Rektor Universitas Malahayati Sambut Positif Kolaborasi Riset Kesehatan dengan Tim BRIN

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Dr. Achmad Farich, dr., MM, Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, menerima kunjungan dari Tim Pusat Riset Biomedis Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Pertemuan berlangsung di Ruang Rapat Lt.5 Universitas Malahayati Bandar Lampung, Senin (22/5/2024).

Kunjungan Tim BRIN bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan memperluas kolaborasi riset kesehatan dengan Universitas Malahayati.

Dalam pertemuan tersebut, Kepala Pusat Riset Biomedis Organisasi Riset Kesehatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Dr. Sunarno, M. Si.Med., menyatakan dorongan untuk melaksanakan kolaborasi riset antar institusi sebagai upaya meningkatkan kualitas riset di bidang kesehatan.

“Kolaborasi antar universitas, baik swasta maupun lembaga pemerintah, merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam proposal-proposal kami,” katanya.

Prof. Sunarno menjelaskan bahwa BRIN memiliki 7 organisasi riset kesehatan, antara lain Pusat Riset Biomedis; Pusat Riset Kedokteran Preklinis dan Klinis; Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi; Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional; Pusat Riset Vaksin dan Obat; Pusat Riset Biologi Molekuler Eijkman; dan Pusat Riset Veteriner.

“Pusat Riset Biomedis adalah salah satu yang masih cukup muda usianya,” ucap Prof. Sunarno.

Sunarno menambahkan bahwa pertemuan ini menjadi langkah penting dalam pertukaran informasi yang saling menguntungkan terkait penelitian.

Lebih lanjut, Prof. Sunarno menjelaskan bahwa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki beberapa skema fasilitasi dan pendanaan riset dan inovasi, salah satunya adalah Fasilitasi Pusat Kolaborasi Riset (PKR) yang mampu mendukung riset secara berkelanjutan.

“Saat ini, kami telah menjalin kerjasama riset dengan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam penelitian mengenai Biofilm, terutama dalam konteks Kanker,” ujarnya.

Pada kesempatan ini, kami berharap dapat menghasilkan proposal yang mampu menjadi titik awal kerjasama riset sebagai tindak lanjut dari pertemuan hari ini.

Rektor Universitas Malahayati mengapresiasi kehadiran Tim BRIN di kampusnya. Beliau menyatakan bahwa kegiatan ini tidak hanya memperkuat komunikasi antar institusi, tetapi juga membuka peluang untuk membangun kerjasama penelitian dalam bentuk riset bersama yang akan memberikan kontribusi positif bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan.

“Dari segi usia, fakultas kedokteran sudah cukup matang. Namun, kami akan terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia fakultas kedokteran. Kami juga berencana untuk mengembangkan produk dan hasil riset dari fakultas kedokteran,” ucapnya.

“Tentunya, kami masih membutuhkan bimbingan dan arahan dari semua pihak, khususnya dari BRIN. Selama ini, kami telah melibatkan banyak personel dari BRIN dalam memberikan bimbingan kepada dosen fakultas kedokteran. Dengan peningkatan kerjasama riset bersama, kami yakin akan dapat mencapai hal-hal yang lebih baik,” tambahnya.

Rektor berharap agar ke depannya akan ada lebih banyak aksi dalam kegiatan penelitian, terutama dengan dukungan dari BRIN.

Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD.,FINASIM, dalam sambutannya menyampaikan harapannya bahwa dengan kehadiran BRIN, fakultas ini akan mendapatkan wawasan dan pengalaman tambahan. “Fakultas Kedokteran saat ini memiliki akreditasi B, dan kami menargetkan untuk meraih predikat unggul di masa depan.”

“Kami sedang meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam berbagai bidang, terutama dalam penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Dengan adanya peran BRIN, kami yakin fakultas ini dapat meningkatkan kualitas penelitian dan pengabdian masyarakatnya,” katanya.

Harapannya, kerjasama ini akan membuka peluang bagi para dosen Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati untuk mendapatkan ilmu tambahan dari BRIN. “Ke depan, kami juga berupaya meningkatkan mutu pendidikan dengan mendirikan program S2 di bidang biomedis, bahkan kami berharap bisa mencapai tingkat S3. Saat ini, beberapa dosen kami telah lulus program S3 di bidang biomedis,” tambahnya.

Mendampingi rektor Universitas Malahayati, hadir Wakil Rektor I Dr. (Cand) Muhammad, S.Kom., MM., Wakil Rektor II Dr. Harmani Harun, SE, M.M., Wakil Rektor II, Dr. Eng Rina Febrina, ST.,M.T., Wakil Rektor 4 Universitas Malahayati, Suharman, Drs., M.Pd., M.Kes., Dekan Fakultas Kedokteran Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD.,FINASIM., Wakil Dekan Kedokteran Neno Fitriyani H, dr., M.Kes., Kepala Program Studi Profesi Muhamad Ibnu Sina, dr., M.Ked (Neu)., Sp.N.

Juga hadir, Kepala Program Studi Kedokteran Tessa Sjahriani, dr., M.Kes., Sekretaris Program Studi Profesi Kedokteran Ade Utia Detty, dr., M.Kes., Sekretaris Program Studi Kedokteran Nita Sahara, dr., M.Kes., Sp. PA., Kepala MEU Yesi Nurmalasari, dr., M.Kes, dan Kepala Humas Emil Tanhar, S. Kom. Sementara yang mendampingi Kepala Pusat Riset Biomedis BRIN adalah dr. Fitriana, Sp. MK., dan Dr. Abdul Hadi Furqoni, S. Kep., M. Si. (*)

Editor: Asyihin

Membanding dan Menyanding

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu membaca komentar dari tulisan yang dikirimkan kepada salah seorang yunior di fakultas terkenal dan bergengsi di negeri ini, dengan kekhasannya selalu menggunakan bahasa salah satu sub-etnik daerah Sumatera Selatan. Lengkapnya demikian: ”Au nian aku setuju nga tulisan prof….sebab uji jeme kite dusun…di dunie ini ade ye pacak di sanding ka saje….dik de pacak dibanding ka….anye ade juge ye pacak disanding ka sekaligus dibanding ka… Nak ati ati nian tittu….” Terjemahan bebasnya kira-kira: Saya setuju dengan tulisan prof…sebab kata orang desa..didunia ini ada ya bisa disandingkan tetapi tidak bisa dibandingkan…tetapi ada juga yang bisa disandingkan dan dibandingkan…harus hati hati sekali…

Itu merupakan kalimat bijak sebagai penanda kearifan local itu sangat menyentuh dan mengena untuk mendedah situasi kekinian di negeri ini.

Kita coba untuk menjadikan kerangka berpikir kata bijak itu, dan kita dalami makna hakiki dari membandingkan dengan menyandingkan. Manakala kita menelisik secara filosofis ditemukan jejak digital bahwa bersanding mengajarkan kita tentang hubungan yang sehat dan kerjasama, membandingkan bisa menjadi cermin bagi pertumbuhan pribadi kita.

Yang penting adalah menggunakan kedua filosofi ini dengan bijak, menjadikannya alat untuk membentuk hubungan yang kuat dan untuk berkembang sebagai individu yang lebih baik. Perlu diingat bahwa membandingkan juga dapat memiliki konsekuensi negatif, seperti merasa tidak memadai atau cemburu. Oleh karena itu, penting untuk membandingkan dengan bijaksana, menggunakan perbandingan sebagai alat untuk pembelajaran dan pertumbuhan, bukan sebagai sumber ketidakbahagiaan atau perasaan kurang. Karena dalam membandingkan kita memerlukan tolok ukur sebagai alat atau media banding, sehingga ditemukenali posisi masing-masing dengan parameter minimal normatif.

Sementara itu filosofi menyandingkan dapat memberikan sudut pandang yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap subjek yang sedang dipertimbangkan, serta memungkinkan refleksi yang lebih mendalam tentang hubungan antara entitas atau konsep yang berbeda. Ini merupakan alat penting dalam pemikiran filosofis dan analisis konseptual.

Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari banyak diantara kita tidak memahami apakah dia sedang membandingkan atau sedang menyandingkan. Akibatnya banyak sekali benturan sosial terjadi karena salah dalam menempatkan posisi suatu peristiwa sosial, karena tertukar peran akibat dari tidak memahami nilai-nilai yang terkandung dalam perilaku sosial.

Sesuatu yang berbeda secara esensial, tentu saja kita hanya bisa menyandingkan, dan manakala kita memaksakan membandingkan; maka yang kita jumpai kekecewaan atau mengecewakan. Sementara jika memang sesuatu itu secara esensial secara hukum sosial harusnya sama, ternyata berbeda; maka kondisi ini dimungkinkan melakukan membandingkan.

Karena ada di antara kita gagal paham karena tidak mampu menangkap esensi membanding dan menyanding. Sehingga tidak jarang merusak tatanan sosial yang telah ada, akibatnya harmoni dalam masyarakat terusik. Tidak semua orang bisa menerima pendekatan konflik, namun juga tidak semua orang bisa menerima pendekatan equilibrium. Tinggal bagaimana kita dengan bijak paham akan kapan masing-masing tadi digunakan dalam kepentingan apa, dan tujuannya untuk apa.

Betul bahwa membandingkan itu seyogianya diawali dengan menyandingkan terlebih dahulu, namun tidak semua yang disandingkan dapat kita paksa untuk membandingkannya. Sebab, di samping esensi yang berbeda seperti dijelaskan di atas, ada hal lain yang juga perlu dipahami bahwa ada norma dan nilai yang berbeda untuk dapat dipedomani dalam memahaminya.

Peristiwa sanding dan banding saat ini sedang ramai menjadi perbincangan public melalui media sosial. Dari banyak peristiwa yang menonjol ada dua yaitu seseorang berprofesi sebagai pemuka agama, dan seorang lagi berprofesi sebagai pemuka hukum. Mereka mengalami nasib yang sama, yaitu sama sama menjadi korban rujakkan warga dunia maya; akibat dari ketidak mampuan memposisikan saat kapan sanding dikedepankan dan banding dikemukakan.

Orang bijak adalah mereka yang mampu menangkap pesan yang disampaikan oleh suatu peristiwa yang sedang berlangsung. Semoga kita mampu menangkap esensi dari peristiwa yang dipertontonkan Tuhan dimuka bumi ini.

Salam waras! (SJ)

Sinder Kebon Penentu Hajatan Demokrasi Orang Lampung

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Mencermati “Gawe Sosial” yang akan berlangsung di Provinsi Lampung, ternyata kita harus mengacungkan jempol kepada Herman Batin Mangku (HBM) yang dengan cermat menelisik lika-liku dari perjalanan hajat sosial tadi.

Dengan kecermatan dalam analisis dan menuangkan dalam tulisan HBM menengarai bagaimana “Sinder Kebon” memiliki peran aktif dalam menentukan arah mata angin, karena Sang Ratu memiliki sumber cuan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin politik.

Wilayah Sang Ratu biarkan urusan HBM untuk mengulikanalitiknya, karena beliau ahli dalam olah-mengolah data yang seperti ini. Tulisan ini ingin melihat sisi lain, terutama dilihat dari Teori Belajar Sosial oleh Bandura, yang banyak mengedepankan peran aktif dari role model dalam membangun interaksi sosial atas dasar kepercayaan sekaligus kepentingan sosial.

Menggunakan jalan analisis yang dibangun HBM bermuara pada bagaimana peran tokoh yang akan muncul, bukan hanya di depan public akan tetapi lebih lagi di depan Sang Ratu.

Ini persoalan yang tidak mudah untuk dikuliti, karena bisa jadi secara public seorang tokoh sangat popular, namun secara ekonomis tidak terlihat oleh Sang Ratu sebagai asset.

Atau sebaliknya secara figur tidak begitu terkenal, namun dihadapan Sang Ratu justru ini memiliki nilai ekonomis tinggi, tentu saja pilihan akan ke sini.

Pertanyaannya mengapa begitu penting peran Sang Ratu sebagai pemilik pundi cuan. Tentu saja teori Tabur Tuai amat cocok untuk dijadikan pisau bedah analisis.

Dan, yang tidak kalah pentingnya analisis HBM akan meluncur kepada kesimpulan karena didukung data rata-rata pendidikan pemilih, jika ukuran nasional yang kita pakai, ada pada kelas tujuh.

Kebutuhan dasar pada level ini tentu berbeda dengan level para penganalisis yang sangat tinggi dan mumpuni, tetapi hanya segelintir saja jumlahnya.

Tidak salah jika HBM berasumsi berdasarkan pengalaman lampau bahwa peran Sinder Kebon sangat menentukan berputarnya roda pemilihan kepala daerah di daerah ini.

Namun HBM juga harus ingat bahwa pengalaman Pemilu yang baru saja lewat menyisakan level harga yang terbentuk ditengah masyarakat untuk suara mereka. Dan, jika asumsi ini dipakai, maka betapa menjadi mahalnya biaya yang akan dikeluarkan untuk Gawe Sosial yang akan datang.

Tampaknya kondisi seperti ini hanya para Borju saja yang dapat maju sebagai calon pemimpin, karena hanya mereka yang memiliki “minyak sosial” guna menggerakkan roda kehendak dan keinginan.

Untuk para cerdik pandai haraf paham diri, tampaknya saat sekarang belum wayahnya naik panggung, karena konstituen lebih suka dengan yang nyata dan berapa, bukan nanti kita bersama mengerjakan apa.

Pendewasaan politik di daerah ini tampaknya baru ada pada lapisan atas, dan jumlahnya tidak begitu signifikan. Sementara yang masih “puber politik” pada lapisan bawahnya masih cukup besar.

Sementara lapisan paling bawah yang jumlahnya lebih banyak serta menjadi mata penentu bagi suatu hasil pemilihan; orientasinya masih sangat pragmatis.

Mari kita amati bersama bagaimana arus putar yang sedang berproses, dan sehat selalu buat HBM, jangan berhenti dengan “tipis-tipis” mu; karena dengan itu kita merasa peduli akan negeri; walau kadang dibuat menyayat hati, karena pilu tak terperi.

Selamat Berjuan Kolpah dengan cara mu (SJ)

BUYUT

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari Raya Idulfitri kali ini mengharubiru rasa sebagai manusia manakala kita dapat larut didalamnya, dan sekaligus mengambil hikmah dari apa yang terjadi. Saat berkumpul dengan sebagian keluarga besar; tentu saja disertai dengan bertanya tentang keluarga, dan tidak dinyana ternyata penulis sudah menjadi “buyut” pada garis turun dari Abang tertua; dengan katalengkap status buyut kemenakan sudah resmi disandang.

Usia yang terus merangkak naik seiring dengan menurunnya jatah hidup di dunia; menjadikan diri semakin teguh ada pada jalur untuk kembali. Sementara yang membanggakan adalah garis turun yang dalam istilah Jawa terus “ngremboko” (terjemahan bebasnya berkembang meluas), semua tidak dapat dipungkiri.

Namun dari semua di atas menyisakan pemikiran, ternyata Buyut bisa dimaknai sebagai “buyut biologis” atau “buyut ideologis”. Sebab bisa saja terjadi buyut secara biologis, belum tentu buyut secara ideologis. Atau sebaliknya, buyut secara ideologis tidak harus berasal dari buyut biologis. Pada tataran ini menyisakan kajian sejarah ideol ogis yang perlu dicermati. “Makna buyut ideologis” bisa merujuk pada pemahaman tentang bagaimana ideologi-ideologi yang dipeluk oleh nenek moyang atau leluhur kita mempengaruhi pemikiran, nilai, dan tindakan kita saat ini. Ini dapat mencakup pemahaman tentang bagaimana ideologi-ideologi tersebut memengaruhi keputusan politik, sosial, budaya, dan ekonomi dalam sejarah keluarga atau komunitas tertentu.

Dengan memahami makna buyut ideologis, seseorang dapat lebih memahami akar dari nilai-nilai dan keyakinan yang membentuk identitas keluarga atau kelompok kemudian menjadi bangsa, serta bagaimana pengaruh tersebut masih memainkan peran dalam kehidupan sampai saat ini.

Berpijak pada pemikiran itu, seyogyanya bangsa ini sudah mencapai tataran buyut ideologis untuk Pancasila, bahkan mungkin sudah sampai pada garis turun “Canggah” menuju “udeg-udeg dan Gantung siwur”. Tentu saja dengan tuntutan yang berbeda guna menuntun mereka memahami akar budaya dan nilai-nilai kebangsaannya.

Sayangnya penanaman ideology ini pada tataran “buyut” belum sesuai dengan yang diharapkan; bahkan banyak hal justru menyimpang dari “angger-angger” atau tatanilai yang telah ditetapkan oleh para pendahulu kita. Akibatnya generasi buyut tidak begitu memahami implementasi nilai pandangan hidup bangsanya. Sebagai negara yang besar dan memiliki beragam kaum didalamnya, sangat memerlukan pengikat ideologis yang bersifat permanen, agar tidak bercerai berai pada saat berada level Udeg Udeg, dan Gantung Siwur.

Manakala negeri ini tidak melakukan upaya pelanggengan ideology bangsanya, maka kita sama-sama membuat sejarah kehancuran secara sistimatis bagi negeri ini. Peneruslestarian ideology yang selama sepuluh tahun terakhir ini hanya diserahkan kepada lembaga pendidikan formal, sudah sangat mendesak untuk ditinjau kembali. Kita masih memerlukan cara-cara masif terencana guna menanamkan ideology bangsa ini kepada generasi penerus. Kita sudah tidak memerlukan lagi slogan, akan tetapi yang kita perlukan adalah tindakan nyata, terencana, terukur sebagai bangsa.

Pancasila sebagai ideology bangsa tidak cukup hanya dihafal karena tuntutan pembelajaran, akan tetapi lebih kepada aplikasi dalam kehidupan nyata. Makin kemari tampaknya kesenjangan itu makin terasa, indikasi yang dapat kita jadikan tolok ukur adalah banyaknya penyimpangan moral yang semula bersifat individual, sekarang berubah menjadi berjamaah.

Kemudahan teknologi masa kini dapat menjadi pisau bermata dua; manakala kita tidak bijak dan berhati-hati dalam bertindak; maka media masa menjadi media ampuh memviralkannya. Dan, ini berarti dapat membunuh siapa saja, termasuk kita karena perbuatan kita dikuliti oleh nitizen sebagai “warga baru” di dunia sosial. Banyak contoh sudah terjadi dimana-mana; karena masa kini tidak bisa lagi sertamerta kita menutub aib manakala sudah berurusan dengan warga maya ini.

Tampaknya sudah semakin mendesak agar pendidikan Pancasila sebagai pedoman bernegara dan pandangan hidup berbangsa untuk direvitalisasi methode pembelajarannya, agar sesuai dengan tuntutan jaman. Pola-pola indoktrinasi seperti dulu, harus sudah diganti dengan pola “ngemong”, dan pemberian contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari; agar generasi Buyut, kemudian, Udeg-Udeg, diteruskan Gantung Siwur, dan seterusnya ; tidak kehilangan arah.

Salam waras (SJ)

Dari Pengusaha jadi Apoteker, Alumni Universitas Malahayati Ruth Sri Agus Murniningsih Miliki 9 Apotek di Lampung

Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Di usia yang tidak lagi muda, Apt. Ruth Sri Agus Murniningsih, S.Farm, berhasil menorehkan prestasi sebagai seorang pengusaha apotek. Menariknya, prestasinya ini diraihnya meskipun pada awalnya ia hanya lulus dari Sekolah Menengah Farmasi dan belum memiliki gelar apoteker.

Ruth Sri Agus Murniningsih memulai karirinya sebagai seorang pengusaha yang mengelola sejumlah apotek di bawah naungan Apotek Cahaya Group, Ruth Sri Agus Murniningsih mengakui bahwa perjalanan keberhasilannya tidaklah mudah. Namun, semangatnya untuk terus belajar dan berkembang di bidang farmasi tak pernah padam.

Klik di sini : Pendaftaran Online Mahasiswa Baru

Pada usia 40 tahun, Ruth Sri Agus Murniningsih memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ia mantap memilih Program Studi S1 Farmasi di Universitas Malahayati Bandar Lampung sebagai langkah untuk meningkatkan pengetahuan dan keilmuannya.

“Awalnya saya hanya seorang pemilik apotek, namun dengan perjalanan panjang di dunia kesehatan, saya tertarik untuk menjadi seorang ahli farmasi,” ungkap Ruth Sri Agus Murniningsih.

Menurutnya, berkat bimbingan para dosen di Universitas Malahayati, Ia berhasil menyelesaikan studi dengan baik meskipun sibuk dengan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.

Perjalanan pendidikan Ruth Sri Agus Murniningsih di Malahayati tidak hanya memberinya ilmu, tetapi juga dukungan sarana dan prasarana yang memadai.

“Sarana prasarana di Malahayati mendukung baik dalam sistem pembelajaran maupun praktik di laboratorium,” tambahnya.

Klik di sini : Pendaftaran Online Mahasiswa Baru

Setelah lulus pada tahun 2022, Ruth Sri Agus Murniningsih melanjutkan pendidikan profesi apoteker di Bandung dan berhasil meraih gelar apoteker pada tahun 2023. Kini, ia sukses mengelola 9 Apotek di berbagai daerah di Provinsi Lampung dengan nama Apotek Cahaya.

Kisah sukses Ruth Sri Agus Murniningsih memberikan inspirasi bahwa dengan kemauan yang kuat, segala hal bisa dimungkinkan.

“Pendidikan adalah kunci untuk meningkatkan status dalam profesi yang kita geluti, Jangan pernah ragu untuk mengejar mimpi, karena belajar adalah investasi yang tak pernah rugi.” pesannya.

Klik di sini : Pendaftaran Online Mahasiswa Baru

Saat ini, Program Studi S1 Farmasi Universitas Malahayati Bandar Lampung membuka penerimaan mahasiswa baru (PMB) untuk tahun akademik 2024/2025. Generasi Z yang memiliki minat dalam bidang kesehatan khususnya S1 Farmasi dan bisa seperti  Ruth Sri Agus Murniningsih, yuk bergabung dengan prodi ini.

Pendaftaran dapat dilakukan secara online melalui link resmi Pendaftaran Mahasiswa Baru Universitas Malahayati Bandar Lampung atau dengan datang langsung ke kampus tertinggi di Lampung ini. (*)

Editor: Asyihin

Mengidupi Hidup

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menghidupi hidup dalam filsafat adalah tentang mempertimbangkan dan mengikuti prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan keyakinan yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan seseorang. Ini melibatkan refleksi mendalam tentang tujuan hidup, makna eksistensi, dan cara terbaik untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan memuaskan.

Pendapat lain yang hampir sama mengatakan: Menghidupi hidup adalah sesuatu tindakan yang melibatkan pengaplikasian prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam mengatasi tantangan maupun mengambil keputusan. Ini mungkin melibatkan proses refleksi, meditasi, atau diskusi filosofis dengan orang lain untuk memperdalam pemahaman tentang apa yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Setiap orang mungkin memiliki definisi yang sedikit berbeda tentang apa yang membuat hidup mereka bermakna dan menghidupi. Yang penting adalah menemukan keseimbangan dan memprioritaskan hal-hal yang penting bagi kita dalam mencapai kehidupan yang memuaskan dan bermakna.

Kita tinggalkan definisi konseptual langit di atas; mari kita memijakkan kaki ke bumi. Ternyata apa yang ada pada alam idea di atas, banyak hal yang tidak sejalan, bahkan tidak sedikit yang bertentangan. Tentu saja hal itu boleh-boleh saja, sebab meminjam istilah Plato bahwa hidup adalah bayang-bayang, bisa jadi bayang-bayang yang tercipta tidak sesuai dengan aslinya karena berbeda pencahayaan dan cara pandang.

Sebagai misal, aturan itu dibuat dan disepakati bersama untuk kepentingan bersama. Ternyata dalam perjalanannya banyak pengecualian yang muncul akibat berbenturan dengan kepentingan, baik pribadi maupun kelompok. Bisa dibayangkan jika orang kecil tidak memiliki jaringan dengan penguasa atau yang sedang berkuasa melakukan pelanggaran, maka hukuman ditegakkan atasnya tanpa ampun. Berbeda jika pelanggaran yang sama dilakukan oleh mereka yang berkuasa atau punya hubungan kedekatan dengan yang sedang berkuasa, maka cukup dengan kata maaf dan sedikit cium tangan, selesailah semua persoalan. Akan menjadi sempurna kekecualian itu manakala bersinggungan dengan mereka yang memiliki uang, sehingga dapat membeli apa saja, termasuk kekuasaan dan sekaligus penguasanya.

Hal di atas berlaku pada siapa saja, termasuk “penguasa agama”. Sekalipun dalam esensi ajarannya sangat mulia karena harus memuliakan ciptaanNYA; namun pada prakteknya ada diantaranya syahwat duniawi membelenggu diri dan kebutuhan hidup keluarga, akhirnya keyakinan sakralnya dijual dengan membenturkan kepada keyakinan orang lain yang jelas berbeda esensi, guna mendapatkan popularitas murahan dan cuan.

Menghidupi hidup tidak dengan cara menebar benih kebencian, sebab tidak perlu disebar kebencian itu sudah ada pada celah perbedaan. Sementara perbedaan sendiri sudah ada sejak diciptakan dunia dan isinya oleh Sang Maha Pencipta. Benih kebencian itu akan subur manakala kita melihat perbedaan sebagai ketidaksamaan, sementara dia akan layu manakala kita melihat perbedaan sebagai keberagaman.
Oleh sebab itu salah satu tugas manusia adalah menjadi derigen bagi dirinya dan keluarganya, sehingga terjadi harmoni dalam mensinkronkan perbedaan yang ada. Tugas kederigenan ini juga melekat kepada semua pemimpin formal, nonformal dan informal, termasuk pemimpin agama dengan komunitasnya. Pemimpin itu hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah dari yang dipimpin. Manakala dia sudah terlalu tinggi dan atau terlalu jauh, siap-siap saja akan ditinggalkan oleh pengikutnya.

Perlu disadari bersama bahwa dunia ini bukan kebun, akan tetapi taman, sebab jika kebun hanya diisi oleh satu atau dua jenis tanaman, sementara jika taman dia dihiasi oleh beragam tanaman bahkan bunga warna warni yang berbeda satu sama lain, dan justru tampak indah untuk dipandang serta nyaman untuk ditinggali.
Menghidupi yang menghidupkan tidak harus dengan cara membunuh kehidupan manusia lain; apalagi dengan sengaja melakukan penyebaran kebencian, hal itu sama dengan membunuh kehidupan yang seharusnya hidup, dan dalam ajaran semua agama langit menilai perilaku seperti itu adalah pengingkaran terhadap Tuhan semesta alam. (R-1)
Salam Waras (SJ)

Rektor Universitas Malahayati, Achmad Farich: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah

Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Seiring berakhirnya bulan suci Ramadan, kita semua bersama-sama menyambut hari yang penuh dengan kebahagiaan, hari yang merupakan puncak dari ibadah puasa kita, yaitu Hari Raya Idul Fitri.

Dalam kesempatan yang mulia ini, saya, Dr. Achmad Farich, dr., MM., Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, dengan penuh suka cita mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah kepada seluruh keluarga besar civitas akademika Universitas Malahayati, serta kepada seluruh umat Islam.

Hari yang suci ini adalah momen yang sangat berharga bagi kita semua untuk merayakan kebersamaan dan penuh kasih sayang. Hari Raya Idul Fitri juga menjadi waktu yang tepat untuk saling memaafkan, mempererat tali silaturahmi, serta berbagi kebahagiaan dengan sesame khususnya keluarga.

Akhir kata, semoga Hari Raya Idul Fitri tahun ini lebih membawa berkah, kebahagiaan, dan kesuksesan bagi kita semua. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah, mohon maaf lahir dan batin. (*)

Masalah yang Membuat Masalah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Masalah sering diberi makna sebagai kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Semua mahasiswa pascasarjana mesti memahami definisi atau batasan ini, terutama mereka yang sedang menulis karya ilmiah. Masalah dalam filsafat ilmu merujuk pada pertanyaan-pertanyaan mendasar dan tantangan-tantangan yang timbul dalam upaya manusia untuk memahami sifat, metode, ruang lingkup, dan batasan ilmu pengetahuan.

“Pernyataan yang menggambarkan masalah yang membuat masalah dalam filsafat” adalah frasa yang mungkin tidak jelas. Namun, jika kita bermaksud untuk bertanya tentang masalah yang mendasar dalam filsafat yang menghasilkan tantangan dan kompleksitas tambahan. Setiap masalah itu menantang cara kita memahami dunia dan memperoleh pengetahuan tentangnya, dan sering kali melibatkan refleksi mendalam tentang sifat dan batasan pengetahuan manusia.

Tentu, dalam  batasan di atas, kita semua diajak terbang tinggi pada atmosfir ilmu pengetahuan, dan hanya mereka-mereka yang mau mendalami filsafat, yang ingin terus mengepakkan sayap guna terbang untuk mencapai puncak idea.

Tampaknya kita tidak memiliki solusi definitif yang memuaskan. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah ada jawaban yang benar atau apakah kita hanya dapat mengembangkan pemahaman yang relatif tentang fenomena-fenomena ini. Oleh karena itu,  mari kita membumikan masalah, dengan tujuan utamanya adalah untuk menjadikan masalah atau konsep yang dibahas lebih relevan dan dapat dipahami oleh orang kebanyakan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ini membantu dalam menyadarkan masyarakat akan pentingnya masalah tersebut dan mendorong tindakan yang mungkin diperlukan untuk menyelesaikan atau mengatasi masalah.

Sedangkan sekarang yang kita banyak lihat dan rasakan adalah justru banyak orang hanya pandai membuat masalah, dan tidak menyelesaikan masalah. Justru masalah yang dibuat tadi menimbulkan masalah baru bagi orang lain. Menjadi repot lagi ada orang yang menyelesaikan masalahnya, dengan cara membuat masalah pada orang lain. Meminjam konsep dialektika, penyelesaian masalah adalah salah satu unsur terjadinya perubahan sosial. Namun,  jika masalah itu justru menjadikan masalah bagi orang lain, maka yang akan terjadi adalah destruktif sosial. Sekalipun ini juga merupakan bentuk lain dari perubahan sosial, namun ongkos sosial yang diminta menjadi sangat mahal.

Bisa dibayangkan hanya untuk menyingkirkan satu orang dalam perhelatan suatu helatan sosial harus mengeluarkan biaya yang sangat fantastis. Terkadang yang dijadikan alasan hanya suatu fatamorgana sosial, bahkan fobia sosial. Dan jika ditanyakan kepada yang bersangkutan jawabannya pun merupakan ilusi sosial. Logika yang dibangun hanya berdasar pada asumsi “jika-maka”,  tentu saja akibatnya tidak jarang membuat masalah pada orang lain, dan itu bisa jadi bentuk rudapaksa sosial pada orang lain.

Merudapaksa situasi agar dapat menuruti kehendak seseorang atau sekelompok orang dengan cara apa pun  adalah sikap keangkaramurkaan yang ditampilkan oleh Prabu Rahwana dalam pewayangan pada episode Ramayana. Karya Walmiki ratusan tahun lalu itu, ternyata sampai kini masih tetap terasa aktual.
Kelelahan fisik saja tidak mudah mengobatinya. Apalagi kelelahan sosial memerlukan waktu lama untuk mengobati, dan lebih lagi jika sampai pada tataran luka sosial. Sebab, ini akan menjadi sejarah.

Tulisan sejarah tidak bisa dihapus kecuali dengan cara licik dan pembohongan publik; sementara kelicikan dan kebohongan yang dilakukan akan menjadikan juga sejarah. Bisa dijadikan tamsil seorang tokoh ilmuwan pada saat ada pada posisi netral, mengatakan sesuatu masalah bukan masalah. Namun pada saat beliau ada pada posisi kepentingan tertentu, karena harus membela kepentingan tertentu pula, pendapatnya berbanding terbalik dengan posisi semula. Sementara saat dikonfirmasi dengan bukti jejak digital, beliau hanya angkat bahu.

Hebatnya lagi,manakala kita bicara etika yang bersifat universal, dalam arti melampaui sekat-sekat sosial yang selama ini diciptakan, dengan dalih perbedaan keyakinan, perbedaan mazab, perbedaan lainnya; ternyata disempitkan bahkan dibenturkan pada kepentingan tertentu, sehingga menafikan hakikat yang dipersoalkan. Politik adu domba tingkat tinggi dan halus ini sangat membahayakan, karena hanya mereka yang memiliki nalar sehat mampu menangkap apa yang dikehendaki.

Orang bijak mengatakan “Jika kita tidak bisa mengubah angin, tetapi kita bisa menyesuaikan layar.”  “Ketika jalanmu terhalang, ubahlah arahmu, jangan pernah kehilangan tujuanmu.”

Selamat mengakhiri bulan suci. Semoga kita mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat.

Salam waras. (SJ)

Nrimo Ing Pandum

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada konteks “pandum” pada kalimat judul; kata tersebut berasal dari bahasa Jawa yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, “ajaran budi pekerti yang menekankan pada konteks menerima” mungkin mengacu pada konsep atau nilai-nilai yang menekankan pentingnya memiliki sikap yang bijaksana dan terbuka hati dalam menghadapi berbagai situasi dan dalam kehidupan sehari-hari.

Sisi lain dalam konteks ajaran budi pekerti, “menerima” bisa diartikan sebagai sikap yang bijaksana dan penuh kedamaian dalam menghadapi berbagai situasi dan orang dalam kehidupan. Ini melibatkan kesediaan untuk menerima kenyataan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, dengan sikap yang positif dan terbuka hati.Dalam banyak tradisi agama dan filsafat, menerima juga sering kali dihubungkan dengan sikap kesabaran, kerendahan hati, dan kebaikan hati.

Nrimo ing pandum pada tulisan ini lebih kepada pendekatan filsafat, yang jika diartikan secara harfiah adalah menerima keadaan apapun yang diberikan Tuhan kepada kita. Konsep “menerima” dalam filsafat bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara, tergantung pada konteks filosofisnya. Berikut adalah beberapa interpretasi umum dari konsep tersebut: Pertama: Penerimaan terhadap Keragaman Pemikiran: Dalam filsafat, penerimaan sering kali mengacu pada sikap terbuka terhadap keragaman pandangan, teori, dan perspektif. Ini mencakup pengakuan bahwa ada banyak pendekatan yang berbeda terhadap pemahaman tentang dunia dan kehidupan, dan tidak ada satu pandangan tunggal yang benar atau mutlak.

Kedua, Penerimaan terhadap Ketidakpastian: Konsep penerimaan juga dapat berhubungan dengan kesadaran akan ketidakpastian dalam pengetahuan manusia. Filsafat menerima bahwa ada keterbatasan dalam pemahaman manusia, dan seringkali tidak mungkin untuk mencapai kebenaran absolut atau jawaban yang definitif terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis. Ketiga, Penerimaan terhadap Kritik: Penerimaan dalam filsafat juga mencakup kesiapan untuk menerima kritik terhadap pandangan atau argumen kita sendiri. Ini melibatkan kesediaan untuk mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dan menerima bahwa ada kelemahan dalam pemikiran kita sendiri yang mungkin perlu disesuaikan atau ditingkatkan.

Keempat, Penerimaan terhadap Realitas: Konsep penerimaan dalam filsafat juga bisa merujuk pada sikap menerima terhadap realitas yang ada. Ini termasuk pengakuan bahwa dunia ini memiliki struktur dan aturan tertentu yang dapat dipahami dan dipelajari, meskipun mungkin ada aspek-aspek yang tetap misterius atau sulit dipahami.

Interpretasi terhadap semua pandangan di atas dalam melihat konsep penerimaan dalam filsafat yaitu lebih pada: menyoroti sikap terbuka, reflektif, dan menghargai keragaman dalam pengetahuan, pemikiran, dan pengalaman manusia. Ini merupakan aspek penting dari proses filosofis yang mengarah pada pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia dan diri kita sendiri.

Namun, manakala melihat fenomena yang ada sekarang kita jumpai; ternyata bergeser dari apa yang ada pada konsep di atas; dan tidak jarang justru banyak peristiwa yang ada berbanding terbalik dengan apa yang tertera dalam konsep idealistic tadi. Dalam pandangan terbuka hal ini sah saja karena setiap manusia memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat sesuatu. Justru yang menjadi persoalan adalah memaksakan pandangan kita kepada pihak lain agar berpandangan seperti diri kita. Disinilah letak “kecelakaan berfikir”, tentu akibatnya perselisihan tidak dapat dihindari.

Tidak salah jika “nrimo ing pandum” yang semula merupakan ajaran budi yang luhur, justru sekarang ada rekayasa sosial agar pihak lain berada pada posisi nrimo ing pandum. Manakala yang bersangkutan mengingkari, maka hukuman sosial dijatuhkan kepadanya dengan cukup menggunakan satu kata “tidak mau menerima nasib” atau bahasa lainnya “ora nrimo ing pandum”.

Upaya-upaya licik seperti ini tampaknya sekarang paling laku keras untuk diperbuat, terutama untuk melabelkan stigma kepada pihak lain, sehingga apa yang tidak segaris dengan pemikirannya adalah berposisi sebagai lawan. Rekayasa sosial seperti ini menjadi dahsyat saat ini karena juga didukung dengan menggunakan media sosial yang canggih, maka sempurnalah kelakuan tidak terpuji seperti itu. Apalagi jika disertai dengan syahwat ingin berkuasa yang tanpa batas, maka sempurnalah efek rusak yang diciptakan.
Oleh sebab itu tidak salah jika ada koreksi dari para cerdik-cendikia bahwa tidak selamanya berfikir positif itu baik, sebab jika berfikir positif ditempat yang salah, atau dibuat pada posisi yang salah; maka sebenarnya berfikir seperti itu menjadi sia-sia. Karena seharusnya berfikir positif ditempat yang benar pada waktu yang benar, itulah garis linier yang akan membawa kita jauh dari malapetaka. (R-1)

Salam Waras! (SJ)

 

Informasi Libur dan Cuti Bersama Hari Raya Idul Fitri 1445H

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dengan ini diberitahukan kepada seluruh Karyawan, Dosen dan Civitas Akademika Universitas Malahayati Bandarlampung, bahwa Libur dan Cuti bersama Hari Raya Idul Fitri 1444 Hijriah, terhitung mulai tanggal 8 April sd 15 April 2023. (gil/humasmalahayatinews)