Senja Yang Tak Pernah Selesai
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari itu pulang dari mengantarkan “Pulang” kerabat, keharibaan Illahi. Tiga mingu berturut-turut mendapatkan “kehormatan” untuk mengantar pulang dari kerabat. Dan, senja menjelang malam menjadikan diri untuk berkontemplasi, merenung dan mengevaluasi diri atas semua yang terjadi. Senja adalah momen ketika waktu menunjukkan wajahnya yang paling jujur: bukan janji tentang masa depan, melainkan kesadaran akan yang telah dan tak akan kembali. Di usia senja, tubuh masih ada, nafas masih berembus, detak jantung masih berlanjut, tetapi ada sesuatu yang mulai hening. Hening bukan karena ketiadaan suara, tetapi karena suara-suara itu tak lagi bermakna sebagaimana dulu.
Hari-hari menjadi ritus yang berulang: membuka mata bukan karena mimpi, tetapi karena rutinitas yang menolak berhenti. Segala yang dilakukan tak lagi bertujuan, melainkan hanya untuk menjaga agar tidak seluruhnya diam. Bukan karena malas bergerak, tetapi karena gerak kini tak membawa kemana-mana. Apa yang dulu disebut sebagai tujuan hidup perlahan kehilangan daya. Yang dahulu menjadi cita-cita, kini hanya menjadi bagian dari sejarah internal yang tak lagi relevan dengan realitas hari ini. Di situlah senja dimulai; bukan pada pukul lima sore, tapi pada saat kesadaran tentang keterbatasan hadir sepenuhnya.
Filsafat kontemporer tidak menawarkan utopia. Tetapi hanya mempersilakan manusia berdiri tegak di hadapan absurditas, lalu bertanya: “Apakah engkau masih bersedia hidup walau tahu semuanya akan berakhir, dan bahkan mungkin tanpa alasan yang bisa kamu terima?” Pertanyaan itu mungkin terdengar sederhana, namun ia mengguncang dasar dari apa yang selama ini dijadikan sandaran. Ketika dunia tidak lagi memberi validasi, dan hidup tak lagi menawarkan kemajuan, maka satu-satunya yang tersisa adalah kesadaran vulgar: “aku masih hidup, dan itu saja”.
Ada kehormatan dalam menerima kekosongan tanpa lari dari kenyataan. Tidak mencari pelarian ke masa lalu, tidak memaksa diri untuk membuat makna baru yang artifisial, tidak mencoba menyembuhkan luka dengan harapan palsu. Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa yang absurd bukan untuk ditolak, tapi untuk dihidupi, bahkan dinikmati. Hidup bukan tentang mengisi kekosongan, tetapi merengkuhnya, memeluknya seperti udara: tak terlihat, namun menyusun setiap tarikan nafas. Maka kesendirian bukan kelemahan, tetapi cara keberadaan berelasi dengan dirinya sendiri secara paling murni.
Di senja yang tak pernah selesai, waktu menjadi cair. Masa lalu dan masa kini bercampur dalam ruang kesadaran yang tidak lagi peduli pada kronologi. Suatu aroma, bayangan cahaya, atau bahkan diam bisa membangkitkan sesuatu yang sudah puluhan tahun terpendam. Namun semua itu tidak lagi membawa rasa manis; yang tersisa hanyalah kepahitan nostalgia yang tak bisa diulang. Saat itulah muncul satu pemahaman penting: bahwa segala sesuatu yang indah tak ditakdirkan untuk dimiliki selamanya. Sama halnya sesuatu yang pahit juga ditakdirkan untuk tidak dinikmati sepanjang masa.
Filsafat kontemporer menolak gagasan tentang kebahagiaan sebagai tujuan akhir. Ia lebih condong pada kesadaran akan keberadaan sebagai proses terbuka, tanpa jaminan akhir yang menggembirakan. Dalam kerangka ini, usia senja adalah laboratorium paling jujur bagi kehidupan manusia. Di dalamnya, tidak ada lagi ruang untuk ilusi. Yang ada hanyalah tubuh yang menua, pikiran yang semakin selektif, dan dunia yang terus berubah tanpa menunggu siapa pun. Maka pertanyaannya bukan lagi “apa yang akan kudapatkan?”, melainkan “bekal apa yang aku persiapkan untuk pulang ?”
Menghadapi senja yang tak pernah selesai berarti menghadapi hari-hari yang terasa serupa tetapi tidak sama. Tidak ada perayaan, tidak ada gebrakan. Yang ada hanyalah keheningan. Tapi justru dalam keheningan itu, ada ruang untuk mendengar suara-suara terdalam. Suara yang selama ini tenggelam oleh hiruk pikuk dunia: suara keraguan, suara penyesalan, suara penerimaan. Semua itu muncul seperti kabut: samar, namun tak bisa diabaikan. Di sanalah proses pembersihan batin berlangsung. Bukan pembersihan moralistik, melainkan pembersihan dari segala lapisan yang tidak perlu, hingga hanya tersisa inti: keberadaan itu sendiri.
Senja adalah masa di mana manusia tak lagi menjadi pusat. Manusia belajar menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar: waktu, alam, semesta. Manusia tidak lagi mencoba mengendalikan, hanya berusaha memahami. Dan dalam pemahaman itu, ada kebebasan. Kebebasan yang tidak datang dari pilihan, tetapi dari penerimaan total. Bukan pasrah, melainkan sadar. Bahwa yang terjadi memang harus terjadi, dan yang hilang memang tak bisa lagi kembali. Maka, keterbukaan terhadap kenyataan menjadi bentuk tertinggi dari kebijaksanaan.
Tidak ada romantisme dalam kesendirian senja, tetapi di sana ada kejujuran. Kejujuran bahwa hidup tidak selalu tentang meraih, kadang hanya tentang bertahan. Tidak untuk tujuan besar, tetapi karena ada kesadaran kecil bahwa keberadaan itu sendiri cukup. Bahwa menjadi ada, meski dalam keheningan, dalam keriput, dalam lambatnya langkah; adalah bentuk kemenangan atas kehampaan mutlak. Dan kemenangan itu tidak perlu sorak-sorai, cukup dengan satu tarikan napas yang disyukuri.
Dan jika suatu hari, tubuh tak lagi kuat berjalan, jika suara tak lagi sanggup diperdengarkan, jika dunia akhirnya melupakan: tidak apa-apa. Karena keberadaan telah dituliskan, bukan di lembar sejarah atau batu nisan, tapi di ruang paling sunyi dalam kesadaran: ruang yang pernah memilih untuk hidup, sekalipun dalam sepi. Kontemplasi ini akan terus berjalan dan berulang “senja demi senja” sampai Tuhan memanggil pulang. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman


