Negeri Abai, Berkoar Melayani, Faktanya Ada Anak Tak Bisa Sekolah

Oleh Prof. Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

saya remuk redam membaca berita dari media ini, Helo Indonesia Lampung, Senin (25/9/2023), yang mewartakan Pemerintah Kota Bandarlampung kecolongan (lagi) karena ada anak berusia sembilan tahun belum sekolah akibat ketidakmampuan orangtuanya secara ekonomi dan pemahaman birokrasi.

Ternyata, residu sosial itu masih juga ada di usia negeri yang sudah tidak muda lagi ini. Koar-koar melayani rakyat, hanya bergema di udara. Ketika menginjak bumi, para birokrat justru yang minta dilayani rakyat. Dengan dalih “ngapo dak lapor”, mereka abai memperhatikan anak bangsa.

Saya teringat perjuangan almarhum Ayahanda yang menanggalkan baju dinas tentaranya untuk membuka sekolah demi anak bangsa pada awal tahun 1950-an. Pasca kemerdekaan, perjuangan tak lagi mengangkat senjata tapi bagimana jemput bola mencerdaskan anak bangsa.

Belum lagi hiruk-pikuk yang sekarang sedang marak karena intervensi pemilik modal yang begitu besar di negeri ini, kenyataannya masih ada derita lara anak negeri yang terpinggirkan pendidikannya karena kemiskinan.

Kota yang memiliki banyak jalan layang ternyata melayangkan lamunan, melupakan kenyataan. Terimakasih patut diacungkan jempol kepada Herman Batin Mangku (HBM) yang dengan gigih memperjuangan anak negeri, karena diusianya yang tidak muda itu terus menelisik kota guna membantu mereka yang tidak beruntung dengan caranya.

Memang tidak mudah menjadi jurnalis sekaligus mesias seperti itu; menyebabkan banyak pejabat merasa jengah, tetapi fakta tidak bisa dipungkiri. Kerja-kerja kepemerintahan tampaknya sudah terjebak dengan rutinitas. Pagi pergi, siang sedikit ngopi, tengah hari makan dan istirahat terus pulang, tanggal satu terima gaji; entah apa yang dikerjakan.

Inovasi dan improvisasi yang diajarkan pada waktu diklat dan entah apalagi penjenjangan kepegawaian, semua dilalui. Setelah lulus minta kursi agar tempat duduk semakin tinggi.

Angka-angka proyek yang panjang seolah menjadi tujuan, karena di sana ada cuan yang bisa berbagi untuk berbagai kepentingan. Tidak juga kita pungkiri bahwa sudah banyak yang dipebuat untuk negeri ini, namun semua itu bukan untuk menutupi kealpaan akan pekerjaan yang masih tersisa.,

Pelayanan pendidikan yang sangat melekat dengan kesehatan dan kemiskinan itu, sudah seharusnya diurai sedemikian rupa agar tidak menjadi berlarut.

Kita sudah seharusnya membuat inovasi baru agar ada dana abadi guna mengentaskan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat miskin yang fungsinya bukan operasional, karena itu wilayah APBD.

Kita bisa mencari dana dengan tidak berhutang, tetapi membagikan sepersekian-nya dari dana “tanggung jawab sosial perusahaan” bagi semua usaha yang ada di kota ini, disimpan dalam bentuk dana abadi yang kegunaannya hanya bagi pendidikan dan kesehatan masyarakat miskin.

Bisa saja ini disebut dengan “Dana Pengaman Kesehatan dan Pendidikan Masyarakat Miskin”. Tentu dengan catatan dana ini bukan untuk dikorupsi, dibagi-bagi, dijadikan modal usaha, dana koperasi atau apalagi namanya yang selama ini sudah menjadi lading korupsi.

Satuaan tugas di setiap kecamatan dan kelurahan harus terus digalakkan bukan ada bekerja duduk-duduk di kantor, ngopi pagi pulang siang. Mereka harus selalu ada di lapangan menjadi mata dan telinga Wali Kota, yang setiap saat melaporkan bila ada persoalan pendidikan dan kesehatan bagi masyarakat miskin.

Tentu laporan harus disertai data fisik dan penunjang lainnya, sehingga akurasi data menjadi terjamin. Adapun penanganannya tidak harus mengikuti alur birokrasi yang panjang dan rumit, tetapi harus bersifat segera bagai tanggap darurat.

Tulisan ini dibuat bukan ingin mencari kesalahan, akan tetapi karena rasa cinta yang amat sangat kepada negeri ini agar menjadi negeri yang sejahtera dan makmur bagi penghuninya.

Kesempurnaan memang tidak akan ada di dunia ini, namun jika kita mengetahui dan membiarkan ketidaksempurnaan itu berjalan, berarti kita mengingkari sebagai mahluk Tuhan yang diberi kemampuan akal budi, yang tidak dimiliki oleh mahluk lain. (SJ)

Pendidikan yang Berkeadilan

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu ada media online yang memuat bagaimana warga kota ini yang sudah usia sembilan tahun tidak sekolah karena kemiskinan. Di sisi lain ada program pengentasan masyarakat miskin dengan program Bina Lingkungan untuk menyekolahkan anak-anak kurang beruntung ke sekolah negeri. Sementara di pihak sana begitu banyak sekolah swasta yang tutup karena tidak mendapatkan murid. Sekolah negeri bagai rumah besar yang tidak berpagar.

Lebih memukau lagi perguruan tinggi negeri yang menggunakan program “Kapal keruk” menerima mahasiswanya dengan berbagai program, sehingga jumlah mahasiswa yang diterima tidak sebanding dengan dosen dan fasilitas yang dimiliki. Atas nama pemerataan dan kesempatan berpendidikan, jelas akan mengabaikan mutu, dan ini terbukti manakala ada pengukuran akan kualitas, ternyata perguruan tinggi swasta yang dikelola dengan baik, menduduki ranking pertama. Sehingga silogisme yang dipakai selama ini memerlukan koreksi yang tidak mungkin dipertahankan lagi.

Perguruan tinggi swasta dan sekolah swasta mendapatkan dampak yang luar biasa menderitanya karena, karena pemahaman yang kurang tepat akan makna kesempatan memperoleh pendidikan. Selama ini swasta hanya diberi “label mitra” oleh pemerintah; bahkan yang menyakitkan saat ada pertemuan, ada petinggi yang nyeletuk kalau tidak punya modal jangan buka sekolah. Mereka lupa akan marwah pendidikan; bagaimana satu sekolah berlabel kebangsaan yang digagas tokoh pendidikan negeri ini; menyebar ke seluruh negeri jauh sebelum Indonesia Merdeka; itu hanya bermodalkan tekad membangun bangsa.Ternyata setelah memerdekakan bangsanya, mereka harus menerima pahitnya kebijaksanaan.

Tidak bisa dipungkiri ada sebagian pendidikan swasta yang komersial, namun perlu juga dipahamkan jika swasta tidak dikelola dengan sistem komersial dalam arti hakekat, maka tidak mungkin lembaga pendidikannya akan berjalan. Bisa dibayangkan dengan jumlah peserta didik yang sedikit, harus mempekerjakan pendidik yang baik, dan menghasilkan lulusan terbaik. Sementara fasilitas dan segala sesuatu sebagai penunjang penyelenggaraan pendidikan harus disiapkan. Jika lembaga swasta ini semata-mata hanya mengandalkan pendapatan dari uang sekolah, tentu semua mengetahui bahwa itu adalah jalan menuju kematian.

Tampak sekali bahwa kebijakkan pemerintah berkaitan dengan pendidikan belum melaksanakan prinsip berkeadilan. Semua akan ditangani sendiri, padahal tangan yang dimiliki terbatas. Sementara jika ada pihak swasta yang berinisiatif untuk mengambil peran, sudah dicurigai duluan. Jika ada pihak ketiga yang membuka kekurangan dari sistem penyelenggaraan, maka dicurigai bahkan tidak jarang diintimidasi.

Pihak penyelenggara pendidikan pemerintah seolah-olah dikesankan selalu terbaik, padahal tidak semuanya benar. Lebih menyedihkan lagi kita masih sering mendapat informasi kemajuan atau prestasi yang diperoleh swasta, sering tidak mendapatkan pengakuan yang layak. Jika-pun ada, itu hanya sebagian kecil dengan tujuan kesan diskriminasi tidak mencolok.

Sudah waktunya untuk memikirkan pendidikan yang berkeadilan baik dalam hal kualitas, kuantitas maupun pemerataan. Program biling bisa diteruskan namun tidak monopoli negeri, biarkan swasta berperan asal kasihkan anggarannya kepada mereka dengan mematuhi mekanisme yang ada. Program “Kapal keruk” untuk perguruan tinggi negeri, sudah seharusnya dihentikan; berikan keleluasaan perguruan tinggi swasta juga berperan lebih aktif, dan jika memungkinkan pilihan studi dan ujian bersama bisa dilakukan karena akreditasinya sama. Atau menggunakan skema lain sehingga perguruan tinggi swasta dan negeri pada banyak hal bisa mengerjakan bersama, baik nasional, regional maupun local.

Negeri ini tidak cukup memiliki slogan pendidikan untuk semua, tetapi juga pendidikan yang berkeadilan, baik dalam pengertian pelayanan, partisipasi, maupun dalam tatakelola. Kebijakan yang adil bisa saja belum berkeadilan; oleh sebab itu perlu ada usaha bersama dengan tidak menafikan hakikat masing-masing. Kita tidak mungkin membesarkan gajah sama dengan membesarkan semut, atau menyemutkan gajah dan menggajahkan semut. Biarkan gajah besar dengan caranya, dan semutpun besar dengan caranya.

Tulisan ini pasti akan mengundang perdebatan, dan itu pertanda kita berfikir dan memiliki kepedulian terhadap negeri. Namun perdebatan yang memberi solusi adalah perdebatan cerdas bukan saling menindas; apalagi hanya sekedar mencari popularitas. (SJ)

 

Pesan Pendahulu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu seorang mahasiswa program doktor yang pernah menjadi bimbingan penulis mengirim komentar setelah membaca artikel, isi lengkapnya pesan itu demikian…”perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tetapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”… kalimat ini adalah sepenggal dari Pidato Ir. Soekarno, saat memperingati Hari Pahlawan 10 November 1961. Dan, saat dikonfirmasi ke beberapa rekan ternyata diberi komentar “sahih”.

Lebih lanjut mahasiswa program doktor yang cerdas tadi menambahi komentar yang dialih tuliskan sebagai beriku: skema penjajahan tempoe duloe adalah datang, rebut hasil buni, kuasai wilayah, dan rakyat melawan. Kemudian, penjajah pergi rakyat Merdeka. Skema pejajahan jaman now; penjajah datang, temui pejabat, pejabat lewat kekuasaan merebut paksa wilayah. Rakyat melawan, rakyat ditangkap dengan dalih tidak mendukung program. Apakah kita tidak selamanya terjajah. Walau komentar ini tampaknya sedikit emosional, namun untuk beberapa hal ada benarnya; tinggal dari sudut mana kita mau memandangnya. Hanya dipesankan jangan pembaca ikut-ikutan emosional.

Peristiwa lain juga terjadi sebagai pembenaran thesa mahasiswa tadi, bisa dibayangkan kalau saat ramai-ramai pencalonan anggota legislatif, ternyata mantan koruptor-pun bisa melenggang untuk ikut kontestasi politik dengan mencalonkan diri. Saat dilakukan crosscek ternyata yang bersangkutan menjawab dengan ringan “penyuap saja bisa jadi pejabat, masa kami tidak”.

Nun jauh di sana di perbatasan negeri, sekarang sedang terjadi apa yang diucapkan pendiri negara ini. Cara pandang yang berbeda antara penguasa dan rakyat jelata sedang terjadi. Atas nama kemakmuran sebagai pembungkus kegiatan pengalihfungsian lahan sedang berlangsung. Semua mencari benarnya sendiri; rakyat menuduh pemerintah dholim, pemerintah memberi stempel rakyat membangkang. Hanya karena membela Cuan dan Tuan yang semula damai berubah menjadi prahara. Sampai-sampai seorang panglima yang seharusnya dalam berbahasa tertata baik, ikut terjebak dalam “lumpur salah diksi” sehingga harus minta maaf walau sudah terburu melukai hati rakyat.

Dari semula negeri ini dirancang oleh para pendiri menjadi rumah besar bagi anak negeri, tidak peduli dengan latarbelakang yang berbeda; namun semenjak kerakusan melanda, entah dari mana musababnya sehingga semakin hari rakyat menjadi semakin terhimpit. Kemarau berkepanjangan, harga pangan merangkak naik, hasil panen gagal; walau semua ditutupi dengan operasi pasar, namun sejatinya bukan di sana masalahnya. Daya beli yang semakin terjun bebas, sekalipun ada barangnya; namun kemampuan untuk membeli yang makin hari makin merosot. Namun dalam pidato para punggawa negeri ini tetap mengatakan kita dalam keadaan baik-baik saja.

Tidak jauh dari ibu kota negeri ada ibu yang berputra tiga harus melakoni sebagai pencuri telur di Swalayan, dan apesnya beliau tertangkap. Untung petugas kepolisian baik hati dan suka menolong; sang ibu diberi bantuan natura dan dibebaskan dari tuntutan. Pertanyaan lanjut berapa banyak keluarga yang serupa tapi tak sama dengan keluarga ini. Mestinya negara hadir ditengah mereka, bukan aparat sebagai pribadi tetapi seharusnya institusi yang memiliki urusan tentang ini. Betapa banyaknya negara ini sudah abai dengan anak negerinya sendiri.

Rasanya tidak salah jika kita mau kembali sejenak meluangkan waktu membuka kembali lembaran lama untuk membaca pesan leluhur, jangan sampai menyesal kemudian tidak berguna. Salah satu pesan leluhur adalah bermusyawarah lah hingga mencapai mufakat, andai kata mufakat juga tidak tercapai maka carilah jalan keluar yang sama-sama menyenangkan. Tidak ada persoalan yang tidak bisa di urai asalkan masing-masing pihak tidak memaksakan kehendak. Semoga kasus Rempang menjadi bahan pembelajaran bagi kita semua. Janganlah mendekati rakyat saat pemilihan saja, manakala rakyat dalam kesulitan semua menghilang bak ditelan bumi. Pemerintah tidak perlu juga memaksakan kehendak melalui kekuasaan, sebab pada waktunya nanti kekuasaan itu ada akhirnya. SSJ)

Selamat ngopi pagi.

Piting

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kata ini sebenarnya “biasa-biasa saja” tidak bermakna apapun kalau hanya diposisikan sebagai makna kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Juga bagi anak-anak kecil di Jawa, khususnya Jawa Tengah, kata inipun menjadi istilah dalam permainan sehari-hari. Namun menjadi berubah makna manakala dimasukkan dalam wilayah epistemology dan axiology; karena berubah wilayah yang menjadi tujuan dan kegunaan sebagai esensi atas dipilihnya kata itu.

Sementara pengguna diksi juga akan memberikan bobot makna dari kata “piting” yang dipakai. Jika itu anak-anak yang sedang bermain, maka tentu penggunaan berwilayah pada permainan yang penuh senda gurau. Namun jika itu diucapkan oleh petinggi negeri yang memiliki pasukan, maka makna berubah menjadi perintah. Dan seterusnya sesuai dengan tokoh sentral pengungkap kata tadi.

Tentu saja kata bermakna menjadi tidak masuk akal jika diucapkan oleh mereka yang ada pada posisi tidak untuk mengucapkan itu. Sebagai contoh kata “binatang” tidak bermakna apa-apa kecuali hanya menunjuk mahluk; sementara menjadi berbeda jika itu diucapkan oleh seorang ayah yang sedang marah dengan nada tinggi kepada anaknya, disertai hardikan yang menggelegar.

Dampak dari ucapan-pun menjadi perhatian serius; sebab jika dampaknya melukai personal, masih mungkin bisa meminta maaf. Menjadi berbeda jika dampaknya melukai hati kolektif, maka bisa jadi akan memiliki dampak lanjut yang tidak jarang berakibat fatal. Apalagi permintaan maaf itu disertai dengan narasi pertahanan diri, pembenaran, dan berujung ancaman. Hal ini menunjukkan ketidaktulusan dalam bersikap apalagi berbuat akan maaf, justru sebaliknya menunjukkan kekerdilan sipengucap.

Kita bisa bayangkan jika tindakan itu dikenakan kepada rakyat jelata yang mempertahankan haknya, apapun alasannya, tindakan kekerasan adalah bukan satu-satunya cara untuk menghadapi. Sebab banyak contoh negosiasi-negosiasi konstruktif dapat dibangun untuk dapat digunakan sebagai sarana keputusan bersama. Justru narasa-narasi primordial hanya menyesatkan lambang-lambang komunikasi, yang pada ujungnya menjadi berhadap-hadapan itu-pun hanya membela pemilik modal.

Tampaknya kita harus mereferensi kembali ajaran-ajaran lampau untuk menjadi pemimpin pada level manapun, sebab akhir-akhir ini sering kita jumpai kesesatan berfikir akibat ketidakmampuan logika dalam menemukenali persoalan-persoalan kemasyarakatan yang semakin kompleks. Dan, ditambah lagi dengan tuntutan keadaan akan penguasaan teknologi yang semua sudah menggunakan piranti canggih.

Perlu juga dipahami sekarang ada masyarakat baru yang hadir di dunia ini yang dikenal dengan nitizen. Masyarakat ini tidak dalam bentuk nyata, tetapi dalam bentuk maya, yang memiliki tingkat solidaritas sangat tinggi, dan kemampuan menekanpun luar biasa. Oleh sebab kita tidak bisa lagi bersembunyi manakala berurusan dengan masalah orang-perorang, apalagi jika itu kolektif. Demikian halnya dengan ucapan, perbuatan siapapun kita, bisa terjadi menjadi viral; dan jika sudah seperti ini, maka sudah tidak ada lagi yang bisa dirahasiakan, dan atau ditutup-tutupi. Justru yang terjadi kita akan dikuliti oleh mereka tanpa mengenal ampun.

Pemerintah bukanlah “penjajah baru” dalam konteks moral, akan tetapi perangkat pelayanan kepada rakyat; sebab pemerintah setiap lima tahun sekali harus memperbaharui mandatnya dihadapan rakyat. Pemerintah bisa silih berganti, tetapi suara rakyat adalah abadi sepanjang masih ada negeri. Oleh sebab itu mari jaga negeri ini dengan salah satu diantara caranya adalah jangan lukai hati rakyat.

Pembangunan yang ide awalnya mensejahterakan, selalu memiliki dampak. Menyakitkan sekali justru manakala dampak itu justru menyengsarakan rakyat, lebih-lebih rakyat diposisikan sebagai korban. Sebagai contoh dampak dari pembangunan kereta cepat, ternyata menyisakan berapa ribu hektar lahan pertanian yang tidak produktif lagi karena lahannya rusak tertimbun material bekas bangunan jalan. Berarti ada kemiskinan baru di sana yang tercipta. Jangan pula akibat “piting” nanti akan ada pengangguran baru, dan jika mereka memilih untuk migrasi, kemudian memilih menjadi warganegara tetangga, jangan salahkan mereka; karena kita telah memporakporandakan marwah mereka. (SJ)

Tulis Menulis

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menulis adalah pekerjaan kuno yang pernah dilakukan manusia. Menurut catatan tulis-menulis memiliki sejarah begitu panjang. Bangsa Sumeria (3.500-3.000 Sebelum Masehi) pertama kali menciptakan tulisan sebagai alat komunikasi jarak jauh yang diperlukan dalam perdagangan. Dengan meningkatnya kota di Mesopotamia dan kebutuhan sumber daya berkurang, perdagangan jarak jauh harus dilakukan. Sehingga, untuk berkomunikasi melintasi antar kota atau wilayah, para pedagang dan konsumen menggunakan tulisan sebagai alat komunikasi.

Bentuk tulisan paling awal adalah pictographs atau piktograf (simbol yang mewakili obyek). Berfungsi untuk membantu mengingat apa saja yang dibeli dan apa yang telah dikirim. Bisa juga sebagai catatan berapa banyak barang yang diperlukan atau jenis barang yang dibeli atau dijual. Bahkan tulisan piktograf untuk mencatat berapa banyak domba yang diperlukan untuk acara pengorbanan di kuil.

Piktograf tersebut ditulis pada tanah liat basah yang kemudian dikeringkan. Hal tersebut menjadi catatan resmi perdagangan. Dari semua catatan yang ada, paling banyak menyimpan catatan penjualan bir. Hal ini karena bir menjadi minuman populer di Mesopotamia kuno. Namun, catatan piktograf hanya berisi barang dan benda. Bukan sistem penulisan seperti saat ini. Sehingga catatan itu tidak memberikan secara rinci, dari mana, dikirim ke atau diterima dari siapa. Untuk lebih mengekspresikan konsep tulisan, bangsa Sumeria mengembangkan fonogram. Fonogram adalah simbol yang mewakili suara. Suara ini adalah bahasa yang diucapkan orang-orang Sumeria. Dengan fonogram, seseorang dapat dengan mudah menyampaikan makna yang tepat. Misalnya dua domba dari toko dalam keadaan hidup. Jenis tulisan fonetis ini menjadi awal dari sistem penulisan sejati yang ditandai dengan kombinasi piktogram dan fonogram. Tulisan fonetis adalah tulisan yang digunakan untuk mencatat bunyi-bunyi bahasa secara detail.

Itu sejarah tulis-menulis yang diperoleh dari berbagai sumber. Kebiasaan tulis-menulis itu hampir ditemui pada banyak kelompok manusia pada waktu itu. Untuk Nusantara ternyata Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memberikan catatan sebagai berikut: Indonesianis dari Universitas Hamburg, Jan van der Putten memaparkan tentang tradisi menulis. Dia mengatakan, Indonesia memiliki tradisi lisan yang kaya, namun tradisi menulis juga sudah muncul sejak berabad-abad silam. Beliau meneguhkan penjelasannya sbb: ….”Karena sudah memiliki kekayaan tradisi lisan, tradisi menulis dipelihara dan digunakan oleh kalangan tertentu atau untuk tujuan khusus. Penulisan untuk penyebaran agama merupakan salah satunya,”….

Putten menjelaskan kekhasan tradisi menulis yang berbeda-beda antara tempat satu dengan tempat yang lain di Indonesia. Manuskrip kuno di Jawa, misalnya, merupakan perpaduan tulisan dan gambar di daun lontar dan daun palem, yang terbatas dilakukan oleh anggota kerajaan di Jawa. Berbeda dengan tradisi menulis di Sumatera Selatan yang banyak berupa puisi dan surat cinta. Sebab hubungan pria dan wanita di sana dahulu sangat diatur ketat, ujar Putten. Sedangkan naskah kuno di Sulawesi Selatan seperti I La Galigo mengisahkan epos penciptaan yang menjadi kepercayaan masyarakat Bugis kuno. Dari berbagai sumber ditemukan kesimpulan bahwa tradisi tulis dengan pola huruf di Nusantara ini dikenal hanya huruf Batak, huruf Lampung, huruf Jawa, dan huruf Bugis. Sementara itu huruf Arab berkembang belakangan seiring dengan masuknya agama Islam di wilayah ini.

Ternyata kebiasaan menulis dilakukan oleh banyak para pemuka agama yang hidup pada masanya. Mereka memiliki karya tulis hasil kajian yang kemudian dibukukan, dan menjadi karya besar, bahkan sampai saat ini karya itu menjadi mail-stone. Tulisan yang dibukukan dijadikan acuan atau rujukan kajian sesuai bidangnya.
Sementara saat dengan kemajuan teknologi digital, kemudahan akan menulis betul-betul disuguhkan di hadapan siapa saja. Namun sayang, banyak diantara kita yang tidak memahami etika menulis, sehingga membuat persoalan di kemudian hari. Sementara yang memiliki kemampuan menulis, banyak yang tidak tertarik lagi untuk menulis, karena yang semula ada hubungan antara produksi tulisan dengan pendapatan, apa lagi pada era surat kabar konvensional; sekarang hubungan itu sudah berakhir. Dan, yang tinggal adalah mereka-mereka yang hanya menikmati “kemerdekaan berfikir” nya untuk dapat disumbangkan kepada khalayak tanpa pamrih apapun. Menyedihkan lagi dunia perguruan tinggi yang katanya tempat bersemayamnya ilmu, hanya tertarik dengan jurnal, laporan, dan model-model yang hanya teman selingkungannya yang paham.

Untuk memposisikan tulis-menulis sebagai kerja intelektual tidak pernah diberi ruang, justru sering dicurigai sebagai oposan dari kelompok yang berseberangan, sehingga ada guru besar yang sering menuangkan ide gagasan dan atau pemikiran orsinal, justru dicurigai dan diusir karena tulisannya dianggap kasar,. Sementara ukuran kasar atau halus itu sangat subyektif sekali, karena sangat tergantung dari sudut pandang dan kepentingan pribadi. Dengan kata lain mereka beranggapan bahwa tulisan yang baik ukurannya jika bisa memuji dan memuja para “bendoro” yang sedang berkuasa.

Kita harus memerdekakan pemikiran kita dan harus mencari kebenaran lewat fakta, demikian seorang tokoh filusuf dunia pada jamannya berpendapat tentang modal dasar untuk menulis. Tampaknya mencari kebenaran lewat fakta, salah satu diantaranya diperoleh dari membaca, dan membaca ini sekarang berada pada tingkat menghawatirkan di negeri ini. Melek literasi adalah semacam tantangan tersendiri bagi generasi saat ini, mereka lebih sibuk menjadi penikmat produk gaget; bukan pemanfaat yang handal dari media gadget.

Jika indikator media online kita jadikan tolok ukur, ternyata tidak banyak lagi penulis yang mau menggelontorkan gagasan, konsep atau ide orisinil; banyak diantara mereka sekarang hanya menjadi komentator dari fenomena yang ditulis sebagai berita; atau mengomentari tulisan orang lain. Tampaknya ada kebuntuan di sana yang tidak jelas apa yang menjadi penyebabnya. Lebih miris lagi usia penulis yang ada saat ini sudah terbilang tidak muda lagi, oleh karena itu dikhawatirkan penerus generasi akan mengalami masalah di kemudian hari. (SJ)

Wajib Belajar dan Kereta Terakhir Pulau Hokkaido

Oleh Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

MEMBACA berita beberapa situs media online, sebagai pendidik, hati saya teriris adanya anak-anak kita tak sekolah gara-gara orangtuanya tak mampu secara ekonomi. Setelah viral, para pemangku ramai-ramai membantu dari Dinas Pendidikan, kecamatan, lurah sampai RT sambil “cuci tangan”: tak tahu, tak lapor, hingga media dinilai plantar-plintir.

Kehadiran para pemangku dengan narasi “membantu” kedua pelajar rasanya agak aneh. Soal pendidikan, bukan membantu, tapi sudah menjadi kewajiban negara lewat pemerintah daerah dan para pemangku lainnya hingga terbawah tingkat RT agar tak ada anak-anak yang tak sekolah. Negara hadir membekali anak-anak bangsa agar pintar, bukan memposisikan mereka seolah “membantu”.

Di Jepang, ada kisah betapa pentingnya pendidikan, tak cukup hanya bantuan alat sekolah, dan lain-lain, tapi bagaimana keberpihakkan negara terhadap aset masa depannya dalam kisah pelajar terakhir Stasiun Kami-Shirataki di Pulau Hokkaido.

Japan Railways juga bersiap-siap untuk menutupnya sejak tiga tahun sebelumnya membatalkannya karena ada satu-satunya penumpang seorang pelajar SMA, Kana Harada yang selalu naik kereta dalam perjalanan menuju sekolahnya setiap harinya pulang pergi.

Jadwal perjalanan kereta ini juga disesuaikan dengan jadwal gadis itu, kereta datang pada pagi hari dan kembali berhenti stasiun tersebut sorenya. Sesuai dengan jadwal sekolah. Kana rencananya akan lulus Maret 2016 ini. Setelah dia lulus maka stasiun ini akan ditutup selamanya.

Negara kita sudah pula menyiapkan komitmen tersebut. Mudah-mudahan masih ingat, ayat 1-4, Pasal 34 UUD 1945:
(1) Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

UUD 1945 Pasal 31 Ayat 1 berbunyi setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dimana Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008, Pasal 12, Ayat 3, Pemkab/kota wajib mengupayakan agar setiap warga negara Indonesia usia wajib belajar mengikuti Program Wajib Belajar 9 Tahun.

Soal ketidakmampuan secara ekonomi: Fakir miskin dan orang tidak mampu belum teregister terdiri dari : gelandangan, pengemis, perseorangan dari komunitas adat terpencil, perempuan rawan sosial ekonomi, korban tindak kekerasan, pekerja migran bermasalah sosial.

Jelas dan tidak perlu penjelasan keluarga yang ada dalam berita itu adalah sangat memenuhi kategori tadi, dan anehnya itu sudah berlangsung setahun tak diketahui para pemangku kebijakan dari tingkat provinsi, kota, kecamatan, lurah, hingga RT.

Pertanyaannya, kemana saja pejabat yang berwenang selama ini? Adanya struktur pemerintahan hingga tingkat RT agar pengawasan terhadap rakyat betul-betul dikuasai. Apakah rakyatnya cukup makan hari ini, apakah anak-anak sudah sekolah, bla bla bla.

Adanya dua pelajar SD yang sudah setahun tak sekolah gara-gara orangtuanya tak mampu merupakan tamparan bagi kita semua yang secara politik kerap jadi dagangan: bebas SPP, wajib belajar, APBN dan APBD yang digelontorkan buat pendidikan hampir setara pembangunan infrastruktur, tiba-tiba ada dua anak tak sekolah.

Janji-janji itu, janganlah jadi komoditas politik murahan hanya untuk kepentingan sesaat, apalagi hanya karena sebuah kursi jabatan. Semua itu harus dilaksanakan karena memang perintah undang-undangnya begitu, dan negara harus hadir di sana, bentuk manisfestasinya adalah program yang dibuat oleh pejabat, siapapun pejabat itu.

Kebiasaan pejabat hanya memindah-mindahkan anak buah yang tidak bisa ikut kemauan dirinya, seharusnya diakhiri. Ganti dengan memindah-mindahkan program untuk membantu kaum miskin yang makin hari makin terhimpit karena kekurangannya.

Bila pendidikan dasar itu gratis dan itu adalah perintah undang-undang, maka tidak perlu embel-embel itu program pribadi. Apalagi jika keperuntukkan selama ini untuk program yang memperbesar hutang, sedangkan membayarnya dengan menjual asset; ini menunjukkan keterbelakangan berfikir yang perlu dikoreksi.

Kota yang tampak luarnya megah, apalagi melihatnya malam hari, dan sejatinya “kopong” (meminjam istilah Jurnalis Senior Halloindonesia Lampung); adalah bentuk sempurna dari kamuflase sosial. Sudah seharusnya pimpinannya sadar diri bahwa masih banyak kerja-kerja yang belum dikerjakan.

Kita tidak harus menunggu anak muda kreatif memviralkan kekurangan kita, tetapi merealisir program yang menyentuh akar rumput, itu adalah kuwajiban utama bagi pimpinan tertinggi.

Tidak ada seorangpun manusia yang sejak lahir bercita-cita untuk miskin, tetapi karena peluang untuk bangkit yang tidak mereka peroleh, maka disanalah peran pemimpin melalui program pemberdayaan masyarakat kurang beruntung secara sosial-ekonomi, mewujudkan ide-ide cemerlang agar mereka mampu mandiri bukan untuk dikebiri.

Janganlah kegagalan menjadikan kemarahan saat wartawan mengklarifikasi; karena wartawan adalah soko guru demokrasi yang tugasnya mewartakan. Dan, warta yang diwartakan tidak selamanya kesuksesan. Jika itu kekurangan seharusnya itu dianggap koreksi untuk introspeksi kemudian diperbaiki, dan jika keberhasilan yang diwartakan; itu bukan untuk berbangga diri, tetapi untuk memacu diri.

Gagal dan Berhasil adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi satu sama lain, bukan untuk dihindari apalagi ditinggal pergi alasan masih dinas luar kota atau banyak urusan yang dinilainya lebih penting. (SJ)