Kulit Pisang Disulap Jadi Camilan Sehat, Dosen Universitas Malahayati Bersama UMKM Si Bintang Buah Hadirkan Inovasi “KUPIDOR”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Inovasi pangan kembali lahir dari kreativitas lokal. UMKM Keripik Pisang Si Bintang Buah bersama tim dosen pengabdian masyarakat Universitas Malahayati sukses mengubah limbah kulit pisang menjadi produk camilan sehat bernama KUPIDOR (Kulit Pisang dan Daun Kelor).

Program ini merupakan bagian dari kegiatan “Optimalisasi Limbah Kulit Pisang Kombinasi Daun Kelor” yang didukung oleh Hibah Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) DPPM Kemdikbudristek Tahun 2025, Nomor Kontrak 334/C3/DT.05.00/PM-BATCH III/2025 tertanggal 10 September 2025. Melalui kegiatan ini, tim memberikan sosialisasi, pelatihan, hingga pendampingan teknologi tepat guna kepada para pelaku UMKM pangan.

Selama ini kulit pisang sering dianggap tidak bernilai dan hanya berakhir sebagai limbah. Namun, melalui inovasi KUPIDOR, kulit pisang justru diolah menjadi bahan pangan bergizi tinggi ketika dipadukan dengan daun kelor yang kaya nutrisi. Hasil olahan ini dikembangkan menjadi dua produk unggulan: Stik KUPIDOR yang gurih dan renyah, serta Cookies KUPIDOR dengan cita rasa manis sehat yang disukai semua kalangan.

“Dengan adanya KUPIDOR, kami ingin masyarakat memandang kulit pisang bukan sekadar sampah, tetapi sebagai sumber daya bernilai tinggi. Inovasi ini bukan hanya menawarkan camilan sehat, tetapi juga membuka peluang usaha baru berbasis pangan fungsional lokal,” ungkap Diah Astika Winahyu, S.Si., M.Si, selaku ketua tim pengabdian.

Acara yang berlangsung di UMKM Si Bintang Buah ini diikuti oleh para pelaku UMKM pangan beserta anggotanya. Peserta dibekali berbagai keterampilan, mulai dari: Teknik pengolahan kulit pisang agar aman dikonsumsi, Formulasi Stik dan Cookies KUPIDOR yang sehat, renyah, dan bernilai jual, Strategi manajemen usaha dan pemasaran melalui media sosial serta kemasan menarik.

Selain praktik langsung, peserta juga mendapatkan pendampingan untuk memaksimalkan potensi bisnis inovatif berbasis pangan lokal.

Kegiatan ditutup dengan sesi tasting produk dan diskusi terbuka mengenai peluang pengembangan usaha. Antusiasme peserta sangat tinggi, menunjukkan bahwa inovasi pangan berbasis limbah kulit pisang dan daun kelor ini berpotensi besar dalam mendukung ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, serta pengurangan limbah lingkungan.

Dengan cita rasa khas, bergizi, dan ramah lingkungan, produk KUPIDOR diharapkan mampu menjadi ikon camilan sehat dari UMKM Si Bintang Buah serta bersaing di pasar lokal hingga nasional. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Empat Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Prestasi Ajang Piala Rektor III Universitas Lampung Cabang Pencak Silat

Ojo Dumeh atawa Dang Seago-ago

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Tulisan saya beberapa waktu lalu yang ada di media ini, menjadikan diskusi panjang dengan sohib-sohib pemerhati masalah sosial dan filsafat. Salah seorang di antaranya mengajak diskusi dengan menyandingkan konsep ojo dumeh dari budaya Jawa dengan dang seago-ago dari budaya Lampung, kaitannya dengan pimpinan daerah yang “bermurah tangan” memberi bantuan kepada intansi vertikal. Diskusi menjadi begitu menarik jika dikaitkan dengan bentuk kepedulian akan nasib warga kota yang harus memikul beban pajak, sementara penggunaan hasil pendapatan daerah dipakai untuk hal yang bukan koridor kedaerahan.

Rangkuman diskusi tadi jika dipaparkan dari kacamata filsafat kontemporer adalah sebagai berikut:
Memberi adalah tindakan yang secara umum dipandang sebagai simbol kebaikan, kemurahan hati, dan tanggung jawab sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, memberi sering dianggap sebagai jalan mulia yang mempertemukan rasa peduli dan solidaritas antarmanusia. Namun, dalam ruang kekuasaan, memberi tidak lagi sesederhana itu. Tindakan memberi, terutama ketika dilakukan oleh seseorang yang memegang otoritas publik, menyimpan kompleksitas etis yang jauh lebih dalam dari sekadar niat baik.

Dalam ruang ini, niat baik bisa menjadi samaran bagi kepentingan lain, bisa menjadi alat kuasa yang membungkus dominasi dengan wajah kemurahan. Di sinilah filsafat dan kebijaksanaan lokal bertemu: untuk menakar niat, menguji kepatutan, dan membatasi kuasa dalam tindakan yang secara lahiriah tampak baik.
Dalam beberapa budaya lokal, terdapat petuah yang merepresentasikan kebijaksanaan etis semacam ini.

Ungkapan seperti ojo dumeh dalam bahasa Jawa dan dang seago-ago dalam bahasa Lampung bukan sekadar petuah warisan, tetapi refleksi moral mendalam tentang posisi manusia dalam struktur sosial dan kekuasaan. Ojo dumeh adalah peringatan agar tidak bertindak semena-mena karena merasa memiliki kuasa, pengetahuan, atau kelebihan. Sementara dang seago-ago adalah seruan untuk tidak bertindak sembarangan, untuk menimbang terlebih dahulu sebelum melangkah. Keduanya menjadi pengingat bahwa setiap tindakan, bahkan yang tampak sebaik memberi sekalipun, harus tunduk pada prinsip kehati-hatian dan kendali diri.

Dalam praktik pemerintahan, contoh konkret yang relevan adalah ketika seorang wali kota memberikan bantuan kepada instansi vertikal. Bantuan itu bisa berupa gedung, kendaraan, alat operasional, bahkan dukungan logistik lainnya. Di permukaan, tindakan ini tampak sebagai bentuk dukungan dan kerja sama antarlembaga. Namun secara struktural dan etis, muncul banyak pertanyaan. Instansi vertikal bukan bagian dari struktur pemerintahan daerah. Mereka berada langsung di bawah komando pemerintah pusat, dan memiliki jalur anggaran serta mekanisme internal tersendiri. Maka ketika kepala daerah menggunakan anggaran publik daerah untuk memberikan bantuan kepada instansi semacam ini, terjadi suatu pelintasan batas administratif dan moral.

Batas ini penting. Bukan untuk menghalangi sinergi, melainkan untuk menjaga keadilan dan integritas tata kelola. Dalam dunia filsafat, batas bukanlah penghalang kebebasan, melainkan penjaga keutuhan etis dalam relasi sosial. Tanpa batas, niat baik bisa berubah menjadi kooptasi. Tanpa kendali, bantuan bisa menjadi alat membangun loyalitas atau bahkan mengamankan posisi kekuasaan. Memberi dalam konteks kekuasaan bukan lagi soal kepedulian, tetapi menyangkut relasi kuasa yang kompleks. Ketika seorang pejabat publik memberikan sesuatu kepada lembaga yang memiliki fungsi pengawasan atau penegakan hukum, maka muncul potensi konflik kepentingan. Bantuan itu bisa menciptakan relasi timbal balik yang mengaburkan garis netralitas dan objektivitas kelembagaan.

Lebih dari itu, tindakan semacam itu dapat mencederai prinsip keadilan struktural. Lembaga penegak hukum, misalnya, dituntut untuk bersikap independen dalam menjalankan tugasnya. Namun ketika mereka menerima bantuan langsung dari kepala daerah, baik secara sadar maupun tidak, terbentuk hubungan simbolik yang penuh beban. Publik bisa kehilangan kepercayaan. Aparat menjadi tampak tidak lagi netral, dan kepala daerah seolah memperoleh posisi istimewa yang tidak dimiliki warga atau institusi lain. Di sinilah nilai dari ojo dumeh kembali berfungsi: bahwa kekuasaan, betapapun besarnya, tidak boleh digunakan semaunya. Ia harus ditundukkan kepada kebijaksanaan yang lebih besar, yakni menjaga keseimbangan kekuasaan dan martabat publik.

Dalam filsafat kontemporer, memberi bukanlah tindakan tunggal yang netral. Ia adalah tindakan yang mengandung relasi, posisi, dan kuasa. Pemberi dan penerima tidak pernah berada dalam posisi setara sepenuhnya. Pemberi cenderung memiliki kendali atas bentuk, waktu, dan tujuan pemberian. Karena itu, ketika seseorang dalam posisi kuasa memberi, ia harus sadar bahwa tindakan itu memiliki dampak sosial-politik yang luas. Dalam konteks kepala daerah, memberi kepada lembaga di luar kewenangannya tanpa regulasi yang jelas dan proses yang transparan merupakan bentuk pengambilan alih peran yang bisa membahayakan integritas sistem pemerintahan.

Tindakan seperti itu juga sering dilakukan atas nama efisiensi atau kebutuhan bersama. Misalnya, kepala daerah beralasan bahwa bantuan diberikan agar lembaga tersebut bisa bekerja lebih optimal demi kepentingan masyarakat. Namun di balik alasan itu, kerap tersembunyi praktik lain: pencitraan, penjagaan relasi politik, bahkan investasi sosial yang bisa dikonversi menjadi kekebalan informal. Inilah yang disebut sebagai moralitas yang terdistorsi oleh kekuasaan. Di titik ini, Dang Se Ago-Ago menjadi relevan: bahwa setiap tindakan harus melewati pertimbangan matang, bukan hanya berdasarkan niat, tetapi juga pada dampaknya bagi tatanan sosial dan kelembagaan.

Filsafat juga mengajarkan bahwa etika bukan hanya soal benar dan salah, tetapi soal kepekaan terhadap relasi. Memberi bantuan kepada instansi vertikal secara sepihak tanpa melalui musyawarah, tanpa mekanisme pengawasan, dan tanpa partisipasi masyarakat, merupakan tindakan yang melanggar etika demokrasi. Demokrasi menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan publik dalam setiap pengambilan keputusan, terutama yang berkaitan dengan penggunaan dana publik. Ketika wali kota bertindak secara personal, atas nama pemerintahan daerah, namun tanpa konsultasi dan legitimasi yang kuat, maka tindakan itu kehilangan dasar moralnya. Ia menjadi keputusan sepihak yang rawan disalahpahami, bahkan disalahgunakan.

Selain itu, memberi dalam konteks kekuasaan juga bisa menjadi sarana pengaruh tak kasat mata. Ketika seorang kepala daerah memberikan sesuatu kepada lembaga hukum atau vertikal lainnya, pemberian itu membawa serta beban tak terlihat. Di kemudian hari, lembaga yang telah menerima bantuan bisa mengalami dilema ketika harus bersikap tegas terhadap pemerintah daerah. Tindakan hukum atau pengawasan bisa menjadi tumpul karena rasa sungkan, rasa terhutang, atau pertimbangan relasi personal. Di sinilah bahaya terbesar pemberian yang tidak tepat berada: ia merusak tatanan hukum dan prinsip kesetaraan lembaga dalam negara hukum. Ia menciptakan “jaringan kebaikan” yang bersifat manipulatif, kebaikan yang tampaknya tulus, namun mengandung jebakan kekuasaan.

Dalam sistem yang sehat, kolaborasi antarlembaga tetap diperlukan. Namun kolaborasi harus dibingkai oleh mekanisme yang terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Bantuan atau dukungan antarlembaga harus melalui prosedur yang jelas, berdasarkan kebutuhan riil, dan didasarkan pada kesetaraan kelembagaan, bukan kedekatan personal. Tanpa itu, bantuan akan kehilangan integritasnya. Ia bukan lagi alat memperkuat kelembagaan, tetapi menjadi alat memperpanjang pengaruh dan memperlemah pengawasan.

Etika memberi dalam ruang publik juga menuntut kesadaran akan simbol. Tindakan memberi yang dilakukan oleh pejabat negara tidak bisa dibaca secara terpisah dari persepsi publik. Publik menilai bukan hanya substansi tindakan, tetapi juga simbol dan motif di baliknya. Jika publik menilai bahwa bantuan kepada instansi vertikal adalah bentuk pembelian loyalitas atau pengamanan posisi, maka kepercayaan terhadap institusi itu akan melemah. Kepercayaan ini adalah fondasi dari pemerintahan yang bersih. Sekali kepercayaan itu hilang, maka tindakan apapun, sebaik apapun, akan selalu dicurigai sebagai bagian dari permainan politik yang manipulatif.

Karena itu, memberi harus menjadi tindakan yang dipandu oleh prinsip tanggung jawab. Ia bukan ruang untuk memperlihatkan kuasa, bukan tempat untuk menunjukkan superioritas, apalagi untuk membangun utang budi antar lembaga. Memberi dalam kekuasaan adalah ujian atas kedewasaan moral. Ia harus dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa kekuasaan adalah titipan, dan bahwa setiap tindakan akan meninggalkan jejak, bukan hanya pada hubungan antar institusi, tetapi juga pada kualitas demokrasi secara keseluruhan.

Nilai-nilai seperti ojo dumeh dan dang seago-ago adalah warisan budaya yang perlu dihidupkan kembali, terutama dalam ruang-ruang kekuasaan yang hari ini semakin sering meminjam bahasa kebaikan untuk menutupi kepentingan tersembunyi. Dalam dunia politik yang penuh dengan permainan simbol, kita perlu petunjuk moral yang membumi dan relevan. Nilai-nilai itu tidak hanya membimbing individu dalam bertindak, tetapi juga menjaga agar struktur sosial tetap berjalan pada jalurnya: jalur keadilan, kesetaraan, dan tanggung jawab. Ketika seorang pejabat mampu memberi tanpa merasa lebih tinggi, tanpa menciptakan ketergantungan, dan tanpa merusak struktur, maka ia sedang menjalankan kekuasaan sebagai bentuk pengabdian, bukan dominasi.

Akhirnya, yang perlu selalu diingat adalah bahwa memberi bukanlah akhir dari niat baik. Ia adalah awal dari rangkaian tanggung jawab. Di dalamnya terkandung kehati-hatian, kesadaran posisi, dan kesediaan untuk mempertanggungjawabkan setiap dampaknya. Dalam dunia yang semakin penuh dengan kerumitan moral, batas bukanlah penghalang kebaikan. Ia adalah pagar yang membuat kebaikan tetap bermakna. Dalam kekuasaan, hanya mereka yang mampu menahan diri, yang layak dipercaya untuk memberi. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Kesetiaan yang Memberontak

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Syahdan dalam epos Ramayana karya Walmiki yang telah dimodifikasi oleh para dalang wayang kulit di Jawa, ada satu adegan yang menggugah saat Kumbakarna, raksasa adik kandung Rahwana, berangkat menuju palagan peperangan berkata “aku tidak membela negeri Alengkadiraja yang korup, akan tetapi aku membela tanah airku yang telah menghidupiku”. Kalimat ini terdengar sederhana, namun mengandung kontradiksi yang menggugah. Ia tidak lahir dari ruang seminar atau rapat birokrasi, tetapi dari tempat paling keras dan paling jujur: dari garis batas antara hidup dan mati, dari konflik antara kuasa dan nurani.

Pernyataan ini bukan sekadar pembelaan terhadap sebuah tindakan, melainkan sebuah deklarasi filsafat tentang bagaimana manusia seharusnya memposisikan diri di hadapan negara, kekuasaan, dan cinta terhadap tempat ia berasal.

Di dunia modern, negara telah menjadi struktur yang nyaris tak terhindarkan dalam kehidupan manusia. Ia memayungi, mengatur, bahkan membentuk identitas. Namun, negara juga dapat menjadi instrumen kekuasaan yang melenceng dari cita-cita bersama. Ketika negara tidak lagi mewakili aspirasi rakyatnya, ketika hukum menjadi alat untuk menindas dan bukan melindungi, ketika kekuasaan digunakan bukan untuk kesejahteraan tetapi untuk memperkaya diri sendiri, maka kesetiaan kepada negara menjadi persoalan etis yang serius.

Di sinilah muncul pemisahan penting antara “tanah air” dan “pemerintahan.” Tanah air bukan hanya batas-batas geografis. Ia adalah ruang tempat manusia menanam harapan, memelihara bahasa, membentuk budaya, dan mengalami sejarah bersama. Tanah air adalah akar dari identitas, bukan karena sifat biologisnya, tetapi karena ia menjadi tempat di mana makna dibangun secara kolektif. Sedangkan pemerintahan adalah bentuk temporal dari pengelolaan negara. Ia bisa adil atau korup, mencintai atau menindas, tergantung siapa yang memegangnya dan bagaimana ia dijalankan.

Membela tanah air dalam konteks ini adalah upaya untuk melindungi rumah bersama dari kehancuran, bahkan jika kehancuran itu berasal dari dalam. Ini adalah bentuk kesetiaan yang tidak tunduk, tetapi menantang. Kesetiaan semacam ini bukanlah kepatuhan, tetapi keberanian untuk berkata “tidak” pada kekuasaan yang menyimpang, dan “ya” pada rakyat yang menderita. Ini bukan pengkhianatan, tetapi jenis kesetiaan yang lebih dalam, yaitu kesetiaan yang justru menginginkan keselamatan bersama, bukan kelanggengan kekuasaan.

Tindakan membela tanah air sambil menolak legitimasi pemerintahan yang korup adalah bentuk dari kesadaran etis yang matang. Ini bukan tindakan emosional, tetapi hasil dari refleksi yang panjang. Sebab mudah untuk membenci atau mencintai secara membabi buta. Tetapi untuk mencintai sambil mengkritik, untuk setia sambil menolak tunduk, itulah kematangan yang hanya bisa lahir dari pengalaman dan pemikiran yang dalam. Ini adalah bentuk tanggung jawab yang tidak populer, karena ia menolak jalan pintas dan memilih jalur berliku: tetap tinggal, tetap berjuang, tanpa menyerahkan integritas kepada siapa pun.Dalam konteks ini, perjuangan menjadi lebih personal dan politis yang melekat sekaligus. Seseorang yang memilih membela tanah air tanpa tunduk pada kekuasaan sedang mempertaruhkan segalanya: nyawa, nama baik, bahkan keberpihakan sejarah. Dia berjalan di antara sanjungan dan fitnah, di antara pengkhianatan dan harapan. Tapi justru dalam posisi itulah kita melihat bentuk keberanian yang sejati. Bukan keberanian yang lahir dari kekuatan, tetapi keberanian yang muncul dari keengganan untuk menyerah pada ketidakadilan.

Tindakan ini juga menantang gagasan umum tentang nasionalisme. Dalam banyak wacana, nasionalisme sering kali identik dengan dukungan mutlak terhadap pemerintah. Padahal, nasionalisme sejati adalah kecintaan terhadap rakyat dan tanah tempat mereka hidup, bukan kepada institusi yang sementara. Nasionalisme yang matang adalah nasionalisme yang kritis: ia tahu kapan harus mendukung dan kapan harus menolak. Ia tidak membabi buta, tetapi jernih melihat perbedaan antara kepentingan penguasa dan kepentingan bersama. Maka, patriotisme sejati bukanlah tunduk pada simbol dan upacara, melainkan kesiapan untuk melawan ketidakadilan atas nama tanah air. Dalam kondisi seperti itu, bahkan tindakan perlawanan pun bisa menjadi bentuk paling luhur dari cinta kepada negeri.

Pernyataan itu, pada akhirnya, adalah deklarasi tentang harapan. Bahwa meski negara bisa disusupi, diselewengkan, dan dihancurkan oleh korupsi, masih ada orang yang percaya pada masa depan bersama. Bahwa meski kekuasaan bisa merusak hukum dan institusi, masih ada yang berdiri mempertahankan nilai dan nurani. Dan bahwa meski suara kebenaran sering kali dibungkam, ia tidak pernah benar-benar hilang. Bisa jadi pembenaran “diakali” lewat hukum, namun hatinurani, moral, dan kepatutan adalah suluh yang tidak pernah padam. Demikian halnya bantuan bisa dibuat “tampak” tidak melanggar hukum, namun kepatutan hatinurani dan moral, tidak bisa ditipu.

Membela tanah air sambil menolak pemerintah yang korup adalah tindakan yang menantang zaman. Ia mengganggu narasi dominan, menggugat kepatuhan membabi buta, dan membuka ruang bagi etika yang lebih manusiawi. Ia mengajarkan kita bahwa kesetiaan tidak berarti diam, dan cinta tidak selalu berbentuk dukungan. Terkadang, cinta yang paling dalam justru diwujudkan dalam bentuk perlawanan. Oleh karena itu suara yang mengatakan: “Saya tidak membela pemerintahan yang korup, tetapi membela negeri tumpah darah saya.” Adalah deklarasi moral yang sangat agung di mata dunia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

BEM FK Universitas Malahayati Laksanakan Pengabdian Masyarakat di Desa Bunut, Gelar Penyuluhan, Pemeriksaan Gratis, hingga Donor Darah

PESAWARAN (malahayati.ac.id): Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati bekerjasama dengan Ikatan Alumni (IKA) FK Universitas Malahayati melaksanakan kegiatan pengabdian masyarakat di Klinik Bunut Raya Medistra, Desa Bunut, Kecamatan Way Ratai, Kabupaten Pesawaran.

Program ini menghadirkan berbagai layanan kesehatan bagi masyarakat, mulai dari penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan umum, pemeriksaan laboratorium gratis (gula darah, asam urat, dan kolesterol), skrining katarak, hingga donor darah. Kegiatan disambut antusias oleh warga, terbukti dengan kehadiran lebih dari 110 peserta yang berasal dari Desa Bunut dan Desa Wates, Kecamatan Way Ratai, Padang Cermin.

Ketua BEM FK Unmal, M. Irham, menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan salah satu program kerja BEM FK Unmal periode 2024–2025. “Kami ingin menunjukkan kepedulian nyata mahasiswa kedokteran terhadap kondisi kesehatan masyarakat, khususnya di wilayah Desa Bunut dan Wates. Semoga keberadaan kami bisa memberikan manfaat dan membantu masyarakat menjaga kesehatan,” ujarnya.

Hadir dalam kesempatan tersebut antara lain Camat Way Ratai, Kepala Desa Bunut, Ketua IKA FK Unmal dr. Dian A., AIFO, Wakil Dekan Non Akademik FK Unmal Dr. dr. Hidayat, SpPK., Subsp. P.I (K), jajaran dokter, serta pengurus BEM FK Universitas Malahayati.

Camat Way Ratai dalam sambutannya memberikan apresiasi atas terselenggaranya kegiatan tersebut. Ia berharap agar kegiatan serupa dapat terus berlanjut dan menjangkau lebih banyak wilayah. “Masih banyak masyarakat yang membutuhkan layanan kesehatan seperti ini. Kami berharap Universitas Malahayati bisa terus hadir di tengah masyarakat, khususnya di Kecamatan Way Ratai,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua IKA FK Unmal, dr. Dian A., AIFO, yang juga pemilik Klinik Bunut Raya Medistra, menyampaikan rasa bangga dan antusiasnya. Ia menilai kegiatan ini bukan hanya bentuk pengabdian, tetapi juga kontribusi nyata dalam mempererat hubungan antara alumni, mahasiswa, dan masyarakat. “Kami ingin kegiatan ini membawa nama baik Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati dan menunjukkan bahwa alumni memiliki kepedulian tinggi terhadap kesehatan masyarakat, khususnya di Lampung,” ucapnya.

Kegiatan pengabdian masyarakat ini menjadi bukti nyata sinergi antara mahasiswa, alumni, dan civitas akademika Universitas Malahayati dalam mendukung peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Semangat gotong royong, kepedulian, dan dedikasi para mahasiswa kedokteran diharapkan dapat terus menjadi inspirasi untuk melahirkan program-program bermanfaat lainnya di masa mendatang. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Absurditas Kekuasaan, Ibarat Membalik Gunung dan Menguras Laut

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Maghrib berlalu, Isya menjelang; dawai medsos memanggil. Ternyata diseberang sana seorang Jurnalis senior papan atas negeri ini berkontak sambung. Cerita dimulai dari remeh-temeh kehidupan kemudian menukik pada inti persoalan: banyaknya politikus berurusan dengan penjara.

Mereka tercium terlibat tindakan penyelewengan uang negara, untuk kepentingan kelompoknya. Tentu saja wilayah abu-abu sering terbentuk karena untuk membutakan, atau paling tidak menyamarkan, agar kelakuan itu tidak tampak mata.

Sebuah drama mini dari dunia politik, tetapi dalam pandangan filsafat kontemporer, ini adalah lukisan besar tentang absurditas kekuasaan, ilusi kehendak, dan jatuhnya proyek-proyek yang menentang arus etika.

Diskusi terputus karena panggilan azan tiba, dengan janji akan sambung lagi. Namun dari sesingkat itu bicara jika kita nukil melalui filsafat kontemporer, akan tampak benang merah seperti di bawah ini.

Perumpamaan “membalik gunung, menguras laut” tidak sekadar menggambarkan betapa besar usaha yang dilakukan, tetapi juga betapa mustahilnya mempertahankan hasil dari usaha tersebut ketika ia berjalan berlawanan dengan asas kebenaran.

Ungkapan ini adalah satir bagi kebodohan yang angkuh, sebuah metafora untuk kehendak yang mencoba memanipulasi realitas namun justru tertelan oleh daya yang lebih besar: kebenaran itu sendiri.

Kita hidup dalam masyarakat yang oleh filsafat kontemporer kerap disebut sebagai medan permainan tanda dan kekuasaan. Kekuasaan tidak lagi sekadar berbentuk tangan keras negara atau simbol absolut, tetapi menjelma dalam jaringan-jaringan: bahasa, citra, wacana, dan bahkan dalam bentuk arsitektur institusional.

Dalam konteks itu, seorang petugas partai yang berusaha mengatur aliran uang gelap bukanlah aktor tunggal, melainkan simpul dari sebuah jejaring kekuasaan yang kompleks.

Ia adalah manifestasi dari hasrat kolektif dalam sistem politik yang tidak sekadar bertujuan meraih kekuasaan, tetapi mempertahankannya dengan segala cara, termasuk yang melawan moralitas.

Korupsi dalam kasus ini bukanlah sekadar tindakan menyimpang, tetapi sebuah strategi politik. Uang digunakan bukan hanya untuk membeli suara, tetapi juga membentuk citra, mengatur narasi, dan menciptakan momentum.

Namun, proyek besar ini tidak jarang runtuh sebelum mencapai panggung. Di sinilah letak absurditasnya: usaha yang dilakukan dengan cermat dan tertutup justru terbongkar, seolah-olah ada tangan tak terlihat yang menyeret semua ke permukaan.

Seakan-akan semesta tidak tinggal diam terhadap pelanggaran etika.
Filsafat kontemporer banyak berbicara tentang kehendak, terutama kehendak untuk berkuasa.

Dalam dunia politik modern, kehendak ini sering kali dimanipulasi oleh institusi yang menyamarkan dirinya sebagai perwakilan rakyat. Tetapi pada intinya, kehendak itu bukanlah milik individu, melainkan milik sistem yang memproduksi hasrat untuk memerintah.

Petugas partai dalam kisah ini tidak sedang menjalankan misi personal, melainkan mengaktualisasikan kehendak sistemik: menundukkan kebenaran demi kekuasaan. Namun sistem ini, meskipun tampak dominan, tetap rapuh.

Ia rapuh karena menyangkal satu hal: keterikatan antara kekuasaan dan kebenaran. Dunia kontemporer mungkin membiarkan berbagai bentuk deviasi moral demi stabilitas, tetapi tetap ada titik balik, yaitu ketika moralitas itu meledak dari bawah permukaan dan menginterupsi jalannya kekuasaan.

Interupsi itu bisa datang dalam bentuk penyitaan dana kampanye, penahanan seorang petugas, atau lebih besar lagi, dalam bentuk keruntuhan kepercayaan publik terhadap struktur partai itu sendiri.

Mereka yang mengumpulkan uang melalui korupsi berasumsi bahwa sistem akan tetap tertutup, bahwa semua aktor memainkan peran yang sudah dipahami bersama, sebuah kolusi diam-diam.

Tetapi justru dalam struktur sistemik seperti ini, peristiwa yang “membalik gunung dan menguras laut” adalah bentuk kehancuran dari ilusi kontrol total. Sistem itu, yang tampak kuat dan kedap, justru mengandung celah dalam dirinya sendiri: kerentanannya terhadap pelanggaran yang terlalu vulgar.

Yang lebih menarik dari segi filsafat adalah posisi individu dalam jaringan ini. Ia bukan pahlawan, bukan pula sekadar pelaku kejahatan. Ia adalah subjek yang digerakkan oleh hasrat, dipaksa oleh struktur, dan pada akhirnya ditinggalkan oleh sistem yang tidak mampu melindunginya ketika ia gagal menjalankan peran.

Inilah absurditas modern: individu dipuja sebagai aktor bebas, tetapi ketika dia terjerembab, maka dia dianggap penyimpang yang berdiri sendiri. Padahal, dia adalah hasil dari sistem itu sendiri.

Pertanyaannya sekarang , apa yang membuat upaya “membalik gunung dan menguras laut” itu gagal? Mengapa mesin kekuasaan yang tampaknya kuat bisa digagalkan oleh satu tindakan penegakan hukum?

Filsafat kontemporer menawarkan jawaban yang tajam: karena kebenaran bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Kebenaran, dalam pengertian ini, bukan sekadar fakta, melainkan kejadian yang membongkar ilusi.

Ia tidak hadir setiap saat, tetapi ketika ia muncul, ia mengguncang tatanan. Maka, penyitaan uang kampanye bukan hanya tindakan legal, tetapi momen kebenaran dari sebuah interupsi terhadap kebohongan yang selama ini dibungkus rapi.

Esai ini tidak berusaha menghakimi, tetapi menggambarkan bagaimana sebuah peristiwa yang tampaknya sederhana sesungguhnya menyimpan struktur filsafat yang dalam.

Kita melihat bukan sekadar seorang individu dipenjara, tetapi satu proyek kekuasaan yang tumbang oleh kenyataan yang tidak bisa dikendalikan. Peristiwa ini menjadi pelajaran tentang batas dari kehendak, batas dari kekuasaan, dan batas dari manipulasi.

“Membalik gunung, menguras laut” adalah metafora terakhir untuk menggambarkan usaha manusia modern yang melawan etika. Gunung dan laut adalah simbol kekuatan alam yang luar biasa dan usaha untuk membalik dan mengurasnya adalah bentuk kesombongan eksistensial.

Ketika usaha ini gagal, itu bukan hanya kegagalan strategi, tetapi kegagalan ontologis: manusia telah salah memahami posisinya dalam semesta, dan akhirnya dihukum bukan oleh sistem semata, tetapi oleh kenyataan itu sendiri. Dan dalam batas itu, kekuasaan, betapapun kuatnya, tetap tunduk. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Kekuasaan yang Melampaui Batas

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Angin kencang berembus berisi warta bahwa Pemerintah Kota Bandarlampung akan memberikan bantuan kepada Kejati Lampung senilai puluhan miliar rupiah untuk membangun gedung baru. Niat itu sepintas tampak “baik” dan tampak sekilas walikota juga “demawan”. Namun perlu diingat uang itu bukan milik pribadi, akan tetapi dihimpun serupiah demi rupiah dari keringat warga kota ini melalui pajak.

Ada warga yang dengan tulus memberikan ingatan dan masukan, tentu dengan caranya, agar walikota tidak meneruskan “niat baik” itu karena ada sejumlah hal menjadi pertimbangan.

Tulisan ini mencoba “mengingatkan” juga dari hati yang paling dalam dan rasa tulus, bahwa hal itu dari kacamata filsafat etika kurang pada tempatnya.

Dalam kerangka otonomi daerah, kewenangan pemerintah daerah telah diatur secara tegas oleh perundang-undangan. Prinsip desentralisasi memberikan ruang bagi daerah untuk mengelola urusan pemerintahan berdasarkan asas subsidiaritas, efisiensi, dan akuntabilitas. Namun, ketika kepala daerah memberikan bantuan kepada instansi vertical, yang sejatinya merupakan perpanjangan tangan pemerintah pusat, terjadi pelanggaran bukan hanya pada aspek hukum administratif, tetapi juga pada dimensi etika dan moral kebijakan publik.

Fenomena ini sering dibungkus dengan narasi “kerja sama” dan “sinergi antarlembaga”. Namun, dalam tinjauan etika kebijakan, niat baik tidak pernah cukup untuk membenarkan sebuah tindakan, apalagi yang secara substansial bertentangan dengan prinsip keadilan fiskal dan tata kelola pemerintahan yang sehat.

Setiap kebijakan publik, sekecil apapun, harus tunduk pada tiga pilar utama: legalitas, legitimasi moral, dan efektivitas. Ketiganya tidak bisa dipisahkan. Ketika satu pilar diabaikan, maka kebijakan itu menjadi cacat, bahkan jika ia tidak serta-merta menimbulkan kerugian yang nyata.

Secara legal, bantuan kepala daerah kepada instansi vertikal tanpa dasar hukum yang sah melanggar Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah dan prinsip pengelolaan keuangan negara. Instansi vertikal seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau kementerian di daerah memiliki alokasi anggaran dari APBN, bukan APBD. Ketika dana daerah, yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan masyarakat local, dialihkan untuk membiayai lembaga vertikal, maka terjadi penyimpangan wewenang. Kepala daerah, secara sadar atau tidak, telah keluar dari domain tanggung jawabnya dan memasuki wilayah yang bukan menjadi haknya untuk dikelola.

Dalam etika kebijakan, tindakan semacam ini menciptakan distorsi dalam prioritas publik. Kebijakan publik yang etis selalu dimulai dari penentuan prioritas berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan atas dasar kepentingan politis atau relasi kekuasaan. Ketika kepala daerah memilih untuk membantu lembaga vertikal daripada memperbaiki layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, atau infrastruktur lokal, maka ia sedang memperdagangkan keadilan demi keuntungan simbolik atau politik jangka pendek. Ini adalah bentuk pengingkaran terhadap keutamaan etis dalam penyusunan kebijakan.

Jika ditinjau dari sudut pandang etika tanggung jawab, kebijakan seperti ini mencerminkan kepemimpinan yang mengabaikan dampak jangka panjang. Bantuan kepada instansi vertikal seringkali tidak dilandasi kebutuhan objektif, melainkan lebih sebagai bentuk “investasi politik”.

Dalam praktiknya, relasi semacam ini bisa menciptakan ketergantungan, barter kekuasaan, bahkan konflik kepentingan yang merusak independensi lembaga-lembaga negara. Dalam hal ini, kebijakan bukan lagi menjadi alat untuk mencapai keadilan, tetapi telah berubah menjadi instrumen pragmatis untuk melanggengkan kekuasaan.

Dari sudut pandang desain kebijakan, tindakan ini juga mencerminkan cacat perencanaan publik. Tidak adanya mekanisme formal, tidak adanya akuntabilitas transparan, serta kaburnya indikator kinerja dari “bantuan” yang diberikan menunjukkan bahwa ini bukan kebijakan publik yang dirancang berdasarkan analisis rasional, partisipatif, dan berbasis bukti.

Kebijakan yang etis dan efektif menuntut proses deliberasi, konsultasi dengan pemangku kepentingan, serta pengukuran dampak yang dapat diuji. Bantuan kepada instansi vertikal yang diberikan secara sepihak tanpa mekanisme pertanggungjawaban mencederai seluruh prinsip ini.

Dari sudut pandang tata kelola pemerintahan, praktik ini juga menciptakan ambiguitas kelembagaan. Bantuan ke instansi vertikal menciptakan kaburnya batas tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah. Padahal salah satu prinsip utama dalam good governance adalah kejelasan peran dan fungsi. Ketika peran dan fungsi ini dikacaukan atas nama “koordinasi”, maka ruang abu-abu yang terbentuk menjadi sangat rentan terhadap penyalahgunaan kekuasaan. Pemerintah daerah mulai memasuki area yang bukan wewenangnya, dan instansi vertikal menjadi kurang independen karena merasa memiliki “utang” terhadap bantuan yang mereka terima.

Maka, dalam konteks etika kebijakan, penting ditegaskan bahwa sebuah kebijakan tidak dapat dinilai hanya dari niat atau hasil pragmatisnya. Harus ada pertanggungjawaban moral atas proses, aktor, dan dampak yang ditimbulkan. Kepala daerah tidak bisa berlindung di balik argumentasi efektivitas jangka pendek atau hubungan baik antar-lembaga. Kebijakan publik harus dilandasi oleh pertimbangan normatif, bukan sekadar kepentingan politis.

Rekomendasi kebijakan atas praktik ini sangat jelas: pertama, perlunya revisi regulasi dan pengawasan ketat terhadap interaksi keuangan antara pemerintah daerah dan instansi vertikal. Bantuan hanya bisa dilakukan melalui mekanisme resmi dan persetujuan antarlembaga yang sah. Kedua, penguatan kapasitas etik kepala daerah dalam pengambilan keputusan. Ketiga, perluasan ruang partisipasi publik dalam perencanaan dan pengawasan anggaran daerah, sehingga tidak ada lagi kebijakan yang diputuskan secara elitis dan tertutup.

Etika kebijakan mengajarkan bahwa kekuasaan yang dijalankan tanpa moral adalah kekuasaan yang akan melahirkan ketidakadilan, bahkan ketika hukum belum mampu menyentuhnya. Bantuan kepala daerah kepada instansi vertikal, jika dilakukan di luar kerangka hukum dan keadilan, adalah bentuk penyimpangan etis yang tidak bisa dibenarkan dengan dalih apa pun.

Negara ini membutuhkan lebih dari sekadar pemimpin yang pintar menyusun program; ia membutuhkan pemimpin yang berani berjalan dalam koridor moral yang benar, meski harus melawan arus. Karena hanya dari sana, kebijakan publik akan menjadi alat perubahan, bukan alat pelanggengan kekuasaan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Hukum Universitas Malahayati Gelar Pembekalan dan Persamaan Persepsi Magang Berdampak

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Hukum Universitas Malahayati menyelenggarakan Pembekalan dan Persamaan Persepsi Magang Berdampak yang dihadiri pimpinan universitas, pimpinan fakultas, Dosen Pembimbing Lapangan (DPL), mahasiswa peserta magang, serta perwakilan mitra dan mentor dari berbagai lembaga hukum dan institusi terkait. Selasa (23/9/2025).

Acara berlangsung di Ruang Rapat Abdul Qosyim di Lt 5 Gedung Rektorat dan dibuka dengan sambutan Dekan Fakultas Hukum, Aditia Arief Firmanto, SH.,MH., yang menegaskan pentingnya magang berdampak sebagai sarana penguatan kompetensi mahasiswa agar lebih siap menghadapi praktik hukum di dunia nyata. Sambutan berikutnya disampaikan oleh Ketua LPMI Universitas Malahayati, Dr. Arifki Zainaro, S.Kep., Ns., M.Kes yang sekaligus membuka secara resmi, serta perwakilan mitra dari KPU Kota Bandar Lampung, Rahmat Junaedi yang memberikan apresiasi atas sinergi universitas dengan lembaga mitra.

Dalam kegiatan ini, Ketua Program Studi Ilmu Hukum, Dr. Rissa Afni Martinouva, SH., MH memaparkan pembekalan program Magang Berdampak dengan menekankan pentingnya persamaan persepsi antara mahasiswa, dosen pembimbing lapangan, dan mentor instansi. Beliau menyampaikan bahwa kegiatan ini diharapakan dapat berjalan lancar serta mampu membekali mahasiswa dengan pengalaman dunia kerja sesuai bidang keahlian hukum, baik peminatan pidana, perdata, maupun tata negara. Hal tersebut sejalan dengan visi dan misi Program Studi Ilmu Hukum Universitas Malahayati, yaitu menghasilkan lulusan yang unggul dibidang Hukum Bisnis dan Kewirausahaan berbasis Teknologi Digital yang beretika religius pada tahun 2026.

Sejumlah mitra strategis turut hadir dalam kegiatan ini, antara lain LBH Bandar Lampung, Polda Lampung, KPU Kota Bandar Lampung, Kantor Hukum Curia Magna, BNN Provinsi Lampung, serta Kantor Notaris/PPAT Rendy Renaldy, S.H., M.Kn. Melalui sinergi ini, Fakultas Hukum Universitas Malahayati berkomitmen menghadirkan program magang yang tidak hanya bersifat administratif, melainkan benar-benar memberikan dampak nyata bagi penguatan kompetensi mahasiswa, sekaligus memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan nilai tambah bagi lembaga mitra melalui dukungan sumber daya manusia yang relevan dengan kebutuhan bidang hukum selama periode magang berlangsung. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Jejak yang Memudar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat melangkah meninggalkan ruangan untuk pulang, dalam perjalanan menuju Lift, berjumpa dengan dosen yang sudah tidak muda lagi; dalam obrolan ngalor-ngidul itu terselip ucapan yang mengatakan bahwa; beliau mendapatkan komen dari mahasiswanya bahwa mengapa pejabat sekarang sulit ditemui, karena diajarkan oleh dosen-dosennya dikampus, jika mau ditemui sulitnya bukan main. Akhirnya prilaku ini membentuk perilaku mahasiswanya saat setelah selesai kuliah dan menjadi pejabat. Sontak kalimat ini mengingatkan gurauan mahasiswa pascasarjana yang berkata “lebih mudah bertemu malaikat dari pada bertemu dosen, oleh karena itu juga kita lebih mudah melupakan dosen dari pada melupakan malaikat”. Celotehan tadi membuat perenungan berjalan menelusuri ruang-ruang ingatan; bulir-bulir filsafat kontemporer atau kekinian, seolah menemukan peneguhan untuk dijadikan pintu masuk mengkaji fenomena ini.

Dalam perjalanan akademik, hubungan antara mahasiswa dan dosen menjadi salah satu ikatan yang secara tradisional dianggap sakral dan penuh makna. Namun, kecenderungan yang muncul belakangan ini menunjukkan sebuah fenomena yang menarik: mahasiswa secara perlahan namun pasti melupakan dosen-dosennya. Fenomena ini bukan sekadar persoalan ingatan individual, melainkan merupakan gejala yang mencerminkan transformasi yang lebih mendalam dalam konteks sosial, budaya, dan eksistensial di era kontemporer. Melalui lensa filsafat kontemporer, kita dapat mencoba menelusuri akar dan makna dari kecenderungan ini, yang pada gilirannya membuka dialog kritis tentang hakikat pendidikan, otoritas, serta hubungan manusia dalam masyarakat modern.

Pertama, penting untuk dipahami bahwa ingatan bukanlah sekadar rekaman pasif dari masa lalu, melainkan sebuah konstruksi aktif yang senantiasa dibentuk dan dibentuk ulang oleh konteks sosial dan kondisi psikologis individu. Dalam konteks mahasiswa dan dosen, ingatan terhadap sosok dosen bukan hanya berkaitan dengan siapa mereka secara personal, tetapi juga bagaimana peran dosen itu dimaknai dalam struktur pendidikan dan kehidupan sosial. Dalam kultur yang semakin mengedepankan efisiensi, utilitas, dan pragmatisme, peran dosen sering kali direduksi menjadi fungsi administratif dan instruksional semata. Hal ini menyebabkan hubungan yang seharusnya bermakna dan transformatif menjadi dangkal dan instrumental, sehingga ingatan terhadap dosen pun mudah memudar.

Kecenderungan ini juga dapat dilihat sebagai konsekuensi dari perubahan paradigma dalam cara pengetahuan diproduksi dan disebarkan di era digital. Mahasiswa kini memiliki akses tanpa batas ke sumber informasi yang luas dan beragam, sehingga ketergantungan mereka pada dosen sebagai sumber otoritatif mulai berkurang. Dalam kerangka ini, dosen tidak lagi diposisikan sebagai satu-satunya penjaga kebenaran atau pengetahuan yang harus diikuti secara mutlak. Perubahan ini menggeser dinamika otoritas dan mengaburkan batas antara guru dan murid, sehingga hubungan yang semula didasarkan pada hierarki kini menjadi lebih egaliter, tetapi sekaligus lebih rapuh dan mudah terlupakan. Ingatan terhadap dosen pun menjadi subordinat terhadap kebutuhan praktis dan kecepatan akses informasi.

Dari perspektif eksistensial, hubungan mahasiswa-dosen tidak hanya soal transfer ilmu, tetapi juga soal perjumpaan manusia dengan manusia yang lain dalam sebuah ruang transformasi diri. Namun, dalam dunia modern yang sarat dengan tekanan produktivitas dan pencapaian hasil, ruang transformasi ini sering kali terpinggirkan. Mahasiswa didorong untuk mengejar hasil dan gelar tanpa memberikan waktu dan ruang untuk refleksi mendalam atas pengalaman belajar dan interaksi personal dengan dosen. Akibatnya, hubungan ini menjadi sebuah transaksi yang cepat berlalu dan kehilangan dimensi manusiawi yang seharusnya mengakar pada kehadiran dan perhatian yang penuh. Dalam konteks ini, lupa terhadap dosen adalah refleksi dari kehilangan jejak humanitas yang sempat terukir dalam proses pembelajaran.

Selain itu, fenomena pelupaan ini dapat dianalisis melalui konsep temporalitas kontemporer, di mana waktu dipersepsikan sebagai sebuah dimensi yang semakin dipadatkan dan dipercepat. Dalam masyarakat yang semakin terjerat oleh teknologi dan tekanan waktu, pengalaman masa lalu, termasuk pengalaman belajar dengan dosen, terasa semakin jauh dan kurang relevan. Kesibukan dan arus informasi yang tak henti membuat mahasiswa sulit untuk berhenti dan merenung, sehingga memori terhadap sosok dosen menjadi terlupakan secara perlahan tapi pasti. Hal ini mencerminkan perubahan besar dalam hubungan manusia dengan waktu dan ingatan, di mana yang hadir hanya adalah saat ini yang terus-menerus bergerak tanpa henti.

Dalam ranah ontologis, fenomena pelupaan dosen ini juga menyentuh pada pertanyaan tentang keberadaan dan makna peran dosen itu sendiri. Dosen tidak hanya berfungsi sebagai penyampai ilmu, tetapi juga sebagai pembentuk identitas akademik dan pribadi mahasiswa. Ketika ingatan terhadap dosen memudar, ini berarti ada kehilangan sebagian dari identitas tersebut, sekaligus pelemahan fondasi eksistensial yang membentuk mahasiswa sebagai subjek pengetahuan dan refleksi. Dalam dunia yang terus berubah dan penuh ketidakpastian, kehilangan ingatan terhadap sosok yang pernah membimbing bisa diartikan sebagai hilangnya jejak keberadaan yang pernah memberikan makna dan arah.

Sementara itu, fenomena ini juga membuka refleksi tentang hakikat pendidikan itu sendiri. Apakah pendidikan semata-mata tentang transfer pengetahuan dan keterampilan, ataukah juga tentang pembentukan karakter, nilai, dan hubungan antarmanusia? Melupakan dosen mungkin menjadi indikasi bahwa pendidikan saat ini terlalu fokus pada output yang bisa diukur dan kurang memberi ruang pada proses hubungan personal yang esensial. Dalam filsafat pendidikan kontemporer, hal ini mengundang kritik terhadap model pendidikan yang terlalu instrumental dan mengabaikan dimensi etis dan eksistensial dari proses belajar.

Selain itu, dari perspektif fenomenologi, proses belajar adalah sebuah perjumpaan antar subjek yang membuka ruang pengalaman bersama. Namun, dalam kondisi modern, perjumpaan ini sering terfragmentasi oleh mekanisme pendidikan yang birokratis dan teknologi yang mengotomatisasi interaksi. Fragmentasi ini menyebabkan kehilangan rasa kehadiran yang autentik, yang merupakan syarat utama agar ingatan terhadap dosen tetap hidup dan bermakna. Ketika kehadiran hilang, maka jejak hubungan pun ikut memudar, sehingga lupa terhadap dosen menjadi sebuah keniscayaan.

Lebih jauh, pergeseran ini mencerminkan suatu transformasi budaya yang berorientasi pada budaya cepat (fast culture), di mana segala sesuatu ingin diperoleh dan dilupakan dengan cepat. Dalam budaya seperti ini, hubungan dan pengalaman cenderung diperlakukan sebagai konsumsi sementara, bukan sebagai investasi jangka panjang yang membentuk identitas dan karakter. Mahasiswa yang lupa terhadap dosen adalah manifestasi dari budaya yang mengutamakan kesegeraan dan efisiensi, sehingga nilai-nilai penghargaan, penghormatan, dan kenangan menjadi tersisihkan.

Sebagai kesimpulan reflektif, fenomena mahasiswa yang secara perlahan tapi pasti melupakan dosen-dosennya adalah gejala kompleks yang mencerminkan transformasi mendalam dalam cara manusia berhubungan dengan ingatan, otoritas, waktu, dan makna dalam dunia kontemporer. Ia mengundang kita untuk mempertanyakan kembali makna pendidikan, hakikat hubungan manusia, serta nilai-nilai yang menopang kehidupan intelektual dan eksistensial. Melalui pemahaman filsafat kontemporer, kita dapat melihat bahwa pelupaan ini bukan hanya persoalan individual, melainkan bagian dari perubahan sosial dan kultural yang memerlukan perhatian kritis dan refleksi mendalam. Mengingat kembali dosen bukan sekadar soal menghormati figur masa lalu, tetapi juga soal mempertahankan jejak humanitas, makna, dan keberlanjutan dalam dunia pendidikan dan kehidupan bersama. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman