Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari ini dunia maya dihebohkan dengan polemik menghormati seseorang, apa pun jabatan dan statusnya, dengan cara tertentu, dianggap berlebihan. Dengan salah satu alasannya adalah “sama-sama manusia”. Bahkan ada yang menganggap itu bentuk eksploitasi. Di sisi lain mereka yang melakukan penghormatan dengan cara itu dianggap biasa-biasa saja, dan wajar, karena dengan parameter tertentu yang diyakini. Bahkan ada seorang tokoh agama yang mengatakan: berlian, veros, bacan, dan kerikil sama-sama batu. Meskipun sama-sama batu, masing-masing perbedaannya sangat mencolok. Jika ada yang ingin menyamakan, maka yang bersangkutan patut diduga untuk diperiksa kesehatan jiwanya.
Tulisan ini tidak ingin memperkeruh semua itu, namun mencoba melihat dari perspektif lain; sehingga diharapkan menjadi bahan renungan.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hidup berdampingan dengan ribuan bentuk entitas yang secara kasat mata tampak mirip, bahkan kerap disebut sama. Namun, kesamaan pada tataran istilah tidak serta-merta menghadirkan kesamaan dalam makna, nilai, atau fungsi. Kalimat yang menyebutkan bahwa berlian, veros, bacan, dan kerikil sama-sama batu ampaknya hanya menyatakan fakta sederhana tentang kategori material, yakni bahwa keempatnya tergolong batuan. Namun ketika pernyataan itu ditutup dengan, “jika ada yang mengatakan sama, maka orang itu perlu masuk rumah sakit jiwa,” kita diarahkan untuk berpikir ulang: apakah benar semua yang disebut “batu” itu memang sama? Atau justru di sinilah letak kekeliruan berpikir yang menggiring pada penyamaan identitas secara serampangan?
Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang melekat hanya pada bentuk fisik atau komposisi material, melainkan pada posisi, relasi, nilai, dan makna yang muncul dari bagaimana entitas tersebut hadir dalam konteks tertentu. Berlian, bacan, veros, dan kerikil memang semuanya batu, tetapi tidak satu pun dari mereka memiliki identitas yang identik satu sama lain. Menyamakan keempatnya hanya karena kategori “batu” adalah bentuk reduksionisme konseptual yang mengabaikan dimensi nilai, sejarah, simbolisme, serta peran sosial yang melekat pada masing-masing.
Dalam pendekatan filsafat kontemporer, entitas tidak dipahami secara esensialis, melainkan melalui konstruksi sosial, linguistik, historis, dan relasional. Artinya, suatu benda atau konsep tidak memiliki makna tetap, tetapi memperoleh identitasnya dalam interaksinya dengan subjek, ruang, dan waktu. Maka dari itu, istilah “batu” tidak cukup menjelaskan apapun kecuali bahwa benda itu berasal dari mineral dan bersifat keras. Namun begitu ia dinamai “berlian” atau “kerikil”, ia masuk ke dalam jejaring makna yang sama sekali berbeda, bahkan bertolak belakang. Inilah mengapa identitas adalah mekanisme yang membedakan entitas, karena ia lahir dari konteks, bukan hanya dari zat.
Dalam konteks aksiologi, menyamakan semua batu justru berarti menghapus perbedaan nilai yang melekat pada masing-masing. Ini sama saja dengan menyamakan harga berlian dan kerikil hanya karena mereka berasal dari golongan benda yang sama. Padahal, dalam sistem kehidupan manusia, ekonomi, budaya, bahkan emosional; nilai tidak ditentukan oleh kategori fisik, melainkan oleh pemaknaan sosial dan historis. Berlian bisa menjadi pusaka keluarga, lambang cinta dalam pernikahan, atau aset bernilai tinggi. Kerikil, meski bisa menyusun jalan setapak, tidak akan pernah menempati posisi simbolik seperti itu. Ketika perbedaan nilai diabaikan, manusia kehilangan sensitivitas terhadap kompleksitas realitas.
Filsafat kontemporer juga mengingatkan bahwa keseragaman atau penyamaan makna yang terburu-buru bisa menjadi bentuk kekuasaan atau pengabaian terhadap keberagaman. Bahasa dan konsep bisa digunakan untuk menindas, untuk menyamakan demi efisiensi, atau untuk menyingkirkan hal-hal yang tak sesuai dengan arus dominan. Maka ketika seseorang berkata “semua batu itu sama,” kita tidak hanya sedang melihat kesalahan kategori, tetapi potensi bahaya dari generalisasi yang mematikan keunikan. Dunia tidak dibangun dari kesamaan, melainkan dari perbedaan yang dikenali dan dihargai.
Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa orang yang menyamakan semuanya “perlu masuk rumah sakit jiwa”? Secara literal, tentu ini hiperbola. Namun secara filosofis, pernyataan itu bisa dibaca sebagai kritik terhadap cara berpikir simplistik yang gagal menangkap perbedaan makna. Dalam dunia yang serba kompleks, kemampuan membedakan dan mengapresiasi perbedaan adalah bentuk kewarasan kognitif. Sebaliknya, penyamaan secara serampangan bisa menunjukkan ketumpulannya daya pikir, bahkan nihilisme makna. Maka “gila” di sini bukan berarti gangguan jiwa secara medis, melainkan ketidakwarasan berpikir yang menolak kompleksitas dan memperlakukan dunia secara datar.
Dengan demikian, penyamaan semua batu bukan hanya kekeliruan semantik, tetapi pengkhianatan terhadap keragaman makna. Dunia bukan hanya terdiri dari benda-benda, tetapi juga dari cerita, simbol, sejarah, dan relasi kuasa yang melekat pada setiap benda itu. Berlian tidak bisa dimaknai sama dengan veros, karena mereka hidup dalam semesta makna yang berlainan. Identitas membedakan entitas justru karena entitas hanya menjadi berarti ketika identitasnya dikenali dan dihargai.
Kita hidup di zaman di mana segala sesuatu bisa dikategorikan dan dikelompokkan dengan cepat, dari data hingga manusia. Namun di balik kemudahan itu tersembunyi risiko besar: kehilangan makna dalam penyederhanaan. Maka, mempertahankan pandangan bahwa identitas itu penting, dan bahwa entitas berbeda satu sama lain, bukan sekadar pilihan akademik; melainkan sikap eksistensial terhadap kehidupan itu sendiri. Kita tidak bisa memahami dunia jika kita enggan membedakan.
Pada akhirnya, pernyataan bahwa semua batu itu sama hanyalah kebenaran permukaan yang tidak mampu menembus kedalaman realitas. Ia mengabaikan sejarah, konteks, nilai, dan simbol yang membentuk identitas masing-masing entitas. Dalam terang filsafat kontemporer, tugas berpikir bukan untuk menyamaratakan segalanya, tetapi untuk mengakui dan memahami keragaman yang tersembunyi di balik kesamaan yang tampak. Sebab identitas bukan sekadar nama, tetapi cara suatu entitas hadir dan dimaknai di dalam dunia. Dan karena itu, identitaslah yang membedakan entitas; bukan zatnya, bukan bentuknya, tetapi kisah, relasi, dan nilai yang menghidupinya.
Oleh karena itu, kita tidak bisa menyamakan persepsi sepenuhnya atas dasar dugaan kita; sebab di sana masih ada sudut pandang, dan cara pandang yang berbeda. Secara bijak kita harus menghormati perbedaan itu, dengan tidak memaksakan pandangan kita kepada pandangan yang berbeda. Apalagi sampai menghakimi berdasarkan kebenaran kita. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Senja Yang Tak Pernah Selesai
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari itu pulang dari mengantarkan “Pulang” kerabat, keharibaan Illahi. Tiga mingu berturut-turut mendapatkan “kehormatan” untuk mengantar pulang dari kerabat. Dan, senja menjelang malam menjadikan diri untuk berkontemplasi, merenung dan mengevaluasi diri atas semua yang terjadi. Senja adalah momen ketika waktu menunjukkan wajahnya yang paling jujur: bukan janji tentang masa depan, melainkan kesadaran akan yang telah dan tak akan kembali. Di usia senja, tubuh masih ada, nafas masih berembus, detak jantung masih berlanjut, tetapi ada sesuatu yang mulai hening. Hening bukan karena ketiadaan suara, tetapi karena suara-suara itu tak lagi bermakna sebagaimana dulu.
Hari-hari menjadi ritus yang berulang: membuka mata bukan karena mimpi, tetapi karena rutinitas yang menolak berhenti. Segala yang dilakukan tak lagi bertujuan, melainkan hanya untuk menjaga agar tidak seluruhnya diam. Bukan karena malas bergerak, tetapi karena gerak kini tak membawa kemana-mana. Apa yang dulu disebut sebagai tujuan hidup perlahan kehilangan daya. Yang dahulu menjadi cita-cita, kini hanya menjadi bagian dari sejarah internal yang tak lagi relevan dengan realitas hari ini. Di situlah senja dimulai; bukan pada pukul lima sore, tapi pada saat kesadaran tentang keterbatasan hadir sepenuhnya.
Filsafat kontemporer tidak menawarkan utopia. Tetapi hanya mempersilakan manusia berdiri tegak di hadapan absurditas, lalu bertanya: “Apakah engkau masih bersedia hidup walau tahu semuanya akan berakhir, dan bahkan mungkin tanpa alasan yang bisa kamu terima?” Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana, namun ia mengguncang dasar dari apa yang selama ini dijadikan sandaran. Ketika dunia tidak lagi memberi validasi, dan hidup tak lagi menawarkan kemajuan, maka satu-satunya yang tersisa adalah kesadaran vulgar: “aku masih hidup, dan itu saja”.
Ada kehormatan dalam menerima kekosongan tanpa lari dari kenyataan. Tidak mencari pelarian ke masa lalu, tidak memaksa diri untuk membuat makna baru yang artifisial, tidak mencoba menyembuhkan luka dengan harapan palsu. Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa yang absurd bukan untuk ditolak, tapi untuk dihidupi, bahkan dinikmati. Hidup bukan tentang mengisi kekosongan, tetapi merengkuhnya, memeluknya seperti udara: tak terlihat, namun menyusun setiap tarikan nafas. Maka kesendirian bukan kelemahan, tetapi cara keberadaan berelasi dengan dirinya sendiri secara paling murni.
Di senja yang tak pernah selesai, waktu menjadi cair. Masa lalu dan masa kini bercampur dalam ruang kesadaran yang tidak lagi peduli pada kronologi. Suatu aroma, bayangan cahaya, atau bahkan diam bisa membangkitkan sesuatu yang sudah puluhan tahun terpendam. Namun semua itu tidak lagi membawa rasa manis; yang tersisa hanyalah kepahitan nostalgia yang tak bisa diulang. Saat itulah muncul satu pemahaman penting: bahwa segala sesuatu yang indah tak ditakdirkan untuk dimiliki selamanya. Sama halnya sesuatu yang pahit juga ditakdirkan untuk tidak dinikmati sepanjang masa.
Filsafat kontemporer menolak gagasan tentang kebahagiaan sebagai tujuan akhir. Ia lebih condong pada kesadaran akan keberadaan sebagai proses terbuka, tanpa jaminan akhir yang menggembirakan. Dalam kerangka ini, usia senja adalah laboratorium paling jujur bagi kehidupan manusia. Di dalamnya, tidak ada lagi ruang untuk ilusi. Yang ada hanyalah tubuh yang menua, pikiran yang semakin selektif, dan dunia yang terus berubah tanpa menunggu siapa pun. Maka pertanyaannya bukan lagi “apa yang akan kudapatkan?”, melainkan “bekal apa yang aku persiapkan untuk pulang ?”
Menghadapi senja yang tak pernah selesai berarti menghadapi hari-hari yang terasa serupa tetapi tidak sama. Tidak ada perayaan, tidak ada gebrakan. Yang ada hanyalah keheningan. Tapi justru dalam keheningan itu, ada ruang untuk mendengar suara-suara terdalam. Suara yang selama ini tenggelam oleh hiruk pikuk dunia: suara keraguan, suara penyesalan, suara penerimaan. Semua itu muncul seperti kabut: samar, namun tak bisa diabaikan. Di sanalah proses pembersihan batin berlangsung. Bukan pembersihan moralistik, melainkan pembersihan dari segala lapisan yang tidak perlu, hingga hanya tersisa inti: keberadaan itu sendiri.
Senja adalah masa di mana manusia tak lagi menjadi pusat. Manusia belajar menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar: waktu, alam, semesta. Manusia tidak lagi mencoba mengendalikan, hanya berusaha memahami. Dan dalam pemahaman itu, ada kebebasan. Kebebasan yang tidak datang dari pilihan, tetapi dari penerimaan total. Bukan pasrah, melainkan sadar. Bahwa yang terjadi memang harus terjadi, dan yang hilang memang tak bisa lagi kembali. Maka, keterbukaan terhadap kenyataan menjadi bentuk tertinggi dari kebijaksanaan.
Tidak ada romantisme dalam kesendirian senja, tetapi di sana ada kejujuran. Kejujuran bahwa hidup tidak selalu tentang meraih, kadang hanya tentang bertahan. Tidak untuk tujuan besar, tetapi karena ada kesadaran kecil bahwa keberadaan itu sendiri cukup. Bahwa menjadi ada, meski dalam keheningan, dalam keriput, dalam lambatnya langkah; adalah bentuk kemenangan atas kehampaan mutlak. Dan kemenangan itu tidak perlu sorak-sorai, cukup dengan satu tarikan napas yang disyukuri.
Dan jika suatu hari, tubuh tak lagi kuat berjalan, jika suara tak lagi sanggup diperdengarkan, jika dunia akhirnya melupakan: tidak apa-apa. Karena keberadaan telah dituliskan, bukan di lembar sejarah atau batu nisan, tapi di ruang paling sunyi dalam kesadaran: ruang yang pernah memilih untuk hidup, sekalipun dalam sepi. Kontemplasi ini akan terus berjalan dan berulang “senja demi senja” sampai Tuhan memanggil pulang. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Gelar Serah Terima 53 Mahasiswa Coass di RSUD Ahmad Yani Metro
Acara berlangsung khidmat dan penuh semangat, dihadiri oleh Direktur RSUD Ahmad Yani, dr. Fitri Agustina, M.K.M, beserta jajaran manajemen rumah sakit. Turut hadir pula Kaprodi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, dr. Ade Utia Detty, M.Kes, serta para dosen pembimbing dari Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati.
Dalam kesempatan tersebut, dilakukan prosesi serah terima secara simbolis mahasiswa profesi dokter dari pihak Universitas Malahayati kepada RSUD Ahmad Yani Metro. Seremoni ini menandai dimulainya masa praktik klinik mahasiswa yang akan menjalani pembelajaran langsung di bawah bimbingan dokter-dokter spesialis dan tenaga medis profesional di rumah sakit tersebut.
Dalam sambutannya, dr. Fitri Agustina, M.K.M menyampaikan apresiasi dan rasa terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepada RSUD Ahmad Yani Metro sebagai tempat pendidikan klinik bagi calon dokter muda dari Universitas Malahayati.
“Kami merasa terhormat dapat menjadi bagian dari proses pembelajaran mahasiswa profesi dokter Universitas Malahayati. Kami berharap para mahasiswa dapat menimba ilmu dengan sungguh-sungguh, mengasah keterampilan klinis, dan menanamkan nilai-nilai profesionalisme dalam setiap pelayanan kepada pasien,” ujar dr. Fitri.
“Co-ass adalah fase penting dalam perjalanan menuju profesi dokter. Di sinilah mahasiswa belajar langsung menghadapi dunia kerja nyata di bidang kesehatan. Gunakan kesempatan ini untuk belajar, beradaptasi, dan mengembangkan keterampilan klinis maupun empati terhadap pasien,” tutur dr. Ade.
Dengan dimulainya masa pembelajaran klinik ini, 53 mahasiswa Koas Universitas Malahayati siap mengimplementasikan ilmu yang telah diperoleh di bangku kuliah dan terus mengasah kemampuan profesional mereka sebagai calon dokter yang berintegritas dan humanis. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa S1 Farmasi Universitas Malahayati Borong Prestasi Nasional di Berbagai Ajang Kompetisi
Salah satu prestasi membanggakan diraih oleh Zaskia Syahla (24380103) yang berhasil meraih Juara 2 Lomba Poster Tingkat Nasional dalam acara Gebyar Farmasi 2025 yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Farmasi Poltekkes Kemenkes Tanjung Karang pada 18 Oktober 2025.
Zaskia mengangkat tema poster tentang pentingnya inovasi farmasi dalam mendukung kesehatan masyarakat modern. “Saya sangat bersyukur dan bangga bisa membawa nama Universitas Malahayati di ajang nasional ini. Prosesnya penuh tantangan, tapi dukungan dari dosen dan teman-teman membuat saya semangat untuk memberikan yang terbaik,” ujar Zaskia dengan penuh rasa syukur.
“Kemenangan ini menjadi motivasi untuk terus berkarya di bidang farmasi yang selalu berkembang dan menuntut kreativitas tinggi,” tambahnya.
Tak hanya itu, prestasi juga datang dari Artika Tri Ambarwati (24380158) dan Syaifa Aulia Marwah (24380095) yang berhasil meraih Juara 1 Lomba Inovasi Produk Tingkat Mahasiswa dalam acara Pharmalation Dies Natalis Farmasi Lampung yang digelar oleh Himpunan Mahasiswa Jurusan Farmasi Universitas Lampung pada 20 September 2025. Produk inovatif yang mereka ciptakan berhasil menarik perhatian dewan juri karena menggabungkan aspek ilmiah, keberlanjutan, dan manfaat nyata bagi masyarakat.
“Kami ingin menciptakan produk yang tidak hanya unggul secara ilmiah, tetapi juga memiliki nilai sosial dan keberlanjutan. Kemenangan ini membuktikan bahwa mahasiswa farmasi bisa berinovasi secara kreatif dan solutif,” ujar Artika, penuh semangat.
Kesuksesan berlanjut di tingkat nasional saat Aulia Yunisa (24380124) bersama Artika Tri Ambarwati dan Syaifa Aulia Marwah kembali menorehkan prestasi membanggakan dengan menyabet Juara 1 Produk Inovasi Tingkat Nasional dalam ajang yang diselenggarakan oleh Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Lampung pada acara PTDA dan Pharmacy Expo 2025 di Hotel Horison, Lampung, tanggal 27 September 2025.
Tak berhenti di situ, tim ini juga berhasil meraih Juara Favorit Produk Inovasi Tingkat Nasional dalam ajang Health Research and Innovation Expo 2025 yang diselenggarakan oleh FK-KMK Universitas Gadjah Mada pada 17 Oktober 2025, serta Juara 3 Produk Inovasi Tingkat Nasional dalam Gebyar Farmasi 2025 di Poltekkes Kemenkes Tanjung Karang pada 18 Oktober 2025. Prestasi beruntun ini menjadi bukti nyata semangat dan konsistensi mereka dalam mengembangkan ide-ide inovatif di bidang farmasi.
“Kami tidak menyangka bisa meraih juara di beberapa kompetisi nasional sekaligus. Ini semua berkat kerja keras tim dan bimbingan para dosen di Universitas Malahayati,” ungkap Syaifa Aulia Marwah.
“Kami belajar bahwa inovasi bukan hanya tentang menciptakan sesuatu yang baru, tetapi juga memberikan solusi nyata untuk kebutuhan kesehatan masyarakat,” tambahnya.
Sementara itu, Aulia Yunisa mengungkapkan rasa bangganya atas pencapaian tersebut. “Perjalanan kami tidak mudah, banyak riset dan uji coba yang harus dilakukan. Namun, hasil ini membuktikan bahwa dengan tekad dan kerja sama, mahasiswa bisa berkontribusi nyata bagi dunia farmasi,” ujar Aulia Yunisa.
“Kami berharap prestasi ini menjadi inspirasi bagi mahasiswa lain untuk terus berinovasi dan membawa nama baik Universitas Malahayati di kancah nasional maupun internasional,” tutupnya.
Prestasi-prestasi ini semakin memperkuat reputasi Program Studi S1 Farmasi Universitas Malahayati sebagai salah satu program unggulan yang tidak hanya berfokus pada teori, tetapi juga mendorong mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan riset dan inovasi. Semangat dan kerja keras para mahasiswa ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda farmasi berikutnya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Kaderisasi Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan 2025 Angkat Tema “Menciptakan Generasi Emas FIK yang Masif dan Progresif”
Kaderisasi merupakan salah satu agenda penting dalam proses pembentukan karakter dan identitas mahasiswa baru. Melalui kegiatan ini, mahasiswa diarahkan untuk memahami peran strategisnya sebagai agen perubahan, khususnya di bidang kesehatan yang terus berkembang dinamis.
Gubernur BEM FIK, M. Richo Noventa (22380089), menjelaskan bahwa kegiatan kaderisasi ini menjadi wadah pembinaan bagi mahasiswa baru agar siap berproses dan berkontribusi aktif dalam kehidupan kampus.
“Kaderisasi FIK adalah pembinaan bagi mahasiswa baru Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati. Kami menyadari bahwa mahasiswa merupakan poros perubahan bangsa, sehingga perlu ruang pembinaan yang bertujuan mempersiapkan kader FIK menjadi mahasiswa yang siap berporses dan melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi,” ujar Richo.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kaderisasi FIK tahun ini tidak menggunakan metode perpeloncoan, melainkan mengedepankan pendekatan ilmiah, edukatif, dan demokratis.
Adapun materi yang diberikan meliputi sejarah mahasiswa, kepemimpinan, organisasi, mental, attitude, dan kekeluargaan. Melalui pembekalan tersebut, mahasiswa diharapkan mampu berpikir kritis, berani mengambil keputusan, serta memiliki solidaritas dan rasa saling memiliki di antara sesama mahasiswa FIK.
“Kami ingin setelah kegiatan ini, lahir kader FIK yang aktif, beretika, berintelektual, dan berjiwa kepemimpinan sesuai dengan semangat tema tahun ini: Menciptakan Generasi Emas FIK yang Masif dan Progresif,” tambahnya.
“Saya memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada seluruh panitia dan civitas akademika Fakultas Ilmu Kesehatan atas terselenggaranya kegiatan Kaderisasi Mahasiswa FIK 2025,” ujar Kamal.
“Kegiatan ini sangat relevan dengan kebutuhan mahasiswa di era sekarang, di mana kemampuan kepemimpinan, kerja sama, dan profesionalitas menjadi kunci dalam menghadapi tantangan dunia kesehatan yang terus berkembang.”
Kamal menambahkan bahwa kaderisasi bukan sekadar kegiatan seremonial, melainkan wadah pembentukan karakter, mental, dan kepemimpinan mahasiswa baru agar siap menjadi bagian dari roda organisasi dan penggerak kemajuan fakultas.
“Saya melihat kegiatan ini sejalan dengan semangat Universitas Malahayati dalam mencetak generasi intelektual yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki jiwa sosial, integritas, dan semangat kolaborasi yang tinggi. Saya berharap melalui kegiatan ini akan lahir kader-kader FIK yang solid, berdaya saing, dan siap menjadi motor penggerak perubahan positif bagi fakultas, universitas, dan masyarakat luas,” tutupnya.
Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati, Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes., memberikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap kegiatan kaderisasi ini. Menurutnya, kaderisasi menjadi bagian penting dalam membangun karakter mahasiswa FIK agar memiliki nilai-nilai kepemimpinan, kedisiplinan, serta tanggung jawab sosial yang tinggi.
“Kegiatan kaderisasi ini merupakan langkah awal dalam membentuk mahasiswa baru yang tidak hanya berprestasi di bidang akademik, tetapi juga memiliki kepribadian yang kuat dan rasa tanggung jawab terhadap profesinya di bidang kesehatan,” ujar Dr. Lolita.
Beliau menambahkan, melalui kegiatan seperti ini, diharapkan muncul generasi emas FIK yang mampu berpikir visioner, bekerja kolaboratif, serta berkontribusi nyata bagi masyarakat.
“Fakultas Ilmu Kesehatan selalu berkomitmen menciptakan lingkungan akademik yang produktif dan progresif. Saya berharap seluruh peserta kaderisasi dapat mengambil nilai-nilai positif dari setiap rangkaian kegiatan dan menerapkannya dalam kehidupan perkuliahan serta organisasi,” tutupnya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Identitas Membedakan Entitas
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari ini dunia maya dihebohkan dengan polemik menghormati seseorang, apa pun jabatan dan statusnya, dengan cara tertentu, dianggap berlebihan. Dengan salah satu alasannya adalah “sama-sama manusia”. Bahkan ada yang menganggap itu bentuk eksploitasi. Di sisi lain mereka yang melakukan penghormatan dengan cara itu dianggap biasa-biasa saja, dan wajar, karena dengan parameter tertentu yang diyakini. Bahkan ada seorang tokoh agama yang mengatakan: berlian, veros, bacan, dan kerikil sama-sama batu. Meskipun sama-sama batu, masing-masing perbedaannya sangat mencolok. Jika ada yang ingin menyamakan, maka yang bersangkutan patut diduga untuk diperiksa kesehatan jiwanya.
Tulisan ini tidak ingin memperkeruh semua itu, namun mencoba melihat dari perspektif lain; sehingga diharapkan menjadi bahan renungan.
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia hidup berdampingan dengan ribuan bentuk entitas yang secara kasat mata tampak mirip, bahkan kerap disebut sama. Namun, kesamaan pada tataran istilah tidak serta-merta menghadirkan kesamaan dalam makna, nilai, atau fungsi. Kalimat yang menyebutkan bahwa berlian, veros, bacan, dan kerikil sama-sama batu ampaknya hanya menyatakan fakta sederhana tentang kategori material, yakni bahwa keempatnya tergolong batuan. Namun ketika pernyataan itu ditutup dengan, “jika ada yang mengatakan sama, maka orang itu perlu masuk rumah sakit jiwa,” kita diarahkan untuk berpikir ulang: apakah benar semua yang disebut “batu” itu memang sama? Atau justru di sinilah letak kekeliruan berpikir yang menggiring pada penyamaan identitas secara serampangan?
Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang melekat hanya pada bentuk fisik atau komposisi material, melainkan pada posisi, relasi, nilai, dan makna yang muncul dari bagaimana entitas tersebut hadir dalam konteks tertentu. Berlian, bacan, veros, dan kerikil memang semuanya batu, tetapi tidak satu pun dari mereka memiliki identitas yang identik satu sama lain. Menyamakan keempatnya hanya karena kategori “batu” adalah bentuk reduksionisme konseptual yang mengabaikan dimensi nilai, sejarah, simbolisme, serta peran sosial yang melekat pada masing-masing.
Dalam pendekatan filsafat kontemporer, entitas tidak dipahami secara esensialis, melainkan melalui konstruksi sosial, linguistik, historis, dan relasional. Artinya, suatu benda atau konsep tidak memiliki makna tetap, tetapi memperoleh identitasnya dalam interaksinya dengan subjek, ruang, dan waktu. Maka dari itu, istilah “batu” tidak cukup menjelaskan apapun kecuali bahwa benda itu berasal dari mineral dan bersifat keras. Namun begitu ia dinamai “berlian” atau “kerikil”, ia masuk ke dalam jejaring makna yang sama sekali berbeda, bahkan bertolak belakang. Inilah mengapa identitas adalah mekanisme yang membedakan entitas, karena ia lahir dari konteks, bukan hanya dari zat.
Dalam konteks aksiologi, menyamakan semua batu justru berarti menghapus perbedaan nilai yang melekat pada masing-masing. Ini sama saja dengan menyamakan harga berlian dan kerikil hanya karena mereka berasal dari golongan benda yang sama. Padahal, dalam sistem kehidupan manusia, ekonomi, budaya, bahkan emosional; nilai tidak ditentukan oleh kategori fisik, melainkan oleh pemaknaan sosial dan historis. Berlian bisa menjadi pusaka keluarga, lambang cinta dalam pernikahan, atau aset bernilai tinggi. Kerikil, meski bisa menyusun jalan setapak, tidak akan pernah menempati posisi simbolik seperti itu. Ketika perbedaan nilai diabaikan, manusia kehilangan sensitivitas terhadap kompleksitas realitas.
Filsafat kontemporer juga mengingatkan bahwa keseragaman atau penyamaan makna yang terburu-buru bisa menjadi bentuk kekuasaan atau pengabaian terhadap keberagaman. Bahasa dan konsep bisa digunakan untuk menindas, untuk menyamakan demi efisiensi, atau untuk menyingkirkan hal-hal yang tak sesuai dengan arus dominan. Maka ketika seseorang berkata “semua batu itu sama,” kita tidak hanya sedang melihat kesalahan kategori, tetapi potensi bahaya dari generalisasi yang mematikan keunikan. Dunia tidak dibangun dari kesamaan, melainkan dari perbedaan yang dikenali dan dihargai.
Lalu bagaimana dengan pernyataan bahwa orang yang menyamakan semuanya “perlu masuk rumah sakit jiwa”? Secara literal, tentu ini hiperbola. Namun secara filosofis, pernyataan itu bisa dibaca sebagai kritik terhadap cara berpikir simplistik yang gagal menangkap perbedaan makna. Dalam dunia yang serba kompleks, kemampuan membedakan dan mengapresiasi perbedaan adalah bentuk kewarasan kognitif. Sebaliknya, penyamaan secara serampangan bisa menunjukkan ketumpulannya daya pikir, bahkan nihilisme makna. Maka “gila” di sini bukan berarti gangguan jiwa secara medis, melainkan ketidakwarasan berpikir yang menolak kompleksitas dan memperlakukan dunia secara datar.
Dengan demikian, penyamaan semua batu bukan hanya kekeliruan semantik, tetapi pengkhianatan terhadap keragaman makna. Dunia bukan hanya terdiri dari benda-benda, tetapi juga dari cerita, simbol, sejarah, dan relasi kuasa yang melekat pada setiap benda itu. Berlian tidak bisa dimaknai sama dengan veros, karena mereka hidup dalam semesta makna yang berlainan. Identitas membedakan entitas justru karena entitas hanya menjadi berarti ketika identitasnya dikenali dan dihargai.
Kita hidup di zaman di mana segala sesuatu bisa dikategorikan dan dikelompokkan dengan cepat, dari data hingga manusia. Namun di balik kemudahan itu tersembunyi risiko besar: kehilangan makna dalam penyederhanaan. Maka, mempertahankan pandangan bahwa identitas itu penting, dan bahwa entitas berbeda satu sama lain, bukan sekadar pilihan akademik; melainkan sikap eksistensial terhadap kehidupan itu sendiri. Kita tidak bisa memahami dunia jika kita enggan membedakan.
Pada akhirnya, pernyataan bahwa semua batu itu sama hanyalah kebenaran permukaan yang tidak mampu menembus kedalaman realitas. Ia mengabaikan sejarah, konteks, nilai, dan simbol yang membentuk identitas masing-masing entitas. Dalam terang filsafat kontemporer, tugas berpikir bukan untuk menyamaratakan segalanya, tetapi untuk mengakui dan memahami keragaman yang tersembunyi di balik kesamaan yang tampak. Sebab identitas bukan sekadar nama, tetapi cara suatu entitas hadir dan dimaknai di dalam dunia. Dan karena itu, identitaslah yang membedakan entitas; bukan zatnya, bukan bentuknya, tetapi kisah, relasi, dan nilai yang menghidupinya.
Oleh karena itu, kita tidak bisa menyamakan persepsi sepenuhnya atas dasar dugaan kita; sebab di sana masih ada sudut pandang, dan cara pandang yang berbeda. Secara bijak kita harus menghormati perbedaan itu, dengan tidak memaksakan pandangan kita kepada pandangan yang berbeda. Apalagi sampai menghakimi berdasarkan kebenaran kita. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Hari Santri 2025 “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”
Penetapan Hari Santri Nasional bermula dari peristiwa monumental pada 22 Oktober 1945, ketika KH. Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, menyerukan Resolusi Jihad di Surabaya. Seruan ini menjadi pemantik semangat rakyat Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dari ancaman penjajahan pasca-proklamasi. Para santri, bersama kiai dan masyarakat pesantren, menjadi garda terdepan dalam perjuangan mempertahankan kedaulatan bangsa.
Kini, semangat itu terus hidup tidak lagi di medan perang, tetapi di medan ilmu pengetahuan, pendidikan, teknologi, dan moralitas bangsa. Para santri modern tidak hanya dikenal dengan keteguhan iman dan akhlaknya, tetapi juga kontribusinya dalam pembangunan nasional dan peradaban dunia.
Dengan mengusung tema “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia”, Hari Santri 2025 menjadi momentum untuk memperkuat peran santri sebagai penjaga moral bangsa, penggerak pendidikan, dan pelopor kemajuan global. Semangat keislaman yang rahmatan lil ‘alamin harus menjadi fondasi dalam membangun peradaban yang berkeadilan, berilmu, dan berakhlak mulia.
Mari jadikan Hari Santri bukan sekadar peringatan, tetapi sebagai gerakan nyata untuk meneguhkan kembali nilai-nilai keislaman, kebangsaan, dan kemanusiaan. Karena di tangan para santri — masa depan bangsa yang berperadaban dan bermartabat akan terus terjaga.
Selamat Hari Santri 2025! Santri Tangguh, Indonesia Bermartabat, Menuju Peradaban Dunia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara 2 Lomba Tari Kreasi Tingkat Nasional Poltekkes Kemenkes Tanjung Karang 2025
Mereka adalah Desta Dwi Anggriyani (22320064), Desta Anjelika (22320062), dan Desti Anjelika (22320065) dari Program Studi Ilmu Keperawatan, serta Dino Al Farizy (23380047) dari Program Studi Farmasi. Keempatnya tampil memukau dengan koreografi yang memadukan unsur budaya tradisional dan gerakan kontemporer yang energik.
Lomba yang diikuti oleh berbagai perguruan tinggi dari berbagai daerah di Indonesia ini menjadi ajang unjuk kreativitas dan semangat kebersamaan antar mahasiswa di bidang seni tari. Tim Universitas Malahayati berhasil mencuri perhatian dewan juri dengan penampilan yang tidak hanya kompak, tetapi juga sarat makna dan pesan kebangsaan.
Desta Dwi Anggriyani mengungkapkan rasa syukurnya atas pencapaian ini.“Kami sangat bersyukur dan bangga bisa membawa nama Universitas Malahayati di ajang nasional. Proses latihan memang tidak mudah, tapi berkat kekompakan tim dan dukungan dari dosen serta teman-teman, kami bisa tampil maksimal,” ujarnya penuh semangat.
Sementara itu, Desta Anjelika menambahkan bahwa kemenangan ini menjadi bukti bahwa mahasiswa keperawatan juga mampu berprestasi di bidang non-akademik. “Kami ingin menunjukkan bahwa mahasiswa keperawatan tidak hanya unggul dalam bidang kesehatan, tapi juga memiliki kreativitas tinggi. Seni tari mengajarkan kami disiplin, kerja sama, dan ekspresi diri,” tutur Desta.
Desti Anjelika pun menyampaikan pesan inspiratif untuk mahasiswa lainnya. “Jangan pernah takut mencoba hal baru. Apapun bidangnya, selama dilakukan dengan sungguh-sungguh, hasilnya akan indah. Kemenangan ini kami persembahkan untuk Universitas Malahayati tercinta,” katanya dengan senyum bangga.
Sementara Dino Al Farizy, satu-satunya mahasiswa dari Program Studi Farmasi di tim ini, mengaku pengalaman ini sangat berkesan. “Ini bukan hanya tentang tari, tapi tentang bagaimana kami belajar menghargai proses, menyatukan ide, dan menjaga semangat tim. Saya harap prestasi ini bisa memotivasi teman-teman lain untuk terus berkarya,” ungkapnya. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Ular Serasa Belut
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Salah seorang petinggi di kabinet ini memiliki pendekatan yang berbeda dalam mengoperasionalkan “mesin” kekuasaannya. Selama ini pejabat tinggi sering menampilkan jaga image, sedikit wibawa, muka ditarik jika harus rapat dengan siapapun. Tokoh satu ini, yang pekerjaannya memegang kas negara; tampilannya ceplas-ceplos tanpa beban. Bahkan tidak jarang harus menentang arus, dan tidak betah ada di zona nyaman. Akibatnya, tentu saja banyak para petinggi yang merasa “kebakaran tikar”. Sampai-sampai berkeluh kesah dengan lembaga legeslatif, seolah minta dukungan atau pertolongan. Mereka lupa bahwa petinggi yang satu ini tidak berpartai, bukan juga simpatisan. Kepercayaannya hanya tegak lurus kepada presiden. Alhasil semua kelakuan lama yang sebenarnya ular, tampaknya belut; menjadi sangat terbuka, bahkan telanjang.
Selama ini rakyatnya sering disuguhi pertunjukan akrobatik yang luar biasa dari para pemimpinnya. Mereka yang duduk di kursi kekuasaan tampaknya telah lama memahami satu hal: bahwa narasi bisa lebih penting daripada kenyataan. Di atas panggung pidato, dalam suara yang dilatih agar terdengar tegas dan penuh harapan, mereka bisa mengubah apa pun. Bahkan kegagalan pun bisa disulap menjadi keberhasilan. Inilah seni menjual fatamorgana; seni yang hanya dimiliki oleh para pemimpin yang pandai membungkus ular agar tampak seperti belut. Licin, mengkilap, menggeliat, tapi mematuk dalam diam. Begitu berhadapan dengan “Sang Coy Boy” yang begitu refelksnya mencabut pistol untuk menembak; maka, banyak para ular tadi harus mengakui kekalahannya.
Setiap proyek gagal bisa dicat ulang menjadi keberhasilan lewat angka-angka yang dibengkokkan, grafik yang disunat, atau testimoni yang disusun rapi oleh tim komunikasi. Kegagalan distribusi pangan diubah menjadi keberhasilan stabilitas harga dengan membandingkan angka pada bulan berbeda. Gagalnya pembangunan infrastruktur vital dipoles menjadi simbol kebangkitan nasional, dengan mengabaikan fakta bahwa jembatan yang dibangun ambruk sebelum sempat digunakan. Keterlambatan proyek dianggap bagian dari strategi adaptif. Pembengkakan anggaran bukanlah bentuk pemborosan, tetapi “fleksibilitas fiskal”. Semua istilah disulap demi menjaga wajah pemimpin tetap bersinar, seolah ia adalah nahkoda yang membawa kapal menuju pelabuhan kejayaan, padahal kapal sudah bocor dari lambung dan perlahan tenggelam. Dan. Itu semua sekarang perlahan tapi pasti, semua terkuak kepermukaan karena ulah sang pemimpin coy boy.
Ironisnya, banyak orang akhirnya terbiasa. Ketika kebohongan diulang terus-menerus, ia mulai terdengar seperti kebenaran. Rakyat mulai menerima bahwa pemimpin yang baik bukanlah yang membuat hidup mereka lebih baik, tapi yang paling pandai menjelaskan kenapa hidup mereka tetap susah. Mereka terbuai dengan bahasa-bahasa motivasi yang dikutip dari tokoh luar negeri, diselipkan dalam pidato yang ditulis oleh tim kreatif, dibacakan dengan penuh emosi seolah berasal dari hati, padahal sekadar naskah latihan. Ini bukan lagi soal kejujuran atau integritas, melainkan soal penampilan. Semua ini sekarang terbongkar, membuat para ular yang menjelma menjadi belut kepanasan.
Pemimpin yang baik semestinya bukan yang paling banyak, bahkan lihay berbicara; tetapi mereka yang paling berani bertanggung jawab. Bukan yang menyalahkan masa lalu, tapi yang mampu memperbaiki masa kini. Bukan yang membungkus kegagalan, tapi yang jujur mengakuinya dan belajar darinya. Tapi di negeri ini, yang sering naik ke panggung adalah mereka yang bisa menjilat langit dengan kata-kata manis, sambil menutupi luka rakyat yang belum sempat diobati. Mereka yang membuat kemiskinan tampak seperti pilihan hidup. Mereka yang menyulap harga kebutuhan pokok yang melambung sebagai bukti pertumbuhan konsumsi. Mereka yang menjual mimpi tentang kemajuan sambil mengabaikan realitas keterpurukan. Begitu datang “elang” yang garang; mereka kepanasan, bahkan saat rapat kabinet-pun mereka menghindar untuk berbicara dengan sang elang.
Di tengah situasi seperti ini, harapan seolah menjadi barang mewah. Tapi harapan tidak boleh hilang. Karena suatu saat, masyarakat akan jenuh dengan sandiwara. Mereka akan bangkit dari hipnotis narasi dan mulai melihat bahwa selama ini mereka hanya disuguhi ilusi. Saat itulah, semua kepura-puraan akan runtuh. Pemimpin yang hanya bisa mengarang keberhasilan akan dihadapkan pada fakta bahwa ia tidak pernah benar-benar memimpin, hanya bercerita. Dan rakyat, yang selama ini dibohongi, akan menuntut jawaban yang tidak bisa lagi dijawab dengan pidato indah atau grafik manipulatif. Dan, saatnya sekarang tiba; seorang pemimpin bertipe elang, yang siap melayang memangsa mereka-mereka yang tidak mampu memimpin negeri ini. Walaupun harus berputar di awan yang penuh ranjau, namun pemimpin model ini sudah siap akan resiko jabatan apapun bentuknya. Selamat berjuang orang baik, untuk negeri yang sedang tidak baik-baik. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Menolak, Tetapi Mengikuti
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seorang mahasiswa pascasarjana pagi itu menghadap untuk berkonsultasi tugas akhir; disela-sela pembicaraan; yang bersangkutan mendeskripsikan karakter salah seorang respondennya yang kebetulan pejabat tinggi di daerah penelitiannya. Mahasiwa tadi mengungkapkan bahwa responden ini memiliki ciri khas; siapapun pimpinan daerahnya selalu terpakai, dalam arti tetap memiliki jabatan; walaupun sejatinya yang bersangkutan tidak satu prinsip dengan kepala daerah, jika diskusi dilakukan secara informal.
Penulis mengatakan bahwa responden itu selalu bermain aman dengan prinsip “menolak, tetapi mengikuti”. Menolak jika diajak untuk melakukan pelanggaran etika kepemerintahan, namun mengikuti aturan jika menjalan kebijakkan. Akhirnya diskusi lanjut tentang diksi ini berkepanjangan. Dan, jika diringkas diskusi tadi sebagai berikut:
Dalam lanskap kehidupan kontemporer yang serba kompleks, tidak ada lagi garis pemisah yang tegas antara yang melawan dan yang patuh. Dunia tak lagi bisa dibaca melalui narasi oposisi biner: antara hitam dan putih, antara pelaku dan korban, antara penolak dan pengikut. Justru di antara ambiguitas dan ketegangan itulah muncul satu bentuk posisi eksistensial yang semakin relevan: menolak tetapi mengikuti. Ini adalah posisi yang tampaknya paradoksal, namun justru menjadi cermin dari realitas manusia kontemporer yang hidup di bawah tekanan sistem yang kuat namun tak terhindarkan. Menolak tetapi mengikuti adalah sikap yang tidak dapat disederhanakan sebagai bentuk kemunafikan, melainkan sebagai strategi bertahan, ekspresi kesadaran, dan bahkan bentuk perlawanan dalam logika dunia yang telah sedemikian terjebak dalam reproduksi kekuasaan.
Menolak biasanya dipahami sebagai tindakan aktif memutus hubungan dengan suatu sistem atau struktur. Sementara mengikuti berarti menerima, tunduk, atau berjalan sesuai alur sistem tersebut. Maka ketika seseorang memilih untuk menolak tetapi tetap mengikuti, ia seolah sedang berdiri dalam kontradiksi. Namun, jika ditelisik lebih dalam, justru dalam kontradiksi itu ada kejujuran yang lebih tinggi: bahwa tidak semua bentuk penolakan bisa diwujudkan dalam aksi yang terlepas dari sistem; dan bahwa mengikuti tidak selalu berarti menyetujui secara utuh. Dalam hal ini, penolakan tidak dilakukan dengan cara konfrontatif, melainkan lewat kesadaran kritis yang tetap memilih untuk berjalan dalam sistem yang sedang ditolak, bukan karena tunduk, tetapi karena menyadari keterbatasan ruang gerak dalam realitas yang tersedia.
Harus diakui bahwa kita hidup dalam dunia yang dikendalikan oleh sistem-sistem besar: ekonomi global, negara-bangsa, media sosial, algoritma, budaya konsumsi, birokrasi pendidikan, dan norma-norma sosial yang tertanam dalam institusi dan bahasa. Menolak total terhadap semua itu bukan hanya sulit, tapi hampir mustahil tanpa menarik diri secara ekstrem dari kehidupan sosial. Maka, banyak orang justru memilih untuk tetap berada dalam sistem; ikut bekerja, ikut belajar, ikut bersosialisasi, ikut berkomunikasi dengan cara-cara yang telah ditentukan, tetapi dengan membawa penolakan di dalam diri mereka. Penolakan itu mungkin tidak tampak secara kasat mata, tidak diumumkan secara lantang, tetapi ia hadir dalam bentuk sikap batin, dalam pilihan-pilihan kecil, dalam ironi, dalam jeda, dalam modifikasi yang halus terhadap aturan.
Sikap ini sepintas kilas bisa dimaknai sebagai bentuk kekalahan, tapi justru sebaliknya. Ia adalah kemenangan kecil yang terus diperjuangkan setiap hari: kemenangan dalam menjaga kesadaran, dalam menolak tunduk secara total, dalam mempertahankan ruang otonomi batin di tengah tekanan homogenisasi. Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang yang menolak tetapi mengikuti bisa saja tampak biasa-biasa saja. Mereka tidak memimpin demonstrasi, tidak menulis manifesto, tidak tampil sebagai simbol perlawanan. Tapi mereka menyimpan kritik, menyuarakan ketidakterimaan dalam forum-forum kecil, menulis dengan gaya yang menyimpang, berbicara dengan sindiran, atau sekadar menolak menjadi antusias ketika diminta ikut menyanyikan lagu pujian terhadap sistem.
Pada titik ini, menolak tetapi mengikuti bukanlah bentuk kompromi, melainkan bentuk kesadaran akan medan perjuangan yang tidak ideal. Ini adalah cara untuk tetap hidup, tetap bertahan, sambil tetap mengatakan “tidak”; meskipun tidak dengan suara keras, melainkan dengan cara berjalan yang miring, dengan langkah yang tidak seirama, dengan tindakan-tindakan kecil yang disengaja untuk menggoyang rutinitas. Menolak tetapi mengikuti menjadi bentuk etika yang tidak memaksakan kepahlawanan, tetapi menempatkan tanggung jawab pada level paling konkret dari kehidupan: bagaimana seseorang bekerja, berpikir, berinteraksi, dan mengelola posisinya dalam struktur sosial yang besar.
Sikap ini juga membuka jalan bagi pemahaman baru tentang makna keberanian. Keberanian tidak lagi hanya diukur dari kemampuan untuk melawan secara terbuka, tetapi juga dari kemampuan untuk menahan diri, tetap bertahan, dan tetap menyimpan penolakan dalam dunia yang menuntut persetujuan terus-menerus. Menolak tetapi mengikuti membutuhkan keberanian untuk tetap waras dalam sistem yang gila, untuk tetap jujur dalam struktur yang penuh kepalsuan, dan untuk tetap sadar dalam dunia yang dibanjiri distraksi. Ini adalah keberanian yang tidak mencari sorotan, tapi justru menemukan kekuatannya dalam ketenangan, dalam pengamatan, dalam konsistensi sikap yang diam-diam tapi tegas.
Dan, mungkin di sanalah letak kekuatan sebenarnya: bukan dalam penolakan yang lantang, tetapi dalam kemampuan untuk tetap menyimpan “tidak” dalam diam, untuk tetap bertahan tanpa kehilangan integritas, untuk tetap mengikuti tanpa menjadi alat. Di tengah dunia yang memaksa kita memilih antara dua kutub yang ekstrem, sikap ini menawarkan jalan ketiga, yaitu jalan yang tidak nyaman, tidak populer, tapi justru penuh potensi untuk mengubah dari dalam. Sebuah jalan di mana kita bisa menolak, bahkan ketika sedang mengikuti. Dan mungkin, justru di sanalah perubahan perlahan bisa dimulai. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kulit Pisang Disulap Jadi Camilan Sehat, Dosen Universitas Malahayati Bersama UMKM Si Bintang Buah Hadirkan Inovasi “KUPIDOR”
Program ini merupakan bagian dari kegiatan “Optimalisasi Limbah Kulit Pisang Kombinasi Daun Kelor” yang didukung oleh Hibah Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) DPPM Kemdikbudristek Tahun 2025, Nomor Kontrak 334/C3/DT.05.00/PM-BATCH III/2025 tertanggal 10 September 2025. Melalui kegiatan ini, tim memberikan sosialisasi, pelatihan, hingga pendampingan teknologi tepat guna kepada para pelaku UMKM pangan.
“Dengan adanya KUPIDOR, kami ingin masyarakat memandang kulit pisang bukan sekadar sampah, tetapi sebagai sumber daya bernilai tinggi. Inovasi ini bukan hanya menawarkan camilan sehat, tetapi juga membuka peluang usaha baru berbasis pangan fungsional lokal,” ungkap Diah Astika Winahyu, S.Si., M.Si, selaku ketua tim pengabdian.
Selain praktik langsung, peserta juga mendapatkan pendampingan untuk memaksimalkan potensi bisnis inovatif berbasis pangan lokal.
Kegiatan ditutup dengan sesi tasting produk dan diskusi terbuka mengenai peluang pengembangan usaha. Antusiasme peserta sangat tinggi, menunjukkan bahwa inovasi pangan berbasis limbah kulit pisang dan daun kelor ini berpotensi besar dalam mendukung ketahanan pangan, kesehatan masyarakat, serta pengurangan limbah lingkungan.
Dengan cita rasa khas, bergizi, dan ramah lingkungan, produk KUPIDOR diharapkan mampu menjadi ikon camilan sehat dari UMKM Si Bintang Buah serta bersaing di pasar lokal hingga nasional. (gil)
Editor: Gilang Agusman