Menyapa Tangga, Menuju Makna

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu, seperti biasa diantar istri tercinta menuju kantor, karena semenjak menjadi lansia seperti menjadi anak Taman Kanak-kanak kembali, yang bercirikan kalau pergi harus diantar, kalau pulang harus dijemput; kalau tidak, dikhawatirkan tidak mengerti bagaimana dan dengan cara apa harus pulang. Langkah menuju tangga ini dahulu biasa dilakukan dengan gerakan cepat, tetapi seiring usia yang sudah tidak muda lagi, semua harus penuh kehati-hatian demi menjaga keseimbangan. Kantor masih sepi, sunyi yang hanya dihiasi suara lembut sapu lantai yang bergesekan dengan anak tangga. Di sana, seorang office boy sedang menyapu. Gerakannya lambat, tetapi konsisten, pandangannya kosong, tapi tak kehilangan arah. Sekilas, wajahnya terlihat pasrah, namun bukan dalam arti menyerah. Ada semacam keikhlasan yang jernih dalam ekspresinya. Seolah dia bukan sedang menyapu debu semata, melainkan menyapu waktu, menyapu harapan, menyapu tanya dalam diam dan keteraturan.

Pada momen itu, seolah ruang dan waktu terhenti. Di antara tangga dan lantai marmer yang putih berkilau, sebuah peristiwa kecil membuka pintu pada perenungan besar. Dalam hidup yang kerap kita kejar dengan ambisi dan target, sosok seperti dia jarang kita beri ruang dalam pikiran. Namun justru pada dirinya, ada cermin yang jujur tentang eksistensi manusia. Tanpa kata-kata, bisa jadi dia sedang mengajukan pertanyaan mendalam: apa arti kerja? Apa makna menerima? Apa batas antara keterpaksaan dan keikhlasan?

Filsafat kontemporer seringkali tidak membahas dunia dari menara gading. Ia juga masuk ke lorong-lorong gelap, ke ruang sempit dalam kehidupan sehari-hari, ke tubuh-tubuh yang lelah dan jiwa-jiwa yang diam. Dalam konteks itu, office boy di anak tangga bukan hanya pekerja rendahan. Ia adalah entitas eksistensial yang menunjukkan relasi manusia dengan dunia secara paling nyata. Dia hadir bukan sebagai simbol ketidakberdayaan, tetapi sebagai cermin keterhubungan antara manusia, benda, dan waktu.

Dia menyapu, dan dalam menyapu itu Dia sejatinya menghidupkan ruang. Bayangkan kantor sebesar dan semegah ini tanpa pekerja senyapnya setiap pagi. Debu akan menumpuk, lantai menjadi lengket, dan kenyamanan tempat kerja runtuh. Ia bukan sekadar pelengkap. Ia adalah bagian dari sistem yang diam-diam menopang struktur. Namun justru karena diamnya itulah, kita sering luput. Dunia modern, dengan obsesinya pada efisiensi, jabatan, dan hierarki, cenderung menyingkirkan kehadiran-kehadiran yang tak bersuara seperti ini. Padahal, dalam diam itu, terdapat nilai yang tak tergantikan.

Pandangannya yang kosong bukan berarti kehampaan. Mungkin itu bentuk perenungan yang tak diucapkan. Di tengah gerakan yang berulang dan monoton, ada kemungkinan bahwa dia sedang menjalani sebuah laku yang lebih dalam dari sekadar rutinitas. Dalam filsafat kontemporer, ada pemikiran bahwa pengalaman manusia bukan hanya ada dalam kata, tetapi juga dalam tubuh, dalam tindakan sehari-hari yang sering diremehkan. Tindakan menyapu, dengan seluruh repetisinya, bisa menjadi bentuk meditatif. Seperti doa yang tak bersuara, seperti zikir dalam gerakan.

Barangkali ia pasrah, tetapi bukan sebagai bentuk kekalahan. Pasrah di sini bisa dibaca sebagai penerimaan radikal terhadap hidup. Dunia tidak selalu bisa diubah dengan perlawanan frontal. Dalam kehidupan sebagian besar manusia, terutama mereka yang tidak punya akses pada kekuasaan atau kapital, kehidupan dijalani dalam ruang-ruang kecil penerimaan. Namun bukan berarti tidak ada kebebasan. Justru di sanalah, kebebasan dalam bentuk paling otentik muncul, yaitu kebebasan untuk tetap hadir, untuk tetap mengerjakan, untuk tetap memberi makna meski tak dianggap penting.

Ada paradoks menarik di sana: yaitu, mereka yang paling tidak kelihatan dalam sistem sering justru yang paling merawat sistem itu. Mereka tidak tampil di rapat-rapat penting, tidak disebut dalam laporan keberhasilan, tidak difoto untuk media sosial lembaga. Tetapi kehadiran mereka adalah fondasi. Dan, mungkin justru karena tidak dibebani ambisi struktural, mereka lebih dekat dengan bentuk hidup yang otentik. Mereka tidak sibuk membangun citra; justru mereka hadir dalam keheningan yang jujur.
Melihatnya menyapu tangga membuat kita bertanya kembali secara replektif kepada diri sendiri: untuk apa kita bekerja? Apakah hanya untuk mencari sesuap nasi, atau untuk mendapat pengakuan, dan atau untuk memperbesar ego? Apakah setiap presentasi yang kita perjuangkan benar-benar memiliki makna, atau sekadar rutinitas yang dibungkus jargon profesional? Tiba-tiba, gerakannya yang sederhana menjadi semacam kritik terhadap kebisingan palsu yang selama ini mengelilingi kita. Dia, dalam diamnya, sedang menelanjangi semua kepura-puraan yang kita sebut bersama selama ini sebagai “kesibukan”.

Gerak menyapunya mengingatkan kita pada pentingnya hadir secara penuh dalam setiap tindakan. Tanpa sadar, dia sedang mengajarkan mindfulness dalam bentuk paling konkret. Tidak dengan aplikasi atau pelatihan, tapi dengan hidup itu sendiri. Dengan menyatu pada gerakan tangan dan bunyi sapu, ia sepenuhnya ada di sana, dan tidak terpecah oleh notifikasi ponsel atau keinginan memburu pujian. Ada kebijaksanaan yang diam-diam hadir dari tubuh yang bekerja dalam kesadaran penuh.

Tak bisa dipungkiri, sistem sosial kita sering mengabaikan kerja-kerja yang tak kelihatan. Gaji rendah, status sosial yang diremehkan, dan invisibilitas struktural membuat orang-orang seperti mereka seolah tak punya tempat dalam narasi besar. Tapi mungkin justru dari ketidakberadaan itulah mereka bebas. Bebas dari tuntutan pencitraan, bebas dari tekanan performa, dan bebas untuk sekadar menjadi. Mereka adalah titik buta dalam sistem yang menyimpan cahaya eksistensi paling murni.

Saat melangkah melewatinya, dia menatap sejenak dan tersenyum kecil. Sebuah senyum yang bukan dibuat-buat, tidak berusaha ramah secara profesional, tapi tulus seperti daun yang jatuh pada musimnya. Senyum yang tidak meminta balasan. Dalam senyum itu, seolah ia berkata: “saya tahu dunia ini keras, tapi saya tetap di sini, menyapu setiap pagi, menjaga ruang ini tetap bersih, meski tak ada yang berterima kasih”. Dan mungkin, dalam kerja senyap itulah, dia telah menemukan kedamaian yang lebih dalam dari apa yang dicari oleh kebanyakan dari kita.

Di era yang penuh distraksi, melihat seseorang bekerja dengan tenang dan ikhlas adalah peristiwa langka. Kita terlalu sering sibuk mengejar makna di luar, padahal kadang makna itu hadir dalam laku paling sederhana. Menyapu tangga, misalnya. Tidak ada penghargaan besar, tidak ada promosi, tidak ada catatan sejarah. Tapi justru di sana, waktu dipelihara, ruang dirawat, dan dunia dijalankan. Semoga kita mampu menangkap pesan langit yang disampaikan oleh office boy melalui bahasa geraknya. Karena tidak semua kebenaran, kebahagiaan, keberuntungan disampaikan lewat kata. Terkadang dalam sunyi kita menemukan keriuhan kehidupan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati, Mario Hafizh Persembahkan Prestasi Gemilang di Ajang POMNAS XIX 2025

SURAKARTA (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Mario Hafizh P (24130031), mahasiswa Program Studi Teknik Industri, berhasil meraih Juara 3 Kategori Regu Putra dalam ajang Pekan Olahraga Mahasiswa Nasional (POMNAS) XIX Tahun 2025 yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Olahraga Mahasiswa Indonesia (BAPOMI) di Edutorium Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), pada 22–26 September 2025.

Ajang bergengsi tingkat nasional ini diikuti oleh ratusan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Mereka berkompetisi dalam berbagai cabang olahraga untuk menunjukkan kemampuan, semangat sportivitas, dan daya juang yang tinggi.

Mario Hafizh yang menjadi delegasi resmi Universitas Malahayati tampil penuh semangat dan menjunjung tinggi sportivitas selama pertandingan. Berkat kerja sama tim yang solid dan strategi matang, regu putra yang diperkuat Mario sukses mengamankan posisi peringkat ketiga nasional, sekaligus mengharumkan nama Universitas Malahayati di kancah olahraga mahasiswa Indonesia.

Mario Hafizh mengungkapkan rasa syukur dan bangganya atas pencapaian tersebut.“Saya sangat bersyukur bisa membawa nama Universitas Malahayati di ajang sebesar POMNAS ini”.

Ia bercerita bahwa disana persaingannya sangat ketat, tapi berkat kerja keras, dukungan dari dosen, teman-teman, dan universitas, akhirnya kami bisa meraih juara. “Semoga prestasi ini bisa menjadi motivasi bagi mahasiswa lain untuk terus berjuang dan berprestasi, baik di bidang akademik maupun non-akademik,” ujar Mario dengan penuh semangat.

Universitas Malahayati turut menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya atas capaian tersebut. Prestasi yang diraih Mario Hafizh menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul dalam bidang akademik, tetapi juga mampu bersaing di tingkat nasional dalam bidang olahraga.

Universitas Malahayati senantiasa berkomitmen mendukung potensi dan bakat mahasiswa di berbagai bidang, sebagai wujud nyata dalam mencetak generasi muda yang berprestasi, tangguh, dan berdaya saing tinggi di tingkat nasional maupun internasional. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Ketika Cinta Tak Sejalan Dengan Harapan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kebiasaan kami berdua suami-istri yang sudah lansia ini; setiap menunggu waktu subuh selalu berbincang berdua. Persoalan yang dibahas dari yang remeh-temeh sampai yang super berat. Sama halnya dengan subuh itu; teman hidup ini menceritakan bagaimana menderitanya teman sesama pensiunan, beberapa waktu lalu sakit kena kanker otak. Dan, untuk beberapa lama harus menjalani operasi otak di salah satu rumah sakit besar di Jakarta. Sekarang teman tadi menderita penyakit lain lagi yang tidak kalah membahayakan, sampai-sampai harus menjual semua hartanya guna biaya pengobatan. Terakhir ada tanah yang ditawarkan untuk dijual dengan sangat murah, letaknya dipinggir kota; dan itupun dilakukan sebagai harta terakhir untuk biaya pengobatan.

Sedih, haru dan entah apa lagi berkecanuk di dada kami berdua; ikut prihatin atas itu semua. Pada posisi itu kami berdua seperti mendapatkan pembelajaran hidup dari peristiwa yang menimpa teman tadi. Ternyata rahasia Tuhan akan sesuatu yang terjadi pada mahluknya tidak ada yang bisa menerkanya.

Manusia, sepanjang sejarahnya, selalu menuntut jawaban dari langit. Ia memandang ke atas dengan segumpal harapan yang meronta di dada, meminta agar semesta berpihak, agar doanya dijawab dengan cara yang mudah dimengerti. Tapi berkali-kali yang terjadi justru sebaliknya: kehilangan, derita, luka, keterasingan. Maka muncullah bisikan getir dalam benak manusia yang tak terhitung jumlahnya: jika Tuhan mencintaiku, mengapa jalan hidupku penuh derita? Jika kasih sayang-Nya abadi, mengapa tangisku tak reda?

Inilah dilema eksistensial yang tak henti memburu kesadaran manusia dari sejak dahulu. Sebab cinta, dalam benak manusia, selalu identik dengan kehadiran, dengan kelegaan, dengan penguatan. Tapi bagaimana jika cinta Tuhan hadir dalam bentuk sebaliknya? Bagaimana jika cinta itu justru menyamar sebagai penderitaan yang tampak takberkesudahan? Di sinilah bahasa cinta Tuhan menjelma menjadi sesuatu yang paradoksal, asing, dan tak jarang ditolak oleh akal yang terbiasa dengan logika sebab-akibat yang dangkal, dan terkadang sesat.

Filsafat kontemporer telah lama bergumul dengan absurditas hidup. Dalam dunia yang semakin mengaburkan batas antara makna dan kekosongan, manusia tak lagi bisa bersandar pada keyakinan sederhana bahwa segala sesuatu akan baik-baik saja. Maka muncul kebutuhan mendesak untuk menafsir ulang apa itu cinta, khususnya cinta Tuhan, dalam lanskap kehidupan yang compang-camping. Apakah cinta Tuhan itu selalu harus bermakna kebahagiaan? Apakah penderitaan selalu tanda ketiadaan kasih? Ataukah cinta Tuhan justru hadir dalam bentuk yang tak kita mengerti, bahkan bias jadi menurut ukuran kita itu menyakitkan?

Ketika manusia menuntut bukti cinta dari langit, seringkali ia menggunakan ukuran yang sama dengan ukuran cinta manusia: hadiah, pengakuan, kehadiran, perlindungan, kenyamanan. Tapi Tuhan, dalam keberadaan-Nya yang tak terbatasi oleh ruang dan waktu, tak terikat oleh logika cinta manusia yang penuh syarat. Ia mencintai tidak dengan memberi kenyamanan, melainkan kesadaran. Ia tidak selalu menyelamatkan, tapi justru membiarkan luka terjadi agar kedewasaan lahir. Maka bahasa cinta Tuhan tak berbunyi dengan lembut, tetapi kadang menyerupai teriakan sunyi di tengah malam yang panjang. Sunyi yang membuat manusia gelisah, tapi sekaligus memaksanya untuk melihat ke dalam.

Bahasa cinta Tuhan kadang hadir dalam bentuk keterasingan yang dalam. Di saat semua yang dicintai pergi, di saat semua yang dibanggakan runtuh, manusia mendadak dipaksa untuk berhadapan dengan dirinya yang telanjang. Tak ada lagi topeng. Tak ada lagi sandaran. Hanya ada kesendirian yang menyiksa, yang pelan-pelan menelanjangi ego. Dan di titik itu, ketika semua yang palsu luruh, muncullah kemungkinan untuk mengenal Tuhan dengan cara yang baru; bukan sebagai sosok penyelamat yang selalu menjawab doa, tetapi sebagai sumber makna dalam kekacauan.

Salah satu jebakan terbesar dalam memahami cinta Tuhan adalah anggapan bahwa cinta harus selalu terasa menyenangkan. Padahal, cinta yang sejati bukan tentang rasa, tetapi tentang keberanian untuk mengarungi proses yang tak mudah. Manusia yang ingin memahami cinta Tuhan harus bersedia melepaskan ekspektasi dan menerima kenyataan hidup apa adanya, bukan karena pasrah, tapi karena sadar bahwa dalam ketidaksempurnaan hidup, ada pelajaran yang tak bisa ditukar dengan kebahagiaan instan.

Dalam filsafat kontemporer, kerap muncul gagasan bahwa penderitaan bukanlah kebetulan, melainkan jendela menuju dimensi yang lebih dalam dari eksistensi. Penderitaan membuka celah dalam kesadaran manusia, mempertemukannya dengan absurditas hidup, dan memaksanya untuk bertanya secara jujur: apa arti hidup ini jika semua yang aku inginkan tak terpenuhi? Apa makna cinta jika itu tidak berwujud kenyamanan? Di titik inilah manusia bisa mulai membaca bahasa cinta Tuhan yang berbeda dari penglihatannya. Ia mulai memahami bahwa apa yang selama ini tampak sebagai hukuman, bisa jadi adalah bentuk kasih yang tertinggi, kasih yang tak ingin kita tetap kecil dan nyaman, tetapi berkembang, meski lewat luka.

Tuhan, dalam cinta-Nya yang misterius, kadang mencintai dengan cara mengambil. Bukan karena Ia kejam, tetapi karena manusia terlalu terikat pada hal-hal yang semu. Apa yang dicintai manusia sering kali bukan sesuatu yang membawanya kepada kebenaran, tetapi justru menjauhkannya. Maka Tuhan hadir bukan sebagai pemenuh keinginan, tetapi sebagai pembebas dari keterikatan. Ia merobohkan berhala-berhala kecil dalam hati manusia, seperti; ambisi, ego, relasi, bahkan doa-doa yang penuh nafsu; agar manusia kembali pada keheningan yang murni, tempat di mana cinta sejati bisa dikenali tanpa syarat.

Ketika manusia berhenti menuntut cinta Tuhan dalam bentuk yang bisa dilihat, saat itulah ia mulai benar-benar mencintai. Ia tak lagi mencari bukti, karena keberadaannya sendiri sudah menjadi jawaban. Ia tidak lagi bertanya “mengapa aku menderita”, tetapi “apa yang sedang diajarkan padaku”. Ia tidak lagi memohon agar hujan berhenti, tetapi belajar menari dalam badai. Dan dari sana, dari keberanian untuk tetap hidup dalam absurditas, ia menemukan makna yang lebih besar dari kebahagiaan: yaitu kebijaksanaan.

Maka jika hari ini kita merasa ditinggalkan, jika doa kita terasa membentur langit yang bisu, jangan buru-buru menyimpulkan bahwa Tuhan tak peduli. Mungkin, justru di sanalah cinta-Nya sedang bekerja. Mungkin Tuhan sedang menghapus satu demi satu ilusi dalam dirimu agar kamu melihat-Nya dengan cara yang baru. Mungkin Tuhan sedang mengosongkan ruang di hatimu agar bisa diisi oleh sesuatu yang lebih kekal daripada keinginan sesaat.

Bahasa cinta Tuhan memang sering berbeda dengan yang kita lihat. Tetapi bukan berarti Tuhan tak mencinta. Hanya saja, mungkin kita belum belajar mendengar dengan cara yang baru. Sebab untuk memahami cinta yang ilahi, dibutuhkan hati yang tak hanya ingin menerima, tetapi juga rela melepaskan. Semoga teman yang sedang sakit tadi mendapatkan jalan terbaik dari Tuhan; karena sejatinya kita hadir di dunia ini diminta menjalani kodratNYA. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Ulang Tahun Rektor Universitas Malahayati, Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Kami sivitas akademika Universitas Malahayati mengucapkan Selamat ulang tahun kepada Bapak Rektor, Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H. Semoga panjang umur, diberikan kesehatan, kekuatan, selalu dalam lindungan Allah SWT, dan semakin sukses serta bijaksana dalam memimpin Universitas Malahayati untuk terus bertransformasi menjadi yang terbaik! (gil)

Editor: Gilang Agusman

Dosen Universitas Malahayati, Dwi Marlina Syukri, Ph.D, Pukau Thailand dengan Inovasi Benang Bedah Berlapis Biogenic Silver Nanoparticle

THAILAND (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh sivitas akademika Universitas Malahayati. Dosen sekaligus peneliti unggulan, Dwi Marlina Syukri, Ph.D, menjadi sorotan dalam kuliah umum internasional di Walailak University, Nakhonsrithammarat, Thailand, setelah memaparkan hasil riset inovatifnya terkait pengembangan benang bedah dengan lapisan Biogenic Silver Nanoparticle. Senin (22/9/2025).

Kuliah umum tersebut menarik perhatian luas dari mahasiswa, dosen, serta praktisi kesehatan yang hadir. Dalam paparannya, Dwi Marlina menjelaskan bahwa benang bedah inovatif ini dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi nanopartikel perak yang bersifat antimikroba alami, sehingga mampu mengurangi resiko infeksi pascaoperasi secara signifikan.

“Penggunaan biogenic silver nanoparticle tidak hanya memberikan perlindungan dari mikroorganisme penyebab infeksi, tetapi juga ramah lingkungan dan mudah diaplikasikan dalam berbagai prosedur pembedahan,” ungkap Dwi Marlina dalam presentasinya.

Lebih lanjut, Dwi Marlina menuturkan bahwa riset ini berangkat dari kebutuhan klinis akan bahan medis yang lebih aman dan efisien, sekaligus mendukung perkembangan biomaterial modern yang bekelanjutan. Kombinasi antara ilmu bioteknologi dan prinsip geen chemistry menjadi landasan utama inovasi ini.

Keberhasilan penelitian ini semakin istimewa karena telah mendapat pengakuan internasional melalui perlindungan kekayaan intelektual (paten) di Thailand, dengan nomor 2003001900 (Thai Petty Patent). Pengakuan ini membuktikan bahwa hasil karya anak bangsa mampu bersain dan diakui secara global dalam bidang riset dan inovasi kesehatan.

Antusiasme peserta kuliah umum pun begitu terasa. Mereka menilai bahwa riset yang dilakukan oleh Dwi Marlina Syukri, Ph.D tidak hanya memberikan kontribusi nyata bagi dunia akademik, tetapi juga membuka peluang besar bagi pengembangan industri alat kesehatan berbasis bioteknologi di Indonesia dan Asia Tenggara.

Rektor Universitas Malahayati turut memberikan apresiasi atas pencapaian tersebut, menegaskan bahwa kehadiran dosen-dosen berprestasi di panggung internasional menjadi bukti komitmen universitas dalam mencetak peneliti unggul dan berdaya saing global.

Melalui kegiatan ini, diharapkan akan lahir lebih banyak peneliti muda yang terinspirasi untuk berinovasi dan menghasilkan riset aplikatif yang membawa manfaat luas bagi masyarakat. Dwi Marlina menutup kuliahnya dengan pesan inspiratif:

“Inovasi bukan hanya tentang menemukan hal baru, tetapi tentang bagaimana ilmu yang kita kembangkan dapat memberi dampak nyata bagi kehidupan manusia.”

Kehadiran Dwi Marlina Syukri, Ph.D di Thailand tak hanya menjadi ajang berbagi pengetahuan, tetapi juga mencerminkan semangat kolaborasi lintas negara dalam menguatkan peran Indonesia di kancah riset global. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Bayang-Bayang Hantu Kekuasaan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada media sosial mainstream saat ini, sedang ramai dibicarakan bagaimana seorang pimpinan daerah sedang menunjukkan kuasanya dengan memberikan bantuan kepada instansi yang bukan kewenangannya untuk dibantu. Alih-alih untuk menyadari akan kekeliruan saat diingatkan, sekalipun dengan surat terbuka. Malah yang dimunculkan sikap bertahan, dengan berlindung kepada pendapat tenaga kontrak yang dibayar untuk melindungi setiap kebijakannya.

Fenomena seperti ini kerap muncul di ruang sosial; kelakuan sebagian pejabat publik untuk menunjukkan resistensi terhadap kritik. Ketika diingatkan, bukan keterbukaan yang ditampilkan, melainkan reaksi defensif, penuh kecurigaan, bahkan kemarahan. Dalam situasi semacam ini, bukan nalar yang bekerja, tetapi ego. Ego yang telah tersentuh oleh kekuasaan tidak lagi mengenal batas. Ia merasa memiliki kebenaran, merasa tidak perlu dikoreksi, merasa menjadi penafsir tunggal terhadap apa yang disebut kepentingan rakyat.

Dari sudut pandang filsafat kontemporer, terutama yang menaruh perhatian pada kuasa dan subjektivitas, kita dapat melihat bahwa kekuasaan selalu menggoda untuk menutup diri dari kritik. Kritik mengancam struktur nyaman yang telah dibangun. Ia mengganggu ilusi kendali. Dan dalam dunia yang dikuasai oleh ilusi-ilusi semacam itu, pejabat yang menolak kritik sebenarnya sedang mempertahankan narasi tentang dirinya sendiri; bahwa dirinya kuat, dirinya tahu segalanya, dan dirinya tidak perlu diingatkan.

Namun sejatinya justru dalam momen ketika seseorang menolak kritik, di sanalah kita melihat kegamangan kuasa. Kekuasaan yang sejati tidak takut pada kritik. Sebaliknya, kekuasaan yang rapuh selalu membentengi diri dengan simbol, dengan jarak, dan dengan retorika pengabaian. Maka setiap kali seseorang yang berada dalam posisi kekuasaan menolak untuk mendengar, sesungguhnya ia sedang menunjukkan betapa ia dikendalikan oleh hantu-hantu yang membisikkan superioritas palsu.

Ego kekuasaan bekerja bukan melalui logika, melainkan afek. Ia muncul dalam bentuk rasa terganggu, tersinggung, tersudut. Padahal dalam kerangka rasionalitas publik, kritik seharusnya dilihat sebagai mekanisme penyeimbang. Kritik bukan ancaman, melainkan koreksi. Namun dalam banyak kasus, kritik ditafsir sebagai serangan terhadap pribadi, bukan sebagai masukan terhadap kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa antara jabatan dan identitas, telah terjadi tumpang tindih. Sang pemegang jabatan tidak lagi mampu membedakan antara dirinya sebagai pribadi dan dirinya sebagai bagian dari sistem pelayanan publik.

Kita sedang menghadapi zaman di mana simbol-simbol kekuasaan masih lebih dihormati daripada esensi tanggung jawab. Pakaian dinas, panggilan kehormatan, protokol, dan semua perangkat birokrasi menjadikan pemegang kekuasaan mudah merasa berada di atas. Dalam kondisi semacam ini, kritik terasa seperti penghinaan. Padahal kritik sejatinya adalah bentuk cinta terhadap tatanan yang lebih baik. Tapi cinta semacam ini ditolak karena dianggap sebagai ancaman terhadap martabat palsu yang dibangun oleh simbol-simbol luar.

Filsafat kontemporer mengajarkan kita bahwa identitas bukanlah sesuatu yang tetap. Ia terus berubah, dibentuk oleh relasi, oleh bahasa, oleh sejarah. Maka pejabat publik pun bukan identitas tunggal. Ia harus terus-menerus menjadi, terus merefleksi, terus merespons konteks. Namun ego kekuasaan mematikan proses ini. Ia menjadikan pejabat sebagai sosok beku; yang merasa sudah jadi, bukan sedang menjadi. Tidak ada ruang untuk kritik karena tidak ada kesadaran akan ketidaksempurnaan.

Ketika seseorang tidak bisa menerima kritik, itu bukan semata soal karakter. Itu adalah persoalan filsafat. Itu adalah soal bagaimana seseorang memahami dirinya dalam relasi dengan yang lain. Apakah ia melihat dirinya sebagai pusat segala-galanya, atau sebagai bagian dari jaringan sosial yang saling terkoneksi. Dalam filsafat dialogis, manusia dipahami sebagai makhluk yang hanya bisa menjadi manusia sejati melalui pertemuan dengan yang lain. Maka pejabat publik, dalam ruang sosial, hanya bisa menjalankan fungsinya secara etis jika ia mampu membuka diri terhadap suara rakyat.

Namun kekuasaan kerap membungkam ruang dialog itu. Ia menggantinya dengan monolog. Hanya satu suara yang boleh terdengar. Hanya satu versi kebenaran yang dianggap sah. Dalam ruang seperti ini, kritik kehilangan tempat. Dan ketika kritik tidak lagi punya ruang, maka kekuasaan akan membusuk dalam ruang gema; di mana satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara dari dalam dirinya sendiri. Ini adalah bentuk paling halus dari pembusukan moral dalam kekuasaan.

Kita perlu merenungkan bahwa dalam sistem yang sehat, kekuasaan bukan tempat istimewa, tetapi tempat tanggung jawab. Bukan posisi untuk merasa tinggi, tetapi posisi untuk merunduk dan melayani. Ketika pejabat publik menjadikan kekuasaan sebagai perpanjangan egonya, maka hilanglah fungsi utama kekuasaan itu sendiri: menghadirkan kebaikan bersama. Ego yang membesar dalam kekuasaan menciptakan ruang hampa makna. Semua menjadi soal kehormatan, bukan soal kinerja. Semua menjadi tentang “saya,” bukan tentang “kita.”

Namun, dari kacamata filsafat kontemporer, harapan tidak pernah sepenuhnya padam. Justru dalam kerapuhan struktur ini, ruang etis terbuka. Ruang untuk membongkar kembali, membaca ulang, dan menafsir ulang peran kekuasaan. Kebenaran tidak pernah mati dalam suara yang dibungkam. Ia hidup dalam bisikan-bisikan yang tetap bertahan. Maka jika pejabat publik terus mengedepankan ego daripada keterbukaan, ia sebenarnya sedang menggali jarak yang lebih dalam antara dirinya dan rakyat yang ia wakili.

Satu hal yang pasti: kekuasaan adalah titipan. Dan setiap titipan mengandung risiko. Risiko bahwa ia bisa salah kelola, bisa disalahgunakan, atau bahkan bisa merusak moral penerimanya. Dalam terang ini, kritik bukan ancaman, melainkan pelindung. Ia adalah cermin agar kekuasaan tidak menjadi candu. Agar ego tidak menjelma menjadi hantu yang menuntun kebijakan ke arah yang menindas. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Dilarang Menikah dengan Orang Satu Kampung

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu pemerintah kota memberikan “klarifikasi” dari sesuatu hal berkaitan dengan “surat seorang sahabat” yang mencoba mengingatkan atas kekurangtepatan dalam mengambil keputusan karena memberikan bantuan kepada lembaga yang tidak semestinya. Namun alih-alih klarifikasi itu meluruskan, justru membingungkan. Kebingungan itu sama halnya kita membaca judul tulisan ini, karena bisa jadi itu semua orang yang ada di kampung itu, atau bisa juga satu orang dari satu kampung itu. Dalam filsafat ilmu, kesesatan seperti ini dikenal dengan istilah “Terminus aequivocus” berarti “istilah yang ambigu” atau “istilah dengan makna ganda”. Karena istilah “sekampung” dalam frase itu mengandung lebih dari satu arti, dan bisa menyebabkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih lanjut.

Dalam zaman yang serba cepat, ketika informasi datang tanpa henti dan makna bergeser dalam tiap lintasan kalimat, seorang pemimpin dituntut untuk menjadi jangkar kebenaran. Ia bukan sekadar pengelola keputusan, tetapi juga penafsir realitas. Perannya tidak hanya pada tataran tindakan, tetapi juga pada level bahasa: bagaimana ia berbicara, menjelaskan, dan memberi arah melalui kata-kata. Di sinilah letak pentingnya kejelasan konseptual, terutama dalam menghindari penggunaan bahasa yang berada dalam wilayah terminus aequivocus.

Pada kerangka filsafat kontemporer, bahasa bukan lagi hanya alat menyampaikan maksud, tetapi juga arena pembentukan kekuasaan, realitas, dan relasi antarindividu. Maka, seorang pemimpin harus menyadari bahwa tiap kata yang diucapkan memiliki beban etis dan konsekuensi praksis. Ketika sebuah pernyataan memiliki makna ganda, publik dipaksa untuk menafsirkan, menebak, bahkan mencurigai. Hal ini membuka ruang bagi distorsi, manipulasi, dan keraguan yang merusak kepercayaan. Oleh karena itu, kejelasan dalam berbahasa bukan hanya soal retorika, tapi fondasi etika dalam kepemimpinan.

Ketika seorang pemimpin menyampaikan larangan, kebijakan, atau arahan, setiap istilah yang digunakan haruslah bersifat univokus, yaitu memiliki makna yang tunggal, jelas, dan tak menyisakan ruang bagi interpretasi yang membingungkan. Ini bukan berarti menghapus kedalaman bahasa, melainkan menyederhanakan agar pemahaman dapat diakses secara merata.

Sebuah kalimat seperti “dilarang menikahi orang sekampung” tampak sederhana, namun menyimpan potensi ambiguitas besar. Apakah larangan itu berdasar pada geografi, kekerabatan, atau tradisi adat?. Tanpa penjelasan yang tegas, frasa semacam itu membuka peluang perdebatan tanpa ujung.

Di sinilah letak tanggung jawab seorang pemimpin: bukan hanya membuat aturan, tetapi memastikan bahwa aturan itu dipahami sebagaimana dimaksud. Dalam filsafat kontemporer, pemahaman yang salah bukan hanya kesalahan penerima pesan, melainkan juga pengirim pesan yang tidak menyusun komunikasinya dengan akurat. Maka, kejelasan menjadi perwujudan tanggung jawab epistemik, bukan hanya keterampilan komunikasi.

Kepemimpinan yang lemah seringkali tampak dalam kegagalan mengelola makna. Pemimpin yang berkata “kita akan evaluasi” tanpa menjelaskan kriteria, waktu, atau objek evaluasi, sesungguhnya tidak sedang berbicara, tetapi menyembunyikan. Bahasa seperti ini bukan sekadar kosong, melainkan berbahaya. Ia memberi kesan ada tindakan, padahal tidak ada substansi. Ia menenangkan sementara, tapi menciptakan luka jangka panjang. Di sinilah bahasa ganda menunjukkan watak sesungguhnya: sebagai alat kuasa yang membingungkan, bukan membebaskan.

Namun demikian, kejelasan bukan berarti kesederhanaan yang dangkal. Pemimpin tidak boleh terjebak pada gaya komunikasi populis yang mengorbankan kedalaman demi kepuasan massa.

Kejelasan yang dimaksud adalah ketegasan makna: setiap istilah dipilih dengan kesadaran penuh atas sejarah, konteks, dan dampaknya. Ia berbicara untuk dipahami, bukan untuk disanjung. Ia menjelaskan untuk membimbing, bukan untuk mengaburkan.

Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa realitas sosial terbentuk melalui konstruksi linguistik. Dalam dunia di mana batas antara fakta dan opini kian tipis, tugas pemimpin bukan hanya mengatakan hal yang benar, tetapi mengatakan kebenaran dengan cara yang tidak memungkinkan disalahpahami.

Pemimpin yang berbicara tentang “keadilan sosial”, misalnya, harus menjabarkan apakah ia berbicara tentang distribusi ekonomi, kesetaraan hukum, atau representasi politik. Tanpa itu, istilah tersebut menjadi sekadar slogan yang bisa ditafsirkan sesuka hati oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang ingin membelokkan maknanya untuk kepentingan sendiri.

Tantangan terbesar dalam kepemimpinan masa kini bukanlah mengambil keputusan saja, tetapi menjelaskan keputusan itu dalam bahasa yang jujur. Dalam dunia yang kerap penuh kepura-puraan, kejujuran bukan hanya soal niat, tapi juga soal struktur bahasa. Seorang pemimpin yang ingin jujur harus memastikan bahwa setiap istilah yang digunakan tidak menipu melalui ketidakjelasan. Ini adalah bentuk keberanian intelektual dan moral. Lebih mudah menyembunyikan di balik frasa ambigu daripada mengungkapkan kenyataan yang mungkin tidak populer. Tapi pemimpin sejati tidak bersembunyi di balik kabut makna.

Seorang pemimpin harus memahami bahwa setiap publik yang ia pimpin memiliki tingkat literasi makna yang berbeda. Maka, ia harus menjadi jembatan, bukan menara gading. Kata-katanya harus inklusif secara semantik: tidak mempersulit, tapi juga tidak merendahkan. Ia harus mampu merancang komunikasi yang tidak membiarkan warganya tersesat dalam labirin kata yang tidak jelas. Pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas apa yang ia katakan, tetapi juga atas bagaimana hal itu dipahami.

Pada akhirnya, kepemimpinan adalah seni membimbing dalam kegelapan. Dan dalam kegelapan, kata-kata yang jelas adalah cahaya. Pemimpin yang mampu memberi penjelasan tanpa menyisakan ruang untuk ambiguitas, telah memberi lebih dari sekadar informasi, tetapi ia telah memberi arah, ketenangan, dan harapan. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Aku 8unuh Kamu, Nanti!

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

A: Aku bunuh kamu nanti!
B: Coba, bunuhlah, jika memang jago!
A: Nanti, kata saya!

Sebenarnya beberapa hari ini, saya kehilangan mood untuk menulis, bahkan sampai pada titik nadir: lesu dan “buntu”.Namun membaca tulisan opini Herman Batin Mangku (HBM) pada media ini yang berkaitan dengan dialog imajiner dua tokoh negeri ini, gairah untuk menulis sontak muncul.

Pada alinie terakhir dari tulisan itu menyentuh dawai humor saya dan memantik untuk munculnya dialog tiga kalimet pendek di atas. Tulisan ini mencoba memahami dialog imajiner itu dari sisi kehidupan lain.

Tiga kalimat pendek yang, meski tampak sederhana, menyimpan lapisan makna mendalam tentang manusia, kebebasan, dan keberadaan.

Dalam suasana konflik yang dapat kita bayangkan muncul dari pergulatan batin atau perseteruan laten antar dua pribadi, dialog ini membuka pintu perenungan panjang tentang siapa manusia itu dan bagaimana eksistensinya ditentukan oleh kebebasan memilih, menunda, atau bahkan menggugurkan niat yang lahir dari dorongan sesaat.

Kalimat pertama adalah ancaman. Namun, bukan sekadar ekspresi amarah biasa. Ia adalah pernyataan kuasa, bentuk dari kehendak atas yang lain, sebuah pengakuan akan potensi destruktif yang bisa diwujudkan.

Dalam perspektif filsafat manusia, manusia tidak hanya makhluk berpikir, tetapi juga makhluk bertindak, yang dengan kesadarannya mampu memilih jalan penciptaan atau kehancuran.

Kalimat “aku bunuh kamu nanti” mengandung kesadaran itu, ia bukan perbuatan spontan, tapi janji tindakan yang ditunda. Di sinilah letak kedalaman pertamanya: ancaman itu tidak bersifat segera, melainkan direncanakan.

Ia mengandung deliberasi, dan karenanya mengandung kebebasan.

Responsnya, “bunuhlah,” bukan bentuk ketakutan, melainkan penerimaan. Bahkan, bisa dimaknai sebagai tantangan. Di sinilah filsafat eksistensial berperan. Manusia, sebagaimana dipahami oleh pemikir seperti Sartre, adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab atas kebebasannya.

Ketika seseorang menjawab “bunuhlah,” ia seolah mengamini kemungkinan bahwa hidup ini adalah bentang yang absurd yang tak selalu berpola, tak selalu adil. Tapi dalam pengakuan terhadap ancaman itu, ia juga menunjukkan keutuhan dirinya sebagai subjek.

Ia tidak bersembunyi di balik ketakutan, tidak pula menawar ancaman itu dengan permohonan. Ia berdiri sebagai pribadi utuh yang menerima bahwa hidup dan mati bisa saja bukan di tangannya, namun respons terhadap keduanya tetap menjadi kebebasannya.

Pernyataan penutup, “nanti, kata saya,” adalah titik balik. Di sinilah dimensi kemanusiaan paling nyata terlihat. Ada jeda, ada ruang berpikir. Ancaman yang sedari awal dikatakan dengan niat yang tegas, kini kembali ditegaskan akan terjadi tetapi di waktu yang tak pasti.

Ini bukan hanya penundaan, melainkan pengakuan akan keberlangsungan waktu dan kemungkinan berubahnya kehendak.

Di dalamnya ada pengakuan bahwa manusia tidak statis. Bahwa kehendak bisa berubah, bahwa kemarahan bisa reda, bahwa niat untuk mengakhiri hidup orang lain bisa menjadi renungan yang membawa pada pemahaman yang lebih dalam.

Jika kita tarik lebih jauh ke dalam pemikiran Emmanuel Levinas, ada yang jauh lebih menggetarkan. Levinas mengajarkan bahwa wajah orang lain adalah panggilan etis. Bahwa melihat orang lain bukan hanya melihat objek, tetapi subjek yang memanggil tanggung jawab kita.

Maka, mengancam membunuh orang lain bukan hanya pernyataan kekuasaan, tapi bentuk penyangkalan terhadap kemanusiaan yang hadir di depan kita. Namun, menariknya, dialog ini memperlihatkan kemungkinan bahwa si pengancam belum tentu akan mewujudkan niatnya.

“Nanti, kata saya,” membuka celah etis itu: kemungkinan bahwa ia akan melihat wajah orang yang diancam, mengenal kemanusiaannya, dan akhirnya memilih untuk tidak menjadi algojo. Maka dalam penundaan itu terdapat harapan akan kesadaran etis.

Manusia, pada akhirnya, adalah makhluk yang tidak selesai. Selalu menjadi, tidak pernah final.

Dalam tiga kalimat ini, kita melihat bagaimana manusia berada dalam ambiguitas: antara kehendak dan keraguan, antara penerimaan dan perlawanan, antara keputusan dan penundaan.

Filsafat manusia mengajarkan bahwa yang membuat kita manusia bukan sekadar tubuh atau pikiran, tapi kemampuan untuk memilih, menunda, mengubah, dan bahkan menggugurkan pilihan. Itulah kebebasan eksistensial yang menjadi ciri kita sebagai manusia.

Akhir cerita dari dialog imajiner HBM menarik untuk dicermati. Apakah Sang jenderal akan menggunakan cara kejenderalanannya dalam menyelesaikan masalah, seperti yang di singgung oleh HBM dalam alinea penutup atau dengan cara lain yang lebih elegan.

Entahlah…hanya pelaku dan Tuhan yang tahu. Hanya yang perlu digarisbawahi , filsafat tidak hanya membaca dialog ini sebagai percakapan dua orang. Ia membacanya sebagai percakapan tentang kita semua.

Tentang ketegangan antara kehendak dan moralitas, antara hasrat dan tanggung jawab, antara kebebasan dan batas-batasnya. Dan justru dalam ketegangan itu, manusia menjadi manusia. Oleh sebab itu mari kita tunggu dialog imajiner selanjutnya dari HBM. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Tertawa Saat Bersedih, Menangis Saat Gembira

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Diskusi bersama mahasiswa pascasarjana memang menarik, dan mengasyikkan; ini terbukti saat diselah-selah bimbingan tugas akhir, diantara mereka ada yang nyeletuk “mengapa kita harus menangis saat bersedih, dan mengapa harus tertawa saat gembira”. Tentu saja pernyataan ini bukan sekedar pernyataan biasa, apalagi pertanyaan humor; akan tetapi pertanyaan yang mengandung unsur pertanyaan filsafat yang sesungguhnya. Tulisan ini mencoba mengungkapnya dari kacamata filsafat kontemporer yang akhir-akhir ini mendapat banyak perhatian dari para penggiat filsafat.

Kehidupan manusia adalah rangkaian pengalaman afeksi yang tidak dapat dipisahkan dari kontradiksi dan ambiguitas. Kita biasa diajarkan bahwa ekspresi emosi haruslah sesuai dengan keadaan: tertawa saat bahagia, menangis saat sedih. Namun, perintah sosial ini seringkali menghilangkan kompleksitas dan kedalaman pengalaman batin. “Tertawalah saat bersedih, dan menangislah saat bergembira” bukanlah sekadar kebalikannya, tetapi sebuah undangan untuk memasuki dimensi afeksi yang lebih luas, di mana emosi tidak lagi dikurung oleh norma dan kepatutan. Di sinilah kita dapat memahami bahwa ekspresi emosi bukan sekadar cerminan keadaan, tetapi juga tindakan pembebasan dan afirmasi eksistensial.

Tertawa saat bersedih mungkin tampak sebagai reaksi yang aneh, sebuah ironi yang menyakitkan. Namun, tertawa dalam kesedihan adalah manifestasi dari sebuah perlawanan terhadap keputusasaan. Tawa yang muncul di saat kita tengah menghadapi kesedihan yang mendalam bukan penyangkalan, melainkan sebuah cara untuk mengatasi dan memberi jarak terhadap penderitaan. Ia memecah kesunyian yang membebani, menembus kebekuan emosi, dan membuka ruang bagi kebebasan batin. Ketika tawa muncul di tengah gelombang kesedihan, ia mengisyaratkan bahwa manusia tidak sepenuhnya menjadi korban dari nasib atau keadaan. Ada kapasitas untuk menegaskan keberadaan, untuk tetap hadir dengan kekuatan yang tak terduga. Tertawa di saat bersedih adalah bahasa tubuh yang mengungkapkan bahwa meskipun dunia menawarkan kesakitan, kita masih dapat memilih sikap dan cara meresponnya.

Lebih jauh lagi, tawa di saat sedih menunjukkan ambiguitas dalam diri manusia: keberadaan emosi yang tidak bisa dikotak-kotakkan menjadi hitam dan putih, bahagia dan sedih, benar dan salah. Ia memperlihatkan bahwa kesedihan dan kegembiraan tidak harus beroperasi secara eksklusif, melainkan dapat saling melengkapi dan menambah kedalaman pengalaman batin manusia. Dalam tawa yang lahir dari kesedihan, terdapat penghormatan terhadap kompleksitas hidup dan ketidaksempurnaannya. Ini juga merupakan pengingat bahwa realitas tidak selalu konsisten dan dapat dimengerti secara linier. Justru di antara ketidakteraturan itulah manusia menemukan kreativitas dan kebebasan.

Sebaliknya, menangis saat bergembira juga menyimpan makna yang dalam dan paradoksal. Tangisan yang muncul dalam momen kegembiraan adalah simbol dari kepekaan dan intensitas pengalaman. Kegembiraan yang terlalu besar sering kali membebani tubuh dan jiwa sehingga mewujud dalam air mata sebagai pelepasan ketegangan yang mendalam. Tangisan ini bukan kelemahan atau ketidakseimbangan, melainkan bentuk integrasi afektif yang utuh, di mana sukacita dan kesedihan melebur menjadi satu. Ia mengajarkan bahwa emosi manusia bersifat holistik dan saling terkait. Air mata bahagia membuka ruang bagi rasa syukur, kelegaan, dan keterhubungan yang lebih dalam dengan diri sendiri dan Tuhan.

Menangis dalam kebahagiaan mengingatkan bahwa hidup bukan sekadar tentang mencapai tujuan atau keberhasilan yang tampak luar, tetapi juga tentang merasakan kehadiran penuh dari momen itu sendiri. Air mata di tengah kegembiraan menjadi saksi bahwa manusia mampu menerima segala kompleksitas dan kerentanan eksistensialnya. Dalam tangisan bahagia, terdapat penerimaan atas kefanaan, ketidakpastian, dan ketidaksempurnaan yang melekat pada kehidupan. Ini adalah ekspresi kesadaran penuh bahwa sukacita yang sejati selalu membawa fragmen kesedihan, dan begitu pula sebaliknya.

Mempraktikkan tertawa saat bersedih dan menangis saat bergembira adalah tindakan pemberontakan terhadap pembatasan tersebut. Ia mengajak manusia untuk menerima seluruh spektrum afeksi tanpa prasangka, menghargai ambiguitas dan kompleksitas yang melekat dalam tiap momen hidup. Ini adalah bentuk keberanian untuk membiarkan diri terbuka, rentan, dan jujur dalam menghadapi realitas yang tidak pasti. Kebebasan afektif yang demikian membuka pintu bagi hubungan sosial yang lebih tulus dan bermakna, karena ia mengundang empati dan pengakuan atas keunikan pengalaman setiap individu.

Pada akhirnya, ungkapan “Tertawalah saat bersedih, dan menangislah saat bergembira” mengajarkan kita bahwa hidup adalah pengalaman yang tidak bisa dipisahkan dari ambiguitas dan kontradiksi. Emosi manusia adalah jaringan kompleks yang menuntut kita untuk menerima dan merangkul ketidaksesuaian yang ada di dalamnya. Melalui paradoks ini, kita menemukan ruang kebebasan untuk menjadi utuh, jujur, dan otentik, dan menghormati setiap fragmen perasaan tanpa memaksakan konsistensi palsu yang mengasingkan. Dengan keberanian untuk menertawakan kesedihan dan menangisi kebahagiaan, kita mengukuhkan kemanusiaan kita dalam segala ketidaksempurnaannya. Kita belajar bahwa tawa dan tangis bukan hanya ekspresi reaktif, tetapi tindakan afirmasi terhadap hidup yang penuh warna dan keajaiban. Sebuah tindakan yang, pada akhirnya, mengantarkan kita pada pemahaman bahwa kebebasan sejati bukanlah pembebasan dari emosi, melainkan pembebasan dalam dan melalui emosi itu sendiri. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Universitas Malahayati Siapkan Pelaksanaan MONEV Periode 1 Tahun Akademik 2025/2026

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati melalui Lembaga Penjaminan Mutu Internal (LPMI) tengah melakukan persiapan pelaksanaan Monitoring dan Evaluasi (MONEV) Periode 1 Tahun Akademik 2025/2026. Kegiatan ini dijadwalkan berlangsung pada pertemuan ke-5 perkuliahan di seluruh program studi.

Ketua LPMI Universitas Malahayati, Dr. M. Arifki Zainaro, M.Kep, menyampaikan bahwa MONEV merupakan bagian penting dalam siklus penjaminan mutu akademik, untuk memastikan proses pembelajaran berjalan sesuai dengan standar dan pedoman yang telah ditetapkan Universitas.

“Melalui MONEV, kita ingin memastikan bahwa Rencana Pembelajaran Semester (RPS) sudah sesuai template Universitas, dosen melaksanakan pembelajaran tepat waktu, serta bukti kehadiran dapat terdokumentasi dengan baik melalui sistem IT yang sudah disiapkan,” ungkapnta.

Untuk kelancaran pelaksanaan, LPMI telah mengirimkan pemberitahuan resmi kepada Dekan, BPMI, dan Ketua Program Studi agar mengingatkan dosen-dosen di lingkungan masing-masing. Seluruh dosen diminta melengkapi RPS dan mengunggahnya ke dalam sistem bukti kehadiran yang telah dikembangkan Tim IT Universitas Malahayati.

Dengan adanya persiapan yang matang, diharapkan MONEV Periode 1 ini dapat berjalan efektif serta memberikan gambaran menyeluruh terkait keterlaksanaan perkuliahan di semester berjalan. Hasil MONEV nantinya akan menjadi dasar bagi Universitas dalam menyusun strategi peningkatan mutu pembelajaran ke depan. (gil)

Editor: Gilang Agusman