Spirit Mengubah Diri Sesuai Pandangan Illahi

SPIRIT MENGUBAH DIRI SESUAI PANDANGAN ILLAHI

Muslih, S.H.I., M.H

Dosen Agama dan Dosen Ilmu hukum Universitas Malahayati

Spirit atau semangat adalah energi, gairah, antusiasme, atau kekuatan batin yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks umum, semangat bisa berarti semangat jiwa, antusiasme, gairah, gelora, atau energi. Dalam Islam, spirit atau semangat (bahasa Arab: روح, ruh) memiliki berbagai makna dan peran, mulai dari semangat beragama, semangat hijrah, hingga semangat keadilan dan kemanusiaan. Spirit dalam Islam juga sering dihubungkan dengan kekuatan rohani dan jiwa yang mendorong manusia untuk berbuat kebaikan dan menolak kemungkaran. Semangat untuk mengubah diri memiliki dasar kuat dalam Al-Quran tentang perubahan diri adalah Al-Quran Surat Ar-Rad ayat 11 yang berbunyi:

… إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهمْ وَإِذَآ أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلَا مَرَدَّ لَةً وَمَا لهُم مِن دُونِهِ مِن وَالِ ١١

11. …Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Ayat ini menunjukkan bahwa perubahan nasib atau keadaan seseorang tidak akan terjadi secara otomatis, tetapi harus dimulai dari perubahan diri sendiri. Ayat ini menekankan pentingnya usaha dan perubahan positif pada diri sendiri sebagai prasyarat untuk mendapatkan perubahan positif dari Allah SWT. Perubahan diri di sini tidak hanya terbatas pada aspek fisik, tetapi juga mencakup perubahan dalam sikap, perilaku, kebiasaan, dan pemikiran.

Meskipun manusia harus berusaha dan mengubah diri, perubahan tetap merupakan anugerah dari Allah SWT. Ayat ini menekankan pentingnya berdoa dan meminta pertolongan Allah SWT dalam setiap perubahan.

Implementasi dari contoh Perubahan diri bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti semangat belajar, semangat beribadah, segera bertaubat, semangat merubah kebiasaan buruk, dan berusaha lebih baik dalam berbagai aspek kehidupan.

Semangat perubahan letaknya terdapat pada bagian hati, sebagaimana Dalil kekuatan hati dalam Islam dapat ditemukan di berbagai ayat Al-Qur’an yang menekankan pentingnya menjaga hati, mengingat Allah, dan merawat hati dari penyakit dan keburukan. Sumber hati dari Al-Quran Surah Al-Fath ayat 4,

هُوَ ٱلَّذِيَ أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوَاْ إِيمَنَّا مَعَ إِيمَنِهِمٌّ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمّوّتِ وَالْأَرْض وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمَا حَكِيمَا ٤

4. Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Wahai Allah yang maha membulak balikan hati, dengan Upaya dan ikhtiar semangat perubahan jika bukan atas ijinmu maka tidak mungkin dapat melakukan perubahan maka kekuatan darimu ya rabb yang merubahnya hal in tergambar secara nyata dalam Al-Quran Al-Baqarah ayat 74,

ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِنْ بَعْدٍ ذَلِكَ فَهِيَ كَٱلْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدٌ قَسْوَةٌ وَإِنَّ مِنَ ٱلْحِجَارَةٍ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَرُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَقَقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ ٱلْمَآءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللهُ بِغَفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ٧٤

74. Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.

Ditengah hiruk pikuk dunia, semakin banyak ujian dan tantangan dari jaman modern, media, teknologi, kemegahan, yang menyebabkan hati lalai terhadap Allah yang menyebabkan hati keras, bahkan lebih keras dari pada batu (Assaddu Koswah) hal in sebagaimana dalam Al-Quran Al -Maidah Ayat 13,

فَبِمَا نَقُضِهِمْ مِيئُقَهُمْ لَعَنَّهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَسِيَةٌ يُحَرَفُونَ ٱلْكَلِمَ عَن مَوَاضِعِةٍ وَنَسُواْ حَظَّا مِمَّا ذُكِّرُواْ بِةّ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَآئِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمَّ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَٱصْفَحُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ ١٣

13. (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.

Esensi untuk memiliki semagat perubahan pada diri tercermin pada dasar hadis nabi pentingnya perubahan diri, seperti hadis tentang “barang siapa yang ingin diubah keadaan baiknya, maka hendaklah dia mengubah kebiasaan buruknya”.

Pada akhirnya kita dapat memahami tentang spirit merubah diri dari Dalil-dalil tersebut mengajarkan bahwa perubahan diri adalah kunci utama untuk meraih perubahan nasib dan keadaan yang lebih baik. Manusia harus berusaha dan mengubah diri ke arah yang lebih positif, serta berdoa dan meminta pertolongan Allah SWT dalam setiap perubahan. Perubahan itu akan semakin bersar jika masing masing diri memperbaiki yang akhirnya keluarga juga semakin baik, pada Masyarakat semakin baik bahkan pada tatanan regional dan negara sekalipun akan lebih baik dengan memulai dari perubahan diri pribadi. (Msl)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara 2 Nasional Kejuaraan Karate Piala LA CUP 5

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali ditorehkan oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Zamzam Abdul Haq (22220356) mahasiswa Program Studi S1 Manajemen, berhasil meraih Juara 2 Karate Kategori Komite -67Kg Putra pada Kejuaraan Nasional Karate Terbuka PIALA LA CUP 5 yang digelar di GOR Sumpah Pemuda, Bandar Lampung pada 18–20 April 2025.

Ajang bergengsi tingkat nasional ini diikuti oleh ratusan atlet karate dari berbagai daerah di Indonesia. Persaingan yang ketat tak menyurutkan semangat Zamzam untuk tampil maksimal. Dengan teknik yang matang dan semangat juang tinggi, Zamzam sukses menembus babak final dan menyabet posisi kedua.

Dalam keterangannya, Zamzam mengungkapkan rasa syukur atas pencapaiannya dan membagikan pesan inspiratif bagi para generasi muda.

“Latihan itu bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling konsisten. Disiplin dan komitmen dalam berlatih adalah kunci untuk berkembang dan mencapai prestasi,” ujar Zamzam.

Prestasi ini tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi bagi Zamzam, tetapi juga mengharumkan nama Universitas Malahayati di kancah nasional. Semoga torehan ini menjadi motivasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berprestasi di bidang akademik maupun non-akademik. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Jalur Langit

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu Tuhan menurunkan rahmat melalui hujan yang cukup lebat, dan saat memposisikan kendaraan di areal parkir, mendadak alat komunikasi berdering memberi tanda ada yang ingin bicara. Ternyata di seberang sana ada sahabat yang ingin mengajak berbincang sejenak. Tentu saja dengan senang hati melayaninya; dan, isi bincangan beliau adalah kondisi saat ini yang sedang tidak baik-baik saja; bahkan tunjangan yang seharusnya beliau terima, sampai hari ini belum juga nongol karena persoalan administratif. Sementara kemarin ada juga peristiwa serupa tapi tak sama berkontakhubung dengan penulis ingin menemukan jalan keluar dari persoalan kehidupan. Karena semua jalur sudah dilakukan, namun hasilnya masih juga belum didapat, maka jawaban dari keduanya adalah tiga kata “Gunakan jalur langit”; tampaknya diksi ini sangat mengawang-awang; namun baiklah kita telusuri makna filosofinya melalui pustaka digital.

Secara harfiah, jalur langit mengacu pada sebuah rute pendakian atau perjalanan yang membentang di ketinggian, biasanya menyusuri punggung gunung atau pegunungan. Di berbagai budaya Nusantara, jalur langit juga sering dikaitkan dengan perjalanan spiritual menuju kesadaran yang lebih tinggi, semacam tirakat atau laku batin untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Makna makrifat menapaki jalur langit bukan hanya tentang mencapai puncak gunung, tetapi tentang “menuruni diri sendiri”. Dalam sunyi dan lelahnya pendakian, mereka menemukan perenungan yang tak bisa didapat di tengah hiruk pikuk kehidupan. Pendakian menjadi media kontemplasi, di mana manusia berhadapan dengan dirinya, dengan alam, dan dengan kekuatan yang lebih tinggi.

Secara filosofis, jalur langit juga menggambarkan perjalanan batin manusia untuk mencapai pencerahan atau kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Jalur ini bukan hanya rute fisik, tapi juga simbol dari pendakian jiwa—sebuah proses untuk meninggalkan hal-hal duniawi dan mendekat kepada Yang Maha Esa. Oleh sebab itu jalur langit adalah representasi dari kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos—antara langit (Tuhan, spirit, semesta) dan bumi (manusia, materi, kehidupan duniawi).

Dalam banyak ajaran spiritual dan kearifan lokal, manusia dianggap sebagai jembatan antara dua alam tersebut, dan jalur langit adalah cara untuk menyelaraskan keduanya dalam diri.
Perjalanan di jalur langit sering kali berat, sepi, dan panjang, tidak jarang juga melelahkan. Ini melambangkan proses pembakaran ego dan penyucian diri. Dalam sunyi, manusia berhadapan dengan dirinya sendiri, tanpa topeng sosial. Filosofinya: untuk “naik” ke langit, seseorang harus “turun” ke dalam dirinya terlebih dahulu.

Di ketinggian, dengan napas tersengal dan tubuh lelah, manusia menyadari betapa kecil dirinya di hadapan alam dan semesta. Jalur langit menanamkan sikap rendah hati dan kesadaran bahwa hidup ini penuh batas—waktu, tenaga, dan kehidupan itu sendiri. Dari sana, muncul kebijaksanaan untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna. Oleh sebab itu filosofi jalur langit mengajarkan bahwa pencapaian bukan hal yang instan. Semua butuh proses, konsistensi, dan niat yang jernih. Setiap langkah—meski lambat dan berat—adalah bagian dari perjalanan besar. Jalur langit mencerminkan nilai kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani hidup.

Jalur langit bukan hanya jalan fisik di ketinggian, melainkan simbol dari perjalanan jiwa manusia menuju terang, kebenaran, dan kedamaian. Ia mengajak kita untuk naik—bukan sekadar secara vertikal, tapi secara batiniah—melewati batas-batas diri, waktu, dan dunia, menuju kebijaksanaan sejati. Oleh sebab itu filosofi jalur langit dalam Islam dapat dipahami sebagai simbol perjalanan ruhani mendekat kepada Allah, menempuh jalan kesucian, kerendahan hati, dan kesadaran diri. Islam mendorong umatnya untuk terus naik dalam kualitas iman dan amal, namun selalu dengan bimbingan wahyu, bukan hanya intuisi pribadi. Dengan demikian, jalur langit bisa menjadi metafora Islami yang kaya makna, selama dijalani dengan aqidah yang lurus dan tujuan yang benar sesuai syariat.

Namun, sejatinya jalur langit yang paling dekat itu ada di depan mata kita, yaitu di bawah telapak kaki ibu. Berbahagialah mereka yang masih ditunggui ibu, karena sosok inilah doa untuk anaknya yang makbul tanpa penghalang sedikitpun. Tidak salah jika orang bijak mengatakan basuhlah kaki ibumu dan bersimpuhlah di sana karena semua permohonanmu akan diijabah jika ibumu ridho. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Yang Engkau Cari dan Yang Mencari Engkau

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Terik matahari di awal kemarau tidak harus menjadi penghalang menghadiri acara resepsi pernikahan anak bungsu teman yang Guru Besar pada universitas ternama di negeri ini. Memang waktu diambil setelah selesai dhuhur agar tidak tergesa-gesa, dan semua berjalan lancar sesuai rencana. Di tempat acara justru bertemu dengan sohib-sohib lama yang jika tidak menghadiri acara seperti ini sangat sulit untuk berjumpa. Selesai acara formal dilanjutkan dengan ijin undur diri menerobos terik matahari. Pada daerah perlambatan kendaraan terlihat pasangan usia lanjut sedang menarik dan mendorong gerobak untuk mencari barang bekas. Terbayang bagaimana susahnya hidup ini untuk mencari sesuap nasi harus kerja keras seperti itu; andaikata diminta untuk bertukar peran, sudah pasti patik tidak akan mampu melakoninya. Mereka mengais rezki halal yang entah di mana ditebar Tuhan untuknya; sambil menjalankan kendaraan perlahan terbayang bagaimana rezki itu kita harus cari di muka bumi ini.

Pada saat itu terbayang pendapat Rabiah Al-Adawiyah tentang rezeki sangat erat kaitannya dengan konsep zuhud dan cinta sejati kepada Allah. Sebagai seorang sufi perempuan ternama dari abad ke-8, beliau memandang rezeki bukan hanya sebagai hal duniawi seperti harta, makanan, atau jabatan, tetapi sebagai bagian dari kehendak dan pemberian Allah yang harus diterima dengan penuh tawakal dan syukur.

Rabiah percaya bahwa rezeki setiap makhluk sudah ditentukan oleh Allah, sehingga manusia tidak perlu khawatir secara berlebihan tentangnya. Yang penting adalah menjalankan tugas dan ibadah kepada Allah dengan ikhlas. Beliau dikenal karena menolak hadiah atau pemberian dari para penguasa karena takut hatinya terikat pada dunia. Rezeki yang berlebihan dikhawatirkan bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah.

Baginya, keimanan yang sejati mencakup keyakinan bahwa Allah akan mencukupkan kebutuhan hamba-Nya. Oleh karena itu, beliau sangat menekankan sikap qana’ah dan tawakal dalam menghadapi kehidupan. Dalam banyak doanya, Rabiah tidak meminta surga atau takut neraka, tetapi hanya menginginkan cinta Allah. Maka baginya, rezeki spiritual seperti ketenangan hati, keikhlasan, dan cinta ilahi jauh lebih berharga daripada kekayaan materi.

Sementara itu Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar dari abad ke-13, memiliki pandangan yang sangat dalam dan filosofis tentang rezeki. Dalam ajarannya, rezeki bukan hanya berupa materi, tetapi juga mencakup kebijaksanaan, cinta, cahaya ilahi, dan pemahaman spiritual. Berikut beberapa poin utama dari pandangan Rumi tentang rezeki: Rumi percaya bahwa Allah mencurahkan rezeki kepada setiap makhluk sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Setiap makhluk menerima apa yang sudah ditakdirkan untuknya, dan tidak ada satu pun yang bisa mengambil rezeki orang lain. Rumi berkata: “Jangan khawatir tentang rezekimu. Tidak akan ada yang bisa mengambil apa yang ditakdirkan untukmu.”

Meskipun percaya pada takdir, Rumi tidak menganjurkan pasif. Ia menekankan pentingnya usaha, tapi usaha itu harus dibarengi dengan kepasrahan (tawakal). Dalam puisinya, dia sering menggambarkan usaha manusia sebagai pelayaran, sedangkan arah angin dan ombak ditentukan oleh Tuhan. Bagi Rumi, rezeki yang paling mulia adalah penyadaran hati, kebijaksanaan, dan rasa cinta kepada Tuhan. Dalam banyak puisinya, dia menekankan bahwa manusia seharusnya tidak sibuk mengejar rezeki duniawi semata, karena kekayaan sejati adalah kebersamaan dengan Tuhan. Rumi berpesan: “Carilah yang tidak akan pudar, karena dunia dan semua isinya adalah pinjaman.” Dalam ajaran Rumi, kepuasan batin (qana’ah) jauh lebih penting daripada kelimpahan materi. Orang yang hatinya penuh cinta dan syukur tidak akan merasa kekurangan meskipun secara lahiriah sederhana.

Imam Al-Ghazali berbeda lagi cara pandangnya; melalui karya-karyanya seperti Ihya Ulum al-Din, beliau membahas rezeki dari sudut pandang syariat, filsafat, dan tasawuf. Al-Ghazali menegaskan bahwa setiap makhluk sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Namun, dia juga menjelaskan bahwa manusia tetap diperintahkan untuk berusaha karena usaha adalah bagian dari sunnatullah. Pandangan beliau yang terkenal mengatakan “Rezeki itu terbagi dua: yang engkau cari dan yang mencari engkau. Rezeki yang engkau cari tidak akan datang kecuali dengan usaha. Tapi rezeki yang mencari engkau, akan datang meski engkau duduk diam.”

Al-Ghazali menolak pandangan ekstrem, baik yang mengatakan harus pasrah total tanpa usaha, maupun yang berlebihan dalam mengandalkan kerja tanpa bergantung pada Allah. Ia menekankan bahwa manusia harus berusaha (kasb), tetapi tetap yakin bahwa hasilnya di tangan Allah. Ucapan Al-Ghazali yang monumental adalah “Tawakal bukan berarti meninggalkan usaha, tapi menyerahkan hasilnya kepada Allah.”

Sama seperti para sufi lainnya, Al-Ghazali membedakan antara rezeki lahiriah (makanan, pakaian, harta) dan rezeki batiniah (ilmu, keimanan, hikmah). Ia bahkan menyebut rezeki batin sebagai bentuk rezeki yang lebih mulia dan langgeng. Menurut beliau orang yang tidak qana’ah akan selalu merasa miskin, walaupun hartanya melimpah. Ia menekankan bahwa rezeki sejati adalah yang mendatangkan ketenangan hati dan mendekatkan diri kepada Allah. Oleh sebab itu beliau berpesan “Kekayaan sejati bukan terletak pada banyaknya harta, tapi pada sedikitnya keinginan.”  Al-Ghazali mengingatkan bahwa rezeki yang banyak bukan selalu tanda cinta Allah. Sebaliknya, kadang itu adalah ujian. Yang penting adalah bagaimana seseorang mengelola dan bersikap terhadap rezeki itu.

Lamunan mendadak pudar karena saat memundurkan kendaraan memasuki teras rumah mendadak roda belakang membentur pembatas. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Hidup yang Melelahkan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada saat tugas luar daerah mendapat cerita dari teman bagaimana perasaannya saat mendapatkan berita yang sangat tidak mengenakkan sebagai orang tua. Beliau dengan jujur berkata berita yang paling merisaukan bagi orang yang tidak muda lagi adalah tentang keluarga. Dan, pada umumnya berita yang cepat disampaikan itu adalah berita yang memang tidak untuk dinikmati, akan tetapi mengganggu pemikiran terus menerus. Pantas saja, orang-orang terdahulu mengatakan bahwa semakin lanjut usia, ternyata perasaan semakin sensitif dan terkadang tidak masuk akal. Namun semua itu ternyata ada faktanya, sekalipun sulit dinarasikan seolah perjalanan hidup itu melelahkan. Bahkan tidak jarang berita itu membebaninya secara batiniah disaat usia senja, sehingga menurunkan kesehatan dan berakibat kepada kematian.

Berdasarkan telusuran peristiwa dan fakta di dunia maya ternyata ditemukan informasi di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang kian padat dan penuh tuntutan, semakin banyak orang yang merasa hidup ini melelahkan. Melelahkan secara fisik, emosional, bahkan mental. Tak jarang, mereka yang tampak baik-baik saja dari luar sebenarnya sedang menyimpan keletihan mendalam yang tak selalu bisa diungkapkan dengan kata-kata. Keletihan itu bukan hanya soal kurang tidur atau terlalu banyak pekerjaan. Lebih dari itu, ia adalah hasil dari akumulasi tekanan hidup yang terus-menerus, beban ekspektasi yang berlebihan, dan tidak jarang juga kehilangan makna dalam rutinitas yang monoton.

Banyak dari kita menjalani hidup layaknya robot. Bangun pagi karena alarm berbunyi, bergegas berangkat kerja, menyelesaikan tugas demi tugas, pulang dalam kondisi lelah, dan akhirnya tidur hanya untuk mengulang semuanya esok hari. Siklus ini seolah tak pernah berhenti. Bahkan saat akhir pekan tiba, tubuh mungkin beristirahat, tetapi pikiran tetap bekerja. Entah memikirkan target yang belum tercapai, masalah yang belum selesai, atau masa depan yang masih penuh tanda tanya. Apalagi gelombang pemutusan hubungan kerja sedang marak dimana-mana; tentu ini mengganggu ketenangan para pekerja yang sudah terjebak dalam “mencintai” pekerjaan bagai alkohol kehidupan. Tekanan seperti ini secara perlahan bisa mengikis semangat dan gairah hidup. Salah satu cirinya hari-hari terasa hambar, bahkan kehilangan arti. Banyak orang akhirnya bertanya pada diri sendiri: “Untuk apa semua ini? Apa tujuan hidup saya sebenarnya?”

Kita hidup di era yang mengagung-agungkan produktivitas. “Harus sukses sebelum usia 30,” “Kalau belum punya rumah sendiri, berarti belum berhasil,” atau “Punya waktu luang berarti pemalas” — adalah contoh narasi yang terus diperdengarkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Media sosial memperparah tekanan ini dengan menyuguhkan pencapaian orang lain yang tampak luar biasa, padahal kita tidak tahu cerita di baliknya yang bias jadi berdarah-darah untuk mencapainya apalagi mempertahankannya.

Budaya ini menciptakan ilusi bahwa nilai seseorang ditentukan oleh seberapa sibuk dan seberapa banyak yang bisa mereka hasilkan. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk menjadi lebih baik, lebih kaya, lebih diakui, lebih banyak uang. Ironisnya, semakin keras seseorang berlari, semakin ia merasa tertinggal.

Salah satu dampak terbesar dari hidup yang melelahkan adalah hilangnya koneksi dengan diri sendiri. Kita begitu sibuk memenuhi ekspektasi luar sampai lupa mendengarkan suara hati. Apa yang sebenarnya kita inginkan? Apa yang membuat kita bahagia? Pertanyaan-pertanyaan ini sering kali terkubur di bawah tumpukan pekerjaan, jadwal padat, dan keharusan-keharusan lain, yang terkadang tidak masuk akal. Padahal, mengenal diri sendiri adalah fondasi dari kehidupan yang bermakna. Tanpa itu, kita mudah tersesat, merasa hampa, dan pada akhirnya kelelahan menjadi kondisi kronis yang sulit diatasi.
Berbeda dari kelelahan fisik yang bisa dipulihkan dengan tidur atau istirahat, kelelahan emosional dan mental jauh lebih kompleks. Ia muncul dari tekanan yang tak tampak, seperti rasa cemas, takut gagal, atau perasaan tidak cukup baik. Kadang, orang yang tampak ceria dan produktif pun menyimpan keletihan ini dalam diam. Kondisi ini bisa berkembang menjadi burnout, yakni keadaan di mana seseorang merasa benar-benar terkuras secara emosional, kehilangan motivasi, dan merasa tidak lagi mampu berkontribusi. Burnout bukan sekadar rasa lelah biasa; ia adalah panggilan tubuh dan jiwa untuk berhenti sejenak dan berbenah.

Ketika hidup terasa terlalu berat, mungkin muncul keinginan untuk menyerah. Namun, menyerah bukan satu-satunya pilihan. Yang perlu kita lakukan adalah jeda — bukan berhenti selamanya, tapi memberi ruang untuk bernapas, menata ulang arah, dan mengisi kembali energi yang terkuras. Jeda bisa berupa istirahat sejenak dari rutinitas, membatasi akses terhadap media sosial, mengambil waktu untuk sendiri, atau bahkan mencari bantuan profesional jika diperlukan. Mengakui bahwa kita lelah bukanlah kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri.
Meski hidup melelahkan, bukan berarti hidup tak punya makna. Justru di tengah kelelahan itu, kita bisa menemukan pelajaran penting: tentang batas, tentang penerimaan, dan tentang apa yang sebenarnya penting dalam hidup ini. Kita bisa mulai dengan hal-hal kecil.

Meluangkan waktu untuk hobi yang kita sukai, menghabiskan waktu berkualitas dengan orang tercinta, atau sekadar menikmati momen sederhana seperti secangkir kopi hangat di pagi hari. Hal-hal ini mungkin tampak remeh, tapi bisa menjadi sumber kebahagiaan yang tulus dan memberi makna baru pada hidup yang kita jalani.

Tidak ada hidup yang sepenuhnya bebas dari tekanan. Namun, kita bisa belajar untuk menyeimbangkan antara tuntutan dan kebutuhan diri. Salah satunya dengan menetapkan batas yang sehat, baik dalam pekerjaan maupun hubungan sosial. Belajar berkata “tidak” pada hal-hal yang menguras energi tanpa memberi nilai tambah. Mengatur ekspektasi, bukan hanya dari orang lain, tapi juga dari diri sendiri.

Hidup memang tidak selalu mudah. Ada saat-saat dimana semuanya terasa berat, melelahkan, dan penuh beban. Tapi di balik semua itu, hidup tetap menyimpan keindahan yang bisa kita temukan — jika kita bersedia mencarinya dengan hati yang terbuka dan bening.

Jika kita merasa hidup ini melelahkan, ingatlah bahwa kita tidak sendiri. Banyak orang yang diam-diam merasakan hal yang sama. Jalan yang paling dianjurkan adalah melalui pendekatan diri dengan Yang Maha Mengetahui. Mari kita introspeksi jangan-jangan ini cobaan dari-Nya untuk mendapatkan kebaikan, atau panggilan untuk kembali kejalan yang benar. Atau bisa jadi adalah benih dosa yang kita tanam dan sekarang kita menuai hasilnya. Hanya Tuhan dan diri kita yang mengetahui. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara 1 Taekwondo Nasional Gubernur Lampung Cup 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali diraih oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Zeta Rama Efendi, mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Hukum dengan NPM 24610084, berhasil meraih Juara 1 Taekwondo Kategori Kyourugi Senior Putra -63 Kg pada ajang Kejuaraan Tingkat Nasional Taekwondo Gubernur Lampung Cup 1 Tahun 2025.

Kejuaraan bergengsi ini digelar pada 29-30 April 2025 di GOR PKOR Wayhalim, Bandar Lampung, dan diikuti oleh ratusan atlet dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam pertandingan yang berlangsung ketat dan penuh semangat juang, Zeta tampil gemilang dan sukses mengalahkan lawan-lawannya dengan teknik dan strategi yang solid.

Kemenangan ini tidak hanya mengharumkan nama pribadi Zeta, tetapi juga membawa kebanggaan tersendiri bagi Universitas Malahayati, khususnya Program Studi Ilmu Hukum.

Zeta mengucapkan rasa syukur atas pencapaian ini. “Terima kasih kepada keluarga, pelatih, dan teman-teman yang selalu memberikan dukungan tanpa henti”.

Kejuaraan ini menjadi pembuktian bahwa disiplin, latihan keras, dan keyakinan bisa membawa hasil yang luar biasa. “Semoga prestasi ini dapat memotivasi teman-teman mahasiswa lainnya untuk terus berjuang di bidang yang mereka cintai. Jangan pernah ragu untuk bermimpi besar dan bekerja keras untuk mencapainya,” tandasnya.

Zeta juga berharap Universitas Malahayati terus mendukung dan memfasilitasi mahasiswa yang memiliki potensi di berbagai bidang, baik akademik maupun non-akademik.

Selamat kepada Zeta Rama Efendi atas prestasi gemilangnya. Teruslah menginspirasi dan harumkan nama kampus di kancah nasional maupun internasional. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Kiat-Kiat Menjaga Konsistensi Semangat Beribadah

KIAT-KIAT MENJAGA KONSISTENSI SEMANGAT BERIBADAH

Oleh : Sutikno, S.Pd.I., M.Pd.I

(Dosen Agama Islam Universitas Malahayati)

السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْه ُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ َللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اما بعـد

قال الله تعالى: اَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ.

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

 

Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah

Mengawali khutbah Jumat kali ini, mari kita sama-sama memanjatkan puji serta syukur kita kepada Allah Swt yang telah memberikan kita nikmat iman, Islam, serta kesehatan sehingga kita dapat berkumpul di tempat yang penuh dengan berkah ini.

Shalawat dan salam kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw, sosok teladan sepanjang zaman. Semoga kita semua termasuk umat yang mendapatkan syafaatnya di hari kiamat nanti. Karena, Nabi Muhammad Saw yang menjadi inspirasi bagi kita bagaimana meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah.

Hadirin jama’ah rahimakumullah

Sebagaimana kita pahami bahwa iman itu bersifat fluktuatif, kadang naik dan terkadang juga turun. “Al-Iman yazid wa yanqush” (إِنَّ الْإِيمَانَ يَزِيدُ وَيَنْقُصُ  ) artinya iman itu bisa bertambah dan bisa berkurang. Pernyataan ini menunjukkan bahwa iman tidak statis, melainkan dinamis dan terus berubah seiring dengan perilaku dan tindakan seorang muslim. Namun disisi lain kita sebagai muslim juga dituntut bisa menjaga istikomah dalam ketaatan.

Allah SWT berfirman:

إِنَّ ٱلَّذِينَ قَالُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُ ثُمَّ ٱسۡتَقَٰمُواْ تَتَنَزَّلُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡمَلَٰٓئِكَةُ أَلَّا تَخَافُواْ وَلَا تَحۡزَنُواْ وَأَبۡشِرُواْ بِٱلۡجَنَّةِ ٱلَّتِي كُنتُمۡ تُوعَدُونَ 

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.

Hadirin jama’ah rahimakumullah

Lalu bagaimana upaya kita untuk menjaga semangat ibadah supaya tetap istikomah?

Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad di dalam kitab Risalatul Mu’awanah,  mengungkapkan, ada empat (4) hal yang bisa kita jadikan motivasi agar ibadah keseharian kita bisa stabil. Peningkatan motivasi ini sekaligus akan bisa menghalau perbuatan-perbuatan maksiat yang bisa saja dilakukan karena faktor bisikan setan ataupun kesempatan.

Pertama,  Muroqobatullah (sadar atas pengawasan Allah)

Kitas Sebagai seorang muslim memang seharusnya  senantiasa menyadari keberadaan Allah swt yang mengetahui apa saja yang dilakukan oleh kita dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Kita harus sadar bahwa Allah yang menakdirkan semua kejadian yang terjadi di muka bumi ini. Tidak ada satupun kejadian di dunia ini yang luput dari pandangan dan kehendak-Nya, baik terlihat dalam bentuk tindakan ataupun terbersit dalam hati.

Rasulullah SAW Bersabda:

أنْ تَعْبــُدَ اللَّهَ كَأَنَّــكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ

Artinya, “Engkau menyembah Allah seakan engkau melihat-Nya, bila engkau tak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu.” (Riwayat Imam Muslim).

Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah

Kedua, Sadar akan keberadaan malaikat Raqib dan Atid

Motivasi untuk mempertahankan semangat beribadah yang bisa kita lakukan yakni dengan menyadari bahwa Allah memiliki para malaikat yang bertugas mencatat amal dan perbuatan kita. Ada dua malaikat yang membersamai kita dalam hidup yang bernama Malaikat Raqib dan Atid. Mereka akan mencatat amal baik dan buruk kita. Ketika kita melakukan ibadah dan kebaikan maka kita akan mendapatkan balasan pahala. Sebaliknya, jika kita berbuat jahat dan buruk maka kita akan mendapatkan balasan dan dosa di dunia maupun di akhirat. Allah berfirman:

Artinya:   Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. (Qs. Al- Zalzalah ayat 7)

Ketiga, menyadari bahwa kehidupan di dunia ini memiliki batas yakni kematian yang merupakan sebuah keniscayaan. Ketika kematian sudah datang, maka tidak ada satupun makhluk di dunia ini yang sanggup untuk menolaknya. Canggihnya teknologi kedokteran pun tak akan sanggup untuk menghentikan takdir Allah berupa kematian. Ketika Allah berkehendak mencabut nyawa makhluknya, maka itu adalah kepastian yang tak bisa ditolak.  Allah telah menyebut hal ini dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 34:

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٞۖ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمۡ لَا يَسۡتَأۡخِرُونَ سَاعَةٗ وَلَا يَسۡتَقۡدِمُونَ 

Artinya:   Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (Qs. Al A’raf ayat 34)

Keempat, Mengingat janji dan ancaman Allah swt.

Dengan mengingat janji Allah, kita akan termotivasi untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas ibadah. Kemudian saat mengingat ancaman Allah, kita akan termotivasi untuk menjauhi segala yang dilarang oleh Allah Swt.

Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah

Itulah empat cara agar kita mampu mempertahankan semangat ibadah yang telah tumbuh selama ini dan semoga kita dapat istikomah dalam kebaikan.

بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فيِ القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنيِ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذِّكْرِ الحَكِيْمِ وَتَقَبَّلْ مِنيِّ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ َإِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ العَلِيْمُ.

أَقُوْلُ قَوْليِ هذَا أَسْتَغْفِرُ اللهَ ليِ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالمُسْلِمَاتِ وَالمُؤْمِنِيْنَ وَالمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Berpisah, antara Takdir dan Kehendak

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Saat menghadiri acara reunian di tempat sahabat karib beberapa waktu lalu, berjumpa dengan banyak teman-teman lama yang sekarang kami sudah menjadi “Oma dan Opa” berusia senja. Ada diantara mereka sudah hidup sendiri karena ditinggal “pulang” terlebih dahulu oleh pasangannya. Ada seorang Oma yang energik, beliau adalah senior kami. dan jika mengenalkan diri tidak mau menyebut diri ditinggal suami berpulang sekian tahun lalu; tetapi selalu dengan bahasa optimis memperkenalkan diri dengan berkata “Oma dari sekian belas cucu”. Karena dengan bahasa itu beliau merasa tidak sendirian, selalu ada orang yang membersamai dirinya. Luarbiasa semangat Oma ini karena masih mampu tampil di atas panggung ilmiah dengan membawakan pokok pokok pikiran tentang sesuatu hal dengan jernih dan runtut.

Kita tinggalkan sejenak para Oma tadi yang sedang bergembira dan kita telusuri terlebih dahulu tentang bepisah dalam hidup itu merupakan takdir atau kehendak. Sebab, dalam perjalanan hidup, manusia akan selalu bertemu dan berpisah. Pertemuan membawa kebahagiaan, harapan, bahkan cinta. Tapi perpisahan, meskipun pahit, adalah bagian tak terelakkan dari kisah kehidupan. Namun, satu pertanyaan yang sering muncul dalam benak banyak orang adalah: apakah perpisahan merupakan takdir yang tidak bisa kita hindari, atau justru kehendak yang kita pilih sendiri?

Pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Perpisahan bisa datang dalam berbagai bentuk—putus cinta, perceraian, kehilangan sahabat, keluar dari pekerjaan, bahkan kehilangan karena kematian. Setiap bentuknya membawa rasa sakit dan pemaknaan yang berbeda. Dan sering kali, sulit untuk menentukan apakah semua itu memang sudah digariskan atau kita sendiri yang memutuskannya.

Jika Kita Posisikan Perpisahan Sebagai Takdir

Dalam banyak tradisi kepercayaan, takdir adalah sesuatu yang sudah ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa. Dalam hal ini, perpisahan yang terjadi sering dianggap sebagai bagian dari garis hidup yang tidak bisa kita ubah. Takdir dipandang sebagai sesuatu yang harus diterima dengan ikhlas, karena manusia tidak selalu bisa memahami alasan di balik setiap kejadian.

Salah satu bentuk perpisahan yang paling jelas adalah kematian. Tidak ada satu pun manusia yang bisa memilih kapan dan bagaimana perpisahan dengan orang tercinta karena kematian akan terjadi. Kehilangan karena kematian adalah bentuk perpisahan yang paling kuat menunjukkan konsep takdir. Tidak peduli seberapa besar cinta atau usaha untuk menjaga, ketika waktu itu datang, manusia hanya bisa merelakan.

Selain itu, banyak pasangan atau sahabat yang harus berpisah karena kondisi yang tidak bisa dikendalikan. Misalnya, pasangan beda agama yang akhirnya harus merelakan hubungan karena tekanan sosial atau keluarga. Atau sahabat yang harus pindah ke negara lain dan secara perlahan kehilangan komunikasi. Dalam situasi seperti ini, banyak orang berkata, “Mungkin memang bukan jalannya.” Kalimat ini menandakan penerimaan terhadap takdir, seolah berkata bahwa ada hal-hal yang sudah ditentukan, dan tidak semua bisa dipaksakan.

Jika Kita Posisikan Perpisahan Sebagai Pilihan

Namun, tidak semua perpisahan bisa sepenuhnya diserahkan pada takdir. Ada kalanya, manusia sendiri yang memilih untuk berpisah. Pilihan ini bisa lahir dari kesadaran, kelelahan, atau keberanian untuk memulai sesuatu yang baru. Misalnya, dalam hubungan asmara yang tidak sehat. Ketika satu pihak merasa tidak dihargai, sering disakiti, atau terus hidup dalam tekanan emosional, maka memutuskan hubungan menjadi bentuk perlindungan diri. Ini bukan takdir, melainkan bentuk kehendak—keputusan sadar bahwa hidup harus berubah.

Begitu juga dalam konteks pekerjaan. Seseorang bisa saja memutuskan resign karena merasa tidak berkembang, tidak bahagia, atau ingin mencari tantangan baru. Ini adalah bentuk perpisahan yang dilakukan dengan pertimbangan matang. Tidak ada unsur “dipaksa”, melainkan murni keputusan pribadi. Dalam konteks ini, perpisahan menjadi wujud kebebasan memilih jalan hidup.

Keputusan untuk berpisah juga sering kali datang dari keberanian untuk menolak bertahan dalam kenyamanan semu. Banyak orang yang memilih untuk keluar dari hubungan yang tidak membawa kebahagiaan, meskipun di satu sisi masih ada rasa sayang. Ini menunjukkan bahwa kehendak manusia mampu melampaui rasa takut akan kesepian atau kehilangan.

Antara Takdir dan Kehendak

Meski begitu, tidak semua perpisahan bisa dikotak-kotakkan secara tegas sebagai takdir atau kehendak; sering kali, keduanya saling terkait. Banyak orang pada akhirnya berdamai dengan kenyataan bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan. Bahkan keputusan yang kita buat sendiri pun kadang berasal dari keadaan yang seolah sudah diatur sedemikian rupa. Dalam momen seperti ini, takdir dan kehendak berjalan berdampingan, saling mengisi, dan tidak bisa sepenuhnya dipisahkan.

Kesimpulan yang kita dapatkan bahwa kita tidak perlu memilih salah satu diantaranya sebab: apakah berpisah itu takdir atau kehendak? Jawabannya bisa keduanya. Ada perpisahan yang memang tidak bisa kita hindari, dan ada juga yang terjadi karena kita sendiri yang memilih jalan itu. Keduanya bukan untuk disalahkan, melainkan untuk dimaknai. Namun perlu disadari bahwa sekalipun “pilihan untuk berpisah sebagai opsi” itu diijinkan, akan tetapi ada perpisahan yang dimurkai Tuhan. Pertanyaan tersisa, sanggupkah kita menerima murka Tuhan saat kita kembali kelak.

Kasus lain yang juga dapat kita jadikan bahan perenungan; bagaimana merancang bertemu dengan sahabat sudah sejak 2018; namun baru bisa terwujud 2025; ternyata di sana ada tugas keilahian untuk membagi ilmu kepada pihak lain yang sedang mempersiapkan diri untuk mengembangkan lembaga. Betapa rencana bisa dikalahkan oleh takdir manakala kita mau memahami esensi dari kehidupan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswi Universitas Malahayati Raih Juara 3 Nasional Kumite U21 Putri Kejuaraan Lemkari 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Kabar membanggakan datang dari Universitas Malahayati. Anissa Ade Amelliya (24210007) Mahasiswi Program Studi S1 Akuntansi, berhasil mengharumkan nama kampus dengan meraih Juara 3 kategori Kumite -61 Kg U21 Putri pada Kejuaraan Nasional Lemkari “Piala Ketua Umum Pengurus Besar Lemkari 2025”. Ajang prestisius ini diselenggarakan pada 2 Mei 2024 di GOR Akademi Angkatan Laut, Surabaya, dan diikuti oleh ratusan atlet muda berbakat dari berbagai daerah di Indonesia.

Prestasi ini menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa Universitas Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga mampu bersinar di level nasional dalam bidang olahraga, khususnya bela diri karate. Perjuangan Anissa untuk mencapai podium ketiga tentu bukan hal yang mudah. Dibutuhkan latihan intensif, semangat tinggi, dan kedisiplinan luar biasa untuk bersaing di kancah nasional.

Anissa mengungkapkan rasa syukur dan pesan inspiratif bagi generasi muda, khususnya rekan-rekan mahasiswa. “Jangan menyerah, teruslah berusaha dan berdoa karena hasil tidak menghianati usaha,” ujar Anissa penuh semangat.

Ia juga mengungkapkan bahwa pengalaman mengikuti kejuaraan ini membuatnya semakin bangga bisa menjadi bagian dari tim yang solid dan berkomitmen.

“Semangat dan disiplin yang tinggi membuat saya bangga menjadi bagian dari kejuaraan ini. Saya bisa berada di titik ini karena kerja keras dan doa. Saya senang bisa membanggakan keluarga saya dan mengharumkan nama Universitas Malahayati di tingkat nasional,” tambahnya.

Keberhasilan Anissa menjadi motivasi dan inspirasi bagi seluruh civitas akademika Universitas Malahayati untuk terus berprestasi, baik di dalam maupun di luar kampus. Pencapaian ini juga menjadi cermin bahwa dengan tekad kuat dan semangat pantang menyerah, mahasiswa dapat mencapai apa pun yang mereka impikan.

Selamat untuk Anissa Ade Amelliya atas prestasinya! Semoga terus menorehkan pencapaian gemilang dan membawa nama Universitas Malahayati ke panggung yang lebih tinggi. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Berubah atau Mengubah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu Mas Heri Wardoyo (HRW) mengirimkan tulisan “Palu, Paku dan Dunia”; yang bersumber dari perenungan membaca karya Abraham Maslow (AM). Kebetulan tokoh ini sangat familiar untuk saya karena ada tulisan monumental yang sampai hari ini menjadi rujukan para ilmuwan dunia yaitu tentang Teori Motivasi. Seolah HRW dan AM bagai “tumbu oleh tutup” (istilah Jawa, tumbu adalah wadah kecil dari anyaman bambu, biasanya untuk menyimpan makanan. Tutup, adalah penutup yang pas untuk tumbu tersebut. Terjemahan bebasnya, pasangan yang cocok satu sama lain atau jodoh yang serasi). Dan, tentu saja tulisan seorang jurnalis senior sekaliber HRW membahas AM seolah juga bagai itik bertemu air, maka akan berselancar sukaria.

Berdasarkan pemahaman itu, tulisan ini akan mencoba melihat dari sudut pandang lain, yaitu dikaitkan dengan filosofi “Berubah atau Mengubah”. Berdasarkan sejumlah sumber literatur digital ditemukan informasi bahwa hubungan antara filsafat “Palu dan Paku” dengan konsep “Berubah atau Mengubah” sangat erat dan sangat filosofis—keduanya menyentuh cara manusia menghadapi realitas dan memilih bertindak terhadapnya.

Filsafat “Palu dan Paku”

Konsep “Palu dan Paku” menggambarkan, jika satu-satunya alat yang kamu punya adalah palu, semua masalah tampak seperti paku. Artinya, seseorang cenderung mengubah dunia agar cocok dengan dirinya, bukan mengubah diri agar cocok dengan dunia. Ini adalah pola pikir mengubah lingkungan secara paksa, bukan berubah dari dalam.

Konsep Berubah atau Mengubah

Berubah adalah transformasi internal, adaptasi, refleksi, dan pertumbuhan diri. Sedangkan mengubah adalah usaha untuk mengendalikan atau mengintervensi lingkungan, orang lain, atau situasi eksternal.

Inti gagasannya adalah orang yang hanya punya “palu” sering gagal berubah (mengembangkan keterampilan, perspektif, empati), dan malah berusaha mengubah dunia agar sesuai dengan alat yang dimiliki. Ini bisa berbahaya—misalnya, menyelesaikan konflik emosional dengan kekuatan atau otoritas karena tidak punya alat komunikasi.

Sebaliknya, kesadaran bahwa tidak semua masalah adalah paku, mendorong seseorang untuk berubah lebih dulu—membangun lebih banyak alat, memperluas cara berpikir, dan akhirnya menjadi agen perubahan yang lebih bijak.
Pembahasan filsafat “Palu dan Paku” agar lebih mendalam bisa dilakukan dengan membedahnya dalam kerangka ontologi, epistemologi, dan aksiologi—tiga cabang utama dalam filsafat.

Dari aspek Ontologi—Hakikat Realitas dan Manusia. Pertanyaannya? Apa hakikat masalah dan alat dalam kehidupan manusia?. Apakah dunia memang terdiri dari paku yang siap dipukul?. Jawabannya adalah, secara ontologis, “Palu dan Paku” menyimbolkan reduksionisme realitas—dimana seseorang melihat dunia secara sempit, menyederhanakan kompleksitas kehidupan menjadi sesuatu yang bisa ditangani oleh satu alat atau cara. Ini mengaburkan hakikat realitas yang majemuk. Filsafat eksistensial seperti dari Heidegger atau Kierkegaard akan melihat ini sebagai kegagalan manusia untuk autentik—karena ia tidak menyelami realitas dengan penuh tanggung jawab, tetapi memilih “alat siap pakai” tanpa pertimbangan eksistensial.

Dari aspek Epistemologi—Cara Mengetahui dan Berpikir. Pertanyaannya, bagaimana seseorang membangun pemahaman terhadap masalah?. Mengapa seseorang cenderung memilih satu alat untuk semua masalah?. Jawabannya adalah, dari sisi epistemologi, “Palu dan Paku” mencerminkan bias kognitif atau kerangka berpikir tetap (fixed mindset). Seseorang belajar secara sempit dan tidak terbuka terhadap pengetahuan baru. Dalam epistemologi pragmatis, seperti dari John Dewey, kita diajak untuk memperluas “alat berpikir” berdasarkan pengalaman. Dalam konteks ini, seseorang yang selalu membawa palu adalah orang yang tidak belajar dari pengalaman, dan tidak membangun keragaman cara berpikir atau pendekatan (inquiry-based thinking).

Dari aspek Aksiologi – Nilai dan Etika Tindakan. Pertanyaannya, apa nilai dari terus-menerus menggunakan palu?. Apakah etis memaksakan alat kita ke masalah yang berbeda? Jawabannya adalah: Secara aksiologis, penggunaan “palu” secara sembarangan menunjukkan pendekatan instrumentalis terhadap dunia—melihat segalanya sebagai objek untuk dikendalikan, bukan untuk dipahami. Ini bisa melahirkan tindakan tidak etis, terutama dalam relasi sosial. Filsuf seperti Emmanuel Levinas akan mengkritik ini karena mengabaikan wajah orang lain sebagai subjek. Orang yang selalu memegang palu mungkin cenderung mengobjekkan orang lain, alih-alih mendengarkan dan berdialog.

Apa kaitannya dengan Konsep Berubah atau Mengubah?
Berubah (transformasi diri): Melalui proses ontologis (menyadari kompleksitas realitas), epistemologis (memperluas cara berpikir), dan aksiologis (menimbang nilai dan etika), seseorang keluar dari perangkap “palu dan paku”.

Mengubah (transformasi eksternal), hanya akan bijak dilakukan jika seseorang sudah mengalami transformasi internal terlebih dahulu.
Filsafat “Palu dan Paku” bukan sekadar sindiran kognitif, melainkan kritik atas kegagalan manusia dalam menjalani kehidupan secara utuh dan reflektif. Ia menyentuh soal kemandekan eksistensial, kebuntuan kognitif, dan kekeliruan etis dalam menghadapi dunia.

Pertanyaan “Berubah atau Mengubah?” adalah pertanyaan eksistensial dan etis—dan ketika kita menghubungkannya dengan filsafat Palu dan Paku, muncul gambaran yang sangat kuat tentang pilihan cara manusia merespons dunia: apakah dia akan berubah dari dalam, atau memaksakan perubahan ke luar berdasarkan cara pandangnya yang terbatas.

Ketika kita menghadapi dunia hanya dengan satu alat (cara berpikir, strategi, kepercayaan, ideologi), maka kita cenderung mengubah lingkungan secara paksa agar sesuai dengan alat tersebut. Menolak untuk berubah secara internal karena itu lebih menantang secara psikologis dan eksistensial. Dalam filsafat transformasi diri (seperti dalam pemikiran Kierkegaard, Paulo Freire, atau Carl Jung), berubah lebih penting sebagai tahap awal, karena perubahan eksternal yang bijak hanya mungkin lahir dari kesadaran dan perubahan diri terlebih dahulu.

Kesimpulannya adalah; Palu dan Paku adalah metafora keterbatasan. Dan pilihan untuk “Berubah atau Mengubah” adalah ujian dari kedewasaan berpikir. Filsafat menantang kita untuk bertanya: Apakah aku menghadapi dunia dengan satu alat, ataukah aku cukup rendah hati untuk memperluas cara berpikirku?. Tentu jawabannya kembali kepada kejernihan dan kebeningan hati dalam melihat segala persoalan yang ada di dunia ini. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman