Nrimo Ing Pandum

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada konteks “pandum” pada kalimat judul; kata tersebut berasal dari bahasa Jawa yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, “ajaran budi pekerti yang menekankan pada konteks menerima” mungkin mengacu pada konsep atau nilai-nilai yang menekankan pentingnya memiliki sikap yang bijaksana dan terbuka hati dalam menghadapi berbagai situasi dan dalam kehidupan sehari-hari.

Sisi lain dalam konteks ajaran budi pekerti, “menerima” bisa diartikan sebagai sikap yang bijaksana dan penuh kedamaian dalam menghadapi berbagai situasi dan orang dalam kehidupan. Ini melibatkan kesediaan untuk menerima kenyataan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, dengan sikap yang positif dan terbuka hati.Dalam banyak tradisi agama dan filsafat, menerima juga sering kali dihubungkan dengan sikap kesabaran, kerendahan hati, dan kebaikan hati.

Nrimo ing pandum pada tulisan ini lebih kepada pendekatan filsafat, yang jika diartikan secara harfiah adalah menerima keadaan apapun yang diberikan Tuhan kepada kita. Konsep “menerima” dalam filsafat bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara, tergantung pada konteks filosofisnya. Berikut adalah beberapa interpretasi umum dari konsep tersebut: Pertama: Penerimaan terhadap Keragaman Pemikiran: Dalam filsafat, penerimaan sering kali mengacu pada sikap terbuka terhadap keragaman pandangan, teori, dan perspektif. Ini mencakup pengakuan bahwa ada banyak pendekatan yang berbeda terhadap pemahaman tentang dunia dan kehidupan, dan tidak ada satu pandangan tunggal yang benar atau mutlak.

Kedua, Penerimaan terhadap Ketidakpastian: Konsep penerimaan juga dapat berhubungan dengan kesadaran akan ketidakpastian dalam pengetahuan manusia. Filsafat menerima bahwa ada keterbatasan dalam pemahaman manusia, dan seringkali tidak mungkin untuk mencapai kebenaran absolut atau jawaban yang definitif terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis. Ketiga, Penerimaan terhadap Kritik: Penerimaan dalam filsafat juga mencakup kesiapan untuk menerima kritik terhadap pandangan atau argumen kita sendiri. Ini melibatkan kesediaan untuk mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dan menerima bahwa ada kelemahan dalam pemikiran kita sendiri yang mungkin perlu disesuaikan atau ditingkatkan.

Keempat, Penerimaan terhadap Realitas: Konsep penerimaan dalam filsafat juga bisa merujuk pada sikap menerima terhadap realitas yang ada. Ini termasuk pengakuan bahwa dunia ini memiliki struktur dan aturan tertentu yang dapat dipahami dan dipelajari, meskipun mungkin ada aspek-aspek yang tetap misterius atau sulit dipahami.

Interpretasi terhadap semua pandangan di atas dalam melihat konsep penerimaan dalam filsafat yaitu lebih pada: menyoroti sikap terbuka, reflektif, dan menghargai keragaman dalam pengetahuan, pemikiran, dan pengalaman manusia. Ini merupakan aspek penting dari proses filosofis yang mengarah pada pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia dan diri kita sendiri.

Namun, manakala melihat fenomena yang ada sekarang kita jumpai; ternyata bergeser dari apa yang ada pada konsep di atas; dan tidak jarang justru banyak peristiwa yang ada berbanding terbalik dengan apa yang tertera dalam konsep idealistic tadi. Dalam pandangan terbuka hal ini sah saja karena setiap manusia memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat sesuatu. Justru yang menjadi persoalan adalah memaksakan pandangan kita kepada pihak lain agar berpandangan seperti diri kita. Disinilah letak “kecelakaan berfikir”, tentu akibatnya perselisihan tidak dapat dihindari.

Tidak salah jika “nrimo ing pandum” yang semula merupakan ajaran budi yang luhur, justru sekarang ada rekayasa sosial agar pihak lain berada pada posisi nrimo ing pandum. Manakala yang bersangkutan mengingkari, maka hukuman sosial dijatuhkan kepadanya dengan cukup menggunakan satu kata “tidak mau menerima nasib” atau bahasa lainnya “ora nrimo ing pandum”.

Upaya-upaya licik seperti ini tampaknya sekarang paling laku keras untuk diperbuat, terutama untuk melabelkan stigma kepada pihak lain, sehingga apa yang tidak segaris dengan pemikirannya adalah berposisi sebagai lawan. Rekayasa sosial seperti ini menjadi dahsyat saat ini karena juga didukung dengan menggunakan media sosial yang canggih, maka sempurnalah kelakuan tidak terpuji seperti itu. Apalagi jika disertai dengan syahwat ingin berkuasa yang tanpa batas, maka sempurnalah efek rusak yang diciptakan.
Oleh sebab itu tidak salah jika ada koreksi dari para cerdik-cendikia bahwa tidak selamanya berfikir positif itu baik, sebab jika berfikir positif ditempat yang salah, atau dibuat pada posisi yang salah; maka sebenarnya berfikir seperti itu menjadi sia-sia. Karena seharusnya berfikir positif ditempat yang benar pada waktu yang benar, itulah garis linier yang akan membawa kita jauh dari malapetaka. (R-1)

Salam Waras! (SJ)

 

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply