasdi ingin bicara, ingin bertanya: “Apa kalian bahagia Anak-Anakku? Apa yang bisa Bapak bantu?” tetapi lidahnya kelu. Di usia senjanya, Pak Kasdi lebih memilih diam, karena ia tahu, anak-anaknya pun punya beban yang tidak ringan. Dan dia tidak ingin menambah beban itu dengan keluh kesahnya sebagai orang tua.

Rasa nglangut Pak Kasdi bukan semata karena sedih. Di dalamnya ada cinta yang tak bisa ia ungkapkan. Setiap helaan napasnya malam itu adalah doa yang tak bersuara. Ia memandangi langit mendung, seolah berbicara dengan Tuhan: “Ya Tuhan, tunjukkan anak-anak jalan, beri keteguhan, dan beri tempat di dunia yang tak ramah ini”. Ia tidak meminta mereka menjadi orang kaya, tidak pula harus berhasil dalam arti duniawi. Ia hanya ingin anak-anaknya tetap menjadi manusia yang tahu diri, tahu asal, dan tahu arah pulang. Pak Kasdi bukan tipe orang yang meminta-minta. Ia hanya berharap, dan dalam harapan itu ia larut nglangut dalam kesunyian yang tak bisa dijelaskan, kecuali oleh mereka yang pernah menjadi orang tua.

Pak Kasdi hanyalah satu dari ribuan bapak di penjuru negeri ini yang nglangut dalam diam. Mereka bukan tidak bangga, bukan tidak percaya pada anak-anaknya, mereka hanya sedang menata rasa, menyesuaikan diri dengan dunia yang tidak lagi seperti dulu.

Nglangut, bagi seorang bapak, adalah bentuk cinta paling jujur. Ia tidak meledak, tidak mewah, tidak diunggah di media sosial. Namun ia nyata—mengalir dalam diam -, seperti sungai yang tetap setia mengalir meski tak pernah diperhatikan, tetap terus menembus rongga bumi menuju pantai.

Di bawah langit yang sedang murung itu, Pak Kasdi masih duduk. Matanya menatap jauh, tapi hatinya tetap dekat. Dekat dengan harapan, dekat dengan doa, dekat dengan anak-anaknya yang ia cintai sepenuh jiwa. Mulutnya bersuara lirih “Semoga anak-anakku selalu ingat jalan pulang”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Program Studi Kebidanan Universitas Malahayati Gelar Kuliah Pakar Bertajuk “STECU” Diikuti 366 Peserta

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Kebidanan Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kompetensi dan wawasan mahasiswa melalui penyelenggaraan Kuliah Pakar bertajuk “STECU: Siat Terapkan Community Terbaru Berbasis Integrasi Layanan Primer”. Kegiatan ini diadakan secara luring (offline) di Gedung Graha Bintang Amin dan diikuti oleh 366 peserta dari tiga jenjang pendidikan, yakni mahasiswa S1 Kebidanan, D3 Kebidanan, dan Profesi Bidan. Rabu (28/5/2025).

Kuliah Pakar ini dirancang sebagai ruang ilmiah yang bertujuan untuk menggali pemikiran, berbagi pengalaman, serta merumuskan solusi terkait integrasi layanan primer—mulai dari sisi kebijakan, pelaksanaan di lapangan, hingga tantangan dan inovasi yang terus berkembang, khususnya dalam pelayanan kebidanan di tingkat komunitas.

Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber kompeten di bidang kesehatan masyarakat dan kebidanan komunitas:
1. Dr. Wayan Aryawati, SKM., M.Kes, yang membahas tentang Integrasi Layanan Primer Bagi Bidan di fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas, pustu, dan posyandu. Dalam paparannya, beliau menekankan pentingnya sinergi antar lini layanan primer untuk meningkatkan efektivitas promotif dan preventif kesehatan ibu dan anak.
2. Afrilliyanti, SKM., MKM, menyampaikan materi tentang Skrining Bayi Baru Lahir sebagai bentuk deteksi dini terhadap kelainan bawaan. Ia menyoroti peran vital bidan dalam proses skrining awal dan edukasi kepada orang tua sebagai bagian dari layanan primer berkelanjutan.
3. Fijri Rachmawati, SST., M.Keb, memaparkan tentang Persalinan Komunitas, dengan fokus pada keamanan, keberdayaan masyarakat, serta penguatan sistem rujukan dan kesiapsiagaan dalam mendukung ibu bersalin di lingkungan komunitas.

Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi terhadap inisiatif Program Studi Kebidanan dalam menggelar kegiatan akademik yang berdampak langsung pada peningkatan mutu lulusan.

“Kuliah Pakar ini adalah wujud nyata dari visi Universitas Malahayati untuk mencetak tenaga kesehatan yang tidak hanya kompeten secara akademik, tetapi juga adaptif terhadap dinamika sistem layanan kesehatan nasional. Tema STECU sangat relevan dengan arah pembangunan kesehatan berbasis layanan primer, dan kami berharap mahasiswa mampu menyerap wawasan ini dengan baik untuk diterapkan dalam praktik nyata di lapangan,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Khoidar Amiris, SKM., M.Kes, menekankan bahwa kegiatan ini juga menjadi bagian dari penguatan kurikulum berbasis praktik lapangan yang integratif.

“Kami ingin mahasiswa kebidanan tidak hanya memahami teori, tetapi juga mampu melihat praktik terbaik dari para ahli di lapangan. Integrasi layanan primer tidak hanya soal kerja teknis, tetapi juga membangun jejaring, komunikasi efektif, serta kesadaran akan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam pelayanan kesehatan,” paparnya.

Acara ini turut dihadiri oleh Ketua Program Studi S1 Kebidanan, Ketua Prodi D3 Kebidanan, Ketua Prodi Profesi Bidan, serta seluruh dosen kebidanan dan tamu undangan lainnya. Kehadiran para pimpinan prodi dan dosen menunjukkan dukungan penuh terhadap upaya pengembangan kompetensi mahasiswa melalui kegiatan di luar perkuliahan rutin.

Para peserta menyambut kuliah pakar ini dengan antusias. Banyak dari mereka menyampaikan bahwa kuliah ini membuka wawasan baru tentang pentingnya integrasi layanan primer, serta peran strategis bidan dalam memastikan pelayanan kesehatan ibu dan anak yang menyeluruh dan berkelanjutan.

Dengan hadirnya kegiatan ini, diharapkan mahasiswa kebidanan Universitas Malahayati semakin siap menghadapi tantangan dunia kerja dan mampu berkontribusi secara aktif dalam sistem kesehatan nasional, khususnya dalam penguatan layanan primer berbasis komunitas. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Membeli Masa Depan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat libur bersama, waktu dihabiskan untuk berkontemplasi dalam diam di rumah kopel yang mungil, namun serasa luas. Meja kerja yang mini-pun serasa lapangan bola guna berselancar dengan angan dan idea yang silih berganti muncul merekonstruksi berfikir, untuk kemudian dituangkan dalam deret huruf yang terkadang sulit untuk dicernah karena tidak seiringnya tekanan huruf dengan idea yang mengalir. Hari itu mendapatkan pembelajaran dari Satuan Pengamanan komplek yang mengatakan bahwa pendapayannya di luar gaji, ditabung melalui sistem piranti perangkat lunak modern sekarang. Beliau yang tidak tamat sekolah lanjutan sudah mampu membeli masa depannya dengan piranti genggam yang ada. Generasi Lanjut Usia sudah harus mengakui akan keterbelakangannya di bidang teknologi rekayasa masa depan. Harus bersiap menjadi korban atau dikorbankan oleh waktu yang berjalan begitu cepat dalam menyongsong masa depan.

Dunia yang bergerak begitu cepat dan didorong oleh teknologi canggih, frasa “membeli masa depan” menjadi semakin relevan, baik dalam percakapan sehari-hari. Namun, jauh di balik makna literalnya, terdapat dimensi filosofis yang dalam dan kompleks. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan “membeli masa depan”? Apakah masa depan sesuatu yang bisa dimiliki, diprediksi, atau bahkan diperjualbelikan? Dan bagaimana sikap manusia terhadap masa depan mencerminkan pandangan eksistensialnya terhadap waktu, pilihan, dan harapan.

Batasan pengertian paling sederhana, membeli masa depan dapat dimaknai sebagai tindakan berinvestasi hari ini demi memperoleh hasil di masa yang akan datang. Pendidikan adalah contoh paling jelas: seseorang menempuh pendidikan bukan untuk manfaat langsung, melainkan karena percaya bahwa ilmu dan keterampilan yang diperoleh akan membuka pintu menuju masa depan yang lebih baik. Demikian pula dengan menabung, membeli asuransi, atau bahkan menjaga kesehatan—semua adalah bentuk ‘pembelian’ terhadap masa depan. Tindakan-tindakan ini dilandasi oleh harapan bahwa dunia esok hari akan memberi ruang dari hasil jerih payah hari ini. Dari sudut pandang ini, membeli masa depan adalah bentuk optimisme rasional. Ia adalah perwujudan keyakinan bahwa masa depan, meski tak pasti, namun bisa diarahkan.

Dalam masyarakat kapitalis modern, konsep masa depan sering kali dikomodifikasi. Perusahaan menjual “masa depan” dalam bentuk kontrak jangka panjang, pinjaman pendidikan, investasi saham, dan teknologi ramalan. Bahkan dalam dunia kerja, individu sering terjebak dalam siklus kerja tanpa akhir demi “masa depan yang lebih baik”, tanpa pernah benar-benar hidup di masa kini. Filsuf seperti Herbert Marcuse dan Jean Baudrillard telah mengkritik bagaimana kapitalisme modern menciptakan “fetisisme masa depan”. Dalam sistem ini, masa depan dijadikan komoditas, dan manusia kehilangan kendali atas kehidupannya sendiri. Alih-alih menjadi subjek yang aktif membentuk masa depan, manusia menjadi objek dari janji-janji yang dikendalikan pasar dan teknologi.

Berbeda dengan Jean-Paul Sartre, dalam filsafat eksistensialismenya, menyatakan bahwa manusia adalah makhluk bebas yang ditentukan oleh pilihannya. Dalam konteks ini, membeli masa depan bukanlah tindakan konsumtif, tetapi tindakan eksistensial. Setiap pilihan yang kita ambil hari ini merupakan bentuk pertanggungjawaban terhadap masa depan kita sendiri. Pandangan ini seolah menafikan takdir. Semua masa depan bisa dirancang hari ini, dan tergantung manusia membaca peluang. Tampaknya pandangan ini lebih menafikan agama, terutama agama-agama langit.

Oleh sebab itu dalam banyak tradisi spiritual, masa depan dipandang bukan sebagai sesuatu yang bisa “dibeli” atau “dimiliki”, tetapi sebagai bagian dari aliran waktu yang tak dapat dikendalikan sepenuhnya. Contohnya dalam ajaran Sufi, masa depan tidak dimiliki oleh manusia, tetapi oleh Tuhan. Oleh karena itu, membeli masa depan bukan soal mengendalikan, tetapi tentang berserah dan bertindak dengan niat yang benar di masa kini untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik.

Dari sini kita belajar bahwa konsep “membeli masa depan” bisa menjadi jebakan ego jika tidak dibarengi dengan kesadaran spiritual. Terlalu terpaku pada masa depan dapat membuat kita kehilangan makna kehidupan saat ini. Oleh karena itu secara filosofis, masa depan adalah entitas yang belum eksis. Ia belum nyata, belum terjadi, dan karena itu bersifat maya. Kita tidak bisa menyentuhnya, mengukurnya, apalagi memilikinya. Maka pertanyaannya: bagaimana kita bisa “membeli” sesuatu yang belum ada?

Martin Heidegger, dalam karya besarnya Being and Time, menyatakan bahwa keberadaan manusia (Dasein) selalu diarahkan ke masa depan. Eksistensi kita bukan berada di masa kini yang statis, melainkan terus bergerak menuju yang akan datang. Dalam pengertian ini, “membeli masa depan” adalah bentuk kepedulian manusia terhadap eksistensinya sendiri di waktu yang akan datang. Karena masa depan itu tidak pasti, tindakan ini selalu disertai dengan kecemasan (anxiety). Kecemasan itu bukan kelemahan, melainkan bagian dari kesadaran akan keterbatasan kita sebagai manusia. Tidak salah jika kita menyimpulkan bahwa secara filosofis, masa depan bukan sesuatu yang bisa dibeli dalam pengertian literal. Masa depan adalah ruang kemungkinan, bukan barang dagangan. Ketika kita berbicara tentang membeli masa depan, yang sebenarnya kita lakukan adalah menciptakan masa depan melalui tindakan, pilihan, dan nilai-nilai kita hari ini. Dalam dunia yang semakin tergoda oleh kepastian semu dan janji instan, renungan filosofis ini mengingatkan kita untuk tetap sadar bahwa masa depan tidak dijamin oleh uang, teknologi, atau kekuasaan. Masa depan adalah milik mereka yang berani bertindak hari ini dengan bijak, bertanggung jawab, dan penuh kesadaran akan keterbatasan manusia.

Oleh sebab itu sangat salah jika kita membeli masa depan dengan cara merusak hari ini. Masa depan harus jadi impian yang diwujudkan tetapi tetap ada pada jalur-jalur normative dan konstitusional dengan cara menatanya dari hari ini; bukan dengan menabrak aturan, apalagi sampai berkomplot tega berbuat jahat hanya karena ingin bahagia sesaat. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Hanya Waktu dan Keadilan yang Menjawab

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi menjelang siang hari itu, penulis berdiskusi dengan seorang calon doktor yang membidangi hukum, dan beliau sangat mumpuni dalam bidang filsafat, terutama Filsafat Hukum. Dalil-dalil keilmuan dan keagamaan sering menghias uraian dalam mengomentari tulisan yang dikirim ke hadapan beliau. Topik diskusi kali ini adalah bagaimana suatu lembaga akademik bergengsi bisa kehilangan maruwahnya hanya karena segelintir orang di dalamnya yang memiliki mental terabas dalam mencapai suatu jenjang akademik tertinggi. Kami berdua sepakat pelanggaran moral akademik memang sulit dibuktikan, karena itu menyangkut norma, etika dan kepatutan yang terkadang ukurannya sangat subyektif.

Pengalaman hidup yang penulis lampaui, tidak jarang niat memperingatkan berujung menjadi ketidaksukaan, bahkan menjadi kebencian yang amat sangat. Benar orang-orang suci pada zamannya yang berkata bahwa “Memperingatkan orang pandai itu jauh lebih sulit dari pada memperingatkan orang awam”.

Dalam hidup, kita semua pernah merasa diperlakukan tidak adil. Mungkin kita pernah difitnah, disalahpahami, atau bahkan dijatuhkan oleh orang yang dulu kita percaya. Rasanya seperti dunia tidak berpihak, seolah-olah kejujuran dan kebaikan itu sia-sia. Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang perlu kita yakini, “Biarkan waktu dan keadilan yang menjawab”. Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, bahkan klise, tetapi jika kita renungkan lebih dalam, ada kekuatan besar yang tersembunyi di dalamnya. Kekuatan untuk tetap tenang, tetap berdiri, dan tetap berjalan meski dunia seperti menolak kehadiran kita. Waktu adalah teman yang setia. Ia tidak pernah berpihak, tapi juga tidak pernah memihak yang salah. Dalam diamnya, waktu merekam segalanya—ucapan, tindakan, bahkan niat di balik setiap perbuatan. Kadang, kebenaran memang tidak langsung terlihat. Ia tersembunyi di balik kabut opini, gosip, dan prasangka. Tapi seiring berjalannya waktu, kabut itu perlahan menghilang, dan satu per satu fakta akan muncul ke permukaan.

Banyak dari kita ingin membuktikan bahwa kita benar, secepat mungkin. Kita ingin membersihkan nama, membela diri, dan membuat orang tahu bahwa mereka telah salah menilai. Namun, hidup tidak bekerja seperti itu. Ada hal-hal yang hanya bisa dijelaskan oleh waktu. Dan saat waktunya tiba, orang-orang akan melihat sendiri siapa yang jujur dan siapa yang hanya pandai bersandiwara, siapa yang tulus dan siapa yang berpura-pura.

Kita sering merasa bahwa keadilan lambat. Bahkan kadang kita bertanya-tanya: “Apakah keadilan itu benar-benar ada?” Di dunia yang penuh kepentingan dan tipu muslihat, wajar bila kita merasa kecewa, tetapi sejarah menunjukkan bahwa pada akhirnya, kebenaran selalu menemukan jalannya. Tidak selalu cepat, tidak selalu nyaman, tapi pasti.

Keadilan mungkin tidak datang dengan sorotan kamera atau tepuk tangan. Ia bisa datang diam-diam, di waktu yang tak terduga. Mungkin melalui sebuah pengakuan, sebuah keputusan, atau bahkan melalui karma yang bekerja dengan caranya sendiri, yang penting, kita tetap berpegang pada prinsip. Jangan biarkan luka membuat kita menjadi seperti orang yang melukai kita.

Ada kalanya, diam adalah bentuk perlawanan yang paling kuat. Diam bukan berarti kita lemah, atau menyerah. Tapi diam bisa berarti kita percaya bahwa waktu dan keadilan sedang bekerja. Ketika semua orang berteriak, terkadang suara paling jujur justru datang dari mereka yang memilih untuk tidak membalas.

Dalam proses ini, kita juga perlu belajar satu hal: tidak semua orang perlu diyakinkan. Tidak semua orang akan percaya pada versi kebenaran kita, bahkan jika kita telah berteriak sekuat tenaga. Dan itu tidak apa-apa. Tugas kita bukan untuk membuat semua orang setuju, tetapi untuk tetap menjadi diri sendiri. Ada orang-orang yang akan tetap percaya, meski kita diam. Ada juga yang tetap mencurigai, meski bukti sudah jelas. Fokuslah pada mereka yang tulus. Mereka yang mengenal hati kita akan tetap tinggal, bahkan saat dunia menjauh.

Kebaikan tidak selalu dibalas kebaikan. Dan itu fakta pahit yang harus kita terima. Namun, bukan berarti kita harus berhenti menjadi baik. Kita baik bukan karena orang lain selalu baik, tetapi karena kita tahu itu adalah hal yang benar. Bahkan ketika kebaikan kita tidak dihargai, jangan biarkan itu mengubah siapa kita. Orang yang tulus tidak akan kehilangan nilainya hanya karena difitnah. Sebaliknya, orang yang menipu tidak akan selamanya bisa bersembunyi di balik topeng. Waktu akan membuka semuanya, satu per satu.

Hidup tidak selalu tentang membuktikan siapa yang benar, tapi tentang siapa yang tetap bisa tenang saat disalahkan. Tentang siapa yang tetap bisa jujur saat dicurigai. Dan tentang siapa yang tetap bisa tersenyum meski hatinya penuh luka. Ketika kamu merasa dikhianati, disalahpahami, atau dijatuhkan, tarik napas dalam-dalam. Jangan buru-buru membalas. Jangan biarkan amarah menenggelamkan kamu dalam hal-hal yang kamu sesali di kemudian hari. Biarkan waktu dan keadilan yang menjawab karena pada akhirnya, kebenaran tidak butuh pembelaan keras—ia hanya butuh waktu. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Hari ini, seluruh bangsa Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila, tonggak penting dalam sejarah perjalanan bangsa yang menjadi dasar dan panduan dalam kehidupan bernegara.

Peringatan Hari Lahir Pancasila merujuk pada pidato Presiden Soekarno pada 1 Juni 1945 di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam pidatonya, Bung Karno untuk pertama kalinya memperkenalkan konsep dasar negara yang kemudian dikenal dengan nama Pancasila.

Peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini mengusung tema nasional “Pancasila Jiwa Pemersatu Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045”, yang mengajak seluruh elemen masyarakat untuk bersatu, memperkuat persaudaraan, dan bersama-sama mewujudkan cita-cita bangsa menuju satu abad Indonesia merdeka.

“Pancasila bukan sekadar warisan sejarah, tetapi pedoman hidup bangsa. Di era modern ini, semangat gotong royong, persatuan, dan keadilan sosial yang terkandung dalam Pancasila harus terus kita hidupkan. Mari kita jadikan Hari Lahir Pancasila sebagai momentum memperkuat semangat kebangsaan dan komitmen bersama membangun Indonesia yang lebih adil, makmur, dan beradab.” Penulis.

Selamat Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2025. Mari kita jaga semangat persatuan dan kesatuan dalam keberagaman untuk Indonesia yang lebih maju dan berkeadilan. (gil)

Editor: Gilang Agusman