Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menyimak diksi yang keluar dari mulut seorang mantan Menteri Luar Negeri negeri ini, yang kebetulan seorang wanita, saat ditanya reporter dalam satu acara mengenai apa lagi yang akan dilakukan setelah tidak menjadi menteri. Beliau menjawab “Cukup”. Dan, diksi ini mengandung makna yang sangat dalam bagi mereka penggemar pengkaji filsafat, terutama filsafat manusia. jika kita kaji secara mendalam diksi cukup, bukan sekedar mewakili keberhentian dari suatu perjalanan. Namun, diksi ini memiliki maknawi yang sangat mendalam. Berbekal literature digital dan konvensional, maka kajian ini dapat kita dedah sebagai berikut.
Manusia adalah makhluk yang memiliki hasrat tak terbatas di dalam dunia yang terbatas. Hasrat untuk memiliki, mengetahui, menguasai, dan bahkan menaklukkan, merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk berkesadaran. Di tengah derasnya arus konsumsi, materialisme, dan kemajuan teknologi, manusia sering terperangkap dalam ilusi bahwa kebahagiaan terletak pada akumulasi: semakin banyak, semakin baik. Namun, di balik semangat untuk memiliki lebih, muncul pertanyaan mendalam dari ranah filsafat manusia: kapankah kita akan berkata “cukup”.
Ungkapan “katakan cukup” bukan hanya seruan moral atau sosial, tetapi menyentuh akar terdalam eksistensi manusia. Ia menantang ego, kehendak, dan bahkan konsep makna hidup itu sendiri. Dalam filsafat manusia, tema ini menyentuh batas-batas eksistensial yang menghubungkan antara kebebasan, tanggung jawab, dan kesadaran diri.
Filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche menekankan bahwa manusia adalah makhluk kehendak. Sartre menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi”, artinya manusia membentuk dirinya sendiri melalui pilihan-pilihan yang diambil. Namun, di balik kebebasan memilih itu, tersimpan paradox, yaitu: semakin banyak pilihan, semakin sulit manusia berkata cukup.
Pada masyarakat modern, pilihan hidup tampak tak terbatas; dari makanan, pekerjaan, hingga identitas sosial. Akibatnya, manusia mudah terjebak dalam kebingungan eksistensial. Ketika kehendak tidak dibatasi oleh kesadaran akan “cukup”, manusia jatuh dalam absurditas, sebagaimana digambarkan oleh Albert Camus dalam “The Myth of Sisyphus”. Manusia menjadi seperti Sisyphus: terus mendorong batu ke atas gunung, hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Oleh sebab itu, berkata “cukup” adalah tindakan sadar untuk membatasi kehendak. Ia bukan bentuk kekalahan, melainkan kemenangan atas hasrat yang menguasai. Dengan berkata cukup, manusia merebut kembali kendali atas dirinya dan memasuki wilayah kebijaksanaan.
Sedangkan dalam filsafat moral, pertanyaan tentang “cukup” menyentuh pada keadilan dan tanggung jawab sosial. Ketika seseorang memiliki lebih dari yang dibutuhkan, sementara yang lain kekurangan, maka akumulasi menjadi bentuk ketidakadilan. Filsuf seperti Emmanuel Levinas menekankan pentingnya wajah orang lain sebagai panggilan etis bagi kita. Kehadiran yang lain menuntut kita untuk membatasi diri, untuk berkata cukup. Oleh sebab itu dalam konteks ini, “cukup” menjadi wujud kepekaan etis terhadap dunia. Ia menolak kerakusan dan mendorong distribusi yang adil. Dalam dunia yang dilanda krisis ekologis dan kesenjangan sosial yang akut, “cukup” adalah seruan revolusioner. Ia bukan sekadar ajakan untuk hidup sederhana, tetapi panggilan untuk bertindak secara bertanggung jawab.
Filsuf Epictetus dan Seneca bahkan lebih tegas berkata bahwa: kebahagiaan sejati lahir dari penguasaan diri. Mereka percaya bahwa orang yang mampu berkata cukup adalah orang yang paling merdeka. Kekayaan tidak menjamin kebebasan; pengendalian hasratlah yang membawa ketenangan batin. Dengan demikian, “cukup” bukan kekurangan, tetapi kekuatan batin yang luhur.
Manusia, meskipun memiliki kehendak dan akal budi, tetaplah makhluk yang terbatas. Ia tidak abadi, tidak mahakuasa, dan tidak serba tahu. Namun, modernitas sering membangun narasi bahwa manusia bisa melampaui batas-batas ini: hidup lebih lama, lebih pintar, lebih cepat, lebih kaya. Transhumanisme bahkan bercita-cita menghapus kematian. Tetapi di balik semua ini, muncul pertanyaan eksistensial: apakah hidup tanpa batas itu benar-benar hidup manusiawi. Pertanyaan besar ini belum terjawabkan sampai tulisan ini diluncurkan.
Martin Heidegger dalam Being and Time berbicara tentang konsep “menjadi menu menuju kematian.” Artinya, kesadaran akan kematian memberi makna pada hidup. Justru karena hidup terbatas, maka ia berarti. Maka berkata cukup adalah bentuk penerimaan akan kefanaan. Itu bukan sikap pasif, tetapi keberanian untuk mengakui batas dan hidup secara otentik dalam bingkai batas itu. Oleh sebab itu “Cukup” dalam konteks ini adalah pengakuan akan kemanusiaan kita. Kita tidak bisa memiliki segalanya, tidak bisa menjadi segalanya. Dan itu tidak masalah. Karena makna hidup tidak terletak pada banyaknya hal yang kita capai, tetapi pada cara kita hidup dan mencintai di tengah keterbatasan itu. “Cukup” adalah jembatan menuju kontemplasi. Ia mengajarkan bahwa tidak semua hal perlu dikejar. Ada kebahagiaan dalam diam, dalam keberadaan itu sendiri. Ketika manusia mampu berkata cukup, ia tidak hanya menguasai dunia, tetapi juga menguasai dirinya.
Pada budaya kontemporer yang dibentuk oleh logika pasar dan konsumsi. Dari iklan, media sosial, hingga budaya kerja, semuanya mendorong manusia untuk merasa kurang, untuk terus membeli, bekerja, dan berprestasi. Dalam kondisi ini, “cukup” dianggap sebagai tindakan subversif. Ketika seseorang berkata cukup terhadap jam kerja yang tidak manusiawi, ia sedang memperjuangkan martabat. Ketika seseorang berkata cukup terhadap gaya hidup konsumtif, ia sedang menyatakan nilai-nilai alternatif. Dalam masyarakat yang terus meneriakkan “lebih, lebih, lebih”, berkata cukup adalah bentuk perlawanan budaya.
Filsafat manusia mengajarkan bahwa kita tidak hidup sebagai individu terpisah, tetapi sebagai bagian dari komunitas. Oleh karena itu, pilihan untuk berkata cukup juga berdampak sosial. Ia bisa menjadi gerakan bersama untuk menata ulang nilai-nilai hidup kita: dari kompetisi ke kolaborasi, dari keserakahan ke kepedulian.
Banyak diantara kita mengira bahwa kebebasan adalah kemampuan untuk memilih tanpa batas. Namun, kebebasan sejati bukanlah terletak pada jumlah pilihan, tetapi pada kemampuan untuk mengatakan tidak. Dalam hal ini, berkata cukup adalah bentuk tertinggi dari kebebasan. Manusia yang mampu berkata cukup adalah manusia yang bebas dari ketergantungan, dari ilusi, dari dorongan eksternal. Ia telah sampai pada titik di mana makna hidup tidak lagi ditentukan oleh apa yang dimiliki, tetapi oleh siapa ia menjadi. Di sinilah letak kedewasaan eksistensial.
Dalam dunia yang bergerak cepat seperti saat ini, di mana keserakahan dirayakan dan kesederhanaan diabaikan, berkata cukup adalah tindakan radikal. Ia adalah bentuk kejujuran terdalam terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap dunia. Ia bukan pengingkaran terhadap potensi manusia, tetapi pengakuan bahwa potensi itu mesti dijalankan dalam batas-batas yang manusiawi. Pada akhirnya, mungkin pertanyaan yang paling manusiawi bukanlah “apa lagi yang bisa saya dapatkan”, tetapi “apa yang benar-benar penting untuk saya jaga” Dan di sanalah, di tengah kesadaran itu, kita mungkin akan menemukan bahwa hidup ini, dengan segala keterbatasannya, sudah cukup. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Farmasi Universitas Malahayati Raih Bronze Medal di Kejuaraan Internasional Karate di Malaysia
Dini tampil memukau di Kategori Female Individual Kata Senior, mengungguli sejumlah pesaing dari berbagai negara Asia yang turut berpartisipasi dalam kejuaraan ini. Kejuaraan yang rutin digelar setiap tahun ini merupakan salah satu turnamen karate internasional yang prestisius, menjadi wadah bagi para atlet muda untuk unjuk gigi di level dunia.
Dini Maharani mengungkapkan rasa syukur dan bangganya.“Alhamdulillah, saya sangat bersyukur bisa membawa pulang medali untuk Indonesia dan tentu saja untuk Universitas Malahayati. Perjuangan ini tidak mudah, tetapi kerja keras dan doa akhirnya membuahkan hasil,” ujarnya dengan penuh semangat.
Tak hanya itu, Dini juga menyampaikan motivasi bagi rekan-rekan mahasiswa yang sedang menempuh studi dan juga memiliki passion di bidang non-akademik.
“Jangan pernah ragu untuk mengejar dua hal sekaligus—prestasi akademik dan minat bakat di luar kampus. Keduanya bisa berjalan berdampingan asal kita mau disiplin dan konsisten. Kegagalan adalah bagian dari proses, tapi jangan biarkan itu menghentikan langkahmu,” tuturnya memberi semangat.
Keikutsertaan Dini Maharani dalam ajang internasional ini tidak hanya membawa nama Universitas Malahayati, tetapi juga mengharumkan nama Indonesia di pentas olahraga dunia. Dengan semangat dan tekad kuat, Dini telah menjadi inspirasi bahwa mahasiswa bisa berkontribusi dalam mengangkat citra bangsa melalui prestasi nyata.
Universitas Malahayati mengucapkan selamat dan apresiasi setinggi-tingginya kepada Dini Maharani atas pencapaiannya. Semoga keberhasilan ini menjadi pemicu lahirnya lebih banyak lagi prestasi dari mahasiswa Universitas Malahayati di masa mendatang, baik di tingkat nasional maupun internasional. Maju terus mahasiswa Malahayati! Prestasimu adalah kebanggaan kami! (gil)
Editor: Gilang Agusman
Prodi Akuntansi Universitas Malahayati Kunjungi PT Anindya Mitra Internasional Yogyakarta, Gali Pengalaman Nyata Akuntansi Biaya di Dunia Industri
Para dosen pendamping dalam kegiatan ini adalah: Muhammad Lutfi, S.E., M.Si (Ketua Prodi Akuntansi), Apip Alansori, S.E., M.Ak., CAPM, Hardini Ariningrum, S.E., M.Ak., CFRS, Eka Sariningsih, S.E., M.S.Ak, Kusnadi, S.E., M.Si, Iing Lukman, Ph.D.
Kunjungan tersebut disambut hangat oleh jajaran manajemen PT Anindya Mitra Internasional, sebuah perusahaan yang dikenal luas di bidang jasa inspeksi, verifikasi, dan sertifikasi, khususnya pada sektor migas, energi, manufaktur, pertambangan, serta industri lainnya. Lokasi perusahaan yang beralamat di Jl. Gedongkuning No. 4, Wonocatur, Banguntapan, Kabupaten Bantul, DIY menjadi tempat berlangsungnya kegiatan yang sarat akan pengetahuan ini.
Materi disampaikan dengan pendekatan praktis yang membuka cakrawala mahasiswa tentang bagaimana teori akuntansi biaya diterjemahkan ke dalam praktik nyata di dunia industri. Mahasiswa tampak antusias mengikuti sesi ini, yang dilanjutkan dengan diskusi interaktif dan sesi tanya jawab. Tidak sedikit dari mereka yang mengajukan pertanyaan kritis terkait prosedur pelaporan, efisiensi biaya, hingga tantangan audit dalam perusahaan jasa seperti PT Anindya Mitra Internasional.
1. Memberikan pengalaman langsung kepada mahasiswa mengenai pelaporan akuntansi biaya di industri nyata.
2. Meningkatkan pemahaman aplikatif terhadap teori akuntansi yang dipelajari di kampus.
3. Mendorong kesiapan mahasiswa dalam menghadapi dunia kerja yang dinamis dan penuh tantangan.
4. Membangun jejaring kerja sama antara kampus dengan dunia industri.
5. Mendorong interaksi aktif antara akademisi dan praktisi untuk membangun perspektif yang komprehensif tentang praktik akuntansi di lapangan.
Sebagai perusahaan nasional yang telah berdiri lebih dari dua dekade, PT Anindya Mitra Internasional memiliki reputasi kuat dalam menyediakan layanan pengujian mutu, kuantitas, hingga pelaporan teknis. Perusahaan ini berkomitmen pada integritas, profesionalisme, dan penerapan standar internasional dalam setiap layanannya, menjadikannya mitra terpercaya bagi berbagai perusahaan industri di Indonesia.
Kunjungan ini menjadi bukti nyata bahwa Universitas Malahayati terus berinovasi dalam meningkatkan kualitas pendidikan, tidak hanya melalui teori, namun juga melalui sentuhan langsung dengan praktik profesional di lapangan. Mahasiswa pun kembali ke kampus dengan membawa wawasan baru, semangat belajar yang lebih tinggi, serta kesiapan yang lebih matang untuk berkiprah di dunia profesional. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Sungai Itu Berrnama Musi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Tulisan ini dibuat saat menghadiri satu reuni lembaga pendidikan tempat penulis empat puluh lima tahun lalu mengabdi. Undangan dihadiri oleh murid-murid saat itu yang sekarang sudah pensiun seperti gurunya. Mereka gegap gempita mengundang dan menyambut gurunya yang sudah renta dan banyak yang sudah tiada. Acara diadakan ditepian Sungai Musi, sungai terbesar yang membelah Kota empek-empek ini. Beberapa puluh tahun lalu tepian sungainya kumuh, tempat berjualan pisang dan sebagainya, yang datang dari daerah-daerah penyanggah. Namun, kini daerah itu menjadi wilayah yang memiliki daya tarik wisata luar biasa. Oleh pemerintah kota daerah ini disulap sedemikian rupa menjadi indah, apalagi dimalam hari. Hanya sayangnya penamaannya menghilangkan unsur local, justru yang ditonjolkan nama asing. Mungkin maksud sipemberi nama agar menjadi “Go Internasional”. Itu sah-sah saja, apalagi semenjak Bandar Udara dikembalikan status Internasional, maka diharapkan turis manca negara akan datang ke sana. Sambil menikmati acara dan syahdunya malam, terbersit dalam pikiran betapa indahnya jika keindahan ini juga dinikmati oleh kalbu filsafat. Untuk itu penulis mencoba menembusnya dari sana.
Sungai Musi yang mengalir tenang membelah kota ini, membawa sejarah, budaya, kehidupan, dan kenangan masyarakat yang menggantungkan hidup padanya. Namun sungai bukan hanya aliran air yang memenuhi fungsi biologis atau ekologis. Dari sudut pandang filsafat manusia, sungai adalah simbol eksistensi, arus waktu, dan cermin relasi manusia dengan alam dan dirinya sendiri.
Filsafat eksistensialisme, memandang manusia sebagai makhluk yang “dilempar” ke dunia tanpa pilihan, lalu ditantang untuk memberi makna pada hidupnya melalui tindakan dan kesadarannya. Begitu pula dengan Sungai Musi. Ia ada, mengalir tanpa permisi, menjadi bagian tak terelakkan dari eksistensi masyarakat Palembang. Keberadaannya bukan hasil pilihan manusia, tetapi suatu fakta yang harus dihadapi dan dijalani. Sungai Musi adalah “ada” dalam bentuk paling nyata: tak terelakkan, memberi kehidupan, sekaligus bisa menjadi sumber malapetaka bila manusia tak menghargai keberadaannya. Sungai Musi bukan hanya “ada” dalam pengertian fisik. Ia juga hadir dalam kesadaran manusia. Ia menjadi tempat beraktivitas, tempat mencari nafkah, tempat menyatu dengan alam, bahkan menjadi bagian dari identitas kultural. Dalam hal ini, Sungai Musi adalah titik temu antara eksistensi alam dan eksistensi manusia. Ia menjadi medan pencarian makna.
Ketika manusia memandang Sungai Musi dan merenungi keberadaannya, sesungguhnya ia sedang memandang dirinya sendiri. Mengapa kita ada, Untuk apa kita hidup, Ke mana kita akan mengalir seperti sungai itu. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial itu mengalir bersama arus Musi, membawa manusia untuk merefleksikan hakikat keberadaannya di dunia ini.
Seorang fenomenolog mengajarkan pentingnya “kembali kepada benda itu sendiri”; maknanya, kita harus menyadari pengalaman-pengalaman kita sebagaimana adanya, tanpa prasangka atau bias. Dalam konteks ini, bagaimana kita menatap Sungai Musi? Apakah kita hanya melihatnya sebagai objek fisik yang mengalir dari hulu ke hilir, ataukah kita merasakannya sebagai bagian dari pengalaman hidup yang penuh makna.
Bagi nelayan yang menggantungkan hidup dari sungai, Musi bukan sekadar aliran air. Ia adalah mitra hidup, ruang kerja, tempat harapan dan kecemasan bertemu. Bagi anak-anak yang bermain di tepian sungai, Musi adalah taman bermain, dunia petualangan. Bagi para tetua yang memandang dari jendela rumah panggung, sungai adalah memori, tempat kenangan masa muda mengendap di dasar airnya.
Fenomenologi mengajak kita untuk menghargai dimensi subyektif dari pengalaman manusia dengan Sungai Musi. Ia bukan hanya fenomena alam, tetapi juga fenomena kesadaran. Dalam dirinya, terkandung aroma pagi yang lembab, suara percikan air dayung, sorot mata nelayan yang mengintip rejeki, serta nyanyian biduk-biduk yang melaju pelan.
Setiap pengalaman dengan Sungai Musi adalah pengalaman eksistensial yang utuh, yang tak bisa direduksi menjadi data ilmiah semata. Ia adalah pengalaman tubuh, rasa, dan jiwa. Ia menyentuh kita bukan hanya lewat pandangan mata, tetapi melalui pengalaman yang dihidupi. Sungai Musi terus mengalir. Tidak pernah diam. Dalam filsafat Herakleitos, sang filsuf Yunani Kuno, sungai adalah simbol dari ketidaktetapan. “Kita tidak bisa masuk ke sungai yang sama dua kali,” katanya, karena air yang mengalir akan selalu berbeda.
Sungai Musi pun demikian. Air yang kita lihat pagi ini bukan lagi air yang sama saat senja. Di dalam arusnya, Musi menyimpan kesadaran tentang waktu yang memberi penanda bahwa segala sesuatu mengalir, berubah, dan tak kekal. Kesadaran ini penting dalam filsafat manusia, terutama dalam menyadari keterbatasan hidup. Bahwa manusia, seperti sungai, mengalir dari kelahiran menuju kematian. Bahwa setiap hari yang kita lewati adalah satu gerakan dalam arus waktu yang tak bisa diulang. Bahwa kesementaraan hidup adalah hakikat, bukan kelemahan.
Namun, dalam arus itu pula terdapat harapan. Karena seperti sungai yang terus mengalir dan memberi kehidupan, manusia pun bisa terus bergerak, mencipta makna baru, dan menyuburkan kehidupan di sepanjang alirannya. Dengan memahami Sungai Musi sebagai simbol waktu, kita diajak untuk tidak lengah; bahwa hidup adalah perjalanan yang mesti dijalani dengan kesadaran penuh.
Bagi orang Palembang, Musi bukan hanya sungai semata, karena dia juga adalah identitas. Dalam dialek lokal, dalam makanan khas, dalam rumah-rumah panggung di tepinya, Musi hadir sebagai roh kehidupan. Jembatan Ampera yang membelahnya bukan hanya infrastruktur, tetapi simbol persatuan dua sisi kota yang berbeda, layaknya relasi manusia yang harus dipersatukan oleh nilai-nilai.
Dalam sejarah, Musi adalah nadi Kerajaan Sriwijaya, pusat perdagangan maritim, tempat bertemunya budaya, bahasa, dan agama. Menafsirkan Sungai Musi adalah menafsirkan akar peradaban nusantara yang terbuka dan kosmopolit.
Sungai Musi. Ia mengalir tanpa banyak bicara, tetapi menyimpan sejuta kisah dan makna. Dari sudut pandang filsafat manusia, Musi adalah guru yang tidak pernah berhenti mengajarkan tentang eksistensi, waktu, makna, etika, dan spiritualitas. Di tengah dunia yang makin tergesa, Musi mengajak kita untuk berhenti sejenak di tepinya, merenung, dan bertanya: apakah kita masih menjadi manusia yang mampu menyatu dengan alam? Ataukah kita telah tercerabut dari akar eksistensi kita?, mari kita jawab dengan jujur dan tidak harus bertanya pada rumput yang bergoyang. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Menambal Langit Menguras Lautan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada saat melakukan perjalanan singkat ke pusat Kerajaan Sriwijaya, melalui jalan bebas hambatan, dari kejauhan tampak spektrum langit yang melengkung membentuk cakrawala. Cuaca pagi yang cerah dan indah itu, tampak di atas sana ada awan berarak. Dan, para petani membaca tanda langit seperti itu musim kemarau sudah tiba. Namun kenyataannya setiap sore hujan turun, terkadang sangat deras. Orang Jawa bilang kondisi seperti ini disebut “salah mongso” atau terjemahan bebasnya salah masa. Semua ini terjadi diyakini akibat ulah manusia, karena ingin “Menambal langit, menguras lautan”.
Tampak sekilas dua pekerjaan itu mustahil dilakukan dalam arti harfiah. Namun jika memaknainya dari konsep pandang filsafat manusia, hal itu jadi berbeda maknanya.
Di zaman modern ini, manusia seperti sedang sibuk menambal langit dan menguras lautan. Maksudnya kita ingin memperbaiki segala hal yang menurut kita rusak, termasuk mengendalikan cuaca, mengatur atmosfer, memantau langit dengan satelit; sekaligus terus mengambil hasil laut, menggali kekayaan alam, dan mencemari samudra. Dua tindakan ini bukan sekadar soal teknologi dan ekologi. Bagi kita sebagai umat Islam, ini mencerminkan kondisi ruhani manusia yang sedang sakit: tidak sabar, los kontrol, dan kehilangan arah.
Hari ini kita hidup di dunia yang begitu “sibuk”. Kita sibuk menambal langit; dengan proyek geo-engineering, satelit, sistem pemantauan iklim global, seolah langit tak lagi suci, tapi rusak dan harus diperbaiki. Di waktu yang sama, kita menguras lautan dengan cara memanen kekayaan samudra tanpa batas, mengebor dasar laut, dan membuang limbah ke perairan yang dulu kita muliakan.
Bagi para filsuf Muslim modern, ini bukan sekadar masalah ekologi. Ini adalah cermin dari krisis peradaban dari manusia yang sudah melupakan tempatnya dalam tatanan kosmik. Dunia yang rusak adalah akibat dari kerusakan makna, dari manusia yang tak lagi melihat alam sebagai ayat atau tanda dari Tuhan, akan tetapi sekadar objek eksploitasi.
Menurut Seyyed Hossein Nasr, filsuf Islam kontemporer asal Iran, kerusakan ekologi modern adalah krisis sakralitas. Kita sudah tidak lagi melihat alam sebagai sesuatu yang suci. Alam yang tadinya memiliki makna spiritual telah direduksi menjadi objek sains dan ekonomi. Langit yang dahulu mengingatkan manusia pada keagungan Tuhan kini dianggap sebagai ruang kosong yang bisa ditambal sesuka hati. Lautan yang dahulu disucikan karena menjadi asal kehidupan, kini diperlakukan seperti lubang tak berdasar yang bisa dikuras.
Dalam kosmologi tradisional Islam, segala sesuatu memiliki maqam (tingkatan) dan hakikat (realitas batiniah). Manusia adalah khalifah, bukan pemilik absolut bumi. Ketika manusia menyalahgunakan perannya, ia merusak tatanan kosmik yang telah diciptakan Allah secara sempurna.
Menambal langit dan menguras lautan adalah bentuk dari “fitnah ilmu tanpa adab”. Ilmu pengetahuan dikembangkan tanpa panduan maknawi. Hasilnya adalah eksploitasi atas ciptaan Tuhan demi kepentingan manusia semata. Filsuf Islam klasik seperti Mulla Sadra bahkan menekankan bahwa wujud itu bergradasi (tashkik al-wujud). Artinya, langit dan laut bukan benda mati, tapi bagian dari struktur wujud yang hidup dan memiliki kesadaran tersendiri dalam tingkatnya. Dalam pandangan ini, ketika manusia menyakiti langit dan laut, ia sejatinya menyakiti bagian dari jiwanya sendiri, karena seluruh alam adalah cermin dari manusia sebagai mikrokosmos.
Salah satu ciri manusia modern adalah kesombongan epistemologis. Kita yakin semua hal bisa dikendalikan dan diukur. Langit bisa ditambal dengan sains. Lautan bisa dikuras dengan teknologi. Tetapi kita lupa bahwa ada batas-batas spiritual dan etis yang tak bisa ditembus hanya dengan rasionalitas. Pemikiran filsafat Islam kontemporer mengajak kita untuk mengembalikan kesadaran sakral. Artinya, kita tidak hanya bertanya: “Apa yang bisa kita eksploitasi dari langit dan laut” tetapi juga, “Apa makna langit dan laut dalam hidup kita sebagai makhluk Tuhan”
“Menambal langit” dan “menguras lautan” adalah metafora tentang krisis arah hidup manusia modern. Kita mencoba menutupi apa yang sebenarnya harus kita renungi. Kita menguras karena kita kehilangan rasa cukup. Filsafat Islam kontemporer menawarkan solusi dengan cara mengembalikan makna hidup kepada Tuhan. Hanya dengan itu, langit bisa kembali terbuka sebagai tanda keagungan, dan laut bisa tetap dalam sebagai tempat kehidupan. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh al-Akbar Ibn Arabi: “Alam ini adalah Al-Qur’an terbuka. Barangsiapa tidak membacanya dengan hatinya, maka ia akan merusaknya dengan tangannya.” Oleh sebab itu manusia harus kembali belajar membaca langit dan laut, bukan hanya dengan data, akan tetapi juga dengan hikmah. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Katakan “Cukup”
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menyimak diksi yang keluar dari mulut seorang mantan Menteri Luar Negeri negeri ini, yang kebetulan seorang wanita, saat ditanya reporter dalam satu acara mengenai apa lagi yang akan dilakukan setelah tidak menjadi menteri. Beliau menjawab “Cukup”. Dan, diksi ini mengandung makna yang sangat dalam bagi mereka penggemar pengkaji filsafat, terutama filsafat manusia. jika kita kaji secara mendalam diksi cukup, bukan sekedar mewakili keberhentian dari suatu perjalanan. Namun, diksi ini memiliki maknawi yang sangat mendalam. Berbekal literature digital dan konvensional, maka kajian ini dapat kita dedah sebagai berikut.
Manusia adalah makhluk yang memiliki hasrat tak terbatas di dalam dunia yang terbatas. Hasrat untuk memiliki, mengetahui, menguasai, dan bahkan menaklukkan, merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk berkesadaran. Di tengah derasnya arus konsumsi, materialisme, dan kemajuan teknologi, manusia sering terperangkap dalam ilusi bahwa kebahagiaan terletak pada akumulasi: semakin banyak, semakin baik. Namun, di balik semangat untuk memiliki lebih, muncul pertanyaan mendalam dari ranah filsafat manusia: kapankah kita akan berkata “cukup”.
Ungkapan “katakan cukup” bukan hanya seruan moral atau sosial, tetapi menyentuh akar terdalam eksistensi manusia. Ia menantang ego, kehendak, dan bahkan konsep makna hidup itu sendiri. Dalam filsafat manusia, tema ini menyentuh batas-batas eksistensial yang menghubungkan antara kebebasan, tanggung jawab, dan kesadaran diri.
Filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche menekankan bahwa manusia adalah makhluk kehendak. Sartre menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi”, artinya manusia membentuk dirinya sendiri melalui pilihan-pilihan yang diambil. Namun, di balik kebebasan memilih itu, tersimpan paradox, yaitu: semakin banyak pilihan, semakin sulit manusia berkata cukup.
Pada masyarakat modern, pilihan hidup tampak tak terbatas; dari makanan, pekerjaan, hingga identitas sosial. Akibatnya, manusia mudah terjebak dalam kebingungan eksistensial. Ketika kehendak tidak dibatasi oleh kesadaran akan “cukup”, manusia jatuh dalam absurditas, sebagaimana digambarkan oleh Albert Camus dalam “The Myth of Sisyphus”. Manusia menjadi seperti Sisyphus: terus mendorong batu ke atas gunung, hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Oleh sebab itu, berkata “cukup” adalah tindakan sadar untuk membatasi kehendak. Ia bukan bentuk kekalahan, melainkan kemenangan atas hasrat yang menguasai. Dengan berkata cukup, manusia merebut kembali kendali atas dirinya dan memasuki wilayah kebijaksanaan.
Sedangkan dalam filsafat moral, pertanyaan tentang “cukup” menyentuh pada keadilan dan tanggung jawab sosial. Ketika seseorang memiliki lebih dari yang dibutuhkan, sementara yang lain kekurangan, maka akumulasi menjadi bentuk ketidakadilan. Filsuf seperti Emmanuel Levinas menekankan pentingnya wajah orang lain sebagai panggilan etis bagi kita. Kehadiran yang lain menuntut kita untuk membatasi diri, untuk berkata cukup. Oleh sebab itu dalam konteks ini, “cukup” menjadi wujud kepekaan etis terhadap dunia. Ia menolak kerakusan dan mendorong distribusi yang adil. Dalam dunia yang dilanda krisis ekologis dan kesenjangan sosial yang akut, “cukup” adalah seruan revolusioner. Ia bukan sekadar ajakan untuk hidup sederhana, tetapi panggilan untuk bertindak secara bertanggung jawab.
Filsuf Epictetus dan Seneca bahkan lebih tegas berkata bahwa: kebahagiaan sejati lahir dari penguasaan diri. Mereka percaya bahwa orang yang mampu berkata cukup adalah orang yang paling merdeka. Kekayaan tidak menjamin kebebasan; pengendalian hasratlah yang membawa ketenangan batin. Dengan demikian, “cukup” bukan kekurangan, tetapi kekuatan batin yang luhur.
Manusia, meskipun memiliki kehendak dan akal budi, tetaplah makhluk yang terbatas. Ia tidak abadi, tidak mahakuasa, dan tidak serba tahu. Namun, modernitas sering membangun narasi bahwa manusia bisa melampaui batas-batas ini: hidup lebih lama, lebih pintar, lebih cepat, lebih kaya. Transhumanisme bahkan bercita-cita menghapus kematian. Tetapi di balik semua ini, muncul pertanyaan eksistensial: apakah hidup tanpa batas itu benar-benar hidup manusiawi. Pertanyaan besar ini belum terjawabkan sampai tulisan ini diluncurkan.
Martin Heidegger dalam Being and Time berbicara tentang konsep “menjadi menu menuju kematian.” Artinya, kesadaran akan kematian memberi makna pada hidup. Justru karena hidup terbatas, maka ia berarti. Maka berkata cukup adalah bentuk penerimaan akan kefanaan. Itu bukan sikap pasif, tetapi keberanian untuk mengakui batas dan hidup secara otentik dalam bingkai batas itu. Oleh sebab itu “Cukup” dalam konteks ini adalah pengakuan akan kemanusiaan kita. Kita tidak bisa memiliki segalanya, tidak bisa menjadi segalanya. Dan itu tidak masalah. Karena makna hidup tidak terletak pada banyaknya hal yang kita capai, tetapi pada cara kita hidup dan mencintai di tengah keterbatasan itu. “Cukup” adalah jembatan menuju kontemplasi. Ia mengajarkan bahwa tidak semua hal perlu dikejar. Ada kebahagiaan dalam diam, dalam keberadaan itu sendiri. Ketika manusia mampu berkata cukup, ia tidak hanya menguasai dunia, tetapi juga menguasai dirinya.
Pada budaya kontemporer yang dibentuk oleh logika pasar dan konsumsi. Dari iklan, media sosial, hingga budaya kerja, semuanya mendorong manusia untuk merasa kurang, untuk terus membeli, bekerja, dan berprestasi. Dalam kondisi ini, “cukup” dianggap sebagai tindakan subversif. Ketika seseorang berkata cukup terhadap jam kerja yang tidak manusiawi, ia sedang memperjuangkan martabat. Ketika seseorang berkata cukup terhadap gaya hidup konsumtif, ia sedang menyatakan nilai-nilai alternatif. Dalam masyarakat yang terus meneriakkan “lebih, lebih, lebih”, berkata cukup adalah bentuk perlawanan budaya.
Filsafat manusia mengajarkan bahwa kita tidak hidup sebagai individu terpisah, tetapi sebagai bagian dari komunitas. Oleh karena itu, pilihan untuk berkata cukup juga berdampak sosial. Ia bisa menjadi gerakan bersama untuk menata ulang nilai-nilai hidup kita: dari kompetisi ke kolaborasi, dari keserakahan ke kepedulian.
Banyak diantara kita mengira bahwa kebebasan adalah kemampuan untuk memilih tanpa batas. Namun, kebebasan sejati bukanlah terletak pada jumlah pilihan, tetapi pada kemampuan untuk mengatakan tidak. Dalam hal ini, berkata cukup adalah bentuk tertinggi dari kebebasan. Manusia yang mampu berkata cukup adalah manusia yang bebas dari ketergantungan, dari ilusi, dari dorongan eksternal. Ia telah sampai pada titik di mana makna hidup tidak lagi ditentukan oleh apa yang dimiliki, tetapi oleh siapa ia menjadi. Di sinilah letak kedewasaan eksistensial.
Dalam dunia yang bergerak cepat seperti saat ini, di mana keserakahan dirayakan dan kesederhanaan diabaikan, berkata cukup adalah tindakan radikal. Ia adalah bentuk kejujuran terdalam terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap dunia. Ia bukan pengingkaran terhadap potensi manusia, tetapi pengakuan bahwa potensi itu mesti dijalankan dalam batas-batas yang manusiawi. Pada akhirnya, mungkin pertanyaan yang paling manusiawi bukanlah “apa lagi yang bisa saya dapatkan”, tetapi “apa yang benar-benar penting untuk saya jaga” Dan di sanalah, di tengah kesadaran itu, kita mungkin akan menemukan bahwa hidup ini, dengan segala keterbatasannya, sudah cukup. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Qori Ramadani Suryani Raih Juara 1 Pencak Silat POMPROV Lampung 2025, Siap Melaju ke POMNAS
Kejuaraan bergengsi antar mahasiswa se-Provinsi Lampung ini menjadi ajang pembuktian kemampuan dan ketangguhan Qori di atas gelanggang. Dengan teknik yang matang dan semangat juang yang tinggi, ia berhasil mengalahkan para pesaingnya dan berdiri di podium tertinggi.
“Alhamdulillah, saya sangat bersyukur kepada Allah SWT atas kesempatan dan kemenangan ini. Terima kasih kepada keluarga, para dosen, teman-teman, sahabat, dan terutama pelatih saya yang selalu mendukung dan membimbing dengan penuh kesabaran. Kemenangan ini bukan hanya milik saya, tetapi milik kita semua,” ungkap Qori penuh haru.
Tak berhenti di sini, kemenangan ini juga mengantarkan Qori untuk melaju ke ajang yang lebih tinggi, yaitu Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS) yang akan datang. Sebuah kesempatan emas yang akan ia manfaatkan dengan maksimal.
“Saya akan berlatih lebih giat dan terus berdoa tanpa henti agar bisa memberikan hasil terbaik di POMNAS nanti. Ini adalah awal dari perjuangan yang lebih besar,” tambahnya penuh semangat.
Qori juga membagikan pesan inspiratif untuk semua mahasiswa dan pejuang olahraga:
“Untuk kalian yang sedang berjuang, jangan pernah menyerah. Untuk kalian yang belum berhasil, percayalah itu bukan akhir. Dan untuk kalian yang sudah menjadi juara, tetaplah rendah hati dan terus berlatih. Jangan mudah puas. Lawan rasa takutmu dan lanjutkan perjuanganmu.”
Capaian Qori ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul dalam akademik, tetapi juga mampu bersinar di kancah olahraga. Prestasi ini tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi kampus dan menjadi motivasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berkembang dan berprestasi.
Selamat kepada Qori Ramadani Suryani atas pencapaian luar biasa ini. Semoga sukses dan kemenangan senantiasa menyertai di setiap langkah ke depan! (gil)
Editor: Gilang Agusman
Lapar Lahan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat berkendaraan di jalan bebas hambatan Sumatera menuju arah Sumatera Selatan, untuk beberapa saat terserang rasa kantuk luar biasa, terpaksa mencari areal istirahat guna menyegarkan kembali tubuh. Ternyata kantuk yang luarbiasa menyerang itu disebabkan oleh makan pagi yang melebihi kebiasaan. Dan, jadi ingat ungkapan lama kalau kenyang ngantuk. Pertanyaan tersisa apakah kengantukan ini memang disebabkan oleh kenyang, jika ya, pantas saja mereka mereka yang kekenyangan itu berkecenderungan kehilangan daya kritis. Akhirnya jadi tertarik ingin menulis tema ini menjadi judul seperti di atas.
Berdasarkan penelusuran perpustakaan digital ditemukan informasi bahwa ungkapan “lapar ngamuk, kenyang ngantuk” lazim terdengar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Ungkapan ini sederhana, namun menyimpan paradoks eksistensial yang dalam. Ia menyiratkan betapa rentannya manusia terhadap dorongan biologis: lapar memicu amarah, dan kenyang menimbulkan kantuk. Tetapi, apakah manusia hanyalah makhluk reaktif terhadap kondisi fisik.
Dalam terang filsafat manusia, ungkapan ini membuka ruang refleksi tentang pertarungan etis yang senantiasa berlangsung dalam diri manusia: antara dorongan naluriah dan tuntutan kesadaran moral. Tulisan ini mencoba memahami bagaimana lapar dan kenyang, sebagai dua kondisi dasar biologis manusia, dapat menjadi arena pertempuran nilai, akal, dan spiritualitas.
Lapar adalah sinyal alami tubuh yang menunjukkan kebutuhan akan energi. Namun dalam laku keseharian, lapar kerap menjadi pemicu emosional. Orang bisa mudah tersinggung, marah, bahkan berbuat kasar saat lapar. Dalam pemikiran Aristoteles, manusia memiliki tiga jenis jiwa: vegetatif, sensitif, dan rasional. Lapar muncul pada tataran vegetative, bagian yang kita warisi dari hewan. Tetapi yang membuat manusia unik adalah kapasitasnya mengendalikan nafsu vegetatif dengan nalar. Ini sekaligus menjadi pembeda dari mahluk lain.
Ketika seseorang “ngamuk saat lapar”, ia sedang menunjukkan dominasi insting atas rasio. Jean-Paul Sartre menyebut bahwa manusia adalah makhluk beba s, tetapi kebebasan itu tak serta-merta aktual. Hanya ketika kita sadar dan memilih, kita menjadi manusia seutuhnya. Maka, kemarahan yang lahir dari rasa lapar bisa dilihat sebagai kegagalan dalam mengaktualkan kebebasan eksistensial, dan itu adalah sebuah kekalahan dalam pertarungan etis antara kesadaran dan naluri.
Namun, tidak semua kemarahan akibat lapar bersifat personal. Dalam kondisi sosial tertentu, lapar bisa jadi adalah produk ketidakadilan struktural. Filsuf kontemporer seperti Slavoj Žižek menegaskan bahwa reaksi emosional atas kelaparan dapat menjadi ekspresi politik, bukan semata instink. Maka, konteks menjadi penting: apakah “ngamuk” adalah gejala pribadi, atau jeritan sosial yang lahir dari penderitaan yang bersifat sistemik.
Sebaliknya, kenyang memberi efek menenangkan. Perut penuh membawa rasa puas, lalu tubuh menyerah pada rasa kantuk. Namun kenyang yang berujung malas bisa menjadi jebakan eksistensial. Dalam pandangan Plato, terlalu larut dalam kesenangan jasmani menjauhkan manusia dari dunia ide yang murni dan sempurna. Kantuk pasca makan bukan hanya bentuk istirahat, tetapi simbol kejatuhan kesadaran jika tidak dikendalikan.
Nietzsche lebih tegas lagi. Ia mengecam mentalitas nyaman yang membawa manusia pada stagnasi. Bagi Nietzsche, manusia unggul adalah mereka yang sanggup menaklukkan rasa nyaman, menolak ketenangan yang membuat lemah. Maka, kantuk setelah kenyang bisa dibaca sebagai bentuk menyerah pada kenikmatan yang membius, mengaburkan tujuan hidup yang lebih tinggi.
Sementara itu dalam perspektif spiritualitas Islam, Al-Ghazali membagi jiwa menjadi beberapa tingkatan. Nafsu makan dan kantuk berada di level nafs ammarah; atau jiwa yang condong pada keburukan. Tapi manusia tidak berhenti di sana. Ia memiliki ‘aql (akal) dan qalb (hati), yang dapat menahan nafs dan mengarahkan manusia menuju nafs mutma’innah atau jiwa yang tenang dan suci. Maka, kenyang dan kantuk bukan masalah perut semata, tapi medan tempur bagi kemurnian jiwa.
Esensi dari ungkapan “lapar ngamuk, kenyang ngantuk” adalah ketegangan antara dua kutub dalam diri manusia, yaitu antara kesadaran dan naluri. Pertarungan ini adalah inti dari keberadaan manusia sebagai makhluk moral. Di satu sisi, tubuh menuntut; di sisi lain, akal mengarahkan. Martin Heidegger, melalui konsep Dasein, menyatakan bahwa manusia bukan sekadar ada, tetapi menyadari keberadaannya. Dalam setiap kondisi biologis lapar atau kenyang, ada peluang untuk menguak makna eksistensial. Jika kita memilih ngamuk, itu adalah pilihan eksistensial; jika kita memilih sabar, itu pun pilihan yang menentukan siapa kita. Di titik inilah etika dan eksistensi bertemu.
Sedangkan Immanuel Kant, dengan prinsip imperatif kategorisnya, menekankan bahwa manusia harus bertindak berdasarkan prinsip yang bisa dijadikan hukum universal. Mengamuk karena lapar tidak bisa dijadikan prinsip etis, karena jika semua orang melakukannya, kekacauan akan terjadi. Maka, kendali diri bukan hanya kebaikan personal, tapi juga tanggung jawab sosial.
Berbeda dengan Maurice Merleau-Ponty yang menggunakan pendekatan fenomenologis bahwa tubuh bukan sekadar objek, melainkan subjek yang mengalami dunia. Lapar dan kenyang adalah pengalaman eksistensial yang membentuk kesadaran kita. Dalam rasa lapar, kita menyadari keterbatasan kita; dalam kenyang, kita diingatkan akan kecenderungan untuk larut dalam kenikmatan. Tubuh, dalam hal ini, bukan lawan akal, tapi cermin tempat akal bercermin.
Kesimpulan yang dapat kita ambil bahwa Lapar dan kenyang adalah takdir biologis manusia. Tetapi bagaimana manusia merespons keduanya adalah ruang kebebasan dan moralitas. “ngamuk” dan “ngantuk” bukan keharusan, tapi pilihan. Di sanalah pertarungan etis itu berlangsung, yaitu di antara bisikan tubuh dan panggilan jiwa.
Ungkapan “lapar ngamuk, kenyang ngantuk” seharusnya tidak dimaknai sebagai nasib, melainkan sebagai tantangan. Mampukah kita mengubahnya menjadi: “Lapar sabar, bukan ngamuk”, “Kenyang bersyukur, bukan lalai.” Dengan demikian, manusia tidak tunduk pada nalurinya, tapi mentransformasikannya menjadi jalan kebajikan. Karena pada akhirnya, menjadi manusia bukan soal kenyang atau lapar, tetapi bagaimana kita menyikapi keduanya dengan kebijaksanaan. Orang bijak pernah berpesan “berhentilah makan sebelum kenyang” sebagai pengingat dini pada kita agar tidak berlebihan dalam segala hal. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Sinergi Akademik Antar Perguruan Tinggi, Kunjungan Studi dan Kerja Sama Program Studi Akuntansi Universitas Malahayati ke UPN Veteran Yogyakarta
Kegiatan ini berlangsung di kampus UPN yang terletak di Jl. Padjajaran (Lingkar Utara), Condongcatur, Sleman, Yogyakarta, dan diikuti oleh 216 mahasiswa Akuntansi angkatan 2023 Universitas Malahayati. Rombongan tiba dengan lima bus dan didampingi oleh enam dosen pembimbing: Muhammad Lutfi, S.E., M.Si selakuKetua Program Studi Akuntansi, Apip Alansori, S.E., M.Ak., CAPM, Hardini Ariningrum, S.E., M.Ak., CFRS, Eka Sariningsih, S.E., M.S.Ak, Kusnadi, S.E., M.Si, Iing Lukman, Ph.D
Sesampainya di kampus UPN, para mahasiswa disambut hangat oleh pihak tuan rumah dan diarahkan untuk mengikuti kuliah umum yang dibagi menjadi dua sesi kelas paralel. Materi pertama mengangkat tema “Data Analytic” yang disampaikan oleh Anindiyo Aji Susanto, S.E., M.Sc., S.Ak., membahas teknik pengolahan dan analisis data guna mendukung proses pengambilan keputusan dalam bidang akuntansi dan bisnis. Sesi ini menekankan pentingnya keterampilan analitik dalam menghadapi tantangan dunia kerja yang berbasis data.
Sementara itu, sesi kedua menghadirkan Siti Rokhimah, S.Pd., M.Acc yang membawakan materi “Akuntansi Keuangan Daerah”. Materi ini memberikan pemahaman tentang standar pelaporan, mekanisme pengelolaan anggaran, serta tantangan dan praktik terbaik dalam pengelolaan keuangan pemerintahan daerah.
Di sisi lain, para dosen dari Universitas Malahayati mengadakan pertemuan tertutup dengan pihak Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN. Pertemuan resmi ini dibuka oleh Wakil Dekan Akademik UPN, Dr. Sri Hastuti, S.E., M.Si., Ak., CA serta Ketua Jurusan Akuntansi UPN, Dr. Kusharyati, S.E., M.Si., Ak., CA. Dalam diskusi hangat tersebut, kedua pihak sepakat untuk menjalin kerja sama strategis dalam berbagai bidang, antara lain; pengembangan dan penyelarasan kurikulum, kolaborasi penelitian ilmiah, program pertukaran mahasiswa dan dosen, kegiatan pengabdian kepada masyarakat berbasis keilmuan akuntansi.
Acara ditutup dengan sesi foto bersama dan penyerahan cinderamata sebagai bentuk apresiasi dan simbol terjalinnya kemitraan akademik yang kuat
Kegiatan ini dirancang dengan sejumlah tujuan strategis, di antaranya; Meningkatkan kompetensi akademik mahasiswa melalui materi yang aplikatif dan sesuai perkembangan dunia kerja, memperluas wawasan mahasiswa dalam bidang analitik data serta keuangan daerah yang kini menjadi fokus dalam pengelolaan tata kelola publik, menjalin kemitraan kelembagaan yang mendukung pengembangan pendidikan tinggi yang berkualitas dan responsif terhadap kebutuhan industri, mendorong kolaborasi riset dan publikasi ilmiah dosen sebagai bagian dari peningkatan mutu Tri Dharma Perguruan Tinggi, memberikan ruang untuk pertukaran pengalaman akademik guna memperkuat profesionalisme tenaga pendidik, membuka peluang kolaboratif lintas institusi dalam rangka membentuk generasi akuntan yang adaptif dan berdaya saing global.
Melalui kegiatan ini, Universitas Malahayati menunjukkan komitmennya dalam menghadirkan pengalaman belajar yang tidak hanya teoritis, tetapi juga kontekstual dan relevan dengan tantangan zaman. Diharapkan, sinergi yang terjalin antara Universitas Malahayati dan UPN Veteran Yogyakarta akan terus berkembang dan memberi kontribusi nyata bagi kemajuan pendidikan akuntansi di Indonesia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Teknik Industri Universitas Malahayati Raih Juara 3 dalam Bhayangkara Boxing Clash 2025
Kejuaraan ini digelar dalam rangka memeriahkan Hari Bhayangkara ke-79, dan menjadi ajang bergengsi yang mempertemukan para petinju tangguh dari berbagai daerah. Dengan semangat juang tinggi dan persiapan matang, Carles tampil impresif di atas ring, menghadirkan pertandingan yang memukau para penonton dan juri.
Meski belum meraih posisi puncak, keberhasilan Carles meraih podium ketiga merupakan pencapaian luar biasa yang patut dibanggakan. Dalam keterangannya, Carles menyampaikan rasa syukur dan semangatnya untuk terus berkembang:
“Saya merasa sangat beruntung bisa mengikuti kejuaraan nasional yang bergengsi seperti ini. Ini menjadi pengalaman luar biasa untuk saya bisa tampil lebih baik ke depannya. Karena bagi saya, lebih baik berdarah saat latihan daripada saat bertanding,” ujar Carles dengan penuh semangat.
Prestasi ini menunjukkan bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga aktif dalam mengasah potensi diri di dunia olahraga, khususnya olahraga keras dan penuh disiplin seperti tinju. Semangat pantang menyerah yang ditunjukkan Carles menjadi inspirasi bagi rekan-rekan mahasiswa lainnya untuk tidak ragu menantang diri dan berani keluar dari zona nyaman.
Pihak kampus menyampaikan apresiasi tinggi kepada Carles Erlangga atas perjuangan dan pencapaiannya. Diharapkan keberhasilan ini dapat menjadi pemicu semangat baru bagi mahasiswa Universitas Malahayati untuk terus berprestasi di berbagai bidang.
Selamat kepada Carles Erlangga! Terus kobarkan semangat juangmu, dan raih prestasi yang lebih tinggi di masa mendatang. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Kembali Jadi Mitra Strategis BRIN dan BNN dalam Survei Gaya Hidup Masyarakat Indonesia 2025
Hadir mewakili Universitas Malahayati, Wakil Rektor I, Prof. Dessy Hermawan, Ns., M.Kes, didampingi oleh sejumlah pimpinan universitas, antara lain Kepala dan Wakil Lembaga Penjaminan Mutu Internal (LPMI), Kepala Humas dan Protokol, serta Wakil Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM).
“Alhamdulillah, Universitas Malahayati kembali dipercaya menjadi mitra dalam kegiatan survei nasional ini. Ini adalah bentuk nyata kontribusi kami terhadap upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat Indonesia,” ungkap Prof. Dessy.
Lebih lanjut, ia menambahkan bahwa keterlibatan kampus dalam kegiatan ini tidak hanya mendukung program pemerintah, tetapi juga membuka ruang bagi sinergi antara dosen, mahasiswa, dan alumni untuk berkontribusi secara langsung dalam kegiatan riset dan pengabdian kepada masyarakat (PkM).
“Saya libatkan banyak dosen, alumni, dan mahasiswa dalam kegiatan survei ini. Selain menambah wawasan dan pengalaman lapangan, ini juga menjadi bentuk penguatan atmosfer akademik yang kondusif dan kolaboratif,” tambahnya.
Kegiatan yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari peneliti BRIN, peneliti BNN, hingga para akademisi, diharapkan mampu menghasilkan potret yang komprehensif mengenai dinamika gaya hidup masyarakat Indonesia di tengah tantangan zaman.
Kerja sama ini juga menegaskan posisi Universitas Malahayati sebagai salah satu institusi pendidikan tinggi yang adaptif, proaktif, dan siap menjadi mitra strategis pemerintah dalam bidang riset, inovasi, dan pembangunan masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman