Ikut atau Bawa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Salah seorang pemuka agama terkenal berceramah di muka jamaahnya, dan beliau berkata bahwa saat kita meninggal salah satu yang ikut adalah amal kita. Beliau membedakan antara ikut dan membawa: “Saat kita meninggal, amal akan ikut kita, baik yang baik maupun yang buruk. Jika bisa membawa, tentu kita akan pilih yang baik saja.” Kalimat ini terdengar seperti nasihat, tetapi jika direnungkan lebih dalam, ia adalah cermin bagi siapa pun yang hidup dan sadar bahwa setiap hari adalah ladang amal.

Berdasarkan penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa; amal, dalam makna yang luas, adalah segala bentuk perbuatan yang tampak maupun tersembunyi, yang ringan maupun berat, yang disengaja maupun tidak disengaja. Setiap tindakan manusia menyisakan jejak, dan jejak itu tidak lenyap ketika kita meninggal. Ia justru “mengikuti” kita, menjadi semacam identitas abadi yang dibawa menuju akhirat atau jika ingin lebih universal, menjadi warisan moral yang tercatat dalam sejarah keberadaan kita.

Kita sering berpikir bahwa kita adalah makhluk bebas yang bisa memilih apa saja dalam hidup. Namun kematian membatasi kebebasan itu. Saat tubuh kita ditinggalkan jiwa, tidak ada lagi ruang untuk memilih, yang bisa kita lakukan hanyalah menerima bahwa amal perbuatan kitalah yang menyertai perjalanan itu, baik amal baik maupun amal buruk. Itulah mengapa bagian kedua dari ungkapan itu begitu menggelitik nurani: “Jika bisa membawa, tentu kita akan pilih yang baik saja.” Benar sekali. Siapa yang ingin membawa dosa? Siapa yang ingin dikenang karena keburukannya? Tapi kita tidak bisa “membawa”; kita hanya bisa “diikuti”. Dan semua yang mengikuti itu adalah hasil dari pilihan-pilihan kita sendiri selama hidup di dunia ini. Oleh karena itu Tuhan sudah mengingatkan kepada kita semua bahwa satu permintaan orang kubur jika dibolehkan hidup sebentar saja di dunia, yaitu ingin berbuat baik; karena hanya perbuatan baiklah yang memudahkan kita segalanya di sana.

Maka dari itu, esensi dari ungkapan ini adalah kesadaran: sadar bahwa hari ini adalah kesempatan untuk menanam amal baik, sadar bahwa setiap tindakan adalah pilihan antara membawa kebaikan atau menambah beban, dan sadar bahwa kematian bukan akhir, melainkan awal dari pertanggungjawaban. Dalam dunia yang penuh godaan dan hiruk-pikuk, mudah sekali lupa bahwa hidup adalah tentang menyiapkan “bekal” yang tak terlihat. Tidak ada yang salah dengan mencari kebahagiaan duniawi, tetapi jika kita lupa bahwa hidup ini juga soal apa yang kita tinggalkan—baik dalam arti amal maupun pengaruh—maka kita sedang berjalan menuju akhir dengan tangan kosong.

Jadi, selama masih ada waktu, mari isi hidup ini dengan perbuatan yang akan “mengikuti” kita dengan bangga. Sebab kelak, saat kita tidak bisa memilih lagi, semoga yang mengikuti adalah kebaikan yang kita tanam dengan tulus. baik saja yang akan kita bawa. Oleh sebab itu tidak salah penjelasan pemuka agama ini lebih lanjut bahwa jika amal baik atau buruk itu akan ikut karena di sana ada pertanggungjawaban, sementara jika membawa berarti kita akan memilih yang baik-baik saja.

Manusia hidup dalam rentang waktu yang terbatas, tetapi setiap perbuatannya meninggalkan jejak yang tidak akan lenyap begitu saja. Dalam berbagai tradisi spiritual, termasuk ajaran agama-agama besar di dunia, terdapat keyakinan bahwa amal perbuatan seseorang—baik yang baik maupun yang buruk—akan menyertainya setelah kematian.

Ketika seseorang meninggal dunia, segala bentuk amal ini tidak serta merta hilang. Sebaliknya, ia “mengikuti” si pelaku, seolah menjadi bagian dari dirinya. Dalam tradisi Islam, konsep ini dikenal dengan istilah hisab—yakni perhitungan amal yang akan dilakukan di akhirat kelak. Makna penting dari ini adalah: amal tidak bisa dipisahkan dari diri kita. Ia bukan sesuatu yang bisa ditinggalkan, disembunyikan, atau dibuang. Ia melekat dan akan muncul kembali pada saat yang paling menentukan.

Kita tidak bisa memilih bagian mana dari sejarah hidup kita yang ingin kita tampilkan. Seperti rekaman yang jujur, hidup menyimpan semuanya dan tanpa edit, tanpa sensor. Maka pernyataan peringatan yang menyatakan: sekaranglah saatnya memilih, bukan nanti. Karena nanti sudah terlalu terlambat. Inilah yang membuat filosofi ini begitu kuat: ia menegaskan pentingnya kesadaran penuh dalam menjalani hidup, sebab setiap tindakan memiliki konsekuensi.

Ungkapan ini juga mengandung filosofi tentang kesadaran moral, yaitu dorongan untuk terus-menerus menilai dan mengevaluasi tindakan kita agar terus berada pada nilai kebaikan. Bukan karena ingin dipuji, tapi karena sadar bahwa kebaikan adalah satu-satunya “bekal” yang akan setia menemani kita setelah tubuh ini tiada.

Kita hidup di dunia yang penuh distraksi. Nilai dan standar seringkali ditentukan oleh hal-hal eksternal: status sosial, kekayaan, atau popularitas. Namun pada akhirnya, yang akan mengikuti kita bukanlah itu semua, melainkan amal dan perbuatan kita. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Call for Paper and Poster! ICESH 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): We’re thrilled to invite you to ICESH 2025 – the 2nd International Conference on Economy, Social, and Humanities, proudly hosted by the Faculty of Law and Faculty of Economics at Malahayati University, will be held on July 28-29, 2025, in Bandar Lampung, Indonesia.

This year, we’ll be exploring the theme: “Sustainable Development Goals: The Intersection of Economic Policies and Environmental Law.”
The deadline is
📍PAYMENT (PAPER & POSTER): JUNE, 30 2025
📍ABSTRACT DEADLINE: JULY, 01 2025
📍FULL PAPER & POSTER DEADLINE : JULY, 10 2025
📍REGISTRATION DEADLINE: JULY 01, 2025
🔗LINK Guidelines – Paper
https://acesse.one/B9z1v

🔗 LINK Guidelines – Poster
https://l1nk.dev/WXnOd

Don’t miss your chance to share your research!
Visit our website:
https://icesh2nd.malahayati.ac.id/

Contact us at:
+62812-6305-6906
For more informationn (gil)

Editor: Gilang Agusman

Kebahagian Ribuan Wali Murid, PR Besar Gubernur Mirza

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sehari sebelum Hari Raya Kurban atau Idul Adha 2025 M, Kamis (5/6/2025), Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal “menyembelih” persoalan panjang yang selalu memunculkan perdebatan setiap semester sekolah.

Jelang hari kemenangan Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, Gubernur Mirza memberikan hadiah kepada ribuan orangtua wali murid bebas bayar SPP yang dibalut dana komite dan daftar masuk SMAN, SMKN, SLBN seluruh Lampung.

Kabar tersebut langsung menyebarluas lewat hampir semua laman media sosial, termasuk Helo Indonesia yang sigap menebar kabar prorakyat. Sambutan gembira membahana terutama mereka yang selama ini sudah memperjuangkan hal ini sejak sepuluh tahun lalu.

Antusiasme para pemerhati tidak ketinggalan juga, ada yang merasionalkan, ada pula yang mengingatkan. Hal seperti itu adalah wajar; apalagi ditambah dengan analisis dan deskripsi tajam tentang bagaimana sebenarnya kondisi pendidikan di Lampung.

Tulisan ini mencoba memberikan pandangan dari berbagai segi, dengan harapan bukan menjadikan persoalan menjadi rumit, atau juga terlalu menyederhanakan; namun mencoba melengkapi apa yang belum ada pada penulis terdahulu.

Berdasarkan hasil studi dokumentasi ditemukan data bahwa pada tahun 2020 Dinas Pendidikan Provinsi Lampung telah mengeluarkan Standar Nasional Pendidikan untuk pembiayaan di Provinsi sebagai berikut:

1. SMA Tipe A Rp7.250.000/tahun/siswa. BOS Rp1.500.000 kekurangan Rp5.750.000.

3. SMA Tipe B Rp5.280.000/tahun/siswa. BOS Rp. 1.500.000 kekurangan Rp3.780.000.

4. SMA Tipe C Rp3.000.000/tahun/siswa. BOS Rp1.500.000 kekurangan Rp1.500.000.

Sedangkan kelompok SMK memiliki besaran berbeda berdasarkan kelompok peminatan. Dengan rincian sebagai berikut:
1. Kelompok Bisnis Manajemen, Pariwisata, Industri Kreatif diperlukan dana persiswa pertahun sebesar Rp. 4.960.000. Bantuan BOS 1.600.000,- berarti kekurangan Rp. 3.360.000.

2. Kelompok Teknik Rekayasa diperlukan dana persiswa pertahun sebesar Rp. 5.200.000,-. Bantuan BOS Rp. 1.600.000,- berarti kekurangannya sebesar Rp. 3.600.000.

3. Kelompok Kesehatan dan Pekerjaan Sosial Rp. 5.800.000 per siswa per tahun. Bantuan BOS Rp. 1.600.000 berarti kekurangannya Rp4.200.000.

Sementara jumlah SMA negeri di Provinsi ini ada 241 sekolah, sedangkan SMK negeri ada 112 sekolah. Hasil dari wawancara via media sosial semua SMA negeri tidak memungut biaya pendaftaran, demikian juga dengan sekolah kejuruan.

Untuk sekolah kejuruan ada kepala sekolah yang mengatakan mendapatkan pendaftar saja sudah sangat membahagiakan mereka.

Sementara untuk uang komite besarannya sangat variatif. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan pada umumnya rapat komite baru dilaksanakan pada enam bulan setelah tahun ajaran baru.

Besaran penetapan uang kepala sekolah tidak ikut campur; karena itu wilayah orangtua siswa, terutama mereka yang ada di kelas sepuluh.

Pada umumnya yang menjadi pembahasan krusial adalah pengadaan seragam sekolah, termasuk baju olah raga. Pada posisi ini biasanya ada main mata antara tukang jahit, komite dan kepala sekolah.

Walaupun demikian bagi orangtua tetap diberi kebebasan memilih membeli sendiri di luar tanpa harus ikut pada komite.

Justru yang membuat kepala sekolah sedikit puyeng kepalanya jika harus berhadapan dengan “oknum” yang mengatasnamakan apapun namanya hanya karena ingin meminta sedikit salam amplop.

Oleh sebab itu jika menjelang penerimaan siswa baru, hari lebaran; banyak kepala sekolah yang memilih tidak masuk ke sekolah dengan alasan pergi ke kantor dinas.

Masih banyak sebenarnya yang patut diungkap; namun karena keterbatasan tempat maka hal itu saja yang krusial.

Oleh karena itu jika Gubernur ingin membebaskan partisipasi masyarakat pada bidang pendidikan melalui komite. Maka hal di atas dapat dijadikan referensi berapa anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah daerah.

Perlu diingat angka-angka di atas adalah untuk kondisi lima tahun yang lalu. Sebagai catatan BOS-DA selama ini bukan berbentuk pemberian dana ke sekolah, akan tetapi berupa bangunan fisik untuk sarana-prasarana pendidikan; yang pembangunannya diusulkan kepala sekolah bersama komite.

Tidak kalah pentingnya harus dicari formulasi penyertaan dana CSR dari coorporit yang ada di wilayah tempatan dimana sekolah berada, untuk dapat ikut berperan aktif sebagai bentuk lain dari Komite Sekolah.

Sebagai contoh: ada perusahaan A dan B; yang dihimbau untuk menyumbangkan sesuatu untuk sekolah yang ada di wilayahnya.

Bentuk partisipasi bukan hanya pembangunan gedung dengan nama perusahaan penyandang dana; bisa juga perusahaan tadi dijadikan tempat praktek kerja lapangan bagi siswa-siswa kejuruan yang ada di wilayah itu.

Pola dualsistem serupa ini pernah digagas pada masa (alm) Enggus Subarman pada waktu beliau menjadi kepala Kantor Wilayan Pendidikan pada masanya.

Pola ini bisa dipakai tentu dengan perbaikan sistem terlebih dahulu, salah satu diantaranya adanya dasar hukum yang mendasarinya seperti Keputusan Gubernur atau apapun namanya.

Sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah tidak lagi dibebani pekerjaan untuk mencari terobosan guna menutupi kekurangan anggaran. Mereka diminta fokus untuk penyelenggaraan proses pembelajaran.

Sehingga rasa aman dan terlindungi dari perilalu oknum yang tidak bertanggungjawab yang dapat mengganggu proses pembelajaran di sekolah.

Selanjutnya jika pada masa periode kepemimpinan kepala sekolah menunjukkan kepenurunan mutu; maka yang bersangkutan tidak bisa meneruskan menjabat sebagai kepala sekolah.

Semoga Hadiah Lebaran Idhul Adha dari Gubernur ini membawa manfaat bagi dunia pendidikan di Lampung; dan selamat tinggal pada mereka yang selama ini menjadikan dunia pendidikan sebagai lahan subur untuk melakukan hal-hal yang kurang terpuji. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Salurkan 525 Paket Daging Qurban

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id):Dalam semangat berbagi dan kepedulian terhadap sesama di Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah, Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam kegiatan sosial dan keagamaan dengan menyembelih hewan qurban dan menyalurkan sebanyak 525 paket daging qurban kepada karyawan serta anak yatim binaan universitas.

Paket-paket qurban tersebut disalurkan kepada 319 penerima dari Kota Bandar Lampung dan 124 penerima dari Kabupaten Pringsewu, sebagai bentuk nyata dari nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas yang terus dijaga oleh civitas akademika Universitas Malahayati.

Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban yang terdiri dari 4 ekor sapi ini dilakukan di lingkungan kampus Universitas Malahayati dengan melibatkan panitia internal yang bekerja secara gotong royong dan penuh tanggung jawab.

Turut hadir dalam kegiatan tersebut, Wakil Rektor IV Universitas Malahayati, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes, yang menyampaikan apresiasinya atas semangat kebersamaan yang ditunjukkan oleh seluruh pihak dalam perayaan Iduladha tahun ini.

Sementara itu, Ketua Pelaksana Kegiatan Qurban, Sutikno, S.Pd.I., M.Pd.I., menegaskan bahwa kegiatan ini tidak sekadar rutinitas tahunan, tetapi juga sebagai sarana pendidikan karakter bagi seluruh warga kampus, khususnya mahasiswa.  “Kami ingin menanamkan nilai-nilai pengorbanan, kebersamaan, dan kepedulian sosial. Semangat Iduladha ini menjadi energi positif untuk terus bergerak dalam pengabdian kepada masyarakat,” ungkap Sutikno.

Ustad Sutikno menambahkan bahwa Qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi juga menyembelih ego, memperkuat kepedulian sosial, dan mendekatkan kita kepada nilai-nilai kemanusiaan. Ini adalah bentuk rasa syukur dan keikhlasan berbagi.

Kegiatan qurban tahun ini juga melibatkan para muqorib (pequrban) dari berbagai latar belakang, yang menunjukkan kepedulian luar biasa dalam mendukung keberlangsungan kegiatan sosial kampus:
• Rusli Bintang bin Bintang Amin
• Rosnati Syech binti Nyak Syech
• Ruslan Junaidi bin Rusli Bintang
• Omar Arrazi bin Ruslan Junaidi
• Ruzein Akyar bin Ruslan Junaidi
• Razeta binti Ruslan Junaidi
• Fauzana binti Fauzi
• Muhammad Kadafi bin Rusli Bintang
• Disa Soraya binti (nama tidak lengkap)
• Ratu Kayla binti M. Kadafi
• Kiral Altahir bin M. Kadafi
• Muhammad Ramadhana bin Rusli Bintang
• Maidayani binti Rusli Bintang
• Zivana Ejaz Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Bintang Amin bin Abdulah
• Halimah binti Abdulah
• Eli Zuana binti Rusli Bintang
• R. Agung Efriyo Hadi bin R. Bintoro
• Eflina Balqis Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Rania Najwa Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Raina Kalila Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Eka Rosdiana binti Andid Daud
• Arshiyla Khadija binti Muhammad Rizki
• Muhammad Rizki bin Rusli Bintang

Dengan semangat yang penuh keikhlasan dan pengabdian, Universitas Malahayati terus menanamkan nilai-nilai Islami dalam kehidupan kampus, menjadikan momentum Iduladha sebagai wahana spiritual dan sosial yang mempererat hubungan antara kampus dan masyarakat.

Kegiatan ini juga menjadi contoh nyata bagaimana institusi pendidikan tinggi dapat berperan aktif dalam kegiatan sosial-keagamaan demi membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Membuka Diri, Menutup Hati

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Senja itu warna merah jingga diufuk sana sangat mempesona, sambil menuruni anak tangga menuju kendaraan, beriringan dengan dosen yang sudah tidak muda lagi namun juga belum masuk usia senja; beliau menukas sambil tetap berjalan; “Profesor saya pernah mendapat pesan dari teman kuliah dahulu jika saat sekarang ini waktunya kita untuk membuka diri, namun harus menutup hati, mohon ijin bertanya apa sebenarnya makna frasa itu”. Akhirnya perjalanan menuju kendaraan terhenti guna menjelaskan kepada yang bersangkutan- walaupun sambil berdiri- maknawi dari frasa itu dari konsep filsafat. Singkatnya penjelasan itu jika dideskripsikan adalah demikian:

Berdasarkan literatur yang ada, baik konvensional maupun digital- makna dari frasa itu sangat dalam jika dikaji dan dikaitkan dengan masa kini. Di tengah derasnya arus modernitas, media sosial, dan keterhubungan digital, manusia semakin terbiasa membuka diri kepada dunia luar. Kita berbagi cerita, pengalaman, bahkan luka, kepada publik. Namun, di balik semua keterbukaan itu, tak sedikit pula orang yang memilih untuk tetap menutup hati — menjaga ruang terdalam dari diri mereka dari sentuhan emosi yang dalam, terutama yang berkaitan dengan cinta, kepercayaan, dan keintiman spiritual. Ungkapan “membuka diri, menutup hati” kini menjadi refleksi populer yang menggambarkan fenomena ini. Tetapi bagaimana jika kita memandangnya dari sudut filsafat Islam? Apa maknanya dalam konteks hikmah, akhlak, dan spiritualitas Islam? Mari kita telusuri lebih dalam.

Pertama; Membuka Diri sebagai Wujud Akal dan Hikmah. Dalam filsafat Islam, manusia dikenal sebagai hayawan natiq — makhluk rasional. Pembukaan diri dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kesediaan untuk berpikir, belajar, dan terhubung secara sosial dan intelektual. Filsuf besar seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menekankan pentingnya pembentukan al-‘aql al-fa‘al (akal aktual), yang dicapai melalui pembelajaran dan interaksi. Dalam pandangan mereka, manusia harus terbuka terhadap ilmu pengetahuan, pengalaman sosial, dan dialog antarbudaya. Membuka diri bukan sekadar menjadi ramah atau komunikatif, tetapi berani menerima perbedaan dan memperkaya diri dengan pemahaman baru. Ini adalah bentuk keterbukaan yang sejati, yang mencerminkan tugas manusia sebagai khalifah di bumi.

Kedua; Menutup Hati: Antara Perlindungan dan Penyucian. Jika membuka diri adalah kebutuhan sosial dan intelektual, maka menutup hati dalam filsafat Islam punya makna yang lebih kompleks dan dalam. Dalam bahasa kitab suci dan tradisi tasawuf, hati (qalb) adalah pusat kesadaran spiritual manusia. Ia bukan sekadar tempat perasaan, melainkan juga tempat ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan), dan ikhlas (ketulusan niat).

Namun, dalam tradisi sufi, menutup hati bisa juga menjadi bentuk penjagaan dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Para sufi seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan Imam Al-Ghazali menekankan bahwa hati harus dijaga dari kesibukan duniawi, dari keterikatan pada makhluk, agar bisa terbuka secara utuh kepada Allah. Oleh sebab itu, menutup hati dari dunia adalah bentuk ikhtiar spiritual untuk menjaga kemurnian cinta hanya kepada Sang Pencipta.

Ketiga; Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat. Filsafat Islam selalu mendorong keseimbangan antara aspek lahir dan batin, antara dunia dan akhirat. Dalam hal ini, frase “membuka diri, menutup hati” dapat dimaknai sebagai upaya untuk bersikap sosial dan terbuka, sambil tetap menjaga kedalaman batin agar tidak tercemari oleh dunia yang fana. Filsuf seperti Ibnu Miskawayh dalam karyanya Tahdzib al-Akhlaq menjelaskan pentingnya menjaga akhlak dalam pergaulan sosial, sambil terus membersihkan hati dari hasad, riya’, dan cinta dunia.

Dalam pandangan ini, “membuka diri” berarti menjalani hidup dengan tanggung jawab sosial, berinteraksi, bekerja, dan menebar manfaat. Sedangkan “menutup hati” berarti tidak membiarkan kehidupan dunia masuk terlalu dalam ke dalam jiwa, agar hati tetap fokus pada tujuan yang lebih tinggi — yaitu kedekatan dengan Allah.

Keempat; Perspektif Tasawuf: Dunia Hanya Lalu-lintas, Bukan Tempat Tinggal. Dalam puisi-puisi sufistik dan hikmah para wali, kita sering menemukan ungkapan yang sejalan dengan tema ini. Ungkapan seorang sufi terkenal pernah berkata:

“Aku bersapa kepada dunia dengan senyum, namun hatiku hanya untuk Tuhanku.”

Ini adalah ekspresi dari “membuka diri, menutup hati” — terbuka dalam interaksi, tetapi tertutup dari ketergantungan pada makhluk. Para sufi percaya bahwa dunia adalah tempat ujian. Bila hati terlalu terbuka pada dunia, maka akan mudah dipenuhi cinta palsu, keinginan duniawi, dan kebimbangan. Namun bila hati hanya terbuka untuk Allah, maka dunia tidak akan menggoyahkan ketenangan batin.

Fenomena ini menunjukkan pentingnya menutup hati, dalam arti memiliki batas, kesadaran, dan kedalaman spiritual yang tak mudah diakses oleh sembarang orang. Filsafat Islam memberikan panduan agar manusia tetap menjadi makhluk sosial yang aktif, tanpa kehilangan jati diri spiritualnya. Dengan menutup hati dari dunia, seseorang justru lebih mampu hadir secara utuh di dunia, karena ia tidak mudah goyah oleh pujian, hinaan, atau ekspektasi manusia.

Filsuf Islam — dari Al-Ghazali sampai Ibnu Sina, dari Farabi hingga Ibn Arabi — telah menanamkan satu pelajaran penting: bahwa hati adalah cermin Ilahi, dan dunia hanya bayangan. Maka, bukalah dirimu pada sesama, tapi lindungilah hatimu untuk Sang Pencipta. Pak dosen mengangguk-angguk setuju; tetapi karena waktu sudah senja maka disepakati mencari waktu yang tepat untuk menggelar diskusi akademik sambil ngopi.

Salam waras.

FIK Universitas Malahayati dan HPU Gelar Pengabdian Masyarakat: Sehat Fisik dan Mental untuk Ibu dan Anak Yatim

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) Universitas Malahayati bekerja sama dengan Health Promoting University (HPU) Malahayati menggelar kegiatan pengabdian masyarakat bertajuk “Sehat Fisik dan Mental untuk Ibu dan Anak Yatim”, Minggu pagi (24/5). Bertempat di lingkungan kampus Universitas Malahayati, kegiatan ini diikuti oleh 136 anak yatim dan 120 ibu dari keluarga binaan Unmal.

Kegiatan dibuka dengan jalan sehat bersama mengelilingi area kampus, dilanjutkan dengan serangkaian pemeriksaan kesehatan gratis oleh dosen-dosen FIK. Pemeriksaan tersebut meliputi pengukuran tekanan darah, cek gula darah, dan kadar asam urat, serta penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan. Selain itu, peserta juga mendapatkan pembagian tablet Fe sebagai upaya pencegahan anemia, khususnya pada ibu dan remaja putri.

Tidak hanya fokus pada kesehatan fisik, kegiatan ini juga menyasar aspek psikologis dan edukasi kesehatan. Program Studi Psikologi FIK menghadirkan berbagai permainan edukatif yang ditujukan untuk meningkatkan kebahagiaan dan interaksi sosial anak-anak yatim. Sementara itu, Program Studi Kebidanan memberikan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi remaja, dan Program Studi Kesehatan Masyarakat (Kesmas) menyampaikan edukasi penting tentang pencegahan penyakit tidak menular (PTM), seperti diabetes dan hipertensi.

Ketua HPU Universitas Malahayati, Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes., menekankan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari implementasi konsep Health Promoting University atau Kampus Sehat.

“HPU bertujuan menciptakan lingkungan kampus yang mendukung kesehatan fisik, mental, dan sosial. Kegiatan jalan sehat dan pemeriksaan kesehatan ini menjadi salah satu bentuk nyata dari misi tersebut. Harapannya, civitas akademika dan masyarakat sekitar kampus dapat terbiasa dengan perilaku hidup sehat,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Badan Pelaksana Pengabdian Masyarakat (BPPM) FIK, Dina Dwi Nuryani, SKM., M.Kes., mengungkapkan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap pemeriksaan kesehatan secara rutin, meskipun tanpa keluhan.

“Masyarakat masih beranggapan bahwa jika tidak memiliki keluhan atau gejala, maka tergolong sehat. Padahal, orang yang tampak sehat belum tentu bebas dari risiko penyakit tidak menular. Pemeriksaan kesehatan penting dilakukan sebagai langkah pencegahan,” ujarnya.

Melalui kolaborasi antara FIK dan HPU ini, Universitas Malahayati menegaskan komitmennya dalam menjadikan kampus sebagai pusat pemberdayaan kesehatan masyarakat. Dengan menyentuh kelompok rentan seperti anak dan ibu yatim, kegiatan ini tidak hanya memberi manfaat langsung, tetapi juga menanamkan nilai pentingnya gaya hidup sehat sejak dini (gil)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Mengucapkan
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H “Semoga semangat pengorbanan, keikhlasan, dan ketulusan dalam Hari Raya Iduladha senantiasa menginspirasi kita semua untuk berbagi dan menebar kebaikan.
Mari jadikan momentum ini sebagai sarana mempererat silaturahmi dan meningkatkan kepedulian sosial.”

Taqabbalallahu minna wa minkum. Selamat merayakan Iduladha bersama keluarga tercinta.

Rektor dan Sivitas Akademika Universitas Malahayati. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Hukum Universitas Malahayati Sosialisasikan Hukum Pidana Terkait Kekerasan Seksual kepada Siswa/i SMA Al Quran Bandar Lampung

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Hukum Universitas Malahayati melaksanakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat dengan tema “Pemahaman Siswa/i SMA terhadap Kekerasan Seksual dalam Perspektif Hukum Pidana” pada Rabu, 28 Mei 2025, di SMA AL QURAN Bandar Lampung.

Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, S.H., M.H., serta disambut hangat oleh Kepala Sekolah SMA Al Qulran H. Akhwan Aziz S.Pd., Gr., M.Pd. Turut hadir pula dosen pendamping Dwi Arassy Aprillia RS., S.H., M.H., bersama lima mahasiswa Fakultas Hukum yang ikut berperan aktif dalam proses edukasi kepada para siswa.

Dalam kegiatan ini, para peserta mendapatkan pemaparan mengenai bentuk-bentuk kekerasan seksual, konsekuensi hukum bagi pelaku, serta pentingnya keberanian untuk melapor jika menjadi korban atau saksi. Diskusi berlangsung secara interaktif, dengan antusiasme tinggi dari para siswa/i yang menunjukkan kepedulian terhadap isu-isu sosial dan hukum di sekitar mereka.

“Memberikan pemahaman hukum sejak dini sangat penting agar siswa tidak hanya memahami hak-haknya, tetapi juga mampu mengenali dan mencegah tindak kekerasan seksual yang bisa terjadi di lingkungan sekitar,” ujar Aditia Arief Firmanto dalam sambutannya.

Melalui kegiatan ini, Fakultas Hukum Universitas Malahayati menegaskan perannya sebagai institusi pendidikan yang tidak hanya fokus pada pengajaran, tetapi juga aktif berkontribusi langsung kepada masyarakat dalam membangun kesadaran hukum, khususnya di kalangan generasi muda.

Fakultas Hukum Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus mengadakan kegiatan serupa sebagai bagian dari implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi dan upaya menciptakan masyarakat yang sadar dan taat hukum. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Gelar Muli Berbakat Provinsi Lampung 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Antika Apriani (24310010), mahasiswi Program Studi S1 Pendidikan Dokter, berhasil meraih gelar Muli Berbakat Provinsi Lampung 2025 dalam ajang Pemilihan Muli Mekhanai Provinsi Lampung tahun ini.

Acara bergengsi yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung ini berlangsung megah di Gedung Graha Wangsa, Bandar Lampung, pada Kamis, 22 Mei 2025. Puluhan finalis dari berbagai kabupaten dan kota di Lampung berkompetisi untuk menjadi duta pariwisata dan budaya yang mampu mewakili wajah provinsi di tingkat nasional maupun internasional.

Antika tampil memukau selama rangkaian seleksi dan penjurian. Bakatnya dalam menciptakan dan membacakan puisi menjadi sorotan, hingga akhirnya ia dinobatkan sebagai Muli Berbakat Provinsi Lampung 2025.

“Terpilih dan tergabung menjadi bagian dari Muli Mekhanai Provinsi Lampung adalah suatu pencapaian luar biasa. Ini merupakan kesempatan besar untuk menjadi wajah baru Lampung dalam memperkenalkan pariwisata dan kebudayaan ke tingkat nasional dan internasional,” ungkap Antika.

Ia juga mengungkapkan bahwa keberhasilannya tak lepas dari dukungan orang tua, keluarga, serta lingkungan kampus Universitas Malahayati yang selalu mendorongnya untuk berkembang dan mengekspresikan diri. “Hobi saya dalam menulis dan membacakan puisi ternyata bisa membawa saya ke panggung prestasi ini. Ini menjadi motivasi tersendiri untuk terus memaksimalkan potensi saya sebagai generasi muda Lampung,” tambahnya.

Pencapaian Antika ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga aktif dan berprestasi dalam kegiatan non-akademik, terutama yang berkaitan dengan pelestarian budaya dan promosi pariwisata daerah.

Selamat kepada Antika Apriani atas pencapaian luar biasa ini. Semoga prestasi ini menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berkarya dan berkontribusi bagi daerah dan bangsa. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Bangsa Ini Tak Butuh Lagi Bicara Adu Urat, tetapi Bagaimana Mendengar Lebih Baik

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

BEBERAPA hari ini, pikiran saya lama-lama ikut terganggu oleh kegaduhan yang terjadi di lembaga akademik negeri ini. Makin sesak di dada, sikap-sikap mereka yang berada pada lingkaran persoalan “memaksa” sikapnya dengan “pokoknya begini-begitu, titik.”

Tampaknya, kita sudah tak terbiasa lagi “mendengar”dan semakin larut dengan kalimat pamungkas menghadapi persoalan dengan cukup satu kata: “pokoknya”. Sehingga, masalah apapun semuanya kandas.

Padahal, di kalangan masyarakat perguruan tinggi, mendengarkan pendapat orang lain, tidak ngotot, adalah sikap dewasa akademik yang seharusnya hidup di kalangan komunitas perguruan tinggi.

Lebih elok dan elegan lagi ketika pada posisi tidak benar, kita mengakui kekeliruan atau kesalahan. Namun, hal itu jadi mustahil manakala sikap mentulikan diri sebagai penyakit baru.

Semakin banyak orang yang bersikap “pokoknya” sampai menyelusup ke para akademisi. Apalagi dengan semakin derasnya informasi dan berseliweran dari segala arah, banyak manusia yang akhirnya bersikap “mentulikan” diri.

Bukan karena tak bisa mendengarkan, tapi menolak menyimaknya, tuli secara mental dan emosional sehingga menolak mendengar saran, kritik, atau pendapat orang lain. Walau, hal itu datang dari tempat yang penuh niat baik.

Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang pribadi, tetapi juga meresap ke dalam budaya kolektif, termasuk di dunia kerja, politik, akademisi dan juga penggiat media sosial. Kita hidup dalam era di mana semua orang ingin bicara, tapi sangat sedikit yang benar-benar mau mendengar.

Mentulikan diri seringkali bersumber dari ego. Perasaan sudah tahu segalanya, sudah cukup pintar, atau merasa paling benar menjadikan telinga tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya: sebagai alat untuk memahami, bukan sekadar mendengar.

Dalam kondisi ini, nasihat dianggap gangguan. Kritik dianggap serangan. Pendapat berbeda dianggap ancaman terhadap identitas diri. Padahal, pertumbuhan pribadi hanya mungkin terjadi jika kita membuka diri terhadap masukan.

Tentu saja tidak semua saran harus diikuti, tetapi menolaknya mentah-mentah hanya karena tidak sesuai dengan pandangan kita merupakan bentuk penutupan diri. Walaupun seringkali, orang yang mentulikan diri itu justru adalah mereka yang paling membutuhkan pandangan dari luar.

Dalam ruang sosial, sikap menutup telinga ini menciptakan ketimpangan komunikasi. Percakapan berubah menjadi monolog. Dialog kehilangan makna. Orang tidak lagi berbicara untuk memahami, tapi untuk menang. Akibatnya, hubungan menjadi dangkal, penuh asumsi, dan minim empati.

Kita mungkin berada dalam satu ruangan yang sama, tapi tidak benar-benar saling mendengarkan. Kita bisa melihat hal ini dalam dinamika kelompok kerja, pertemanan, bahkan dalam keluarga.

Ketika seseorang terlalu kaku dengan pendapatnya dan menolak mendengarkan sudut pandang lain, konflik menjadi tak terhindarkan. Setiap orang merasa paling tahu, paling benar, dan akhirnya tidak ada yang benar-benar didengar.

Dari hasil penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa, sikap mentulikan diri tidak selalu lahir dari kesombongan. Kadang, ini adalah bentuk pertahanan diri.

Orang takut mendengar hal yang membuatnya tidak nyaman. Takut tersinggung, takut terlihat lemah, takut harus berubah. Dalam banyak kasus, ini adalah respons terhadap trauma masa lalu dimana saran pernah disalahgunakan sebagai kontrol, bukan dukungan.

Namun, bersembunyi di balik ketakutan bukanlah solusi jangka panjang. Karena dalam proses tumbuh, ketidaknyamanan adalah harga yang harus dibayar. Mendengarkan bukan berarti tunduk. Itu adalah bentuk kedewasaan untuk memahami bahwa dunia tidak berputar di sekitar kita.

Mendengarkan adalah keterampilan, bukan bawaan lahir. Oleh sebab itu, kita butuh latihan, keberanian, dan kerendahan hati. Butuh kesediaan untuk berhenti sejenak, meredam ego, dan benar-benar hadir dalam percakapan.

Dalam dunia yang dibanjiri suara, kemampuan untuk mendengar, bukan sekadar mendengarkan, menjadi semakin langka. Padahal orang-orang bijak dari masa lalu selalu menekankan pentingnya mendengar.

Dalam filsafat Timur maupun Barat, mendengarkan adalah pintu menuju kebijaksanaan. Tapi hari ini, banyak yang lebih memilih untuk mentulikan diri demi menjaga ilusi kendali atas hidupnya.
Tentu, tidak semua saran patut diikuti.

Ada saatnya kita harus teguh pada pendirian, apalagi jika saran datang dari tempat yang manipulatif atau tidak memahami konteks kita. Namun, ada perbedaan besar antara selektif dan defensif.

Menyaring saran adalah perlu, tapi memutus semua saluran masuk hanya akan membuat kita terjebak dalam gema suara sendiri. Kita butuh ruang untuk berpikir sendiri, tapi juga butuh cermin dari luar untuk melihat diri lebih jernih.

Dalam hidup, seringkali kita butuh suara orang lain untuk menyadarkan kita akan titik buta yang tak bisa kita lihat sendiri.
Di dunia yang penuh dengan orang yang ingin didengar, mungkin menjadi pendengar adalah tindakan yang paling radikal.

Dan menjadi pendengar bukan hanya soal memperhatikan orang lain, tetapi juga membuka diri terhadap kemungkinan bahwa kita belum tahu segalanya. Bahwa kita bisa salah. Bahwa orang lain bisa benar.

Sikap mentulikan diri mungkin memberi rasa aman sesaat, tapi dalam jangka panjang, ia menciptakan kesepian yang dalam. Sebab dalam dunia nyata, kita hidup berdampingan dalam arti bukan hanya dalam ruang fisik, tetapi juga dalam percakapan, pemahaman, dan keterbukaan.

Maka jika ada satu keterampilan yang layak dilatih hari ini, mungkin bukan berbicara lebih keras, tetapi mendengar lebih baik. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman