Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
BEBERAPA hari ini, pikiran saya lama-lama ikut terganggu oleh kegaduhan yang terjadi di lembaga akademik negeri ini. Makin sesak di dada, sikap-sikap mereka yang berada pada lingkaran persoalan “memaksa” sikapnya dengan “pokoknya begini-begitu, titik.”
Tampaknya, kita sudah tak terbiasa lagi “mendengar”dan semakin larut dengan kalimat pamungkas menghadapi persoalan dengan cukup satu kata: “pokoknya”. Sehingga, masalah apapun semuanya kandas.
Padahal, di kalangan masyarakat perguruan tinggi, mendengarkan pendapat orang lain, tidak ngotot, adalah sikap dewasa akademik yang seharusnya hidup di kalangan komunitas perguruan tinggi.
Lebih elok dan elegan lagi ketika pada posisi tidak benar, kita mengakui kekeliruan atau kesalahan. Namun, hal itu jadi mustahil manakala sikap mentulikan diri sebagai penyakit baru.
Semakin banyak orang yang bersikap “pokoknya” sampai menyelusup ke para akademisi. Apalagi dengan semakin derasnya informasi dan berseliweran dari segala arah, banyak manusia yang akhirnya bersikap “mentulikan” diri.
Bukan karena tak bisa mendengarkan, tapi menolak menyimaknya, tuli secara mental dan emosional sehingga menolak mendengar saran, kritik, atau pendapat orang lain. Walau, hal itu datang dari tempat yang penuh niat baik.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang pribadi, tetapi juga meresap ke dalam budaya kolektif, termasuk di dunia kerja, politik, akademisi dan juga penggiat media sosial. Kita hidup dalam era di mana semua orang ingin bicara, tapi sangat sedikit yang benar-benar mau mendengar.
Mentulikan diri seringkali bersumber dari ego. Perasaan sudah tahu segalanya, sudah cukup pintar, atau merasa paling benar menjadikan telinga tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya: sebagai alat untuk memahami, bukan sekadar mendengar.
Dalam kondisi ini, nasihat dianggap gangguan. Kritik dianggap serangan. Pendapat berbeda dianggap ancaman terhadap identitas diri. Padahal, pertumbuhan pribadi hanya mungkin terjadi jika kita membuka diri terhadap masukan.
Tentu saja tidak semua saran harus diikuti, tetapi menolaknya mentah-mentah hanya karena tidak sesuai dengan pandangan kita merupakan bentuk penutupan diri. Walaupun seringkali, orang yang mentulikan diri itu justru adalah mereka yang paling membutuhkan pandangan dari luar.
Dalam ruang sosial, sikap menutup telinga ini menciptakan ketimpangan komunikasi. Percakapan berubah menjadi monolog. Dialog kehilangan makna. Orang tidak lagi berbicara untuk memahami, tapi untuk menang. Akibatnya, hubungan menjadi dangkal, penuh asumsi, dan minim empati.
Kita mungkin berada dalam satu ruangan yang sama, tapi tidak benar-benar saling mendengarkan. Kita bisa melihat hal ini dalam dinamika kelompok kerja, pertemanan, bahkan dalam keluarga.
Ketika seseorang terlalu kaku dengan pendapatnya dan menolak mendengarkan sudut pandang lain, konflik menjadi tak terhindarkan. Setiap orang merasa paling tahu, paling benar, dan akhirnya tidak ada yang benar-benar didengar.
Dari hasil penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa, sikap mentulikan diri tidak selalu lahir dari kesombongan. Kadang, ini adalah bentuk pertahanan diri.
Orang takut mendengar hal yang membuatnya tidak nyaman. Takut tersinggung, takut terlihat lemah, takut harus berubah. Dalam banyak kasus, ini adalah respons terhadap trauma masa lalu dimana saran pernah disalahgunakan sebagai kontrol, bukan dukungan.
Namun, bersembunyi di balik ketakutan bukanlah solusi jangka panjang. Karena dalam proses tumbuh, ketidaknyamanan adalah harga yang harus dibayar. Mendengarkan bukan berarti tunduk. Itu adalah bentuk kedewasaan untuk memahami bahwa dunia tidak berputar di sekitar kita.
Mendengarkan adalah keterampilan, bukan bawaan lahir. Oleh sebab itu, kita butuh latihan, keberanian, dan kerendahan hati. Butuh kesediaan untuk berhenti sejenak, meredam ego, dan benar-benar hadir dalam percakapan.
Dalam dunia yang dibanjiri suara, kemampuan untuk mendengar, bukan sekadar mendengarkan, menjadi semakin langka. Padahal orang-orang bijak dari masa lalu selalu menekankan pentingnya mendengar.
Dalam filsafat Timur maupun Barat, mendengarkan adalah pintu menuju kebijaksanaan. Tapi hari ini, banyak yang lebih memilih untuk mentulikan diri demi menjaga ilusi kendali atas hidupnya.
Tentu, tidak semua saran patut diikuti.
Ada saatnya kita harus teguh pada pendirian, apalagi jika saran datang dari tempat yang manipulatif atau tidak memahami konteks kita. Namun, ada perbedaan besar antara selektif dan defensif.
Menyaring saran adalah perlu, tapi memutus semua saluran masuk hanya akan membuat kita terjebak dalam gema suara sendiri. Kita butuh ruang untuk berpikir sendiri, tapi juga butuh cermin dari luar untuk melihat diri lebih jernih.
Dalam hidup, seringkali kita butuh suara orang lain untuk menyadarkan kita akan titik buta yang tak bisa kita lihat sendiri.
Di dunia yang penuh dengan orang yang ingin didengar, mungkin menjadi pendengar adalah tindakan yang paling radikal.
Dan menjadi pendengar bukan hanya soal memperhatikan orang lain, tetapi juga membuka diri terhadap kemungkinan bahwa kita belum tahu segalanya. Bahwa kita bisa salah. Bahwa orang lain bisa benar.
Sikap mentulikan diri mungkin memberi rasa aman sesaat, tapi dalam jangka panjang, ia menciptakan kesepian yang dalam. Sebab dalam dunia nyata, kita hidup berdampingan dalam arti bukan hanya dalam ruang fisik, tetapi juga dalam percakapan, pemahaman, dan keterbukaan.
Maka jika ada satu keterampilan yang layak dilatih hari ini, mungkin bukan berbicara lebih keras, tetapi mendengar lebih baik. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kebahagian Ribuan Wali Murid, PR Besar Gubernur Mirza
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sehari sebelum Hari Raya Kurban atau Idul Adha 2025 M, Kamis (5/6/2025), Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal “menyembelih” persoalan panjang yang selalu memunculkan perdebatan setiap semester sekolah.
Jelang hari kemenangan Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS, Gubernur Mirza memberikan hadiah kepada ribuan orangtua wali murid bebas bayar SPP yang dibalut dana komite dan daftar masuk SMAN, SMKN, SLBN seluruh Lampung.
Kabar tersebut langsung menyebarluas lewat hampir semua laman media sosial, termasuk Helo Indonesia yang sigap menebar kabar prorakyat. Sambutan gembira membahana terutama mereka yang selama ini sudah memperjuangkan hal ini sejak sepuluh tahun lalu.
Antusiasme para pemerhati tidak ketinggalan juga, ada yang merasionalkan, ada pula yang mengingatkan. Hal seperti itu adalah wajar; apalagi ditambah dengan analisis dan deskripsi tajam tentang bagaimana sebenarnya kondisi pendidikan di Lampung.
Tulisan ini mencoba memberikan pandangan dari berbagai segi, dengan harapan bukan menjadikan persoalan menjadi rumit, atau juga terlalu menyederhanakan; namun mencoba melengkapi apa yang belum ada pada penulis terdahulu.
Berdasarkan hasil studi dokumentasi ditemukan data bahwa pada tahun 2020 Dinas Pendidikan Provinsi Lampung telah mengeluarkan Standar Nasional Pendidikan untuk pembiayaan di Provinsi sebagai berikut:
1. SMA Tipe A Rp7.250.000/tahun/siswa. BOS Rp1.500.000 kekurangan Rp5.750.000.
3. SMA Tipe B Rp5.280.000/tahun/siswa. BOS Rp. 1.500.000 kekurangan Rp3.780.000.
4. SMA Tipe C Rp3.000.000/tahun/siswa. BOS Rp1.500.000 kekurangan Rp1.500.000.
Sedangkan kelompok SMK memiliki besaran berbeda berdasarkan kelompok peminatan. Dengan rincian sebagai berikut:
1. Kelompok Bisnis Manajemen, Pariwisata, Industri Kreatif diperlukan dana persiswa pertahun sebesar Rp. 4.960.000. Bantuan BOS 1.600.000,- berarti kekurangan Rp. 3.360.000.
2. Kelompok Teknik Rekayasa diperlukan dana persiswa pertahun sebesar Rp. 5.200.000,-. Bantuan BOS Rp. 1.600.000,- berarti kekurangannya sebesar Rp. 3.600.000.
3. Kelompok Kesehatan dan Pekerjaan Sosial Rp. 5.800.000 per siswa per tahun. Bantuan BOS Rp. 1.600.000 berarti kekurangannya Rp4.200.000.
Sementara jumlah SMA negeri di Provinsi ini ada 241 sekolah, sedangkan SMK negeri ada 112 sekolah. Hasil dari wawancara via media sosial semua SMA negeri tidak memungut biaya pendaftaran, demikian juga dengan sekolah kejuruan.
Untuk sekolah kejuruan ada kepala sekolah yang mengatakan mendapatkan pendaftar saja sudah sangat membahagiakan mereka.
Sementara untuk uang komite besarannya sangat variatif. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan pada umumnya rapat komite baru dilaksanakan pada enam bulan setelah tahun ajaran baru.
Besaran penetapan uang kepala sekolah tidak ikut campur; karena itu wilayah orangtua siswa, terutama mereka yang ada di kelas sepuluh.
Pada umumnya yang menjadi pembahasan krusial adalah pengadaan seragam sekolah, termasuk baju olah raga. Pada posisi ini biasanya ada main mata antara tukang jahit, komite dan kepala sekolah.
Walaupun demikian bagi orangtua tetap diberi kebebasan memilih membeli sendiri di luar tanpa harus ikut pada komite.
Justru yang membuat kepala sekolah sedikit puyeng kepalanya jika harus berhadapan dengan “oknum” yang mengatasnamakan apapun namanya hanya karena ingin meminta sedikit salam amplop.
Oleh sebab itu jika menjelang penerimaan siswa baru, hari lebaran; banyak kepala sekolah yang memilih tidak masuk ke sekolah dengan alasan pergi ke kantor dinas.
Masih banyak sebenarnya yang patut diungkap; namun karena keterbatasan tempat maka hal itu saja yang krusial.
Oleh karena itu jika Gubernur ingin membebaskan partisipasi masyarakat pada bidang pendidikan melalui komite. Maka hal di atas dapat dijadikan referensi berapa anggaran yang harus disediakan oleh pemerintah daerah.
Perlu diingat angka-angka di atas adalah untuk kondisi lima tahun yang lalu. Sebagai catatan BOS-DA selama ini bukan berbentuk pemberian dana ke sekolah, akan tetapi berupa bangunan fisik untuk sarana-prasarana pendidikan; yang pembangunannya diusulkan kepala sekolah bersama komite.
Tidak kalah pentingnya harus dicari formulasi penyertaan dana CSR dari coorporit yang ada di wilayah tempatan dimana sekolah berada, untuk dapat ikut berperan aktif sebagai bentuk lain dari Komite Sekolah.
Sebagai contoh: ada perusahaan A dan B; yang dihimbau untuk menyumbangkan sesuatu untuk sekolah yang ada di wilayahnya.
Bentuk partisipasi bukan hanya pembangunan gedung dengan nama perusahaan penyandang dana; bisa juga perusahaan tadi dijadikan tempat praktek kerja lapangan bagi siswa-siswa kejuruan yang ada di wilayah itu.
Pola dualsistem serupa ini pernah digagas pada masa (alm) Enggus Subarman pada waktu beliau menjadi kepala Kantor Wilayan Pendidikan pada masanya.
Pola ini bisa dipakai tentu dengan perbaikan sistem terlebih dahulu, salah satu diantaranya adanya dasar hukum yang mendasarinya seperti Keputusan Gubernur atau apapun namanya.
Sekolah dalam hal ini Kepala Sekolah tidak lagi dibebani pekerjaan untuk mencari terobosan guna menutupi kekurangan anggaran. Mereka diminta fokus untuk penyelenggaraan proses pembelajaran.
Sehingga rasa aman dan terlindungi dari perilalu oknum yang tidak bertanggungjawab yang dapat mengganggu proses pembelajaran di sekolah.
Selanjutnya jika pada masa periode kepemimpinan kepala sekolah menunjukkan kepenurunan mutu; maka yang bersangkutan tidak bisa meneruskan menjabat sebagai kepala sekolah.
Semoga Hadiah Lebaran Idhul Adha dari Gubernur ini membawa manfaat bagi dunia pendidikan di Lampung; dan selamat tinggal pada mereka yang selama ini menjadikan dunia pendidikan sebagai lahan subur untuk melakukan hal-hal yang kurang terpuji. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Salurkan 525 Paket Daging Qurban
Paket-paket qurban tersebut disalurkan kepada 319 penerima dari Kota Bandar Lampung dan 124 penerima dari Kabupaten Pringsewu, sebagai bentuk nyata dari nilai-nilai kemanusiaan dan solidaritas yang terus dijaga oleh civitas akademika Universitas Malahayati.
Pelaksanaan penyembelihan hewan qurban yang terdiri dari 4 ekor sapi ini dilakukan di lingkungan kampus Universitas Malahayati dengan melibatkan panitia internal yang bekerja secara gotong royong dan penuh tanggung jawab.
Sementara itu, Ketua Pelaksana Kegiatan Qurban, Sutikno, S.Pd.I., M.Pd.I., menegaskan bahwa kegiatan ini tidak sekadar rutinitas tahunan, tetapi juga sebagai sarana pendidikan karakter bagi seluruh warga kampus, khususnya mahasiswa. “Kami ingin menanamkan nilai-nilai pengorbanan, kebersamaan, dan kepedulian sosial. Semangat Iduladha ini menjadi energi positif untuk terus bergerak dalam pengabdian kepada masyarakat,” ungkap Sutikno.
Ustad Sutikno menambahkan bahwa Qurban bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi juga menyembelih ego, memperkuat kepedulian sosial, dan mendekatkan kita kepada nilai-nilai kemanusiaan. Ini adalah bentuk rasa syukur dan keikhlasan berbagi.
Kegiatan qurban tahun ini juga melibatkan para muqorib (pequrban) dari berbagai latar belakang, yang menunjukkan kepedulian luar biasa dalam mendukung keberlangsungan kegiatan sosial kampus:
• Rusli Bintang bin Bintang Amin
• Rosnati Syech binti Nyak Syech
• Ruslan Junaidi bin Rusli Bintang
• Omar Arrazi bin Ruslan Junaidi
• Ruzein Akyar bin Ruslan Junaidi
• Razeta binti Ruslan Junaidi
• Fauzana binti Fauzi
• Muhammad Kadafi bin Rusli Bintang
• Disa Soraya binti (nama tidak lengkap)
• Ratu Kayla binti M. Kadafi
• Kiral Altahir bin M. Kadafi
• Muhammad Ramadhana bin Rusli Bintang
• Maidayani binti Rusli Bintang
• Zivana Ejaz Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Bintang Amin bin Abdulah
• Halimah binti Abdulah
• Eli Zuana binti Rusli Bintang
• R. Agung Efriyo Hadi bin R. Bintoro
• Eflina Balqis Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Rania Najwa Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Raina Kalila Hadi binti R. Agung Efriyo Hadi
• Eka Rosdiana binti Andid Daud
• Arshiyla Khadija binti Muhammad Rizki
• Muhammad Rizki bin Rusli Bintang
Kegiatan ini juga menjadi contoh nyata bagaimana institusi pendidikan tinggi dapat berperan aktif dalam kegiatan sosial-keagamaan demi membentuk generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki kepedulian sosial yang tinggi. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Membuka Diri, Menutup Hati
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Senja itu warna merah jingga diufuk sana sangat mempesona, sambil menuruni anak tangga menuju kendaraan, beriringan dengan dosen yang sudah tidak muda lagi namun juga belum masuk usia senja; beliau menukas sambil tetap berjalan; “Profesor saya pernah mendapat pesan dari teman kuliah dahulu jika saat sekarang ini waktunya kita untuk membuka diri, namun harus menutup hati, mohon ijin bertanya apa sebenarnya makna frasa itu”. Akhirnya perjalanan menuju kendaraan terhenti guna menjelaskan kepada yang bersangkutan- walaupun sambil berdiri- maknawi dari frasa itu dari konsep filsafat. Singkatnya penjelasan itu jika dideskripsikan adalah demikian:
Berdasarkan literatur yang ada, baik konvensional maupun digital- makna dari frasa itu sangat dalam jika dikaji dan dikaitkan dengan masa kini. Di tengah derasnya arus modernitas, media sosial, dan keterhubungan digital, manusia semakin terbiasa membuka diri kepada dunia luar. Kita berbagi cerita, pengalaman, bahkan luka, kepada publik. Namun, di balik semua keterbukaan itu, tak sedikit pula orang yang memilih untuk tetap menutup hati — menjaga ruang terdalam dari diri mereka dari sentuhan emosi yang dalam, terutama yang berkaitan dengan cinta, kepercayaan, dan keintiman spiritual. Ungkapan “membuka diri, menutup hati” kini menjadi refleksi populer yang menggambarkan fenomena ini. Tetapi bagaimana jika kita memandangnya dari sudut filsafat Islam? Apa maknanya dalam konteks hikmah, akhlak, dan spiritualitas Islam? Mari kita telusuri lebih dalam.
Pertama; Membuka Diri sebagai Wujud Akal dan Hikmah. Dalam filsafat Islam, manusia dikenal sebagai hayawan natiq — makhluk rasional. Pembukaan diri dalam konteks ini dapat dimaknai sebagai kesediaan untuk berpikir, belajar, dan terhubung secara sosial dan intelektual. Filsuf besar seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menekankan pentingnya pembentukan al-‘aql al-fa‘al (akal aktual), yang dicapai melalui pembelajaran dan interaksi. Dalam pandangan mereka, manusia harus terbuka terhadap ilmu pengetahuan, pengalaman sosial, dan dialog antarbudaya. Membuka diri bukan sekadar menjadi ramah atau komunikatif, tetapi berani menerima perbedaan dan memperkaya diri dengan pemahaman baru. Ini adalah bentuk keterbukaan yang sejati, yang mencerminkan tugas manusia sebagai khalifah di bumi.
Kedua; Menutup Hati: Antara Perlindungan dan Penyucian. Jika membuka diri adalah kebutuhan sosial dan intelektual, maka menutup hati dalam filsafat Islam punya makna yang lebih kompleks dan dalam. Dalam bahasa kitab suci dan tradisi tasawuf, hati (qalb) adalah pusat kesadaran spiritual manusia. Ia bukan sekadar tempat perasaan, melainkan juga tempat ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan), dan ikhlas (ketulusan niat).
Namun, dalam tradisi sufi, menutup hati bisa juga menjadi bentuk penjagaan dan penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Para sufi seperti Rabi’ah al-Adawiyah dan Imam Al-Ghazali menekankan bahwa hati harus dijaga dari kesibukan duniawi, dari keterikatan pada makhluk, agar bisa terbuka secara utuh kepada Allah. Oleh sebab itu, menutup hati dari dunia adalah bentuk ikhtiar spiritual untuk menjaga kemurnian cinta hanya kepada Sang Pencipta.
Ketiga; Keseimbangan antara Dunia dan Akhirat. Filsafat Islam selalu mendorong keseimbangan antara aspek lahir dan batin, antara dunia dan akhirat. Dalam hal ini, frase “membuka diri, menutup hati” dapat dimaknai sebagai upaya untuk bersikap sosial dan terbuka, sambil tetap menjaga kedalaman batin agar tidak tercemari oleh dunia yang fana. Filsuf seperti Ibnu Miskawayh dalam karyanya Tahdzib al-Akhlaq menjelaskan pentingnya menjaga akhlak dalam pergaulan sosial, sambil terus membersihkan hati dari hasad, riya’, dan cinta dunia.
Dalam pandangan ini, “membuka diri” berarti menjalani hidup dengan tanggung jawab sosial, berinteraksi, bekerja, dan menebar manfaat. Sedangkan “menutup hati” berarti tidak membiarkan kehidupan dunia masuk terlalu dalam ke dalam jiwa, agar hati tetap fokus pada tujuan yang lebih tinggi — yaitu kedekatan dengan Allah.
Keempat; Perspektif Tasawuf: Dunia Hanya Lalu-lintas, Bukan Tempat Tinggal. Dalam puisi-puisi sufistik dan hikmah para wali, kita sering menemukan ungkapan yang sejalan dengan tema ini. Ungkapan seorang sufi terkenal pernah berkata:
“Aku bersapa kepada dunia dengan senyum, namun hatiku hanya untuk Tuhanku.”
Ini adalah ekspresi dari “membuka diri, menutup hati” — terbuka dalam interaksi, tetapi tertutup dari ketergantungan pada makhluk. Para sufi percaya bahwa dunia adalah tempat ujian. Bila hati terlalu terbuka pada dunia, maka akan mudah dipenuhi cinta palsu, keinginan duniawi, dan kebimbangan. Namun bila hati hanya terbuka untuk Allah, maka dunia tidak akan menggoyahkan ketenangan batin.
Fenomena ini menunjukkan pentingnya menutup hati, dalam arti memiliki batas, kesadaran, dan kedalaman spiritual yang tak mudah diakses oleh sembarang orang. Filsafat Islam memberikan panduan agar manusia tetap menjadi makhluk sosial yang aktif, tanpa kehilangan jati diri spiritualnya. Dengan menutup hati dari dunia, seseorang justru lebih mampu hadir secara utuh di dunia, karena ia tidak mudah goyah oleh pujian, hinaan, atau ekspektasi manusia.
Filsuf Islam — dari Al-Ghazali sampai Ibnu Sina, dari Farabi hingga Ibn Arabi — telah menanamkan satu pelajaran penting: bahwa hati adalah cermin Ilahi, dan dunia hanya bayangan. Maka, bukalah dirimu pada sesama, tapi lindungilah hatimu untuk Sang Pencipta. Pak dosen mengangguk-angguk setuju; tetapi karena waktu sudah senja maka disepakati mencari waktu yang tepat untuk menggelar diskusi akademik sambil ngopi.
Salam waras.
FIK Universitas Malahayati dan HPU Gelar Pengabdian Masyarakat: Sehat Fisik dan Mental untuk Ibu dan Anak Yatim
Kegiatan dibuka dengan jalan sehat bersama mengelilingi area kampus, dilanjutkan dengan serangkaian pemeriksaan kesehatan gratis oleh dosen-dosen FIK. Pemeriksaan tersebut meliputi pengukuran tekanan darah, cek gula darah, dan kadar asam urat, serta penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan. Selain itu, peserta juga mendapatkan pembagian tablet Fe sebagai upaya pencegahan anemia, khususnya pada ibu dan remaja putri.
Ketua HPU Universitas Malahayati, Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes., menekankan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari implementasi konsep Health Promoting University atau Kampus Sehat.
“HPU bertujuan menciptakan lingkungan kampus yang mendukung kesehatan fisik, mental, dan sosial. Kegiatan jalan sehat dan pemeriksaan kesehatan ini menjadi salah satu bentuk nyata dari misi tersebut. Harapannya, civitas akademika dan masyarakat sekitar kampus dapat terbiasa dengan perilaku hidup sehat,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Badan Pelaksana Pengabdian Masyarakat (BPPM) FIK, Dina Dwi Nuryani, SKM., M.Kes., mengungkapkan pentingnya kesadaran masyarakat terhadap pemeriksaan kesehatan secara rutin, meskipun tanpa keluhan.
“Masyarakat masih beranggapan bahwa jika tidak memiliki keluhan atau gejala, maka tergolong sehat. Padahal, orang yang tampak sehat belum tentu bebas dari risiko penyakit tidak menular. Pemeriksaan kesehatan penting dilakukan sebagai langkah pencegahan,” ujarnya.
Editor: Gilang Agusman
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 Hijriah
Selamat Hari Raya Idul Adha 1446 H “Semoga semangat pengorbanan, keikhlasan, dan ketulusan dalam Hari Raya Iduladha senantiasa menginspirasi kita semua untuk berbagi dan menebar kebaikan.
Mari jadikan momentum ini sebagai sarana mempererat silaturahmi dan meningkatkan kepedulian sosial.”
Taqabbalallahu minna wa minkum. Selamat merayakan Iduladha bersama keluarga tercinta.
Rektor dan Sivitas Akademika Universitas Malahayati. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Sosialisasikan Hukum Pidana Terkait Kekerasan Seksual kepada Siswa/i SMA Al Quran Bandar Lampung
Kegiatan ini dihadiri langsung oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, S.H., M.H., serta disambut hangat oleh Kepala Sekolah SMA Al Qulran H. Akhwan Aziz S.Pd., Gr., M.Pd. Turut hadir pula dosen pendamping Dwi Arassy Aprillia RS., S.H., M.H., bersama lima mahasiswa Fakultas Hukum yang ikut berperan aktif dalam proses edukasi kepada para siswa.
“Memberikan pemahaman hukum sejak dini sangat penting agar siswa tidak hanya memahami hak-haknya, tetapi juga mampu mengenali dan mencegah tindak kekerasan seksual yang bisa terjadi di lingkungan sekitar,” ujar Aditia Arief Firmanto dalam sambutannya.
Melalui kegiatan ini, Fakultas Hukum Universitas Malahayati menegaskan perannya sebagai institusi pendidikan yang tidak hanya fokus pada pengajaran, tetapi juga aktif berkontribusi langsung kepada masyarakat dalam membangun kesadaran hukum, khususnya di kalangan generasi muda.
Fakultas Hukum Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus mengadakan kegiatan serupa sebagai bagian dari implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi dan upaya menciptakan masyarakat yang sadar dan taat hukum. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Gelar Muli Berbakat Provinsi Lampung 2025
Acara bergengsi yang diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Lampung ini berlangsung megah di Gedung Graha Wangsa, Bandar Lampung, pada Kamis, 22 Mei 2025. Puluhan finalis dari berbagai kabupaten dan kota di Lampung berkompetisi untuk menjadi duta pariwisata dan budaya yang mampu mewakili wajah provinsi di tingkat nasional maupun internasional.
Antika tampil memukau selama rangkaian seleksi dan penjurian. Bakatnya dalam menciptakan dan membacakan puisi menjadi sorotan, hingga akhirnya ia dinobatkan sebagai Muli Berbakat Provinsi Lampung 2025.
“Terpilih dan tergabung menjadi bagian dari Muli Mekhanai Provinsi Lampung adalah suatu pencapaian luar biasa. Ini merupakan kesempatan besar untuk menjadi wajah baru Lampung dalam memperkenalkan pariwisata dan kebudayaan ke tingkat nasional dan internasional,” ungkap Antika.
Ia juga mengungkapkan bahwa keberhasilannya tak lepas dari dukungan orang tua, keluarga, serta lingkungan kampus Universitas Malahayati yang selalu mendorongnya untuk berkembang dan mengekspresikan diri. “Hobi saya dalam menulis dan membacakan puisi ternyata bisa membawa saya ke panggung prestasi ini. Ini menjadi motivasi tersendiri untuk terus memaksimalkan potensi saya sebagai generasi muda Lampung,” tambahnya.
Pencapaian Antika ini menjadi bukti bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga aktif dan berprestasi dalam kegiatan non-akademik, terutama yang berkaitan dengan pelestarian budaya dan promosi pariwisata daerah.
Selamat kepada Antika Apriani atas pencapaian luar biasa ini. Semoga prestasi ini menjadi inspirasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berkarya dan berkontribusi bagi daerah dan bangsa. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Bangsa Ini Tak Butuh Lagi Bicara Adu Urat, tetapi Bagaimana Mendengar Lebih Baik
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
BEBERAPA hari ini, pikiran saya lama-lama ikut terganggu oleh kegaduhan yang terjadi di lembaga akademik negeri ini. Makin sesak di dada, sikap-sikap mereka yang berada pada lingkaran persoalan “memaksa” sikapnya dengan “pokoknya begini-begitu, titik.”
Tampaknya, kita sudah tak terbiasa lagi “mendengar”dan semakin larut dengan kalimat pamungkas menghadapi persoalan dengan cukup satu kata: “pokoknya”. Sehingga, masalah apapun semuanya kandas.
Padahal, di kalangan masyarakat perguruan tinggi, mendengarkan pendapat orang lain, tidak ngotot, adalah sikap dewasa akademik yang seharusnya hidup di kalangan komunitas perguruan tinggi.
Lebih elok dan elegan lagi ketika pada posisi tidak benar, kita mengakui kekeliruan atau kesalahan. Namun, hal itu jadi mustahil manakala sikap mentulikan diri sebagai penyakit baru.
Semakin banyak orang yang bersikap “pokoknya” sampai menyelusup ke para akademisi. Apalagi dengan semakin derasnya informasi dan berseliweran dari segala arah, banyak manusia yang akhirnya bersikap “mentulikan” diri.
Bukan karena tak bisa mendengarkan, tapi menolak menyimaknya, tuli secara mental dan emosional sehingga menolak mendengar saran, kritik, atau pendapat orang lain. Walau, hal itu datang dari tempat yang penuh niat baik.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang pribadi, tetapi juga meresap ke dalam budaya kolektif, termasuk di dunia kerja, politik, akademisi dan juga penggiat media sosial. Kita hidup dalam era di mana semua orang ingin bicara, tapi sangat sedikit yang benar-benar mau mendengar.
Mentulikan diri seringkali bersumber dari ego. Perasaan sudah tahu segalanya, sudah cukup pintar, atau merasa paling benar menjadikan telinga tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya: sebagai alat untuk memahami, bukan sekadar mendengar.
Dalam kondisi ini, nasihat dianggap gangguan. Kritik dianggap serangan. Pendapat berbeda dianggap ancaman terhadap identitas diri. Padahal, pertumbuhan pribadi hanya mungkin terjadi jika kita membuka diri terhadap masukan.
Tentu saja tidak semua saran harus diikuti, tetapi menolaknya mentah-mentah hanya karena tidak sesuai dengan pandangan kita merupakan bentuk penutupan diri. Walaupun seringkali, orang yang mentulikan diri itu justru adalah mereka yang paling membutuhkan pandangan dari luar.
Dalam ruang sosial, sikap menutup telinga ini menciptakan ketimpangan komunikasi. Percakapan berubah menjadi monolog. Dialog kehilangan makna. Orang tidak lagi berbicara untuk memahami, tapi untuk menang. Akibatnya, hubungan menjadi dangkal, penuh asumsi, dan minim empati.
Kita mungkin berada dalam satu ruangan yang sama, tapi tidak benar-benar saling mendengarkan. Kita bisa melihat hal ini dalam dinamika kelompok kerja, pertemanan, bahkan dalam keluarga.
Ketika seseorang terlalu kaku dengan pendapatnya dan menolak mendengarkan sudut pandang lain, konflik menjadi tak terhindarkan. Setiap orang merasa paling tahu, paling benar, dan akhirnya tidak ada yang benar-benar didengar.
Dari hasil penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa, sikap mentulikan diri tidak selalu lahir dari kesombongan. Kadang, ini adalah bentuk pertahanan diri.
Orang takut mendengar hal yang membuatnya tidak nyaman. Takut tersinggung, takut terlihat lemah, takut harus berubah. Dalam banyak kasus, ini adalah respons terhadap trauma masa lalu dimana saran pernah disalahgunakan sebagai kontrol, bukan dukungan.
Namun, bersembunyi di balik ketakutan bukanlah solusi jangka panjang. Karena dalam proses tumbuh, ketidaknyamanan adalah harga yang harus dibayar. Mendengarkan bukan berarti tunduk. Itu adalah bentuk kedewasaan untuk memahami bahwa dunia tidak berputar di sekitar kita.
Mendengarkan adalah keterampilan, bukan bawaan lahir. Oleh sebab itu, kita butuh latihan, keberanian, dan kerendahan hati. Butuh kesediaan untuk berhenti sejenak, meredam ego, dan benar-benar hadir dalam percakapan.
Dalam dunia yang dibanjiri suara, kemampuan untuk mendengar, bukan sekadar mendengarkan, menjadi semakin langka. Padahal orang-orang bijak dari masa lalu selalu menekankan pentingnya mendengar.
Dalam filsafat Timur maupun Barat, mendengarkan adalah pintu menuju kebijaksanaan. Tapi hari ini, banyak yang lebih memilih untuk mentulikan diri demi menjaga ilusi kendali atas hidupnya.
Tentu, tidak semua saran patut diikuti.
Ada saatnya kita harus teguh pada pendirian, apalagi jika saran datang dari tempat yang manipulatif atau tidak memahami konteks kita. Namun, ada perbedaan besar antara selektif dan defensif.
Menyaring saran adalah perlu, tapi memutus semua saluran masuk hanya akan membuat kita terjebak dalam gema suara sendiri. Kita butuh ruang untuk berpikir sendiri, tapi juga butuh cermin dari luar untuk melihat diri lebih jernih.
Dalam hidup, seringkali kita butuh suara orang lain untuk menyadarkan kita akan titik buta yang tak bisa kita lihat sendiri.
Di dunia yang penuh dengan orang yang ingin didengar, mungkin menjadi pendengar adalah tindakan yang paling radikal.
Dan menjadi pendengar bukan hanya soal memperhatikan orang lain, tetapi juga membuka diri terhadap kemungkinan bahwa kita belum tahu segalanya. Bahwa kita bisa salah. Bahwa orang lain bisa benar.
Sikap mentulikan diri mungkin memberi rasa aman sesaat, tapi dalam jangka panjang, ia menciptakan kesepian yang dalam. Sebab dalam dunia nyata, kita hidup berdampingan dalam arti bukan hanya dalam ruang fisik, tetapi juga dalam percakapan, pemahaman, dan keterbukaan.
Maka jika ada satu keterampilan yang layak dilatih hari ini, mungkin bukan berbicara lebih keras, tetapi mendengar lebih baik. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Seminar Farmasi Digital Universitas Malahayati, Siapkan Mahasiswa Hadapi Revolusi Layanan Kefarmasian
Menjawab kebutuhan tersebut, Program Studi Farmasi Universitas Malahayati menggelar Seminar Farmasi Digital pada Selasa, 27 Mei 2025. Mengusung tema “Meningkatkan Akses dan Kualitas Pelayanan Kefarmasian di Era Digital”, acara ini menghadirkan dua pembicara inspiratif: apt. Gusti Rai Ayu Saputri, M.Si., seorang dosen sekaligus apoteker dan entrepreneur, serta apt. Arviyanti, S.Farm., praktisi Digital Marketing dari Dexa Medica.
Seminar dibuka secara resmi oleh Wakil Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Khoidar Amirus, SKM., M.Kes. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya adaptasi di tengah perubahan zaman.
“Di tengah pesatnya perkembangan teknologi digital, dunia kefarmasian dituntut untuk terus bertransformasi agar mampu memberikan pelayanan yang lebih efektif, efisien, dan inklusif,” ujarnya.
“Teknologi berkembang begitu cepat, termasuk dalam bidang farmasi. Digitalisasi bukan pilihan lagi, tapi kebutuhan yang harus direspons dengan inovasi,” tegasnya.
Melalui seminar ini, para mahasiswa diajak untuk mengeksplorasi berbagai teknologi mutakhir yang tengah merevolusi dunia farmasi. Mulai dari sistem informasi farmasi, telefarmasi, kecerdasan buatan (AI), hingga aplikasi mobile, semua dikupas secara mendalam. Beragam inovasi tersebut diyakini mampu mempercepat layanan, meningkatkan akurasi terapi, serta memperluas jangkauan pelayanan kefarmasian, terutama ke wilayah terpencil.
Melalui kegiatan ini, diharapkan mahasiswa tidak hanya memahami konsep digitalisasi, tetapi juga termotivasi untuk menjadi agen perubahan—merancang solusi inovatif demi terciptanya layanan kefarmasian yang lebih merata, aman, dan berkualitas.
Karena masa depan pelayanan kesehatan ada di tangan generasi muda, mari ambil bagian dalam transformasi digital kefarmasian. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Si Pandir dan Pendusta Gabung, Intelektualitas Tumbuh Moralitas Mundur
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu, seorang sohib jurnalis senior Lampung yang kami sering panggil HRW mengirimkan satu tulisan yang jadi inspirasi penulisan opini ini. Selain. respon terhadap keprihatinan banyak pihak yang peduli terhadap pendidikan tingg daerah ini yang banyak area abu-abu.
Area abu-abu tersebut yang kadang terkesan sengaja diciptakan agar yang bukan circle nya tidak betah dan ingin keluar dari ketidaknyamanan area tersebut. Untuk circlenya, area abu-abu itu yang bisa “dimainkan” buat keuntungan gengnya.
Salah satu eksesnya, berdasarkan penyelusuran informasi dan literature digital ditemukan informasi bahwa di tengah harapan besar akan pendidikan sebagai pencerah peradaban malah berhadapan dengan kenyataan pahit.
Kenyataan pahit, bagaimana kebohongan semakin canggih, sistematis, dan sering kali datang dari mereka yang bergelar tinggi. Mereka menjelma jadi penipu dan manipulator bersertifikat doktoral, pendusta berseragam institusi, dll.
Mereka bicara dengan tenang, penuh data, bahkan dengan referensi ilmiah. Tapi, di balik semua itu, kebohongan tetaplah kebohongan. Intelektualitas tumbuh, tapi moralitas kering.
Sistem pendidikan kita banyak mengajarkan apa yang harus dipahami, tapi jarang menyentuh mengapa kita perlu bertanggung jawab secara etis. Intelektualitas tumbuh, tapi moralitas kering.
Tak heran, kita melihat orang-orang dengan gelar akademik tinggi justru menjadi bagian dari jaringan korupsi, pembenaran kebijakan zalim, atau promotor disinformasi. Mereka tidak bodoh—justru terlalu pintar.
Tapi kepintaran yang dilepaskan dari nurani, hanya menghasilkan kecerdasan tanpa arah. Karena mereka cerdas, kebohongan mereka pun sulit dibantah. Mereka tahu cara merancang narasi, memelintir istilah, menyembunyikan motif pribadi di balik jargon profesionalisme.
Tapi kepintaran yang dilepaskan dari nurani, hanya menghasilkan kecerdasan tanpa arah. Dan karena mereka cerdas, kebohongan mereka pun sulit dibantah. Mereka tahu cara merancang narasi, memelintir istilah, menyembunyikan motif pribadi di balik jargon profesionalisme.
Inilah dunia kita sekarang: saat kebodohan diejek, tapi kebohongan dimaklumi. Ketika rakyat tertipu, kita menyalahkan mereka karena tak cukup kritis. Tapi ketika pemimpin atau pejabat berbohong dengan rapi, kita memujinya sebagai “pandai bersiasat”.
Citra telah mengalahkan isi. Gelar lebih dipercaya daripada hati nurani. Dan semakin canggih seseorang, semakin besar potensi ia menjadi pendusta yang tak terdeteksi.
Kita saat ini butuh pendidikan yang bukan hanya mencetak ahli, tapi juga manusia.
Yang mengajarkan cara berpikir, bukan hanya cara menjawab soal. Yang mendorong keberanian bertanya, bukan hanya ketundukan pada otoritas. Karena hari ini, dunia tidak kekurangan orang pintar. Yang langka adalah orang pintar yang jujur.
Dalam masyarakat yang sehat, orang semacam itu harusnya yang paling kita percayai. Ada yang salah dengan cara kita mendefinisikan “orang pintar”. Kita menganggap cerdas itu cukup dengan menguasai teori, bisa menjawab soal ujian, atau berbicara fasih di forum.
Kita lupa bahwa kecerdasan tanpa karakter hanyalah pisau tajam tanpa gagang—mudah melukai, sulit dikendalikan.
Sistem pendidikan kita, baik formal maupun informal, masih terlalu fokus pada kemampuan kognitif.
Nilai ujian lebih dihargai daripada keberanian mengakui kesalahan. Siswa yang patuh lebih dipuji daripada yang kritis. Dalam jangka panjang, sistem ini membentuk generasi yang pintar memanipulasi sistem, tapi gagap ketika diminta jujur atau bertanggung jawab.
Tak heran jika banyak dari lulusan terbaik justru terjebak dalam praktik curang, baik dalam riset akademik, pelayanan publik, hingga politik. Mereka tidak bodoh. Mereka tahu persis apa yang mereka lakukan. Tapi karena tidak diajarkan untuk peduli pada kebenaran, mereka menganggap kebohongan hanyalah bagian dari strategi bertahan.
Solusi dari semua ini bukan sekadar memperbanyak kelas logika atau debat. Kita butuh pendidikan yang mengakar pada nilai, pada integritas, pada keberanian berkata “saya salah”. Kita perlu ruang belajar yang menghargai pertanyaan jujur lebih dari jawaban sempurna.
Tak ada yang salah dengan menjadi pintar. Dunia memang butuh orang-orang cerdas untuk menyelesaikan masalah kompleks.
Tapi jika kecerdasan hanya digunakan untuk menipu, merugikan orang lain, dan menyelamatkan diri sendiri, maka itu bukan prestasi—itu pengkhianatan.
Maka, sebelum kita memuji seseorang karena gelarnya, tanyakan dulu: apa yang ia perbuat dengan kecerdasannya? Apakah ia memperbaiki hidup orang banyak, atau sekadar memperkaya dirinya sendiri? Karena hari ini, dunia tidak kekurangan orang pintar. Yang langka adalah orang pintar yang masih jujur.
Tampaknya si pandir dan pendusta berkerja makin mesra sampai mereka lupa bahwa jejak digital tidak bisa dihapus begitu saja. Bisa jadi perilaku sekarang adalah sambungan dari jilid yang kemarin, hanya beda orang dan waktu, tetapi kelakuan persis sama.Guru Besar Universitas Malahayati Lampung. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman