Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu menghadiri undangan teman lama sekaligus temu kangen lintas alumni waktu sekolah di progam sarjana beberapa puluh tahun lalu. Pertemuan yang diinisiasi oleh teman lama sudah menjadi tokoh sentral di daerah ini menjadi begitu meriah, sekalipun yang hadir hanya segelintir, tetapi mereka semua tajir. Ini terbukti dengan hambatan usia yang sudah senja tidak menjadi halangan, mereka hadir dengan sukaria, tentu dengan selera tua.
Disela kegiatan itu juga diisi dengan menghadiri dan sekaligus menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional tentang Pendidikan, yang diselenggarakan oleh satu perguruan tinggi milik organisasi terkenal dan papan atas di negeri ini. Organisasi ini akan meningkatan perguruan tinggi yang ada untuk disatukan menjadi satu universitas. Tentu saja semua kita yang hadir lebih dari duaratus orang berharap pertemuan itu membawa rahmat; sehingga univeritas yang menjadi kebanggaan daerah ini segera terwujud.
Dari berbagai sumber digital ditemukan pemahaman bahwa hidup tidak selalu berjalan lurus dan mudah. Jalan yang kita lalui terkadang dihiasi oleh kerikil tajam, tanjakan curam, bahkan badai yang mengguncang hingga membuat langkah tersendat. Di tengah tantangan itu, ada satu hal yang mampu menjadi pijakan bagi jiwa yang lelah: “harapan”. Ia adalah secercah cahaya yang tetap menyala meski gelap menyelimuti. Ia adalah kekuatan yang sering kali tak terlihat, tetapi mampu menggerakkan manusia untuk bangkit dan melangkah lagi.
Immanuel Kant, seorang filsuf besar dari Jerman, pernah berkata, “Hope is the pillar that holds up the world.” — Harapan adalah tiang yang menopang dunia. Bagi Kant, harapan bukan sekadar ilusi atau penghibur diri, melainkan kekuatan moral yang mendorong manusia untuk terus berbuat baik meskipun hasilnya belum tampak. Dalam pengertian inilah harapan menjadi sesuatu yang luhur dan mendalam, bukan pasif, tetapi aktif dan membentuk tindakan nyata.
Menanam harapan berarti percaya bahwa setiap usaha, sekecil apa pun, akan menghasilkan sesuatu yang bermakna. Dalam setiap doa yang terucap, dalam setiap keringat yang mengucur, terselip harapan bahwa suatu saat semua akan berbuah baik. Namun, harapan bukan hanya angan-angan kosong. Ia butuh tanah yang subur berupa niat yang lurus, pupuk berupa usaha yang sungguh-sungguh, dan air berupa kesabaran yang tak kenal lelah. Tanpa semua itu, harapan akan layu bahkan sebelum sempat tumbuh.
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf yang dikenal karena pandangan hidupnya yang tajam dan keras, secara sinis menyebut harapan sebagai “the worst of all evils, because it prolongs the torment”. Namun dalam tafsir yang lebih reflektif, kutipan itu justru mengingatkan kita bahwa harapan tidak boleh dipelihara secara buta. Harapan harus diiringi kesadaran dan keberanian untuk menghadapi kenyataan. Dengan begitu, harapan menjadi kekuatan, bukan jebakan.
Sementara itu rahmat tidak selalu datang dalam bentuk materi atau keberhasilan yang gemerlap. Kadang, rahmat hadir dalam bentuk kekuatan untuk bertahan, keberanian untuk memulai lagi, atau kebijaksanaan yang lahir dari luka. Kita mungkin tidak mendapatkan apa yang kita minta, tapi kita diberi apa yang lebih kita butuhkan. Inilah yang oleh Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis Denmark, disebut sebagai “leap of faith”—sebuah lompatan iman yang melibatkan harapan kepada sesuatu yang lebih tinggi, kepada makna yang belum bisa kita pahami sepenuhnya sekarang, tetapi kelak akan terjelaskan.
Dalam kehidupan sosial, harapan juga punya dampak besar. Harapan yang ditanam seorang guru dalam diri murid-muridnya bisa mengubah masa depan mereka. Harapan yang disuarakan oleh seorang pemimpin bisa membangkitkan semangat bangsa. Bahkan harapan kecil yang kita berikan pada teman yang sedang terpuruk bisa menjadi titik balik bagi hidupnya. Oleh karena itu, menanam harapan bukan hanya tindakan individual, tetapi juga wujud kepedulian sosial. Kita tidak hidup sendirian; kebaikan yang kita tanam bisa menjadi cahaya bagi orang lain yang sedang berada dalam gelap, bahkan ketersesatan.
Ada kalanya kita merasa lelah karena harapan yang kita tanam belum juga berbuah. Namun, seperti petani yang sabar menunggu musim panen, kita pun harus percaya bahwa waktu yang datang dari Tuhan selalu tepat. Kita tidak bisa memaksa hasil datang lebih cepat, tapi kita bisa memastikan bahwa kita tidak berhenti menanam. Kita bisa terus menumbuhkan harapan di tengah kesulitan, terus menyiraminya dengan kerja keras, dan terus menjaganya dengan doa dan keikhlasan.
Akhirnya, hidup ini adalah proses panjang menanam harapan dan memanen rahmat. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok, tapi suatu saat, segala yang kita tanam dengan niat baik akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lebih baik. Jangan pernah remehkan kekuatan harapan, karena dari situlah lahir keberanian untuk hidup, kekuatan untuk bertahan, dan keikhlasan untuk menerima. Seperti kata Plato, “We must not lose hope in humanity. We are all in this together.” Maka, selama harapan masih hidup dalam hati manusia, rahmat pun akan selalu punya jalan untuk hadir. Tinggal kita sebagai manusia mampukan menjaga hati agar tetap dekat kepada siempunya harapan; karena hanya yang Maha Pemberi-lah paham akan kebutuhan kita dan kapan waktunya harapan itu diwujudkan dalam kenyataan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Resmi Jalin Kerja Sama Strategis dengan Pemerintah Kota Metro dan RSUD Jend. A. Yani
Rombongan Universitas Malahayati dipimpin langsung oleh Rektor, Dr. Muhammad Kadafi, S.H., M.H., yang hadir bersama jajaran pimpinan kampus, antara lain Wakil Rektor I hingga IV, para Dekan dari Fakultas Kedokteran, Ilmu Kesehatan, Teknik, Hukum, serta Ekonomi dan Manajemen, Kepala Bagian Kerjasama, Kepala Bagian Humas dan Protokol, Ketua Program Studi, hingga perwakilan dosen.
Kedatangan rombongan disambut hangat oleh Walikota Metro, Hj. Bambang Iman Santoso, S.Sos., M.Pd.I, bersama Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) dan Direktur RSUD Jenderal Ahmad Yani, dr. Fitri Agustina, M.K.M., beserta jajaran manajemen rumah sakit.
MoU ini sekaligus membuka peluang yang lebih luas bagi mahasiswa Universitas Malahayati untuk terlibat langsung dalam dunia nyata melalui program praktik lapangan, dan penelitian terapan. Secara khusus, kolaborasi dengan RSUD Jenderal Ahmad Yani menjadi pintu masuk strategis bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan untuk mengasah kompetensi klinis dan profesionalisme mereka. Lebih dari itu, kerja sama ini diharapkan menjadi contoh nyata sinergi yang harmonis dan berkelanjutan antara perguruan tinggi, pemerintah daerah, dan institusi layanan kesehatan dalam membangun sumber daya manusia yang unggul dan berdampak bagi masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Dosen Universitas Malahayati, Nova Muhani Terima SK Lektor Kepala dari LLDIKTI Wilayah II
Momen penuh kebanggaan ini juga dihadiri oleh jajaran pimpinan Universitas Malahayati. Wakil Rektor I, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., turut hadir untuk memberikan selamat dan dukungan langsung kepada Nova Muhani, SST., MKM turut mendampingi pula Kepala Bagian Humas dan Protokol Universitas Malahayati, Emil Tanhar, S.Kom.
Prof. Dessy Hermawan menyampaikan apresiasi atas dedikasi dan kerja keras Nova Muhani yang berhasil meraih jenjang jabatan akademik prestisius tersebut. Ia berharap capaian ini dapat menjadi pemicu semangat bagi dosen-dosen lainnya di lingkungan Universitas Malahayati. “Selamat kepada Ibu Nova atas pencapaian luar biasa ini. Jabatan Lektor Kepala adalah buah dari komitmen, ketekunan, dan dedikasi dalam dunia akademik”.
“Kami berharap pencapaian ini bisa menjadi inspirasi bagi rekan-rekan dosen lainnya untuk terus mengembangkan diri dan memperjuangkan jabatan akademik yang lebih tinggi,” ujar Prof. Dessy.
”Jenjang akademik juga menjadi motivasi bagi dosen untuk terus meningkatkan diri, melakukan penelitian, dan menghasilkan karya ilmiah,” ucapnya.
Prestasi dalam penelitian dan publikasi dapat menjadi salah satu syarat untuk naik jabatan, sehingga dosen akan termotivasi untuk lebih produktif.
Tak lupa, Nova berterimakasih kepada Universitas Malahayati selama proses pengajuan jenjang Lektor kepala selalu mendapat dukungan dari civitas akademika dan difasilitasi Tim Penilai angka kredit dan Tim IT yang sangat responsif.
“Saya sangat berterima kasih atas dukungan dan kemudahan yang diberikan LLDIKTI II selama proses pengajuan kenaikan jabatan akademik dosen. Atas pelayanan yang profesional, tandasnya.
Penetapan Nova Muhani, SST., MKM sebagai Lektor Kepala menjadi bukti nyata bahwa Universitas Malahayati terus mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia, khususnya tenaga pengajar, demi kemajuan institusi dan kontribusi lebih luas bagi dunia pendidikan serta kesehatan masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Menanam Harap Menuwai
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu menghadiri undangan teman lama sekaligus temu kangen lintas alumni waktu sekolah di progam sarjana beberapa puluh tahun lalu. Pertemuan yang diinisiasi oleh teman lama sudah menjadi tokoh sentral di daerah ini menjadi begitu meriah, sekalipun yang hadir hanya segelintir, tetapi mereka semua tajir. Ini terbukti dengan hambatan usia yang sudah senja tidak menjadi halangan, mereka hadir dengan sukaria, tentu dengan selera tua.
Disela kegiatan itu juga diisi dengan menghadiri dan sekaligus menjadi pembicara kunci pada Seminar Nasional tentang Pendidikan, yang diselenggarakan oleh satu perguruan tinggi milik organisasi terkenal dan papan atas di negeri ini. Organisasi ini akan meningkatan perguruan tinggi yang ada untuk disatukan menjadi satu universitas. Tentu saja semua kita yang hadir lebih dari duaratus orang berharap pertemuan itu membawa rahmat; sehingga univeritas yang menjadi kebanggaan daerah ini segera terwujud.
Dari berbagai sumber digital ditemukan pemahaman bahwa hidup tidak selalu berjalan lurus dan mudah. Jalan yang kita lalui terkadang dihiasi oleh kerikil tajam, tanjakan curam, bahkan badai yang mengguncang hingga membuat langkah tersendat. Di tengah tantangan itu, ada satu hal yang mampu menjadi pijakan bagi jiwa yang lelah: “harapan”. Ia adalah secercah cahaya yang tetap menyala meski gelap menyelimuti. Ia adalah kekuatan yang sering kali tak terlihat, tetapi mampu menggerakkan manusia untuk bangkit dan melangkah lagi.
Immanuel Kant, seorang filsuf besar dari Jerman, pernah berkata, “Hope is the pillar that holds up the world.” — Harapan adalah tiang yang menopang dunia. Bagi Kant, harapan bukan sekadar ilusi atau penghibur diri, melainkan kekuatan moral yang mendorong manusia untuk terus berbuat baik meskipun hasilnya belum tampak. Dalam pengertian inilah harapan menjadi sesuatu yang luhur dan mendalam, bukan pasif, tetapi aktif dan membentuk tindakan nyata.
Menanam harapan berarti percaya bahwa setiap usaha, sekecil apa pun, akan menghasilkan sesuatu yang bermakna. Dalam setiap doa yang terucap, dalam setiap keringat yang mengucur, terselip harapan bahwa suatu saat semua akan berbuah baik. Namun, harapan bukan hanya angan-angan kosong. Ia butuh tanah yang subur berupa niat yang lurus, pupuk berupa usaha yang sungguh-sungguh, dan air berupa kesabaran yang tak kenal lelah. Tanpa semua itu, harapan akan layu bahkan sebelum sempat tumbuh.
Friedrich Nietzsche, seorang filsuf yang dikenal karena pandangan hidupnya yang tajam dan keras, secara sinis menyebut harapan sebagai “the worst of all evils, because it prolongs the torment”. Namun dalam tafsir yang lebih reflektif, kutipan itu justru mengingatkan kita bahwa harapan tidak boleh dipelihara secara buta. Harapan harus diiringi kesadaran dan keberanian untuk menghadapi kenyataan. Dengan begitu, harapan menjadi kekuatan, bukan jebakan.
Sementara itu rahmat tidak selalu datang dalam bentuk materi atau keberhasilan yang gemerlap. Kadang, rahmat hadir dalam bentuk kekuatan untuk bertahan, keberanian untuk memulai lagi, atau kebijaksanaan yang lahir dari luka. Kita mungkin tidak mendapatkan apa yang kita minta, tapi kita diberi apa yang lebih kita butuhkan. Inilah yang oleh Søren Kierkegaard, filsuf eksistensialis Denmark, disebut sebagai “leap of faith”—sebuah lompatan iman yang melibatkan harapan kepada sesuatu yang lebih tinggi, kepada makna yang belum bisa kita pahami sepenuhnya sekarang, tetapi kelak akan terjelaskan.
Dalam kehidupan sosial, harapan juga punya dampak besar. Harapan yang ditanam seorang guru dalam diri murid-muridnya bisa mengubah masa depan mereka. Harapan yang disuarakan oleh seorang pemimpin bisa membangkitkan semangat bangsa. Bahkan harapan kecil yang kita berikan pada teman yang sedang terpuruk bisa menjadi titik balik bagi hidupnya. Oleh karena itu, menanam harapan bukan hanya tindakan individual, tetapi juga wujud kepedulian sosial. Kita tidak hidup sendirian; kebaikan yang kita tanam bisa menjadi cahaya bagi orang lain yang sedang berada dalam gelap, bahkan ketersesatan.
Ada kalanya kita merasa lelah karena harapan yang kita tanam belum juga berbuah. Namun, seperti petani yang sabar menunggu musim panen, kita pun harus percaya bahwa waktu yang datang dari Tuhan selalu tepat. Kita tidak bisa memaksa hasil datang lebih cepat, tapi kita bisa memastikan bahwa kita tidak berhenti menanam. Kita bisa terus menumbuhkan harapan di tengah kesulitan, terus menyiraminya dengan kerja keras, dan terus menjaganya dengan doa dan keikhlasan.
Akhirnya, hidup ini adalah proses panjang menanam harapan dan memanen rahmat. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak besok, tapi suatu saat, segala yang kita tanam dengan niat baik akan kembali kepada kita dalam bentuk yang lebih baik. Jangan pernah remehkan kekuatan harapan, karena dari situlah lahir keberanian untuk hidup, kekuatan untuk bertahan, dan keikhlasan untuk menerima. Seperti kata Plato, “We must not lose hope in humanity. We are all in this together.” Maka, selama harapan masih hidup dalam hati manusia, rahmat pun akan selalu punya jalan untuk hadir. Tinggal kita sebagai manusia mampukan menjaga hati agar tetap dekat kepada siempunya harapan; karena hanya yang Maha Pemberi-lah paham akan kebutuhan kita dan kapan waktunya harapan itu diwujudkan dalam kenyataan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
LPMI Universitas Malahayati Gelar Kegiatan Monitoring dan Evaluasi untuk Tingkatkan Mutu Internal
Kegiatan monev kali ini difokuskan pada SDM, Pengajaran, Penelitian, Pengabdian Kepada Masyarakat, Kerja Sama, dan Mahasiswa Baru, dengan tujuan untuk menilai kesesuaian antara pelaksanaan kegiatan dengan standar yang telah ditetapkan oleh institusi maupun regulasi nasional.
“Kegiatan monev ini bukan hanya sekadar penilaian, tetapi menjadi bagian penting dari siklus penjaminan mutu. Harapannya, setiap unit kerja semakin sadar dan aktif dalam membangun budaya mutu,” ujar Dr. Arifki.
LPMI berkomitmen untuk terus mendorong peningkatan mutu melalui pendekatan sistematis, berkelanjutan, dan berbasis data. Rencana tindak lanjut dari hasil monev akan dilaksanakan secara bertahap dalam beberapa bulan ke depan.
Dengan pelaksanaan monev yang konsisten dan menyeluruh, Universitas Malahayati berharap dapat mewujudkan tata kelola pendidikan tinggi yang unggul, akuntabel, dan berdaya saing serta berdampak pada masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Kepastian yang Tidak Pasti
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Akhir pekan yang terik penanda mulai masuk ke musim kemarau sudah mulai terasa. Suhu yang meningkat dan hembusan angin yang kering, seolah melengkapi penanda, walaupun di ujung ufuk sana masih ada warna awan hitam seolah menggantung harapan akan hujan. Semua mencerminkan bahwa kepastian yang tidak pasti itu selalu hadir dalam kehidupan manusia. Tidak salah jika orang cerdik pandai berkata “kepastian yang pasti ya ketidakpastian itu sendiri”; karena tidak seorangpun diantara kita yang mengetahui apa yang akan terjadi beberapa saat kedepan.
Berdasarkan telusuran digital ditemukan informasi konsep dasar “kepastian yang tidak pasti” merupakan keyakinan subyektif di tengah ketidakpastian obyektif. Manusia sering merasakan kepastian dalam dirinya sendiri (keyakinan, iman, keputusan), meskipun tidak ada jaminan atau bukti luar yang memastikan hal itu benar. Hal ini muncul disebabkan oleh karena realitas sering tidak bisa diketahui secara mutlak (semua bisa berubah, terbatas, atau tidak terjangkau nalar). Namun demikian manusia tetap butuh makna, arah, dan keputusan untuk hidup dan bertindak.
Oleh karena itu maka manusia “menciptakan” kepastian dalam dirinya sendiri, meskipun sebenarnya dia tahu itu belum tentu benar sepenuhnya. Oleh karena itu pernyataan yang menyatakan “Aku yakin, meski aku tahu aku tidak bisa yakin sepenuhnya.”; Itu bukan kelemahan logika, tetapi justru kekuatan manusia sebagai makhluk sadar, yang bisa membuat keputusan meski dunia tidak memberikan jaminan.
Konsep “kepastian yang tidak pasti” menyentuh tema yang sangat mendalam dalam filsafat manusia, terutama dalam ranah epistemologi (teori pengetahuan), eksistensialisme, dan bahkan postmodernisme. Mari kita telusuri secara perlahan.
Pertama, Epistemologi : Kepastian dan Ketidakpastian.
Dalam epistemologi klasik (Plato, Descartes), kepastian dianggap sebagai puncak pengetahuan. Descartes, misalnya, mencari dasar pengetahuan yang pasti melalui keragu-raguan metodis—dan akhirnya menemukan cogito ergo sum (“aku berpikir maka aku ada”) sebagai satu-satunya hal yang pasti. Namun, banyak filsuf kemudian—seperti David Hume dan Immanuel Kant—menunjukkan bahwa sebagian besar pengetahuan kita tentang dunia empiris sebenarnya tidak pernah sepenuhnya pasti. Kita hanya bisa bicara tentang probabilitas atau “kepastian praktis”. Dengan demikian: Kepastian itu lebih ideal daripada riil, oleh sebab itu dalam praktiknya, manusia hidup dalam zona ketidakpastian.
Kedua, Eksistensialisme : Menerima Ketidakpastian sebagai Kenyataan Hidup.
Filsuf seperti Søren Kierkegaard dan Jean-Paul Sartre justru melihat ketidakpastian sebagai bagian esensial dari eksistensi manusia. Mereka menolak ilusi akan kepastian mutlak dan mendorong manusia untuk menerima absurditas hidup. Oleh karena itu harus membuat pilihan dengan penuh tanggung jawab meski tanpa jaminan benar atau salah. Oleh sebab itu dalam pandangan ini, “kepastian yang tidak pasti” bisa berarti bahwa satu-satunya kepastian dalam hidup adalah ketidakpastian itu sendiri—dan tugas manusia adalah menciptakan makna dalam ruang kosong itu.
Ketiga, Postmodernisme : Kepastian Dianggap Ilusi
Filsuf postmodern seperti Jacques Derrida atau Jean-François Lyotard bahkan lebih jauh lagi: mereka mempertanyakan gagasan tentang kebenaran universal dan narasi besar (grand narrative). Dalam pandangan ini, kepastian dianggap sebagai konstruksi budaya atau bahasa—dan selalu bisa didekonstruksi. Sebab itu mereka berpandangan kepastian yang tidak pasti adalah wujud dari kesadaran bahwa semua yang tampak kokoh bisa retak.
Secara ringkas dapat kita pahamkan bahwa manusia merindukan kepastian, namun hidup dalam dunia yang tak pasti. Maka, filsafat manusia mendorong kita untuk: (1). Menerima bahwa kepastian mutlak itu mitos, (2). Menjalani hidup dengan kesadaran reflektif, dan (3) menciptakan makna tanpa harus menunggu jaminan.
Wajar saja jika dalam pandangan budaya ada pepatah yang mengatakan “esuk dele, sore tempe” terjemahan bebasnya pagi kedelai, sore tempe. Maksudnya segala sesuatu di dunia ini sangat pasti akan berubah, yang tidak berubah ya perubahan itu sendiri. Oleh karena itu Tuhan sudah mengingatkan melalui Firman-Nya yang tertulis dalam kitab suci yang terjemahan bebasnya “Jangan kau cintai sesuatu secara berlebihan karena pada masanya nanti akan kau benci, dan, jangan pula kau benci sesuatu secara berlebihan karena pada waktunya dia akan kau sayangi”. Orang Jawa mengatakan “urip sakmadyo” artinya hiduplah secukupnya, tidak berlebihan. Sekalipun adagium itu mudah diucapkan namun kenyataannya sangat sulit dijalankan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Menuju ICESH 2025, Rapat Perdana Panitia Bahas Strategi dan Sinergi Tim
Pertemuan ini dihadiri oleh 25 peserta, terdiri atas dosen-dosen dari Fakultas Ekonomi & Manajemen, Fakultas Hukum, serta para staf yang tergabung dalam struktur kepanitiaan. Rapat dipimpin langsung oleh Ketua Pelaksana, Dr. Febrianty, S.E., M.Si., yang dalam sambutannya menekankan pentingnya kolaborasi dan komitmen lintas divisi demi kesuksesan acara.
“ICESH bukan hanya sekadar konferensi, tetapi juga ruang aktualisasi ide-ide besar untuk masa depan yang berkelanjutan. Kita butuh kerja tim yang solid sejak awal,” ujar Dr. Febrianty penuh semangat.
ICESH 2025 sendiri akan mengangkat tema besar “Sustainable Development Goals: The Intersection of Economic Policies and Environmental Law”, yang diharapkan dapat menjadi wadah dialog strategis antara akademisi, profesional, dan pemangku kebijakan dalam menjawab tantangan pembangunan berkelanjutan. Tak hanya itu, konferensi ini juga menjadi platform bagi para peneliti muda untuk mempublikasikan karya ilmiah mereka melalui prosiding atau jurnal terindeks.
Rapat perdana ini menjadi fondasi penting dalam menyusun langkah-langkah strategis ke depan. Dengan semangat kebersamaan yang telah terbangun sejak dini, ICESH 2025 diyakini akan menjadi ajang intelektual yang lebih inklusif, relevan, dan berdampak luas. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Raih Beasiswa KIP Universitas Malahayati Tahun 2025
Informasinya selengkapnya bisa dilihat disini KIP Kuliah Universitas Malahayati 2025
Raih masa depan dan cita-cita kamu dengan melanjutkan ke perguruan tinggi.
Ayo bergabung di Universitas Malahayati, Kampus terkeren di Lampung Melalui Jalur Beasiswa KIP Kuliah 2025.
——————————————————
SEMUA BISA KULIAH… !! (gil)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Memperingati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025
Momentum Hari Pendidikan Nasional ini menjadi pengingat bahwa pendidikan adalah jembatan menuju masa depan yang lebih baik. Dengan semangat Ki Hadjar Dewantara, mari terus kita kobarkan semangat belajar, mengajar, dan berinovasi demi kemajuan Indonesia.
Universitas Malahayati berkomitmen untuk menjadi pusat pendidikan unggul yang melahirkan generasi profesional, berintegritas, dan berdaya saing global.
“Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.” (gil)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Memperingati Hari Buruh 1 Mei 2025
Kami menghargai setiap keringat, semangat, dan perjuangan para pekerja yang menjadi pilar utama kemajuan bangsa. Mari terus kita junjung tinggi nilai-nilai keadilan, kesejahteraan, dan kemanusiaan dalam setiap bidang pekerjaan.
“Kerja Layak, Hidup Bermartabat” Bersama membangun masa depan yang lebih baik. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Jimat yang Buat Sakral
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kesempatan menghadiri undangan istimewa dari Maha Guru Sejarah Prof. Muklis Paeni pada satu acara ilmiah bergengsi di ibu kota daerah ini; dengan kekhasan dari dahulu yang tidak berubah dalam membuat “guyon ilmiah”. Bagi mereka yang tidak paham memang sering tertawanya besok setelah acara usia. Sementara bagi mereka yang paham akan ontologi cerita sejarah yang diberi “bumbu” humor, maka urat gelinya akan menjadi-jadi saat mendengar paparan beliau.
Lengkap kisahnya demikian: Saat Prof. Muklis, begitu kami muridnya memanggil, mendengar ada tokoh masyarakat yang dipercaya oleh orang sekitar memiliki peninggalan pusaka dari nenek moyangnya di suatu daerah, maka naluri peneliti sejarahnya terusik untuk menemukenali pusaka itu. Dengan negosiasi yang sangat alot dan memakan waktu lama, serta syarat yang hampir tidak masuk akal, maka beliau diperkenankan mengambil pusaka itu dari atas loteng dengan perjanjian jika ada apa-apa akibat membuka pusaka itu mereka tidak tanggung jawab. Sebab menurut cerita dari mulut kemulut nenek moyang mereka sampai berperang melawan Belanda demi mempertahankan pusaka itu.
Setelah melalui ritual yang dipersyaratkan, Prof. Muklis membuka naskah itu, betapa terkejutnya beliau karena pembungkusnya berlapis-lapis. Terakhir beliau menemukan gulungan kertas kusam produk masa lalu; dan setelah dibaca ternyata yang dipercayai sebagai pusaka tadi adalah Surat Tagihan Pajak (“belasting”) dari VOC kepada nenek moyang mereka. Dengan sigap untuk tidak mempermalukan keluarga besar si empunya “pusaka”; beliau menggulung dan merapikan kembali seraya berkata berupa pesan dengan wanti-wanti untuk jangan ada yang boleh membuka pusaka itu lagi.
Nukilan di atas menggiring pemikiran semua kita, dengan meminjam kerangka berfikir Prof. Muklis, untuk segera menemukenali kembali produk budaya kita, baik yang berupa benda maupun tak benda guna dijadikan referensi generasi mendatang. Salah satu upayanya adalah mengubah “Pusaka menjadi Pustaka”. dengan kata lain suatu upaya untuk mendokumentasikan, merekam, atau menuliskan warisan budaya (pusaka) agar menjadi bagian dari literatur atau sumber ilmu pengetahuan (pustaka).
Tujuan dari proses ini agar: (1) Melestarikan budaya agar tidak hilang ditelan zaman. (2) Mewariskan pengetahuan secara lebih luas melalui tulisan, buku, arsip digital, dan media lainnya. (3) Mengedukasi generasi berikutnya mengenai identitas dan nilai-nilai lokal.
Upaya seperti ini bisa dilakukan dengan meneruskembangkan jargo-jargon seperti “Pusaka Dilestarikan, Pustaka Diciptakan”, “Menulis Budaya, Menjaga Warisan.”, “Dari Tradisi ke Tulisan – Mengubah Pusaka Menjadi Pustaka.”dan, “Pusaka Bercerita, Pustaka Berkisah.” Masih banyk lagi jargon yang dapat kita ciptakan untuk menumbuhlestarikan budaya bangsa ini agar tidak punah.
Apa yang telah diinisiasi beliau, kemudian menggandeng dinas terkait, untuk terus melakukan pelestarian produk budaya negeri ini perlu mendapatkan acungan jempol dan dukungan. Pada usia yang tidak muda lagi seorang sejarawan selalu ingin meninggalkan tapak sejarah pada masanya. Demikian halnya dengan daerah ini yang dalam inventarisasi beliau menunjukkan banyak memiliki produk budaya yang mendesak untuk di “pustakakan” dalam bentuk digital agar dapat terhindar dari kepunahan, dan juga untuk diteruslestarikan kepada generasi mendatang.
Seperti halnya masyarakat dimanapun di bumi ini yang pernah wilayahnya mengalami kolonialisme bangsa lain, selalu ditanamkan bibit pemecahbelah dalam segala bentuknya. Hal yang sama juga terjadi di walayah ini; oleh sebab itu diperlukan kearifan bagi penggiat budaya untuk saling menjaga maruwah dengan tidak merendahkan satu pihak dengan meninggikan pihak yang lain. Biarkan semua berjalan dengan keperbedaan, karena akan tampak mozaik indah yang akan menyejarah. Apalagi jika perselisihan hanya sekedar untuk menemukan pembenaran, maka generasi penerus akan enggan menjelang, sebab mereka lebih terbiasa dengan keharusan untuk beda.
Selamat berjuang kepada para penggiat sejarah dan budaya dimana saja berada karena untuk melestarikan yang dimiliki negeri ini pada masa yang akan, sangat ditentukan oleh kinerja para Tuan dan Puan pada hari ini. Biarkan musim berganti karena itu berarti roda sejarah sedang meniti; semoga negeri ini akan menjadi lebih baik dikelak kemudian hari. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman