Merawat Guru

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat menghadiri undangan para siswa yang empat puluh lima tahun lalu masih menggunakan pakaian seragam putih biru dan putih abu-abu, serta masih sangat aktif, bahkan terkadang melampaui batas. Kini mereka sudah berusia di atas enampuluh tahun, bahkan sudah pada pensiun. Tetapi mereka tetap amat sangat menghormati guru-gurunya. Sebagai contoh saat dalam perjalanan yang cukup memakan waktu, menuju obyek wisata sejarah; ada guru sepuh yang terganggu kesehatannya. Mereka bahumembahu merawat sang guru, seperti merawat orang tuanya sendiri. Ditengah arus distorsi terhadap penghargaan pada guru; mereka tetap menunjukkan entitas yang berbeda. Mereka mengesampingkan perbedaan keyakinan personal, tetapi berbicara atas kemanusiaan, yang hidup dalam keberagaman.

Mereka memposisikan guru bukan hanya pengajar di ruang kelas, tapi juga penjaga nilai, penuntun akal budi, dan pengukir masa depan. Walupun saat ini banyak kita jumpai di tengah masyarakat di balik semua jasanya, guru justru kerap menjadi korban sistem yang lebih mengutamakan angka dibandingkan nilai, administrasi dibandingkan makna, dan efisiensi dibandingkan hubungan manusiawi.

Dalam perspektif filsafat manusia, guru adalah lebih dari sekadar profesi. Ia adalah bagian dari proses eksistensial manusia menjadi diri. Seorang anak tidak lahir sebagai manusia yang utuh; ia dibentuk melalui relasi dengan orang lain; dan salah satu relasi terpenting itu adalah dengan guru. Guru hadir sebagai pemandu dalam pencarian makna, menuntun manusia muda memahami dunia dan diri mereka sendiri. Tanpa guru, kita hanya memiliki potensi; dengan guru, potensi itu diberi arah.

Filsuf Martin Buber membedakan dua jenis hubungan manusia: Aku-Engkau dan Aku-Itu. Dalam relasi Aku-Engkau, kita melihat sesama sebagai subjek yang setara dan patut dihargai. Sebaliknya, dalam relasi Aku-Itu, kita memperlakukan orang lain sebagai alat atau objek. Sayangnya, banyak guru hari ini mengalami relasi Aku-Itu dari masyarakat dan sistem pendidikan. Mereka dibebani tugas administratif yang tak ada habisnya, diukur hanya lewat hasil ujian, dan kadang diperlakukan layaknya pegawai pabrik. Tidak heran jika kelelahan mental dan kehilangan makna menjadi gejala umum di kalangan guru.

Filsuf Emmanuel Levinas berbicara tentang pentingnya wajah dalam hubungan antarmanusia. Ketika kita memandang wajah orang lain, kita dipanggil untuk bertanggung jawab atasnya. Wajah guru adalah wajah yang telah puluhan tahun selalu memberi, tetapi tidak berharap untuk diberi. Tanggung jawab kita pada guru bukan hanya sekadar menggaji layak. Lebih dalam dari itu, kita memiliki tanggung jawab moral untuk merawatnya secara emosional, sosial, dan spiritual. Guru bukan robot pengajar, tapi manusia yang juga membutuhkan empati, dukungan, dan pengakuan.

Dalam sistem pendidikan modern, guru kerap terjepit antara idealisme dan tuntutan sistem. Kurikulum yang kaku, target yang menekan, dan budaya yang menilai segalanya dari hasil tes membuat pendidikan kehilangan rohnya. Filsuf Paulo Freire mengkritik sistem seperti ini sebagai “pendidikan gaya bank”, di mana para siswanya dianggap celengan kosong yang harus diisi, dan guru hanya sebagai pengisi. Padahal pendidikan sejati adalah relasi yang hidup antara manusia. Guru adalah rekan dialog yang membangkitkan kesadaran kritis murid. Ketika kita merawat guru, kita bukan hanya menolong individu, tapi juga memulihkan ruh pendidikan itu sendiri. Guru adalah salah satu profesi yang paling bermakna, karena seluruh hidupnya diabdikan untuk orang lain.

Merawat guru adalah menjaga agar mereka tetap menemukan makna dalam pekerjaannya. Kita perlu menciptakan ruang di mana guru bisa berkembang, dihargai, dan diberi kesempatan untuk terus memperbaharui ilmunya. Karena guru yang merasa dimanusiakan akan melahirkan generasi yang lebih manusiawi.

Seringkali kita bicara soal masa depan bangsa, namun melupakan orang-orang yang justru mempersiapkan masa depan itu setiap hari: itulah para guru. Merawat guru bukan sekadar program pemerintah atau slogan seremoni Hari Guru. Ini adalah panggilan etis setiap insan yang pernah disentuh oleh pengajaran.

Pada akhirnya, pertanyaan yang perlu kita renungkan bukan hanya “apa yang sudah guru berikan kepada kita?”, tapi juga “apa yang telah kita lakukan untuk merawat mereka?”. Filsafat manusia mengajarkan bahwa manusia sejati adalah mereka yang peduli, yang sadar bahwa keberadaannya bergantung pada yang lain.

Terimakasih untuk semua wahai anakdidikku, kalian telah menunjukkan sikap terbaikmu terhadap kami. Semoga keberkahan hidup akan selalu melimpah kepada kalian. Kami guru merasa bangga jika kalian menjadi orang sukses dalam berkehidupan, dan kami orang pertama yang merasa sedih jika kalian mendapatkan musibah kehidupan. Selamat menjadi orang-orang baik. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Ketika Pemimpin Terjebak Data

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pemimpin tertinggi negeri ini saat bicara kemiskinan dan pengangguran sangat berapi-api, karena mendapat laporan data dari lembaga bawahannya semua dalam kondisi “baik-baik saja”. Beliau tidak salah karena selama ini ukuran itu menjadi semacam “dewa keberhasilan” dari suatu pekerjaan. Sebab, di era digitalisasi dan big data, statistik telah menjadi semacam “kompas” dalam dunia kepemimpinan. Data statistik dianggap mampu menunjukkan arah, mengukur dampak, serta merumuskan solusi untuk berbagai persoalan sosial. Dalam teori administrasi modern, penggunaan data sangat penting untuk efisiensi dan efektivitas kebijakan publik. Namun, ada satu aspek penting yang sering kali terabaikan dalam proses ini, yaitu, kemanusiaan.

Ketika seorang pemimpin terlalu terfokus pada angka dan indikator statistik, ada risiko besar bahwa realitas manusia yang kompleks, dinamis, dan penuh nuansa akan terabaikan. Pemimpin mungkin melihat bahwa angka pengangguran telah menurun, namun tidak menyadari bahwa yang disebut “pekerjaan” adalah kerja kontrak harian tanpa jaminan kesehatan. Pemimpin mungkin puas dengan angka penurunan stunting, tanpa menyadari bahwa metode pengukuran gizi telah berubah demi mempercantik laporan.

Berdasarkan pemahaman literature yang ada bahwa: data statistik memberikan dasar objektif untuk: Menyusun anggaran yang tepat sasaran. Menentukan indikator kinerja pemerintahan. Mengevaluasi dampak suatu program. Merancang kebijakan berdasarkan tren. Contoh: jika data menunjukkan bahwa daerah A memiliki tingkat putus sekolah tertinggi, maka intervensi bisa diarahkan secara cepat dan spesifik ke sana. Ini adalah keunggulan data sebagai alat pengambilan keputusan berbasis bukti. Namun dalam memutuskan suatu kebijakan harus hati-hati, ada banyak hal yang tidak terjangkau oleh pemahaman fenomena. Sebagai contoh ditemukan data kekurangan dokter dengan jumlah tertentu. Kemudian kebijakan diambil dengan membuka sebanyak-banyaknya fakultas kedokteran. Wal hasil mutu lulusan menjadi rendah, jumlah pengangguran dokter di masa depan akan terjadi. Kebijakan yang diambil tidak tepat, sementara data statistiknya sudah benar. Kebijakan yang diambil seharusnya meningkatkan daya tampung dan tetap menjaga kualitas dari fakultas kedokteran yang ada. Tentu kebijakan akademik berbeda dengan kebijakan politik populis, apalagi berbasis proyek serta pencitraan.

Hal ini terjadi karena data menjadi satu-satunya lensa untuk memahami masyarakat. Statistik adalah bentuk abstraksi yang menyederhanakan realitas. Dalam proses penyederhanaan itu, aspek manusia, seperti; emosi, nilai, budaya, rasa sakit, harapan, sering kali terabaikan. Contoh sederhana: data mengatakan “tingkat kemiskinan menurun 3%”, namun tidak menjelaskan bahwa jutaan orang masih harus memilih antara membeli makanan atau obat.  Di sinilah letak jebakannya: statistik bisa menciptakan ilusi kemajuan, sementara realitas tetap stagnan atau bahkan memburuk.

Contoh lain: Dalam banyak negara berkembang, bantuan sosial sering diberikan berdasarkan kriteria statistik seperti “pendapatan di bawah garis kemiskinan”. Namun, banyak warga yang tidak tercatat dalam sistem data resmi, misalnya buruh informal atau masyarakat adat, akhirnya tidak menerima bantuan meskipun sangat membutuhkan. Statistik menyatakan bantuan telah menjangkau “95% rumah tangga miskin”, tetapi siapa yang memverifikasi keabsahan data.  Di balik data yang tampak indah, tersembunyi lapisan-lapisan eksklusi sosial yang perlu perhatian tersendiri.

Pemerintah sering membanggakan pembangunan jalan, jembatan, atau fasilitas umum berdasarkan indikator output: “sekian km jalan dibangun”, “sekian jembatan selesai dikerjakan”. Namun tidak jarang proyek ini dibangun di tempat yang tidak dibutuhkan karena alasan politik atau birokrasi. Masyarakat lokal mungkin tidak memiliki akses untuk memberikan suara tentang kebutuhan mereka. Seolah-olah statistik pembangunan menjadi semacam “pelengkap pencitraan”, bukan sarana untuk mewujudkan kesejahteraan riil.

Kepemimpinan yang baik harus menempatkan manusia sebagai pusat (antroposentris) dari semua kebijakan dan keputusan. Artinya, data boleh digunakan sebagai alat bantu, tapi bukan sebagai tujuan akhir. Ukuran keberhasilan tidak hanya angka, tetapi juga kualitas kehidupan manusia secara menyeluruh. Seperti dikatakan oleh filsuf Emmanuel Levinas, hubungan antar-manusia tidak bisa direduksi pada hitung-hitungan rasional. Ada aspek “tatapan wajah”, atau kehadiran manusia lain yang menuntut tanggung jawab etis di luar logika statistik.

Cara paling efektif untuk menghindari dehumanisasi statistik adalah dengan menggabungkan data kuantitatif dengan narasi kualitatif. Cerita dari lapangan, wawancara warga, dan pengalaman langsung harus menjadi bagian dari laporan kebijakan. Sebuah angka tentang kemiskinan akan jauh lebih bermakna jika diiringi dengan kutipan ibu rumah tangga yang harus makan sekali sehari. Cerita memberi warna, rasa, dan kedalaman akan fenomena.

Statistik dengan datanya adalah alat bantu penting. Tapi ia tidak memiliki hati. Ia tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan pekerjaan, ditolak rumah sakit, atau menahan lapar. Itulah mengapa pemimpin tidak boleh menjadi budak statistik. Ia harus menjadi penafsir data dengan hati nurani. Kepemimpinan bukan sekadar soal target dan indikator, tapi tentang keberanian untuk menatap wajah rakyat dan mengatakan: “Saya melihatmu. Saya mendengarmu. Saya bersamamu. Saya akan berbuat sesuatu untuk mu.” Mari kita bangun dunia yang tidak hanya cerdas secara data, tetapi juga bijaksana secara nurani. Salam Waras! (SJ)

Editor: Gilang Agusman

FK Universitas Malahayati Tawarkan Kesempatan Emas Jadi Dokter! Asrama Gratis, Biaya Terjangkau, Akreditasi Baik Sekali!

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Buat kamu yang punya cita-cita menjadi dokter, this is your sign! Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati masih membuka pendaftaran mahasiswa baru, dan ini adalah kesempatan yang tidak boleh kamu lewatkan!

Dengan fasilitas lengkap, sistem pembelajaran berbasis kompetensi, serta dukungan akademik yang kuat, FK Universitas Malahayati siap mengantarkan kamu menuju impian menjadi dokter profesional dan berintegritas.

Yang bikin makin menarik? Asrama GRATIS untuk mahasiswa baru, sumbangan wajib bisa dicicil sesuai kemampuan, SPP juga bisa dicicil (tidak memberatkan orang tua), Akreditasi “Baik Sekali” dari LAM-PTKes.

Tak hanya itu, kamu juga akan bergabung dengan lingkungan kampus yang mendukung dan inspiratif, lengkap dengan fasilitas penunjang pembelajaran seperti laboratorium modern, rumah sakit pendidikan, dan pembinaan karakter mahasiswa.

Jangan tunda lagi! Wujudkan impianmu menjadi seorang dokter bersama Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.

Daftar sekarang juga melalui link berikut: https://s.id/RegMhsBaru

Informasi lebih lanjut hubungi:  0811-7970-0505 (WhatsApp)

Karena masa depanmu dimulai hari ini. Yuk bergabung dan tumbuh bersama FK Malahayati! (gil)

Editor: Gilang Agusman

Sekolah “Abu-Abu” : Negeri Bukan, Swasta Tidak

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir-akhir ini marak pejabat aktif yang sedang berkuasa, ingin meninggalkan legacy dengan membuat sekolah, dari tingkat pendidikan usia dini sampai sekolah lanjutan atas, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Tentu saja alasannya beragam. Hal ini menimbulkan sejuta tanya, sebenarnya sekolah itu swasta atau negeri. Untuk itu, sebaiknya kita pahamkan secara terurai persoalan ini, dengan harapan masyarakat menjadi paham, dan bukan mencari kesalahan.

Di Indonesia, negara memiliki dua jalur utama dalam pendidikan formal, yaitu sekolah negeri yang didirikan dan dibiayai pemerintah, dan sekolah swasta yang dijalankan oleh yayasan atau organisasi independen. Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya “jalan ketiga”, yakni sekolah yang beroperasi di luar dua jalur tersebut, didirikan oleh pejabat publik aktif, seperti walikota atau bupati, tetapi tidak memiliki status hukum yang jelas.

Fenomena ini menciptakan institusi pendidikan yang disebut oleh banyak pengamat sebagai “sekolah abu-abu”; bukan sekolah negeri, bukan pula swasta murni. Dalam kasus ini, sekolah tersebut kerap didirikan oleh walikota atau pejabat daerah menggunakan kekuasaan dan fasilitas negara, tetapi secara administratif tidak tercatat dalam sistem nasional pendidikan.

Pendidikan adalah sektor strategis yang sangat menarik secara politis. Banyak kepala daerah ingin meninggalkan legacy berupa pembangunan sekolah-sekolah baru. Di satu sisi, semangat ini perlu diapresiasi: mereka menunjukkan komitmen pada pembangunan sumber daya manusia. Namun, persoalan muncul ketika pendirian sekolah dilakukan tanpa melalui prosedur formal, atau bahkan hanya sebagai proyek politik populis.

Beberapa contoh fenomena ini di antaranya: sekolah didirikan oleh walikota melalui perusahaan daerah, tetapi tidak di bawah dinas pendidikan. Pengelolaan dilakukan oleh ASN yang diperbantukan, gajinya tidak jelas berasal dari APBD atau BOS. Sekolah memakai lahan pemerintah, gedungnya dibangun dari APBD, tetapi tidak ada Perda yang mengesahkan status kelembagaannya. Akibatnya, sekolah tersebut hidup dalam status abu-abu, seolah-olah negeri karena fasilitasnya dari negara, tetapi tidak ada payung hukum yang jelas. Sementara itu, orang tua dan siswa mengira sekolah tersebut resmi dan setara dengan sekolah negeri, padahal tidak tercatat dalam sistem nasional pendidikan (Dapodik atau EMIS).

Karakteristik sekolah abu-abu yang didirikan pejabat; didirikan atas inisiatif pribadi pejabat publik (walikota/bupati), biasanya tanpa rekomendasi dinas pendidikan. Dengan ciri lain: menggunakan fasilitas negara, seperti gedung pemerintah, guru honorer daerah, atau dana CSR BUMD. Tidak memiliki legalitas formal sebagai sekolah negeri (tidak tercantum dalam SK Kemendikbud). Tidak memiliki izin operasional sebagai sekolah swasta (tidak didirikan oleh yayasan resmi). Kerap menggunakan nama atau branding tertentu, bercirikan lokal untuk mendongkrak popularitas politik.

Pendirian sekolah semacam ini sering kali bukan murni karena kebutuhan pendidikan, melainkan bagian dari strategi politik pencitraan. Dalam konteks pemilihan umum atau pilkada, membuka sekolah “gratis” atau “unggulan” menjadi alat yang sangat efektif untuk menarik simpati. Bentuk simbolik lain juga kerap muncul: nama sekolah mencantumkan nama pejabat, promosi di media sosial pemerintah lokal menampilkan wajah atau logo pemimpin daerah. Guru dan siswa “dipaksa” mendukung program politik tertentu. Ini adalah bentuk politisasi pendidikan yang berbahaya, karena pendidikan seharusnya netral dan tidak digunakan sebagai alat kekuasaan.

Sekolah abu-abu tidak masuk dalam Dapodik (Data Pokok Pendidikan) atau EMIS. Artinya: siswa tidak terdata secara resmi dan tidak bisa mengikuti ujian nasional. Ijazah tidak sah secara hukum. Sekolah tidak bisa mendapat BOS, BOP, atau dana dari Kemdikbud. Guru di sekolah ini seringkali berstatus sukarelawan atau honorer, tetapi tidak masuk dalam formasi guru negeri atau swasta. Mereka digaji dari kas daerah, BUMD, atau bahkan tidak digaji.

Mendirikan sekolah menggunakan dana APBD tanpa Perda atau SK resmi bisa masuk kategori penyalahgunaan anggaran. Penggunaan aset negara untuk entitas tanpa status hukum jelas juga bisa menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Dan, ketika sekolah abu-abu diberi fasilitas mewah karena didukung pejabat, sementara sekolah negeri dan swasta lainnya kesulitan dana, maka ini menciptakan ketidakadilan struktural. Seolah-olah “status istimewa” hanya berlaku bagi sekolah yang dekat dengan kekuasaan.

Dampak jangka panjang diantaranya adalah: siswa yang lulus dari sekolah abu-abu sulit mendaftar ke jenjang pendidikan lebih tinggi karena ijazahnya tidak sah. Ini merugikan masa depan mereka secara langsung. Selanjutnya, ketika pejabat yang mendirikan sekolah sudah tidak menjabat lagi, banyak sekolah abu-abu terbengkalai karena tidak ada payung hukum yang menjaga kelangsungannya. Jika ini dibiarkan, maka akan menciptakan preseden: setiap pejabat bisa membangun sekolah atas nama pribadi, tanpa regulasi. Ini membahayakan integritas sistem pendidikan nasional.

Solusinya adalah dengan menertibkan tanpa mematikan. Caranya : Pertama, audit nasional sekolah nonformal oleh daerah. Setiap pemda wajib mendata seluruh sekolah yang berdiri di wilayahnya, termasuk yang didirikan oleh pejabat aktif. Audit ini harus transparan, melibatkan masyarakat sipil dan lembaga independen.

Kedua, legalisasi melalui jalur khusus. Dengan diberi pilihan: jika ingin menjadi sekolah negeri, harus melalui proses pengesahan dinas pendidikan. Jika ingin swasta, harus membentuk yayasan resmi.

Ketiga, melarang pendirian sekolah baru oleh pejabat aktif. Caranya, perlu adanya regulasi nasional yang melarang pejabat aktif mendirikan sekolah atas nama pribadi atau menggunakan dana publik tanpa dasar hukum yang sah. Ini penting untuk mencegah penyalahgunaan wewenang.

Keempat, pengawasan oleh BPK dan Ombudsman. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Ombudsman harus dilibatkan untuk menelusuri penggunaan dana, status legal, dan keluhan masyarakat terkait sekolah-sekolah abu-abu.

Fenomena “sekolah abu-abu” yang didirikan oleh pejabat aktif, dengan status negeri bukan, swasta pun tidak, adalah cerminan dari persoalan serius dalam tata kelola pendidikan di Indonesia. Di satu sisi, ia tampak sebagai bentuk inisiatif positif pejabat daerah dalam meningkatkan akses pendidikan. Namun di sisi lain, pendirian sekolah di luar jalur resmi tanpa dasar hukum yang kuat berisiko merusak sistem pendidikan nasional secara keseluruhan.

Pendidikan bukan ladang pencitraan. Ia adalah tanggung jawab negara dan masyarakat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa secara berkeadilan dan berkesinambungan. Setiap sekolah, sekecil dan seterpencil apa pun, harus berjalan dalam jalur yang benar, bukan di bawah bayang-bayang kekuasaan, bukan di tengah abu-abu yang membingungkan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Gelar Sosialisasi KKL-PPM 2025: Angkat Tema “Gerakan Kampus Berdampak pada Penanganan Stunting Tanggamus 2025”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati menggelar kegiatan Sosialisasi Kuliah Kerja Lapangan – Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat (KKL-PPM) Tahun 2025 dengan mengangkat tema “Gerakan Kampus Berdampak pada Penanganan Stunting Tanggamus 2025”. Acara ini diselenggarakan pada Kamis, 24 Juli 2025, bertempat di Graha Bintang Universitas Malahayati.

Sosialisasi ini merupakan langkah awal dalam menyiapkan para mahasiswa untuk terjun langsung ke tengah masyarakat, khususnya di Kabupaten Tanggamus, dalam upaya mendukung program nasional penurunan angka stunting. Acara ini dihadiri oleh seluruh jajaran pimpinan universitas, antara lain Wakil Rektor I, II, III, dan IV, seluruh kepala lembaga, ketua program studi, serta para dosen pembimbing lapangan (DPL). Kegiatan KKL-PPM ini sendiri berada di bawah koordinasi Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Malahayati.

Hadir sebagai tamu undangan penting dalam sosialisasi ini antara lain: Ir. Doni Sengaji Berisang, S.T., M.M (Kepala Bapperida Kabupaten Tanggamus), Soetriningsih, S.Sos., M.Si (Plt. Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Lampung), Ani Fatimah Isfarjanti, S.Si., Apt., M.H (Kepala Balai Besar POM Lampung), M. Nuh (Kepala BPJS Ketenagakerjaan Provinsi Lampung), Faradillah, S.E., M.M (Account Representative BPJS Ketenagakerjaan), IPTU Wahyu Nata (Perwakilan Polsek Cukuh Balak, Kabupaten Tanggamus).

Acara ini juga menghadirkan lima narasumber utama yang memberikan pemahaman strategis kepada mahasiswa mengenai isu-isu utama di lokasi pengabdian. Diskusi dipandu secara menarik oleh Satria Wijaya, M.Pd, dosen Bahasa Indonesia Universitas Malahayati.

Dalam sambutannya, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, selaku Wakil Rektor I Universitas Malahayati, menyampaikan bahwa kegiatan KKL-PPM bukan hanya bentuk kewajiban akademik, namun juga manifestasi nyata tanggung jawab sosial mahasiswa sebagai calon pemimpin masa depan.

“Mahasiswa Universitas Malahayati harus mampu hadir sebagai agen perubahan. Melalui program ini, kalian tidak hanya belajar dari masyarakat, tetapi juga turut memberikan dampak, khususnya dalam isu stunting yang menjadi perhatian nasional. Manfaatkan kesempatan ini untuk melatih kepekaan sosial dan kolaboratif di tengah masyarakat,” ujar Prof. Dessy dalam arahannya.

Ketua Pelaksana KKL-PPM 2025, Eka Yudha Chrisanto, S.Kep., Ners., M.Kep, dalam laporannya menyampaikan bahwa sebanyak 1.420 mahasiswa akan diterjunkan ke 5 kecamatan dan 70 pekon (desa) yang tersebar di Kabupaten Tanggamus.

“KKL-PPM adalah bentuk pengabdian nyata mahasiswa kepada masyarakat. Ini bukan sekadar program akademik, tetapi bentuk kolaborasi nyata antara kampus, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam menjawab tantangan pembangunan desa,” ungkap Eka.

Ia juga mengucapkan terima kasih atas dukungan dari berbagai pihak, khususnya Bupati Tanggamus yang telah membuka pintu selebar-lebarnya bagi mahasiswa Universitas Malahayati. Apresiasi juga diberikan kepada seluruh narasumber dari Bapperida, BKKBN, BPOM, BPJS, hingga perwakilan Polsek Cukuh Balak yang telah memberikan arahan, gambaran, dan kesiapan kolaboratif di lapangan.

Selama menjalankan program KKL-PPM, para mahasiswa akan melaksanakan berbagai program kerja terstruktur yang telah disusun bersama dosen pembimbing lahan (DPL), mulai dari edukasi gizi dan kesehatan ibu-anak, pemberdayaan ekonomi keluarga, pelatihan sanitasi, hingga pendampingan administrasi desa dan sosial budaya masyarakat.

“Kami sadar bahwa kegiatan ini tidak akan berjalan lancar tanpa dukungan semua pihak. Untuk itu, kami sangat mengharapkan bimbingan, arahan, dan partisipasi dari kepala desa, perangkat desa, tokoh masyarakat, serta seluruh warga pekon agar program ini dapat berjalan sukses dan memberi manfaat jangka panjang,” lanjut Eka.

Mahasiswa diharapkan mampu menjadikan setiap interaksi dan kontribusi di masyarakat sebagai laboratorium pembelajaran yang sesungguhnya—di mana teori bertemu realita, dan ilmu menjadi solusi.

Sosialisasi ini menjadi tonggak awal dari komitmen Universitas Malahayati dalam menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya di bidang pengabdian kepada masyarakat. Melalui tema besar “Gerakan Kampus Berdampak”, Universitas Malahayati menegaskan perannya sebagai mitra strategis pemerintah daerah dalam menurunkan angka stunting serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Dengan semangat gotong royong dan kolaborasi lintas sektor, Universitas Malahayati percaya bahwa gerakan kecil dari kampus dapat membawa dampak besar di tengah masyarakat.

Prodi Psikologi Universitas Malahayati Gelar Kuliah Pakar, Gali Potensi Komunitas Anak Kurang Beruntung Melalui Pendidikan

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Psikologi Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam mencetak lulusan yang berempati tinggi dan siap terjun ke masyarakat. Pada Jumat (18/7/2025), Prodi Psikologi menyelenggarakan Kuliah Pakar bertajuk “Komunitas: Identifikasi Masalah dan Pengembangan Potensi Komunitas Anak Kurang Beruntung melalui Pendidikan”.

Acara ini dilaksanakan secara hybrid (daring dan luring) di Ruang Kelas Gedung Rektorat Universitas Malahayati, dengan menghadirkan Siti Rahayu, M.Pd, seorang Konsultan dan Praktisi Pendidikan yang telah lama berkecimpung di bidang pemberdayaan anak dari komunitas kurang beruntung, serta aktif sebagai Relawan Pendidikan di Sekolah Pinggiran Sriwijaya.

Dalam paparannya, Siti Rahayu menekankan pentingnya pendekatan berbasis komunitas dalam memahami permasalahan dan potensi anak-anak dari latar belakang marginal. “Sering kali kita melihat anak-anak dari komunitas kurang beruntung hanya dari sisi keterbatasan mereka. Padahal, mereka memiliki potensi besar yang jika difasilitasi dengan baik melalui pendidikan yang kontekstual, bisa menjadi agen perubahan di lingkungan mereka,” ungkap Siti dengan penuh semangat.

Ia juga berbagi pengalaman langsung dari lapangan, termasuk bagaimana membangun kepercayaan dengan komunitas, memahami budaya lokal, dan membangun model pendidikan yang inklusif serta humanis. Materi yang disampaikan tak hanya membuka wawasan peserta, tetapi juga menggugah kesadaran sosial mereka.

Kuliah pakar ini diikuti oleh 75 mahasiswa Psikologi angkatan 2022, yang akan melaksanakan magang pada semester berikutnya. Kegiatan ini dirancang sebagai bagian dari penguatan kompetensi praktikum dan pemahaman psikologi komunitas dalam konteks nyata.

Ketua Program Studi Psikologi Universitas Malahayati, Octa Reni Setiawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog, menyampaikan bahwa kegiatan ini penting untuk membekali mahasiswa dengan perspektif yang luas dan mendalam terkait praktik psikologi di lapangan.

“Kami ingin mahasiswa tidak hanya mahir secara teoritis, tetapi juga memiliki kepekaan sosial dan pemahaman yang utuh terhadap realitas di masyarakat. Dengan menghadirkan narasumber yang memang terjun langsung di komunitas, mahasiswa dapat belajar dari pengalaman nyata dan termotivasi untuk berkontribusi positif saat menjalani magang,” ujar Octa Reni.

Ia juga menambahkan bahwa kuliah pakar ini menjadi bagian dari strategi kurikulum Prodi Psikologi dalam mengintegrasikan nilai-nilai humanisme, keberagaman, dan pengabdian masyarakat ke dalam proses pendidikan.

Seluruh peserta tampak antusias mengikuti kegiatan ini, baik yang hadir secara langsung maupun melalui platform daring. Interaksi aktif terlihat dalam sesi diskusi, di mana mahasiswa mengajukan berbagai pertanyaan kritis mengenai tantangan bekerja dengan komunitas, teknik komunikasi yang efektif, serta pendekatan intervensi psikologi yang sesuai dengan konteks sosial.

Kegiatan ini diakhiri dengan ajakan dari narasumber agar para mahasiswa terus menumbuhkan empati, menjalin kolaborasi lintas disiplin, dan memanfaatkan ilmu psikologi untuk perubahan sosial yang lebih baik.

Dengan adanya kuliah pakar ini, Prodi Psikologi Universitas Malahayati membuktikan komitmennya dalam menciptakan lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga tangguh, beretika, dan siap menjadi agen transformasi di tengah masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Sambut Mahasiswa dan Dosen Universitas Cyberjaya Malaysia dalam Program Student Mobility EPCA 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya sebagai institusi pendidikan tinggi yang aktif menjalin kolaborasi internasional dengan menerima kedatangan mahasiswa dan dosen pendamping dari Universitas Cyberjaya Malaysia (UoC) dalam program Student Mobility Program: Elective Posting & Clinical Attachment (EPCA 2025).

Acara penyambutan resmi dilaksanakan pada Senin, 21 Juli 2025 di Gedung Rektorat Universitas Malahayati, dengan suasana penuh kehangatan dan semangat kolaborasi. Sebanyak tujuh orang mahasiswi dari UoC bersama seorang dosen pendamping diterima langsung oleh jajaran pimpinan universitas, antara lain: Wakil Rektor I, Prof. Dessy, S.Kep., Ns., M.Kes, Wakil Rektor IV, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASM, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Kedokteran, Ketua Program Studi Profesi Dokter, Ketua Program Studi Sarjana Kedokteran, Kepala LPPM Universitas Malahayati, Kepala Bagian Kerja Sama, Kepala Bagian Humas & Protokoler, Ketua Panitia KKL-PPM

Program yang akan berlangsung selama tiga minggu, dari 21 Juli hingga 10 Agustus 2025 ini terbagi ke dalam dua fase utama. Selama dua minggu pertama, para peserta akan mengikuti kegiatan akademik dan praktik klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati dan RS Bintang Amin. Kemudian, pada minggu ketiga, para mahasiswa akan terlibat dalam kegiatan pengabdian masyarakat (community service) di desa binaan Universitas Malahayati di Kabupaten Tanggamus, bersamaan dengan kegiatan Kuliah Kerja Lapangan dan Pengabdian kepada Masyarakat (KKL-PPM) oleh mahasiswa Universitas Malahayati.

Dalam penjelasannya, Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASM menyampaikan bahwa program ini dirancang sebagai bentuk nyata dari upaya internasionalisasi pendidikan yang bertujuan tidak hanya untuk memperluas wawasan akademik mahasiswa, tetapi juga untuk membentuk pribadi yang tangguh dan berdaya saing global.

“Mahasiswa akan merasakan sistem pendidikan dan layanan kesehatan yang berbeda, berinteraksi dengan budaya dan masyarakat lokal, serta meningkatkan kemampuan komunikasi lintas budaya. Ini akan membentuk karakter mereka menjadi pribadi yang adaptif, mandiri, dan terbuka terhadap perbedaan,” ungkap Dr. Toni.

Beliau juga menekankan bahwa melalui program seperti ini, mahasiswa memiliki peluang untuk membangun jaringan global yang dapat menunjang karier mereka di masa depan. Pengalaman lintas negara seperti ini merupakan nilai tambah penting dalam pasar kerja internasional yang semakin kompetitif.

“Student mobility ini adalah investasi jangka panjang untuk mencetak lulusan yang unggul, berwawasan global, dan mampu menjadi agen perubahan dalam pembangunan kesehatan baik di tingkat nasional maupun internasional,” tambahnya.

Kehadiran ketujuh mahasiswa dari Universitas Cyberjaya Malaysia ini sekaligus menjadi ajang pertukaran ilmu pengetahuan dan budaya antarbangsa. Selama berada di Indonesia, para mahasiswa akan belajar tidak hanya dari segi akademik dan klinis, tetapi juga memahami nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang menjadi kekuatan bangsa Indonesia.

Program EPCA 2025 diharapkan menjadi tonggak penting bagi penguatan kerja sama antara Universitas Malahayati dan Universitas Cyberjaya Malaysia. Ke depan, kedua institusi berencana memperluas cakupan kolaborasi dalam bidang penelitian, pengembangan kurikulum, serta pertukaran dosen dan mahasiswa.

Dengan semangat gotong royong dan kolaborasi internasional, Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati terus membuka diri menjadi bagian dari jaringan pendidikan global yang progresif, inklusif, dan berdampak nyata. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Tidak Makan Ikannya tapi Dapat Baunya

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir-akhir ini banyak kita jumpai “ketoprak humor kehidupan”; yang menampilkan ketidakadilan sekaligus ketimpangan. Mereka yang tidak berbuat jahat, namun karena dinilai menghalangi hasrat kemauan pemegang kuasa dalam mencapai kehendak, maka bisa jadi perbuatan itu di-jahat-kan. Dan, tentu dicarikan aturan atau pasal hukum yang bisa menghukum. Ada lagi yang lebih seru; mereka yang sekolah serius, dengan biaya mahal, waktu panjang. Namunkarena penyelenggaranya tidak sejalan dengan tongkat yang dipegang deregen sosialnya, maka ujian bisa di tunda atau malah tidak diakui, bahkan tidak dilaksanakan. Maka, bersiaplah uang habis besi binasa, umur bertambah, masa depan tidak jelas.

Masih panjang lagi peristiwa-peristiwa kehidupan akhir-akhir ini jika kita perpanjang daftarnya. Banyak kejadian yang mereka tidak memakan ikannya tetapi terkena bau amisnya. Bisa jadi palu godam dijatuhkan hanya karena ketidaksukaan. Lebih parah lagi, keputusan bersalahnya karena tidak menutup hidung saat bau amis itu berembus. Tulisan ini  mencoba menelisik dari sisi-sisi kehidupan yang berserak di sekitar kita.

Ungkapan “Tidak makan ikannya tetapi kena baunya”, meskipun sederhana memiliki daya ledak filosofis dan politis yang luar biasa. Ia menggambarkan realitas sosial yang kerap kali kita alami: kita tidak mengambil bagian dalam sebuah keputusan, tidak menikmati hasil dari suatu kebijakan, bahkan tidak terlibat dalam perbuatannya, tetapi tetap harus menanggung akibatnya. Dalam bahasa filsafat, ini menyentuh pada tema ketidakadilan struktural, distribusi beban sosial yang timpang, dan penghilangan tanggung jawab elite terhadap penderitaan publik.

Mari kita berpikir sejenak mengapa dalam banyak aspek kehidupan di negeri ini, orang-orang yang tidak pernah makan “ikannya” justru paling sering dipaksa mencium “baunya”. Inilah wajah keseharian rakyat kecil: menanggung konsekuensi dari keputusan yang mereka tidak buat.

Kebijakan publik kerap dirancang dari perspektif mereka yang sudah berada di atas. Mereka yang duduk di kursi empuk parlemen atau kementerian lupa bahwa mayoritas warga tidak punya privilege yang sama. Maka lahirlah kebijakan yang tidak adil, dan rakyat kecil yang tidak makan ikan itulah yang tetap harus menanggung amisnya.

Filsuf Prancis, Emmanuel Levinas, berbicara tentang konsep wajah dalam filsafat etika. Bagi Levinas, etika dimulai saat kita melihat wajah orang lain; karena di sana kita menemukan tanggung jawab yang tak bisa ditolak. Tetapi dalam masyarakat modern kita, wajah-wajah penderitaan seringkali tak terlihat. Mereka tenggelam dalam statistik. Mereka direduksi menjadi “data kemiskinan”, “angka pengangguran”, “kategori penerima bansos”. Dan ketika wajah dihapus, maka tanggung jawab pun ikut menguap.

Inilah mengapa banyak elite politik bisa dengan ringan menyalahkan rakyat karena “kurang bersyukur”, “tidak produktif”, atau “tidak melek teknologi”, padahal merekalah yang menciptakan kondisi struktural yang memiskinkan rakyat tersebut.

Salah satu dampak dari ketidakadilan yang terus-menerus adalah sinisme. Ketika rakyat terus mencium amis, tanpa pernah mendapat keadilan, mereka mulai kehilangan kepercayaan: pada hukum, pada pemerintah, bahkan pada sesama. Tapi sinisme ini tidak boleh dibiarkan menjadi apatisme. Ia harus diubah menjadi kesadaran kritis. Dalam pemikiran Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang membuat manusia menyadari ketimpangan  dan menuntunnya untuk bertindak. Artinya, kita harus belajar membaca realitas, menggugat sistem, dan menyusun solidaritas. Mengeluh itu wajar. Tapi berhenti pada keluhan adalah kegagalan. Kita butuh perubahan struktural, bukan hanya reformasi kosmetik.

Sebuah pertanyaan penting yang jarang diajukan adalah: siapa yang selalu makan ikan, tapi tidak pernah mencium baunya? Jawabannya: mereka yang berkuasa. Mereka yang membuat keputusan tapi tidak menanggung risikonya. Mereka yang duduk di balik meja rapat, membagi proyek, menetapkan harga, memotong anggaran, dan memberi sanksi, akan tetapi tetap nyaman dalam pelindung sosialnya. Mereka punya pengacara, koneksi, dan akses media. Bahkan, jika salah mereka bisa menyulap narasi. Ini bukan sekadar persoalan individu. Ini persoalan sistem dan struktur. Ketika kekuasaan tidak disertai dengan tanggung jawab moral, maka yang terjadi adalah penyalahgunaan. Dan rakyatlah yang sekali lagi mencium amisnya.

Dalam konteks ini, mencium amis menjadi bentuk kesaksian. Kita mungkin tidak punya kuasa untuk mengubah segalanya. Tapi kita punya hak untuk bersuara, untuk menolak menjadi korban diam, dan untuk berdiri bersama mereka yang selama ini dipaksa menanggung beban sendirian.

Opini ini bukan seruan revolusi. Ini hanya ajakan sederhana: mari kita mulai melihat bau amis itu bukan sekadar nasib, tapi sebagai akibat dari sesuatu yang seyogyanya bisa kita ubah. Dan perubahan itu dimulai saat kita menolak untuk terus mencium bau yang bukan milik kita; dan mulai meminta pertanggungjawaban dari mereka yang sesungguhnya makan ikannya. Memang tampaknya itu sulit, namun tidak ada kesulitan yang tidak ada jalan keluarnya. Salam waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Membantah Tidak Bisa, Membuktikan Tidak Bisa (Antara Kekosongan Argumen dan Ketidakpastian Kebenaran)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu cuaca sangat cerah, dan dari lantai lima gedung rektorat memandang ke segala arah tampak menghijau. Saat mau masuk ruang kerja, ternyata di kursi tunggu tamu sudah ada mahasiswa pasca yang menanti untuk konsultasi tugas akhir. Kami berbincang beberapa hal, terutama yang berkaitan dengan pembuktian statistik. Ternyata mahasiswa tadi merasa mendapat kesulitan dalam memaknai statistika sebagai alat bantu penelitian. Sampai pada titik tertentu yang bersangkutan berucap “Prof…saya ada pada posisi membantah tidak bisa, tetapi membuktikan juga tidak bisa”. Setelah diberi penjelasan panjang lebar yang bersangkutan memahami, dan mohon diri untuk melanjutkan menulis hasil penelitiannya.

Setelah yang bersangkutan undur diri ternyata ungkapan “membantah tidak bisa, membuktikan juga tidak bisa”; terlintas pada benak ini untuk ditelusuri lebih jauh dari konsep filsafat. Berbekal penelusuran digital ternyata ditemukan informasi bahwa ungkapan ini muncul sebagai refleksi mendalam atas kondisi manusia yang tidak selalu dapat menjangkau kepastian logis atau kebenaran mutlak dalam hidupnya.

Ungkapan ini mengandung persoalan filsafat yang serius: bagaimana manusia menghadapi realitas ketika argumentasi rasional gagal memberikan jawaban, dan pembuktian empiris tak mampu menyentuh inti persoalan. Sehingga sekelas menteri yang lulusan perguruan tinggi ternama di dunia, harus menerima kenyataan bahwa ketidaksalahan itulah menjadi salahnya. Akibatnya harus menanggung beban yang seharusnya bukan bebannya.

Manusia dalam filsafat tidak hanya dipahami sebagai entitas biologis, tetapi sebagai makhluk sadar yang hidup dengan kesadaran akan keberadaannya. Ia bertanya, merenung, dan berusaha menemukan makna dari segala yang ia alami. Namun kemampuan ini bukannya tanpa batas. Kesadaran manusia bersifat reflektif dan problematis, dan justru karena itu, ia sadar bahwa ada begitu banyak hal dalam hidup ini yang tak bisa dijelaskan secara pasti. Karena itu para filusuf sepakat bahwa hanya ketidakpastian itulah sebenarnya yang pasti.

Filsuf eksistensial seperti Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein, yakni “ada-di-dunia” yang tidak hanya hadir secara fisik, tapi juga menafsirkan eksistensinya. Dasein tidak hidup dalam kepastian, tetapi dalam “kejatuhan” ke dalam dunia yang ambigu, tidak utuh, dan kerap membingungkan. Dalam situasi ini, manusia kerap dihadapkan pada berbagai pertanyaan yang tidak dapat dibuktikan secara rasional, tetapi juga tak bisa dibantah secara tuntas. Apakah hidup ini punya tujuan? Apakah cinta sejati itu nyata? Ini adalah contoh pertanyaan eksistensial yang menggambarkan batas antara apa yang bisa dibuktikan dan yang tidak.

Di era modern dan pascamodern, krisis kebenaran menjadi tema penting dalam filsafat manusia. Dalam konteks ini, pernyataan “membantah tidak bisa, membuktikan juga tidak bisa” mencerminkan kondisi epistemologis di mana manusia tidak memiliki dasar yang cukup kuat untuk menerima atau menolak suatu klaim. Kebenaran menjadi relatif terhadap sudut pandang dan pengalaman.

Michel Foucault bahkan menyatakan bahwa “kebenaran” sering kali adalah produk konstruksi kekuasaan; ia bukan sesuatu yang murni, tetapi dibentuk oleh relasi sosial dan politik. Pola seperti ini diera digital seperti saat ini, menunjukkan kebenarannya. Hal ini membuat manusia hidup dalam ketidakpastian epistemik; situasi dimana berbagai klaim hidup berdampingan tanpa satu pun bisa membuktikan keunggulannya secara absolut. Dalam konteks filsafat manusia, ini menggambarkan dilema eksistensial: manusia mencari kebenaran, tetapi ia harus menerima bahwa kebenaran itu sendiri bisa jadi tidak pernah dapat dicapai secara penuh.

Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia kerap berhadapan dengan argumen-argumen yang tidak bisa dipecahkan secara logis. Dalam perdebatan, kita sering mendapati bahwa satu pihak mempertahankan keyakinannya tanpa bisa membuktikannya, sementara pihak lain tidak mampu membantahnya karena tidak ada dasar rasional yang cukup kuat untuk menyangkalnya.

Emmanuel Levinas, dalam pemikirannya tentang “yang lain”, menegaskan bahwa pengalaman manusia tidak selalu rasional. Pertemuan dengan sesama atau dengan peristiwa keilahian, sering kali tidak bisa dijelaskan, namun tetap meninggalkan jejak mendalam. Dalam pengalaman semacam ini, misteri menggantikan argumen, dan diam menjadi bahasa yang paling jujur. Levinas mengajak manusia untuk tidak menundukkan semua hal ke dalam kategori logika, karena ada aspek-aspek kehidupan yang tak terjangkau oleh rasio; namun tetap nyata dalam pengalaman eksistensial.

Albert Camus, dalam esainya “The Myth of Sisyphus”, menyatakan bahwa hidup itu absurd: manusia terus-menerus mencari makna dalam dunia yang tidak memberikan jawaban. Dalam absurditas ini, Camus melihat dilema utama manusia: apakah ia akan menyerah dan menjadi nihilistik, ataukah ia akan melawan absurditas dengan terus hidup dan menciptakan makna sendiri?. Dalam konteks “membantah tidak bisa, membuktikan juga tidak bisa”, absurditas tercermin dengan jelas. Manusia terus bertanya, tetapi jawaban-jawaban yang datang tak pernah memuaskan secara absolut. Maka pilihan yang tersisa adalah keberanian eksistensial: hidup meski tanpa jaminan, percaya meski tanpa bukti, mencintai meski tak bisa dibuktikan cinta itu benar.

Camus menyarankan untuk “membayangkan Sisyphus bahagia”; yakni membayangkan manusia yang menerima keterbatasannya, namun tetap setia menjalani hidup dengan keberanian dan integritas. Dalam filsafat manusia, ini disebut otentisitas eksistensial: ketika seseorang menjalani hidupnya secara jujur dan sadar, walau tahu bahwa banyak hal tak bisa dipastikan atau dipahami sepenuhnya.

Ketidakmampuan untuk membuktikan atau membantah juga memiliki dampak pada bagaimana manusia hidup secara etis dan spiritual. Dalam filsafat manusia, etika tidak hanya berdasar pada aturan eksternal, tetapi juga pada tanggung jawab eksistensial. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia bebas, dan karena itu bertanggung jawab atas semua pilihannya. Namun dalam dunia yang tidak bisa menjanjikan kebenaran mutlak, etika menjadi pilihan yang muncul dari kedalaman kesadaran, bukan dari bukti logis.

Seseorang mungkin tidak bisa membuktikan bahwa berbuat baik adalah benar secara universal, tetapi ia tetap memilih berbuat baik karena menyadari tanggung jawabnya sebagai manusia yang hidup bersama sesama. Begitu pula dalam spiritualitas. Banyak keyakinan spiritual yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, namun juga tak bisa dibantah secara meyakinkan. Dalam hal ini, iman menjadi bentuk keberanian eksistensial: bukan ketakutan buta, tetapi keputusan sadar untuk mempercayai sesuatu yang tak bisa dibuktikan, namun tetap bermakna. Dalam teologi eksistensial, seperti yang dikemukakan oleh Paul Tillich, iman adalah “keberanian untuk menerima kenyataan bahwa kita tidak tahu.”

Ungkapan “membantah tidak bisa, membuktikan juga tidak bisa” bukanlah bentuk skeptisisme pasif, melainkan cermin dari realitas eksistensial manusia. Ia mengungkap bahwa hidup manusia bukan semata-mata ruang logika dan rasionalitas, tetapi juga ruang misteri, pengalaman, dan makna yang tidak selalu dapat dijelaskan. Oleh sebab itu situasi ini mengajak kita untuk berdamai dengan keterbatasan kita.

Manusia adalah makhluk yang berdiri di tepi jurang ketidakpastian, namun memilih untuk menyeberang dengan harapan, bukan dengan kepastian. Dalam ruang antara “tidak bisa membantah” dan “tidak bisa membuktikan” itulah, manusia menemukan ruang untuk beriman, mencintai, berharap, dan bertindak dengan keberanian. Agama mengajarkan menghadapi situasi seperti ini hanya dengan konsep tawakal. Dan, disinilah letak kemanusiaan yang paling mendalam sebagai manusia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Sambut Hangat Mahasiswa Universitas Cyberjaya Malaysia dalam Program Student Mobility EPCA 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam memperluas jejaring akademik internasional dengan menyambut kedatangan mahasiswa dari Universitas Cyberjaya Malaysia dalam rangka Student Mobility Program: Elective Posting & Clinical Attachment (EPCA) 2025. Kegiatan ini secara resmi dibuka pada Senin, 21 Juli 2025, di Gedung Rektorat Universitas Malahayati, dan akan berlangsung selama tiga minggu ke depan, hingga 10 Agustus 2025.

Dalam sambutannya, Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dessy, S.Kep., Ns., M.Kes., menyampaikan rasa bangga dan antusiasme atas kedatangan para mahasiswa dari Malaysia. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya nyata Universitas Malahayati dalam mendukung kolaborasi global di bidang pendidikan dan kesehatan.

“Selamat datang di Universitas Malahayati. Kehadiran kalian adalah kehormatan bagi kami. Program ini tidak hanya memperluas wawasan akademik, tetapi juga mempererat hubungan antarnegara di bidang pendidikan kedokteran. Kami berharap tiga minggu ke depan akan menjadi pengalaman yang tak terlupakan dan penuh makna,” ujar Prof. Dessy.

Rangkaian program EPCA 2025 mencakup kegiatan elective posting dan clinical attachment di RS Bintang Amin serta pengabdian kepada masyarakat (community service) di desa binaan Universitas Malahayati yang berada di Kabupaten Tanggamus. Program ini memberikan kesempatan berharga bagi para mahasiswa untuk merasakan langsung praktik kedokteran di Indonesia sekaligus berinteraksi dengan masyarakat lokal.

Mdm. Mathura Vinothini a/p Dorasamy, selaku Advisor dari Centre for Collaborative Partnership (CCP) Universitas Cyberjaya Malaysia, dalam sambutannya menyampaikan apresiasi mendalam atas sambutan hangat dan fasilitas yang telah disiapkan oleh Universitas Malahayati.

“Atas nama Universitas Cyberjaya, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor dan seluruh jajaran Universitas Malahayati serta RS Bintang Amin atas sambutan yang luar biasa. Program ini sangat bermakna, tidak hanya dalam aspek akademik dan klinis, tetapi juga dalam menjalin persahabatan antarbangsa,” ungkapnya.

Mdm. Mathura juga menambahkan bahwa pihaknya berharap kunjungan ini akan dibalas oleh delegasi dari Universitas Malahayati ke kampus mereka di Malaysia sebagai bagian dari pertukaran yang berkesinambungan. “Kami menantikan peluang baru untuk memperkuat kerja sama ini di masa mendatang,” tambahnya.

Adapun tujuh mahasiswa Faculty of Medicine Universitas Cyberjaya Malaysia yang mengikuti program ini adalah: Wan Nadia Nabihah Binti Wan Rashid, Alyaa Qistina Binti Abd. Ghafur, Arifa Farhana Binti Md Ariffin, Gayathry A/P Shanmugam, Nur Irdina Maisarah Binti Mazlan, Sharifah Nasyw Danishah Binti Wan Ismawi, Syaza Tasnim Binti Saiful Hazmi.

Acara pembukaan ini turut dihadiri oleh sejumlah pejabat penting Universitas Malahayati, di antaranya: Wakil Rektor IV, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Kedokteran, Ketua Program Studi Profesi Dokter, Ketua Program Studi S.Ked, Kepala LPPM Universitas Malahayati, Kepala Bagian Kerjasama, Kepala Bagian Humas & Protokoler, Ketua Panitia KKL-PPM.

Kegiatan ini tidak hanya memperluas cakrawala akademik mahasiswa, tetapi juga memperkuat reputasi Universitas Malahayati sebagai institusi pendidikan tinggi yang aktif dan terbuka terhadap kolaborasi internasional. Kehadiran mahasiswa dari Universitas Cyberjaya menjadi wujud nyata dari semangat global partnership dalam pendidikan kedokteran yang semakin kuat.

Dengan penuh semangat, Universitas Malahayati menyatakan kesiapan untuk terus mendukung dan mengembangkan berbagai program internasional serupa di masa depan. (gil)

Editor: Gilang Agusman