Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Akhir-akhir ini banyak media masa, baik online maupun konvensional, memperbincangkan Guru Besar. Keberagaman berita itu antara lain: adanya pejabat publik yang melobi kementerian tertentu agar supaya dirinya dapat menyandang guru besar; ada lagi berita disuatu universitas negeri yang ruang guru besarnya sepi, ada juga berita “nakal” yang memberitakan “kenakalan” oknum dalam mendapatkan status guru besar. Tampaknya jabatan guru besar akhir-akhir ini menjadi sangat seksi dimata beberapa orang. Lalu apa dan bagaimana guru besar itu sesungguhnya.
Dikutip dari berbagai sumber diperoleh informasi sebagai berikut: guru besar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seorang profesor, terutama dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia. Guru besar adalah jenjang akademik tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang dosen di perguruan tinggi. Untuk mencapai gelar ini, seseorang harus memiliki kualifikasi akademik yang tinggi, pengalaman mengajar yang luas, dan kontribusi yang signifikan dalam bidang penelitiannya. Semua itu dibuktikan dengan karya-karya yang nyata dan terukur; bahkan sekarang harus melalui suatu sistem penilaian yang sangat ketat, tidak jarang menjadi sangat membosankan.
Tugas dan peran guru besar meliputi: Pertama, Mengajar dan Membimbing, yaitu guru besar memiliki tanggung jawab utama dalam memberikan pengajaran dan bimbingan kepada mahasiswa, baik di tingkat sarjana maupun pascasarjana. Mereka diharapkan untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa serta membimbing mereka dalam penelitian dan pengembangan akademik.
Kedua, Penelitian, guru besar diharapkan aktif dalam melakukan penelitian di bidang keahliannya. Mereka harus menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas dan dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah terkemuka, baik nasional maupun internasaional. Penelitian ini berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama pada bidang keahliannya.
Ketiga, Pengabdian kepada Masyarakat. Selain mengajar dan meneliti, guru besar juga berperan dalam pengabdian kepada masyarakat. Ini bisa berupa kegiatan yang menerapkan pengetahuan dan hasil penelitian untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis di tengah masyarakat.
Keempat, Pengembangan Kurikulum. Guru besar sering terlibat dalam pengembangan kurikulum dan program studi di institusi tempat mereka bekerja. Mereka memastikan bahwa materi yang diajarkan sesuai dengan perkembangan terbaru di bidang ilmunya.
Kelima, Kepemimpinan Akademik. Sebagai pemimpin akademik, guru besar sering terlibat dalam pengambilan keputusan penting di tingkat fakultas atau universitas. Mereka berkontribusi dalam perumusan kebijakan akademik dan administrasi.
Keenam, Publikasi dan Kolaborasi Internasional. Guru besar biasanya terlibat dalam kolaborasi dengan akademisi dan peneliti di tingkat internasional. Mereka sering menghadiri konferensi ilmiah dan seminar untuk mempresentasikan hasil penelitian mereka dan membangun jaringan profesional. Secara keseluruhan, guru besar selain mengemban tugas akademik, juga memiliki sejumlah tugas non-akademik yang penting dalam menunjang fungsi dan perkembangan institusi tempat mereka bekerja.
Adapun tugas non-akademik itu: Pertama, Administrasi dan Manajemen. Mengambil bagian dalam administrasi universitas atau fakultas, termasuk menjabat sebagai dekan, kepala departemen, atau posisi manajerial lainnya. Berpartisipasi dalam komite-komite universitas yang bertanggung jawab atas kebijakan, akreditasi, dan evaluasi program studi.
Kedua, Kepemimpinan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, yaitu membiimbing dan mengembangkan karier dosen-dosen muda dan staf akademik lainnya. Terlibat dalam perekrutan dan seleksi dosen baru serta memberikan penilaian terhadap kinerja staf akademik.
Ketiga, Kerjasama dengan Industri dan Lembaga Lain, yautu membangun dan memelihara hubungan kerja sama dengan industri, pemerintah, dan lembaga lainnya untuk mendukung penelitian, pengembangan kurikulum, dan peluang kerja bagi lulusan. Mengelola proyek-proyek penelitian dan pengembangan yang didanai oleh pihak eksternal.
Keempat, Pengembangan Institusi. Guru besar berperan dalam perencanaan strategis dan pengembangan jangka panjang institusi. Memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan reputasi dan daya saing universitas di tingkat nasional dan internasional.
Kelima, Pengabdian kepada Masyarakat. Guru besar melibatkan diri dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang memanfaatkan keahlian akademik untuk memberikan solusi terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, atau lingkungan. Mengorganisir atau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti seminar, workshop, atau program pelatihan.
Keenam, Promosi Ilmu Pengetahuan, yautu guru besar berkontribusi dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi melalui media massa, ceramah umum, atau publikasi non-akademik. Aktif dalam organisasi profesi dan komunitas ilmiah untuk mendorong kemajuan bidang keahlian mereka.
Dengan menjalankan tugas-tugas non-akademik ini, guru besar tidak hanya berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan dan penelitian, tetapi juga membantu dalam pembangunan institusi yang lebih baik dan berdampak positif bagi masyarakat luas.
Guru besar memiliki peran penting dalam mendiseminasikan nilai-nilai akademik, moral, dan etika kepada mahasiswa, rekan kerja, dan masyarakat luas. Berikut adalah beberapa cara guru besar melaksanakan tugas ini: Pertama, Melalui Pengajaran: Integrasi Nilai dalam Kurikulum: Guru besar mengintegrasikan nilai-nilai akademik, etika, dan moral dalam materi kuliah dan diskusi kelas. Mereka menekankan pentingnya integritas akademik, kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab.
Kedua, Teladan dalam Kelas: Sebagai panutan, guru besar menunjukkan sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai positif seperti rasa hormat, kesopanan, dan dedikasi, menegakkan aturan akademik secara benar.
Ketiga, Melalui Penelitian: yang meliputi (1). Etika Penelitian: Guru besar memastikan bahwa semua penelitian yang dilakukan mengikuti standar etika yang tinggi, termasuk dalam hal pengumpulan data, analisis, dan publikasi hasil. Mereka mengajarkan pentingnya transparansi, akurasi, dan penghindaran plagiarisme. (2). Tema Penelitian yang Bermanfaat: Mereka memilih topik penelitian yang memiliki dampak positif bagi masyarakat, seperti penelitian yang berfokus pada isu-isu sosial, kesehatan, lingkungan, dan teknologi yang berkelanjutan.
Keempat, Melalui Pengabdian kepada Masyarakat: meliputi, Program Sosial dan Edukasi: Guru besar terlibat dalam program-program yang mendiseminasikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran sosial. Mereka berpartisipasi dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang mendidik dan memberdayakan komunitas. Dan, melalui Ceramah dan Workshop: Mereka memberikan ceramah dan mengadakan workshop yang menekankan pentingnya nilai-nilai etis dalam kehidupan profesional dan pribadi.
Kelima, Melalui Kepemimpinan Akademik: meliputi (1) Membangun Budaya Akademik: Guru besar berperan dalam menciptakan dan memelihara budaya akademik yang positif di institusi mereka, yang menekankan nilai-nilai kerjasama, inklusivitas, dan keunggulan. (2) Mentoring dan Pembimbingan: Mereka membimbing dosen muda dan mahasiswa pascasarjana, menanamkan nilai-nilai profesionalisme, etika kerja, dan komitmen terhadap ilmu pengetahuan.
Keenam, Melalui Publikasi dan Komunikasi: meliputi (1) Artikel dan Buku: Guru besar menulis artikel, buku, dan publikasi lainnya yang tidak hanya menyampaikan pengetahuan ilmiah tetapi juga nilai-nilai etika dan moral. (2) Media Massa dan Sosial: Mereka menggunakan platform media massa dan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan yang mengandung nilai-nilai positif kepada masyarakat luas.
Dengan cara-cara tersebut, guru besar tidak hanya berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan tetapi juga pada pembentukan karakter dan nilai-nilai yang penting bagi perkembangan individu dan masyarakat. Termasuk didalamnya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, taat aturan.
Pertanyaan berikutnya ialah, apakah setelah membaca, memahami dan merenungkan betapa beratnya tugas pokok dan fungsi jabatan guru besar dengan segala konsekuensinya itu, masih ada oknum yang kurang kerjaan ingin menjadi guru besar melalui jalan pintas; sehingga mengabaikan etika dan norma akademik. Jika jawabannya “ada” maka sebenarnya yang bersangkutan harus introspeksi dulu, apakah niatnya itu murni dari hati kecil atau dari hati tetangga.
Sementara, jika ada Guru Besar yang benar sudah meraih jabatan ini dengan benar, maka bersiaplah sejatinya anda tidak bisa berhenti berfikir untuk memberikan yang terbaik bagi negeri ini, diantaranya melalui tulisan, gagasan dan ide-ide cemerlang lainnya; sampai ajal menjemput…..Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mikul Duwur Mendem Jero
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada saat membagikan tulisan yang terbit di media online kepada salah seseorang yang penulis amat sangat hormati, yaitu Maha Guru Doktor Muklis Paeni, seorang sejarawan yang saat mahasiswa menjadi bimbingan Doktor Taufik Abdullah, sejarawan dan tokoh ilmu-ilmu sosial pada zamannya, sengaja penulis menggunakan diksi Maha Guru karena beliau terlalu kecil kalau dipanggil dengan label profesor atau guru besar walaupun itu gelar formalnya; apalagi gelar itu sekarang sedang mengalami banyak persoalan karena ulah segelintir oknum yang ingin mengail di air keruh.
Beliau pernah menjadi direktur Lembaga Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial di Universitas Hasanuddin, dan salah satu muridnya adalah penulis. Beliau menjadi dosen tamu di banyak negara, juga pernah memangku sejumlah jabatan penting di bidang kebudayaan dan berfilman, serta sejumlah jabatan bergengsi lainnya. Sang Maha Guru meminta penulis untuk membeberkan judul di atas yang pada masa orde baru digeser artinya oleh Soeharto guna meredupkan pengaruh Soekarno; dan bagaimana dikaitkan dengan kondisi sekarang.
Sebelum lebih jauh membahasnya, kita telusuri terlebih dahulu apa makna dari “Mikul duwur mendem jero” itu secara konseptual. Berdasarkan penelusuran digital ungkapan “mikul duwur mendem jero” dalam bahasa Jawa memiliki makna yang sangat mendalam dan mengandung nilai-nilai moral serta kearifan lokal. Secara harfiah, “mikul duwur” berarti “mengangkat tinggi” dan “mendem jero” berarti “mengubur dalam-dalam”.
Makna keseluruhan dari ungkapan ini adalah: Mikul Duwur : mengangkat tinggi harkat, martabat, dan nama baik leluhur atau orang tua. Ini berarti menghormati, menjaga, dan memuliakan nama baik serta segala kebaikan yang telah diwariskan oleh mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa diartikan sebagai usaha untuk menjaga nama baik keluarga dengan berperilaku baik dan berprestasi.
Mendem Jero : mengubur dalam-dalam segala aib, kesalahan, atau kekurangan dari leluhur atau orang tua. Artinya, kita tidak mengungkapkan atau menyebarluaskan hal-hal negatif atau memalukan yang mungkin pernah dilakukan oleh mereka. Hal ini menunjukkan rasa hormat dan menjaga kehormatan keluarga.
Secara umum, ungkapan ini mengajarkan kita untuk selalu menghormati dan memuliakan leluhur atau orang tua, atau orang yang dituakan, serta menjaga nama baik keluarga dengan berperilaku baik dan bijaksana, sambil tetap menutupi dan tidak mengungkapkan hal-hal negatif yang bisa merusak kehormatan keluarga dan atau lembaga.
Namun sayangnya prinsip ajaran moral ini pernah digesermaknakan oleh Soeharto kepada Soekarno.
Penyimpangan ajaran “mikul duwur mendem jero” oleh Soeharto kepada Soekarno bisa dilihat dalam sejarah beberapa tindakan yang diambil oleh Soeharto selama masa transisi kekuasaan dari Soekarno ke dirinya. Ajaran “mikul duwur mendem jero” mengharuskan seseorang untuk menghormati, memuliakan, dan menjaga nama baik leluhur atau pendahulu, serta menutupi kesalahan atau kekurangan mereka. Namun, dalam konteks sejarah Indonesia, beberapa tindakan Soeharto terhadap Soekarno dianggap tidak sejalan dengan prinsip ini.
Degradasi dan penahanan Soekarno, setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan pada tahun 1967, Soekarno ditempatkan dalam tahanan rumah. Soekarno mengalami penurunan drastis dalam status dan pengaruh politiknya, yang bertentangan dengan prinsip “mikul duwur” yang seharusnya menghormati dan memuliakan pendahulu. Soekarno dieliminasi secara fisik maupun sosial dari lingkungan bahkan keluarganya.
Pembersihan sejarah pada masa orde baru, banyak upaya dilakukan untuk menggambarkan Soekarno dalam cahaya negatif. Ini bertentangan dengan prinsip “mendem jero”, yang mengharuskan menutupi atau setidaknya tidak mengungkapkan aib pendahulu secara terbuka.
Penghapusan warisan Soekarno: hal ini menunjukkan ketidaksediaan untuk menjaga dan menghormati warisan apapun dari Soekarno. Upaya menjauhkan Soekarno dari rakyatnya dengan mengeliminasi hubungan sosialnya dengan alasan menjaga kesehatan. Dan, memakamkan Soekarno di tempat yang jauh agar tidak terjangkau oleh pengagumnya dengan meng-kamuflase dengan alasan agar dekat dengan keluarganya.
Tindakan-tindakan ini menunjukkan penyimpangan dari ajaran “mikul duwur mendem jero”, karena Soeharto tidak hanya gagal menghormati dan memuliakan Soekarno, tetapi juga secara aktif berusaha mengurangi pengaruh dan warisan pendahulunya. Terlepas pandangan ini ada yang setuju ada yang tidak, hal tersebut adalah sah-sah saja, karena kita bebas menentukan sudut pandang mana yang kita ambil. Namun yang paling penting adalah saling menghormati atas perbedaan sudut pandang tadi.
Padahal sejarah mencatat bahwa sesungguhnya ajaran “mikul duwur mendem jero” telah menjadi bagian integral dari budaya Jawa sejak lama dan mencerminkan nilai-nilai moral yang mendalam yang dihormati dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada era masa lalu, ajaran ini diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam keluarga, masyarakat, dan pemerintahan.
Dalam Keluarga; Penghormatan kepada Orang Tua dan Leluhur: Anak-anak diajarkan untuk selalu menghormati orang tua dan leluhur mereka. Ini berarti mendengarkan nasihat mereka, menjaga nama baik keluarga, dan merawat mereka di usia tua. Kebaikan dan prestasi orang tua atau leluhur selalu diingat dan dihargai, sementara kekurangan atau kesalahan mereka tidak diungkapkan atau dibesar-besarkan.
Penerusan Nilai dan Tradisi: Nilai-nilai, adat istiadat, dan tradisi yang baik diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap anggota keluarga bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan warisan ini.
Dalam Masyarakat; Kepemimpinan dan Kearifan Lokal: Pemimpin masyarakat diharapkan menghormati pendahulunya, meneruskan kebijakan yang baik, dan menghargai jasa-jasa mereka. Kesalahan atau kekurangan pendahulu tidak diungkapkan secara publik, melainkan diselesaikan secara internal untuk menjaga keharmonisan dan martabat masyarakat.
Gotong Royong dan Solidaritas: Nilai “mikul duwur mendem jero” juga diterapkan dalam semangat gotong royong. Setiap individu berusaha untuk mengangkat harkat dan martabat komunitas mereka dan saling membantu untuk mencapai kesejahteraan bersama. Aib atau masalah pribadi yang dapat mencemarkan nama baik komunitas diselesaikan secara bijaksana dan tidak diumbar ke luar.
Dalam Pemerintahan. Penerusan Kebijakan dan Pembangunan: Pemerintah pada masa lalu diharapkan untuk melanjutkan kebijakan dan program yang baik dari pendahulunya, serta menghormati jasa-jasa pemimpin sebelumnya. Kritik terhadap pemimpin terdahulu dilakukan dengan cara yang hormat, santun dan tidak merusak reputasi mereka.
Pendidikan dan Penanaman Nilai: Nilai-nilai “mikul duwur mendem jero” diajarkan di lembaga pendidikan dan diterapkan dalam pendidikan karakter, sehingga generasi muda memahami pentingnya menghormati dan menjaga warisan budaya serta moral.
Ajaran “mikul duwur mendem jero” pada era masa lalu menjadi panduan moral yang menjaga keharmonisan dan kehormatan dalam keluarga, masyarakat, dan pemerintahan. Nilai ini mengajarkan pentingnya menghormati, memuliakan, dan menjaga warisan baik dari pendahulu, sekaligus menutupi dan tidak mengungkapkan kesalahan atau kekurangan mereka secara publik. Dengan demikian, ajaran ini berperan dalam membentuk tatanan sosial yang harmonis dan penuh rasa hormat.
Walau tampaknya akhir-akhir ini tidaklah demikian, banyak kita jumpai pergantian kepemimpinan baik lokal maupun nasional, sering diwarnai penindakan terhadap masa sebelumnya. Bahkan tidak segan-segan untuk memberangus apa saja yang berbau masa lampau, sekalipun pengorbanan masa lampau itu sudah memakan biaya tidak sedikit. Ini terbukti banyak proyek-proyek ideal masa lalu yang menjadi mangkrak hanya karena ketidaksukaan akan orang yang digantikan.
Dapat kita inventarisir dari tingkat nasional, provinsi sampai kabupaten, kita jumpai banyak hal setiap pergantian kepemimpinan, berganti pula proyek mercusuarnya. Kita tunggu saja nanti apakah hal yang sama akan dilakukan oleh pemerintahan baru negeri ini kepada pendahulunya, tentu saja dengan segala macam alasan rasionalitas yang dapat disusun secara rapi dan seolah-olah rasional. Orang bijak mengatakan; saat kita menyampaikan kebenaran, maka kita akan menemukan dua reaksi yang berbeda; mereka yang bijak akan merenung, sementara mereka yang bodoh akan tersinggung. Memang sulit meyakinkan lalat bahwa bunga itu jauh lebih indah dari pada sampah. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati dan Kanwil Kemenkumham Lampung Tandatangani MoU tentang Sistem Kekayaan Intelektual
Kegiatan penandatanganan MoU ini dilaksanakan di Institut Bisnis dan Informatika Darmajaya. Dalam kegiatan tersebut, Universitas Malahayati diwakili oleh Rektor, Dr. Achmad Farich, dr., MM, didampingi Ka,Bag Humas dan Protokol, Emil Tanhar, S,Kom, dan Ka.Bag Kerjasama. Sedangkan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Lampung diwakili oleh Agvirta Armilia Sativa, S.H., M.H., selaku Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM.
Penandatanganan MoU ini diharapkan dapat memperkuat sinergi antara kedua institusi dalam mengembangkan pemahaman dan implementasi Sistem Kekayaan Intelektual di Provinsi Lampung. Kerja sama ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan, serta memberikan edukasi dan bimbingan kepada masyarakat, akademisi, dan pelaku industri terkait pentingnya perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual.
Rektor juga menegaskan, bahwa Universitas Malahayati siap untuk bekerja sama secara aktif dengan Kanwil Kemenkumham Lampung untuk mencapai tujuan bersama dalam perlindungan dan pemanfaatan kekayaan intelektual secara efektif dan berkelanjutan.
Sementara itu, Agvirta Armilia Sativa, S.H., M.H., menambahkan bahwa kerjasama ini merupakan langkah strategis dalam meningkatkan kualitas pelayanan hukum khususnya di bidang kekayaan intelektual di Lampung. “Kami sangat antusias dengan MoU ini, karena ini akan membuka banyak peluang untuk pengembangan inovasi dan kreativitas di kalangan akademisi dan masyarakat luas. Kami siap mendukung penuh setiap upaya yang akan dilakukan bersama Universitas Malahayati untuk mencapai tujuan ini,” ungkap Agvirta Armilia Sativa dalam sambutannya.
Kedua belah pihak berharap dapat menjadi awal dari berbagai program dan kegiatan yang bermanfaat dalam rangka mendukung kemajuan sistem kekayaan intelektual di Provinsi Lampung, yang pada akhirnya akan mendorong inovasi dan kreativitas di berbagai sektor. Dengan adanya kerjasama ini, diharapkan Lampung dapat menjadi salah satu daerah yang unggul dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan intelektual di Indonesia. (gil/humasmalahayatinews)
Pertanyaan yang Bertanya
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada era milenial saat ini sering kita bertemu dengan pertanyaan yang bertanya seperti judul di atas; sebagai contoh “apa yang bisa saya bantu”. Tampak sekali bahwa diksi yang dibangun dari pertanyaan yang bertanya itu sebenarnya penuh dengan lingkup filsafat. Jika kita telusuri lebih jauh dalam informasi digital, maka sebenarnya filosofi pertanyaan yang bertanya menyentuh aspek mendasar dari pengetahuan, pemahaman, dan komunikasi.
Berikut adalah beberapa poin penting mengenai filosofi di balik pertanyaan yang bertanya: Pertama, pencarian kebenaran. Di sini pertanyaan merupakan alat untuk mencari kebenaran. Melalui bertanya, kita mengungkap ketidaktahuan dan membuka jalan menuju pemahaman yang lebih baik.
Kedua, keingintahuan. Pertanyaan mencerminkan keingintahuan alami manusia. Filosofi ini menghargai sifat dasar manusia untuk selalu ingin tahu lebih banyak tentang dunia di sekitar mereka. Ketiga, Dialog dan Diskusi: Pertanyaan mendorong dialog dan diskusi, yang merupakan inti dari pembelajaran dan pertukaran ide. Socrates, misalnya, menggunakan metode bertanya untuk mengarahkan murid-muridnya menuju pencerahan.
Ketiga, kritik dan refleksi. Dalam kritik dan refleksi, Pertanyaan sering mengandung refleksi kritis. Mereka membantu kita untuk tidak menerima sesuatu begitu saja, tetapi untuk berpikir lebih dalam dan mempertanyakan asumsi-asumsi dasar.
Keempat, pembelajaran dan pendidikan. Dalam pendidikan, pertanyaan adalah alat pengajaran yang penting. Guru menggunakan pertanyaan untuk merangsang pemikiran siswa dan mengevaluasi pemahaman mereka.
Kelima, eksplorasi diri. Dalam eksplorasi diri pertanyaan juga bisa bersifat introspektif, membantu individu memahami diri mereka sendiri, tujuan hidup, dan nilai-nilai yang mereka anut.
Keenam, proses tanpa akhir. Banyak pertanyaan besar dalam filsafat dan ilmu pengetahuan yang mungkin tidak pernah memiliki jawaban akhir. Dalam ranah filsafat proses bertanya itu sendiri sering kali lebih penting daripada jawaban yang didapatkan.
Dengan kata lain, filosofi pertanyaan yang bertanya mengakui pentingnya rasa ingin tahu, kritikal, dan dialog dalam usaha manusia untuk memahami dunia dan diri mereka sendiri. Pertanyaan tersisa masihkah pertanyaan itu relevan untuk dipertanyakan saat ini. Ternyata akhir-akhir ini banyak di antara kita terjebak dengan pertanyaan yang selalu dipertanyakan. Akibatnya, semua tidak terjawab karena jawaban dari pertanyaan itu justru menjadi pertanyaan dari pertanyaan tadi. Ini bisa kita buktikan banyak persoalan dinegeri ini yang hanya berhenti dipertanyaan, tidak pernah sampai pada jawaban.
Peristiwa terakhir maraknya kasus guru besar abal-abal yang menggemparkan dunia perguruan tinggi. Ternyata semua berhenti pada pertanyaan, dan paling tinggi himbauan; namun jawaban dari pertanyaan sebagai penyelesai persoalan, sampai tulisan ini dibuat ternyata belum ada tanda-tanda. Banyak kalangan meyakini bahwa pertanyaan tentang persoalan ini akan tetap dibiarkan pada ruang tanya. Sedangkan ruang jawab akan dibiarkan terbuka sampai dengan adanya persoalan baru untuk difungsikan sebagai penutup. Anehnya penutup ini pun dibiarkan juga ada pada posisi tanya, sampai ada persoalan baru yang menutupnya, dan itu berlangsung terus dan terus seolah tanpa akhir.
Kasus guru besar yang penuh tanya itu justru berakibat fatal bagi mereka yang ada di “jalan yang benar”; karena dapat dipastikan akan keluar peraturan baru yang mempersulit yang sudah sulit bagi mereka yang ada pada posisi sulit. Sementara para pelanggar yang sudah menikmati “manisnya” melanggar, tidak akan mendapatkan sanksi apapun, termasuk sanksi akademik apalagi moral. Terlebih lagi mereka saat ini ada pada posisi tawar politik yang tinggi, sehingga mampu “menghardik” siapapun yang mengusiknya, termasuk orang paling berkuasapun di muka bumi ini. Bahkan tidak segan segan untuk membayar orang guna membuat pertanyaan baru dengan tujuan jawabannya akan menjadi pertanyaan yang tanpa jawaban.
Tulisan ini hanya ingin mengingatkan kepada Anda yang ada pada posisi sulit yang sebentar lagi akan menerima kesulitan baru. Bersabarlah karena jika itu memang milik mu, dia tidak akan salah alamat. Sebaliknya, jika itu bukan ditakdirkan untuk mu, maka ikhlaskanlah, karena wilayah kita hanya ada pada doa dan usaha. Sementara pandangan kita untuk mereka yang saat ini sedang mendapatkan “keberuntungan” dari cara yang melanggar, biarkan Tuhan mengurusnya karena itu wilayah transidental yang tidak ada ilmunya. Untuk mendapatkan kenikmatan dengan jalan melakukan pelanggaran adalah kenikmatan semu, bagai ilusi di gurun pasir.
Keberkahan itu bukan pada produk hasil akan tetapi pada hakekat hasil, manakala kita mampu mempertanggungjawabkan semua pertanyaan langit kelak di “Padang Pengadilan Abadi”; maka sesungguhnya itulah jawaban yang hakiki. Sayangnya, manusia melihat segala sesuatu, termasuk keberkahan, harus tampak nyata; padahal banyak hal, bukan hanya sekedar tampak nyata tetapi lebih jauh dari itu, ialah suasana kebatinan keilahian yang mengembang dalam perisai diri atau spectrum diri berupa rasa syukur yang amat sangat dalam menerima semua takdir-Nya.
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Prestasi di Peksimida Lampung 2024
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Mahasiswa Universitas Malahayati Bandar Lampung kembali menorehkan prestasi membanggakan dalam ajang Pekan Seni Mahasiswa Daerah (Peksimida) Lampung 2024.
Kegiatan yang berlangsung dari tanggal 25 hingga 28 Juni 2024 ini diakhiri dengan penutupan pada 29 Juni 2024.
Mahasiswa Universitas Malahayati berhasil meraih berbagai juara di beberapa tangkai lomba, mulai dari juara III, II, hingga juara I.
Prestasi ini membawa sejumlah mahasiswa untuk mewakili Lampung dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) ke-17 yang akan diadakan pada 2 sampai 7 September 2024 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Beberapa nama mahasiswa berprestasi tersebut antara lain:
– Tantri Dwi Lestari dari Prodi Hukum yang meraih juara III dalam tangkai lomba baca puisi putri.
– Ferdika Agustiansyah dari Prodi Ilmu Keperawatan yang meraih juara I dalam lomba menyanyi pop putra.
– Dino Alfarizy dari Prodi Farmasi yang meraih juara II dalam tangkai lomba menyanyi dangdut putra.
– Qholik Mawardi dari Prodi Kesehatan Masyarakat yang meraih juara I dalam tangkai lomba menyanyi keroncong putra.
Selain itu, mahasiswa yang berhasil meraih juara I dalam vokal grup adalah:
– Arman Taufiqi dari Prodi Teknik Lingkungan
– Pandu Rizky Wicaksono dari Prodi Manajemen
– Hikmah Nurapiansyah dari Prodi Ilmu Keperawatan
– Agung Julian Pangestu dari Prodi Ilmu Keperawatan
– Eka Nur Rahmawati dari Prodi Akuntansi
– Farid Fahrudin dari Prodi Teknik Mesin
– Dinda Ismi Fitriani dari Prodi S1 Farmasi
– Firmansyah dari Prodi Teknik Industri
– Qodah Naiva dari Prodi Manajemen
– Razwa Al-Azzah dari Prodi Teknik Industri
– Muhammad Faris Ar Rahman dari Prodi Teknik Sipil
– Auly Taswifu Dzikri dari Prodi Ilmu Keperawatan
Prestasi lainnya juga diraih oleh mahasiswa Universitas Malahayati di berbagai tangkai lomba, di antaranya:
– Ridho Dwi Putra dari Prodi Teknik Sipil meraih juara III dalam tangkai lomba monolog.
– Khafifah Nurul Fadila dari Prodi S1 Kebidanan meraih juara harapan II dalam tangkai lomba lukis.
– Dwi Surtiningrum dari Prodi S1 Manajemen meraih juara III dalam tangkai lomba menyanyi dangdut.
– Angger Irawan dari Prodi Teknik Industri meraih juara I dalam tangkai lomba menyanyi seriosa putra.
Editor: Asyihin
Katalog Analisa Fisika dan Elektrokimia
Judul buku : Analisa Fisika dan Elektrokimia
Penulis : Robby Candra Purnama
Penerbit : Universitas Malahayati.
Sinopsis: Dalam tiap-tiap ilmu pengetahuan, spesifikasi menjadi sebuah ciri khas
tersendiri dalam bidang ilmu pengetahuan tersebut. Hal ini juga tidak lepas
dalam dunia analisa. Baik itu analisa fisika, analisa kimia (termasuk
elektrokimia didalamnya), maupun analisa biologi.
Analisa fisika dan analisa elektrokimia tidak dapat dipisahkan dari
berbagai aspek ilmu pengetahuan terutama dibidang industri. Baik industri
farmasi maupun industri makanan dan minuman. Analisa fisika dan analisa
elektrokimia menjadi salah satu dasar untuk melakukan pengembangan
produksi obat maupun produksi makanan dan minuman.
Didalam analisa fisika dan analisa kimia, prinsip dasar penggunaan
instrumentasi fisika maupun dasar-dasar kimia seperti reaksi reduksi dan
oksidasi menjadi fundamental. Penguasaan terhadap dasar-dasar analisa tersebut
akan memudahkan seorang produsen ataupun farmasis untuk kemudian mampu
membuat inovasi-inovasi dibidangnya
Nggendong, Nggandeng, Nentheng
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Siang itu selesai sidang ujian mahasiswa pascasarjana, duduk diruangan sambil istirahat menunggu kedatangan tamu sahabat lama yang akan berkunjung. Sambil membuka medsos terlihat caption seorang ibu yang sudah sepuh menjawab pertanyaan pewarta elektronik tentang bagaimana perjuangan masa muda mengikuti perjalanan karier suami. Demi suami tercinta, beliau mendampingi suami yang bertugas di salah satu kota di Sumatera diera tahun 70 an. Fasilitas belum semewah sekarang, beliau harus menggendong dan menggandeng anak, serta menenteng koper yang berisi perlengkapan anak-anaknya.
Sebelum lebih jauh mengulas hal di atas, maka kita pahami dulu maknanya; berdasarkan telusuran digital ditemukan makana sebaai berikut: Dalam bahasa Jawa, kata-kata “nggendong,” “nggandeng,” dan “nentheng” memiliki makna yang berbeda dalam konteks kegiatan membawa atau mengangkat sesuatu: “Nggendong” berarti membawa sesuatu di punggung atau di belakang tubuh. Biasanya digunakan untuk menggambarkan tindakan membawa anak kecil atau barang dengan cara menggendongnya di punggung.
“Nggandeng” berarti menggandeng atau memegang tangan seseorang. Biasanya digunakan untuk menggambarkan tindakan memegang tangan seseorang untuk berjalan bersama atau memberikan dukungan. “Nentheng” berarti membawa sesuatu dengan cara menjinjing atau menggantungnya di tangan. Biasanya digunakan untuk menggambarkan tindakan membawa barang yang ringan atau sedang dengan tangan, seperti tas atau kantong belanja. Semua kata tersebut menggambarkan cara yang berbeda dalam membawa atau mengangkat sesuatu.
Sebenarnya ketiga diksi tersebut adalah menggambarkan pekerjaan pemimpin dalam melakonkan kehidupan. Mereka yang diberi amanah untuk memimpin pada level manapun, ketiga pekerjaan tadi harus mampu dilakukannya sendiri, tanpa berharap bantuan dari siapapun. Dalam budaya Jawa, banyak tindakan sehari-hari yang memiliki makna filosofis yang dalam. Berikut adalah makna filosofi dari “nggendong,” “ngandeng,” dan “nentheng”:
Nggendong: Filosofi nggendong menggambarkan tanggung jawab dan kasih sayang. Ketika seseorang menggendong anak, itu menunjukkan perhatian, perlindungan, dan komitmen untuk mendukung yang digendong. Dalam konteks kehidupan, nggendong bisa diartikan sebagai tanggung jawab orang tua kepada anaknya atau dukungan satu sama lain dalam keluarga. Dalam konteks pemimpin adalah, menggendong semua yang dipimpin dalam pengertian sesuai dengan Tugas Pokok dan Fungsi masing-masing. Pemimpin harus menjadi garda depan dalam hal tanggungjawab terhadap yang dipimpin.
Nggandeng: Filosofi ngandeng melambangkan kebersamaan dan persatuan. Dengan menggandeng tangan seseorang, itu menunjukkan bahwa kita berjalan bersama, mendukung, dan memberikan kekuatan satu sama lain. Nggandeng bisa diartikan sebagai persahabatan, kemitraan, dan gotong royong dalam masyarakat, di mana setiap individu saling membantu dan bekerja sama bahu membahu dalam menyelesaikan persoalan.
Nentheng: Filosofi nentheng mencerminkan kemandirian dan kesiapan. Membawa sesuatu dengan cara nentheng menunjukkan bahwa kita siap untuk menghadapi tugas dan tanggung jawab. Dalam konteks kehidupan, nentheng dapat diartikan sebagai kesiapan seseorang untuk menjalani kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab dan keberanian.
Secara keseluruhan, ketiga tindakan ini mengajarkan nilai-nilai penting dalam kehidupan, seperti kasih sayang, kebersamaan, tanggung jawab, kemandirian, dan dukungan terhadap sesama. Pertanyaan lanjut masih adakah pemimpin yang menjalan laku filsafat seperti itu ?. tentu jawabannya tidak sesederhana menjawab perkalian yang ditanyakan guru di muka kelas. Ada banyak faktor dan banyak sisi yang harus kita telaah; mengingat keterbatasan halaman media, maka tulisan ini mencoba meringkasnya dalam deskripsi padat.
Pada era generasi Z (Gen Z) seperti sekarang mereka membutuhkan kepemimpinan yang memiliki karakteristik yang berbeda dari generasi sebelumnya, disebabkan oleh perubahan dalam teknologi, nilai-nilai sosial, dan ekspektasi tempat kerja. Berdasarkan penelusuran digital dari berbagai sumber: berikut adalah beberapa karakteristik utama dari model kepemimpinan yang efektif untuk Gen Z: Pertama, Kepemimpinan yang Transparan dan Otentik: Gen Z menghargai keterbukaan dan kejujuran. Pemimpin yang transparan dalam komunikasi dan keputusan mereka akan lebih dihormati. Otentisitas juga penting; mereka menghargai pemimpin yang menunjukkan sisi manusiawi mereka, termasuk kerentanan dan kegagalan.
Kedua, Penggunaan Teknologi yang Efektif: Gen Z adalah generasi yang tumbuh dengan teknologi digital. Mereka beranggapan bahwa pemimpin yang memahami dan memanfaatkan teknologi untuk berkomunikasi dan bekerja akan lebih efektif. Pemimpin juga harus mendukung inovasi dan penggunaan alat teknologi terbaru untuk meningkatkan produktivitas.
Ketiga, Fleksibilitas dan Keseimbangan Kehidupan Kerja: Gen Z menginginkan fleksibilitas dalam pekerjaan mereka, termasuk opsi kerja jarak jauh dan jam kerja yang fleksibel. Mereka juga menghargai keseimbangan antara kehidupan kerja dan pribadi, sehingga pemimpin yang mendukung kesejahteraan karyawan akan lebih dihargai oleh mereka.
Keempat, Pemberdayaan dan Pengembangan: Gen Z mencari kesempatan untuk belajar dan berkembang. Pemimpin yang menyediakan pelatihan, bimbingan, dan kesempatan untuk pengembangan karir akan lebih efektif. Mereka juga menginginkan otonomi dalam pekerjaan mereka dan lebih memilih pemimpin yang memberikan kepercayaan dan ruang untuk inovasi.
Kelima, Kolaborasi dan Inklusivitas: Gen Z menghargai kolaborasi dan kerja tim. Pemimpin yang menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung kerjasama akan lebih berhasil. Pemimpin juga harus mempromosikan keberagaman dan inklusivitas dalam tim mereka.
Keenam, Tujuan dan Nilai Sosial: Gen Z cenderung lebih peduli terhadap isu-isu sosial dan lingkungan. Mereka lebih memilih bekerja untuk organisasi yang memiliki tujuan dan nilai yang sejalan dengan mereka. Pemimpin yang menunjukkan komitmen terhadap tanggung jawab sosial dan keberlanjutan akan lebih dihargai.
Dengan memahami dan menerapkan karakteristik kepemimpinan ini, pemimpin dapat lebih efektif dalam memimpin dan menginspirasi Gen Z, menciptakan lingkungan kerja yang produktif dan memuaskan bagi semua pihak. Dengan kata lain filosofi “nggendong,” “nggandeng,” dan “nentheng”, sampai saat ini masih relevan; tinggal bagaimana kita mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Dr (Hc). Rusli Bintang Terima Penghargaan Ikon Prestasi Pancasila Tahun 2024 Kategori Sains dan Teknologi di Balai Sarbini
Jakarta (malahayati.ac.id): Pendiri Yayasan Alih Teknologi, Rusli Bintang, menerima Penganugerahan sebagai Ikon Prestasi Pancasila Tahun 2024 Kategori Sains dan Teknologi di Balai Sarbini, DKI Jakarta, Selasa (9/7/2024). Penghargaan ini diberikan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Direktorat Jaringan dan Pembudayaan Republik Indonesia.
Penghargaan ini diberikan kepada individu dan komunitas yang memiliki rekam jejak baik, prestasi, dan karya inovasi yang inspiratif. Mereka yang diakui oleh masyarakat, negara, dan/atau internasional, serta mengharumkan nama bangsa dan negara layak mendapatkan penghargaan ini.
Dr. Achmad Farich, dr., M.M., selaku Rektor Universitas Malahayati di bawah naungan Yayasan Alih Teknologi, menyampaikan selamat atas diraihnya penghargaan ini.
“Ini merupakan kebanggaan bagi kami semua dan bukti bahwa dedikasi Pak Rusli Bintang terhadap pengembangan teknologi dan pendidikan di Indonesia mendapat pengakuan yang sangat layak,” ujarnya.
Rusli Bintang lahir di gampong Lam Asan, Kecamatan Kuta Baro, Kabupaten Aceh Besar pada 28 April 1950, merupakan Putra sulung pasangan Bintang Amin dan Halimah.
Dalam perjalan hidupnya, Rusli Bintang pernah menjadi pengusaha warung kopi, buruh harian, buruh angkat pasir, penjaga gudang, mandor, hingga pada 1976 Rusli memutuskan menjadi wiraswastawan sebagai pemborong (kontraktor kecil-kecilan) di Banda Aceh membawa dirinya menuju kesuksesan.
Pada tahun 1980, ia bertemu dengan Profesor Ali Hasjmy, Gubernur Aceh periode 1957-1964 yang kala itu menjabat Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh pada tahun 1983. Hasil pertemuan itulah, Rusli Bintang mendirikan yayasan Abulyatama yang berarti ‘bapak anak yatim’.
Sebagai badan pendiri dan komisaris umum yayasan Abulyatama yang disahkan dalam bentuk akta notaris pada 31 Mei 1983 dan disempurnakan 18 Juli 1983. Rusli Bintang mempercayakan Profesor Ali Hasjmy menjadi ketua yasasan dan Joni Makmur sebagai sekretaris yayasan.
Yasayan inilah yang menjadi cikal bakal berdirinya sekolah dasar, sekolah menegah pertama, sekolah menengah atas, dan perguruan tinggi yang bernama Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Abulyatama yang saat ini telah ditingkatkan statusnya menjadi Universitas Abulyatama. STKIP Abulyatama pada saat itu menjadi perguruan tinggi swasta pertama di Aceh mendampingi dua perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Syiah Kuala dan IAIN Ar-Raniry.
Untuk terus mengembangkan mimpinya, pada 1993, Rusli Bintang Hijrah ke Lampung dan mendirikan Yayasan Alih Teknologi (Altek) Bandar Lampung. Maka lahirlah Universitas Malahayati Bandar Lampung pada Jumat, 27 Agustus 1993 dan di sahkan melalui SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No.02/D/0/1994 pada tanggal 28 Januari 1994. Tanggal inilah yang menjadi hari jadi berdirinya (Diesnatalis) Universitas Malahayati yang diperingati setiap tahunnya.
Rusli Bintang terus mengembangkan kiprahnya di dunia pendidikan, dengan mendirikan Universitas Batam pada tahun 2000 berdasarkan akta notaris 4 Mei 2000 melalui badan hukum Yayasan Griya Husada. Pada 2014, Rusli melanjutkan mendirikan Institut Kesehatan Indonesia (IKI) Jakarta pada 12 Agustus 2014 melalui Yayasan Nusa Bhakti Husada. Berkat Kiprahnya, tahun 2014 ia mendapat penghargaan sebagai tokoh pendidikan dari Pemerintah Kota Batam, Kepulauan Riau.
Tak sampai di situ, Rusli Bintang lalu mendirikan Universitas Kartamulia, di bawah naungan Yayasan Griya Gemintang Husada Sejahtera yang disahkan berdasarkan SK Menristekdikti Nomor 1041/KPT/I/2019, pada 18 Oktober 2019. (*)
Redaktur : Asyihin
Pekerjaan Besar Sang Guru Besar
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Akhir-akhir ini banyak media masa, baik online maupun konvensional, memperbincangkan Guru Besar. Keberagaman berita itu antara lain: adanya pejabat publik yang melobi kementerian tertentu agar supaya dirinya dapat menyandang guru besar; ada lagi berita disuatu universitas negeri yang ruang guru besarnya sepi, ada juga berita “nakal” yang memberitakan “kenakalan” oknum dalam mendapatkan status guru besar. Tampaknya jabatan guru besar akhir-akhir ini menjadi sangat seksi dimata beberapa orang. Lalu apa dan bagaimana guru besar itu sesungguhnya.
Dikutip dari berbagai sumber diperoleh informasi sebagai berikut: guru besar adalah istilah yang digunakan untuk menyebut seorang profesor, terutama dalam konteks pendidikan tinggi di Indonesia. Guru besar adalah jenjang akademik tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang dosen di perguruan tinggi. Untuk mencapai gelar ini, seseorang harus memiliki kualifikasi akademik yang tinggi, pengalaman mengajar yang luas, dan kontribusi yang signifikan dalam bidang penelitiannya. Semua itu dibuktikan dengan karya-karya yang nyata dan terukur; bahkan sekarang harus melalui suatu sistem penilaian yang sangat ketat, tidak jarang menjadi sangat membosankan.
Tugas dan peran guru besar meliputi: Pertama, Mengajar dan Membimbing, yaitu guru besar memiliki tanggung jawab utama dalam memberikan pengajaran dan bimbingan kepada mahasiswa, baik di tingkat sarjana maupun pascasarjana. Mereka diharapkan untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilan kepada mahasiswa serta membimbing mereka dalam penelitian dan pengembangan akademik.
Kedua, Penelitian, guru besar diharapkan aktif dalam melakukan penelitian di bidang keahliannya. Mereka harus menghasilkan karya ilmiah yang berkualitas dan dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah terkemuka, baik nasional maupun internasaional. Penelitian ini berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama pada bidang keahliannya.
Ketiga, Pengabdian kepada Masyarakat. Selain mengajar dan meneliti, guru besar juga berperan dalam pengabdian kepada masyarakat. Ini bisa berupa kegiatan yang menerapkan pengetahuan dan hasil penelitian untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis di tengah masyarakat.
Keempat, Pengembangan Kurikulum. Guru besar sering terlibat dalam pengembangan kurikulum dan program studi di institusi tempat mereka bekerja. Mereka memastikan bahwa materi yang diajarkan sesuai dengan perkembangan terbaru di bidang ilmunya.
Kelima, Kepemimpinan Akademik. Sebagai pemimpin akademik, guru besar sering terlibat dalam pengambilan keputusan penting di tingkat fakultas atau universitas. Mereka berkontribusi dalam perumusan kebijakan akademik dan administrasi.
Keenam, Publikasi dan Kolaborasi Internasional. Guru besar biasanya terlibat dalam kolaborasi dengan akademisi dan peneliti di tingkat internasional. Mereka sering menghadiri konferensi ilmiah dan seminar untuk mempresentasikan hasil penelitian mereka dan membangun jaringan profesional. Secara keseluruhan, guru besar selain mengemban tugas akademik, juga memiliki sejumlah tugas non-akademik yang penting dalam menunjang fungsi dan perkembangan institusi tempat mereka bekerja.
Adapun tugas non-akademik itu: Pertama, Administrasi dan Manajemen. Mengambil bagian dalam administrasi universitas atau fakultas, termasuk menjabat sebagai dekan, kepala departemen, atau posisi manajerial lainnya. Berpartisipasi dalam komite-komite universitas yang bertanggung jawab atas kebijakan, akreditasi, dan evaluasi program studi.
Kedua, Kepemimpinan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, yaitu membiimbing dan mengembangkan karier dosen-dosen muda dan staf akademik lainnya. Terlibat dalam perekrutan dan seleksi dosen baru serta memberikan penilaian terhadap kinerja staf akademik.
Ketiga, Kerjasama dengan Industri dan Lembaga Lain, yautu membangun dan memelihara hubungan kerja sama dengan industri, pemerintah, dan lembaga lainnya untuk mendukung penelitian, pengembangan kurikulum, dan peluang kerja bagi lulusan. Mengelola proyek-proyek penelitian dan pengembangan yang didanai oleh pihak eksternal.
Keempat, Pengembangan Institusi. Guru besar berperan dalam perencanaan strategis dan pengembangan jangka panjang institusi. Memberikan kontribusi dalam upaya peningkatan reputasi dan daya saing universitas di tingkat nasional dan internasional.
Kelima, Pengabdian kepada Masyarakat. Guru besar melibatkan diri dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang memanfaatkan keahlian akademik untuk memberikan solusi terhadap masalah-masalah sosial, ekonomi, atau lingkungan. Mengorganisir atau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, seperti seminar, workshop, atau program pelatihan.
Keenam, Promosi Ilmu Pengetahuan, yautu guru besar berkontribusi dalam penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi melalui media massa, ceramah umum, atau publikasi non-akademik. Aktif dalam organisasi profesi dan komunitas ilmiah untuk mendorong kemajuan bidang keahlian mereka.
Dengan menjalankan tugas-tugas non-akademik ini, guru besar tidak hanya berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan dan penelitian, tetapi juga membantu dalam pembangunan institusi yang lebih baik dan berdampak positif bagi masyarakat luas.
Guru besar memiliki peran penting dalam mendiseminasikan nilai-nilai akademik, moral, dan etika kepada mahasiswa, rekan kerja, dan masyarakat luas. Berikut adalah beberapa cara guru besar melaksanakan tugas ini: Pertama, Melalui Pengajaran: Integrasi Nilai dalam Kurikulum: Guru besar mengintegrasikan nilai-nilai akademik, etika, dan moral dalam materi kuliah dan diskusi kelas. Mereka menekankan pentingnya integritas akademik, kejujuran, kerja keras, dan tanggung jawab.
Kedua, Teladan dalam Kelas: Sebagai panutan, guru besar menunjukkan sikap dan perilaku yang mencerminkan nilai-nilai positif seperti rasa hormat, kesopanan, dan dedikasi, menegakkan aturan akademik secara benar.
Ketiga, Melalui Penelitian: yang meliputi (1). Etika Penelitian: Guru besar memastikan bahwa semua penelitian yang dilakukan mengikuti standar etika yang tinggi, termasuk dalam hal pengumpulan data, analisis, dan publikasi hasil. Mereka mengajarkan pentingnya transparansi, akurasi, dan penghindaran plagiarisme. (2). Tema Penelitian yang Bermanfaat: Mereka memilih topik penelitian yang memiliki dampak positif bagi masyarakat, seperti penelitian yang berfokus pada isu-isu sosial, kesehatan, lingkungan, dan teknologi yang berkelanjutan.
Keempat, Melalui Pengabdian kepada Masyarakat: meliputi, Program Sosial dan Edukasi: Guru besar terlibat dalam program-program yang mendiseminasikan nilai-nilai kemanusiaan dan kesadaran sosial. Mereka berpartisipasi dalam kegiatan pengabdian masyarakat yang mendidik dan memberdayakan komunitas. Dan, melalui Ceramah dan Workshop: Mereka memberikan ceramah dan mengadakan workshop yang menekankan pentingnya nilai-nilai etis dalam kehidupan profesional dan pribadi.
Kelima, Melalui Kepemimpinan Akademik: meliputi (1) Membangun Budaya Akademik: Guru besar berperan dalam menciptakan dan memelihara budaya akademik yang positif di institusi mereka, yang menekankan nilai-nilai kerjasama, inklusivitas, dan keunggulan. (2) Mentoring dan Pembimbingan: Mereka membimbing dosen muda dan mahasiswa pascasarjana, menanamkan nilai-nilai profesionalisme, etika kerja, dan komitmen terhadap ilmu pengetahuan.
Keenam, Melalui Publikasi dan Komunikasi: meliputi (1) Artikel dan Buku: Guru besar menulis artikel, buku, dan publikasi lainnya yang tidak hanya menyampaikan pengetahuan ilmiah tetapi juga nilai-nilai etika dan moral. (2) Media Massa dan Sosial: Mereka menggunakan platform media massa dan media sosial untuk menyebarkan pesan-pesan yang mengandung nilai-nilai positif kepada masyarakat luas.
Dengan cara-cara tersebut, guru besar tidak hanya berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan tetapi juga pada pembentukan karakter dan nilai-nilai yang penting bagi perkembangan individu dan masyarakat. Termasuk didalamnya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran, keterbukaan, taat aturan.
Pertanyaan berikutnya ialah, apakah setelah membaca, memahami dan merenungkan betapa beratnya tugas pokok dan fungsi jabatan guru besar dengan segala konsekuensinya itu, masih ada oknum yang kurang kerjaan ingin menjadi guru besar melalui jalan pintas; sehingga mengabaikan etika dan norma akademik. Jika jawabannya “ada” maka sebenarnya yang bersangkutan harus introspeksi dulu, apakah niatnya itu murni dari hati kecil atau dari hati tetangga.
Sementara, jika ada Guru Besar yang benar sudah meraih jabatan ini dengan benar, maka bersiaplah sejatinya anda tidak bisa berhenti berfikir untuk memberikan yang terbaik bagi negeri ini, diantaranya melalui tulisan, gagasan dan ide-ide cemerlang lainnya; sampai ajal menjemput…..Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mengejar Asa
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat diundang oleh organisasi guru terbesar di negeri ini, saya diminta memberikan semacam “tauziah” atau wejangan. Karena pertemuan itu dalam rangka “penjaringan” dan dilanjutkan “penyaringan” bakal calon pimpinan organisasi untuk periode ke depan, maka ular-ularpun diberikan yang berkaitan dengan kedewasaan berorganisasi. Hal itu mengingat banyak di antara kita sering memaknai demokrasi masih kurang tepat. Salah satu di antaranya adalah yang berbeda itu adalah lawan. Padahal, perbedaan itu justru menunjukkan tumbuhkembangnya demokrasi.
Menjadi menarik karena banyak fenomena yang muncul sebagai dinamika organisasi tertua itu. Di antaranya bagaimana di antara anggotanya berkeinginan untuk mengejar asa dengan caranya. Ada yang sudah berposisi di samping, ingin pindah ke tengah. Ada yang sudah di tengah ingin pindah ke atas. Ada yang sudah di atas ingin turun ke bawah. Semua itu sah-sah saja asal “benar” dan “betul”. Karena bisa jadi benar tetapi tidak betul, betul tetapi tidak benar, atau tidak betul dan tidak benar. Untuk mencapai derajat betul dan benar itulah diperlukan aturan. Jika ada perselisihan dalam memaknai aturan itu diselesaikan dengan cara musyawarah dan mufakat. Tidak ketemu juga jalannya, maka persoalan diserahkan kepada jenjang diatasnya.
Sebelum lebih jauh kita mendiskusikan hal di atas, terlebih dahulu kita menemukenali apa yang dimaksud dengan mengejar asa. Mengejar asa berarti mengejar harapan, cita-cita, atau impian. Frasa ini sering digunakan untuk menggambarkan usaha seseorang dalam meraih tujuan atau harapan yang telah mereka tetapkan. Oleh karena itu, agar upaya tadi dapat berhasil dicapai dengan baik, maka diperlukan aturan yang benar dan betul.
Secara filosofis, perbedaan antara “benar” dan “betul” dapat dilihat dari aspek epistemologi (teori pengetahuan) dan ontologi (teori keberadaan) serta konteks budaya dan bahasa.
Mari kita telaah lebih dalam: Dalam epistemologi, “benar” sering kali dikaitkan dengan konsep kebenaran objektif. Ini berarti sesuatu dianggap benar jika sesuai dengan fakta atau realitas yang ada. Kebenaran objektif biasanya diverifikasi melalui metode ilmiah atau logika yang ketat, atau tataaturan yang telah disepakati dan diformulasikan sebagai azaz yang harus dipatuhi oleh lingkup yang menggunakannya. Sedangkan “betul” dapat lebih berhubungan dengan kebenaran subjektif atau intersubjektif, yang artinya sesuai dengan persepsi atau kesepakatan bersama. Ini bisa melibatkan aspek penilaian, persetujuan sosial, atau consensus; dasarnya adalah musyawarah untuk mufakat.
Secara ontologis, “benar” bisa berkaitan dengan keberadaan dan esensi sesuatu yang nyata dan ada. Mengacu pada sesuatu yang memiliki eksistensi nyata dan dapat dibuktikan keberadaannya. Sedangkan “Betul” dapat lebih mengarah pada kesesuaian atau kelayakan dalam konteks tertentu. Ini tidak selalu harus bersifat universal tetapi dapat diterima dalam situasi tertentu.
Mengacu pada konteks budaya dan bahasa,”benar” dan “betul” bisa menunjukkan cara pandang yang berbeda terhadap kebenaran. “Benar” lebih formal dan mungkin menunjukkan penilaian yang lebih ketat dan objektif karena dasarnya parameter yang disepakati. Sedangkan “betul” Lebih kasual dan fleksibel, dan sering digunakan untuk menyatakan persetujuan atau konfirmasi.
Oleh karena itu, benar dan betul sering terkait dengan marwah organisasi; konsekwensinya anggota dan seluruh unsur yang terkait didalam organisasi itu harus selalu menjaga diri agar selalu ada pada posisi benar dan betul. Manakala ada perbedaan diantara keduanya, harus ada rasionalitas sebagai alasan yang mendukungnya. Tanpa itu semua organisasi apapun nama dan tujuannya, akan kehilangan kepercayaan dari para pendukungnya.
Banyak contoh yang dapat kita lihat di negeri ini. Misalnya pada masa lalu ada organisasi politik yang begitu besar dan berwibawa, bahkan setiap pemilihan umum selalu keluar sebagai pemenang, malah sebelum digelar pemilihan umum, organisasi ini sudah menang duluan. Seiring perjalanan wakt, begitu anggotanya ada yang berposisi membedakan antara benar dan betul, maka mulailah satu persatu anggotanya rontok, bahkan membuat organisasi baru sebagai organisasi tandingan.
Mengejar asa itu boleh, tetapi berputus asa itu jangan; sebab manakala kita mengejar asa tidak kesampaian itu bukan berarti gagal, tetapi Tuhan ingin menunjukkan kekuasaan atas mahluknya; Demikian halnya jika saat kita sukses mengejar asa, bukan berarti kita harus bangga dan bertepuk dada; sebab jangan-jangan itu cara Tuhan menguji kita dalam menerima karunia-Nya. Agama mengajarkan “jika kita berhasil bersyukurlah, jika kita gagal bersabarlah” karena hanya Tuhan penentu segalanya. Salam waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Rektor Universitas Malahayati Terima Kunjungan Pemimpin Lampung Post, Bahas Penghargaan Nasional
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, Dr. Achmad Farich, dr., MM, menerima kunjungan Pemimpin Perusahaan Lampung Post, Iskandar Zulkarnain, dan Pemimpin Redaksi, Abdul Gofur, di Gedung Rektorat Universitas Malahayati lantai 5, Jumat (5/7/2024).
Kunjungan itu untuk membahas rencana kerjasama “Ayo sehat segera berobat” dalam rangkaian hari jadi Surat Kabar Harian Lampung pasca dan Dies Natalis Universitas Malahayati Bandar Lampung.
Selain itu, salah satu topik yang menjadi diskusi ialah terkait penghargaan Dharma Karya Kencana Nasional yang diterima Rektor Universitas Malahayati dari BKKBN pada peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) di Semarang, Jumat, 28 Juni 2024.
Penghargaan ini diberikan atas keberhasilan universitas dalam terlibat aktif dalam percepatan penurunan stunting di Lampung.
Dr. Achmad Farich menyatakan bahwa pengentasan stunting merupakan bagian dari peran perguruan tinggi dalam mempersiapkan generasi emas 2045.
Upaya tersebut dilakukan melalui berbagai langkah strategis, salah satunya melibatkan peran siswa dan dosen yang turun ke daerah-daerah untuk memberikan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat.
“Upaya itu melalui program kuliah kerja lapangan (KKL) serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat,” jelas Dr. Achmad Farich.
Dia juga menyebutkan bahwa sekitar 600 mahasiswa dari 20 program studi setiap tahunnya terlibat dalam program tersebut, dengan sasaran tidak hanya ibu-ibu, tetapi juga bapak-bapak yang turut serta dalam menyukseskan program kesehatan bagi perkembangan anak-anak dan keluarga di sekitarnya.
Dr. Achmad Farich menekankan bahwa persiapan menuju generasi emas yang unggul harus dimulai sejak sebelum menikah, mencakup pemilihan pasangan yang sehat, proses kehamilan, menyusui, hingga perkembangan anak.
Berdasarkan hasil kajian, tingginya kasus stunting di Indonesia disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat, terutama dalam 1.000 hari kehidupan awal.
“Keberhasilan untuk mencapai Indonesia emas 2045 harus dimulai hari ini. Kita perlu berperilaku sehat dan selalu mengonsumsi makanan yang bergizi,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa pengidap stunting tidak terlepas dari pemenuhan gizi dan makanan yang sehat.
Universitas Malahayati saat ini terus mengembangkan produk dari daun kelor yang mengandung banyak khasiat.
Tanaman ini diolah menjadi berbagai makanan sehat, seperti biskuit, kue, dan aneka cemilan.
“Ternyata banyak makanan di sekitar kita yang justru lebih murah dan memiliki kandungan gizi yang tinggi, salah satunya daun kelor. Ini perlu dikembangkan di masyarakat sehingga mereka bisa mengolah dan memanfaatkannya sendiri,” tutupnya. (*)
Editor : Asyihin