Diantara Tombol Klakson Dan Pedal Gas
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
–
Seorang sohib yang jurnalis mengomentari tulisan beberapa saat lalu bahwa “keterlanjuran” bicara seorang anggota lembaga tinggi yang katanya terhormat itu, bagai seorang pengemudi yang tidak bisa menyelaraskan antara tombol klakson dengan pedal gas. Satir seperti ini memang sangat pahit jika dirasakan oleh mereka yang memiliki kehalusan pekerti. Namun bagi yang terlanjur, beranggapan seolah dunia akan selesai dengan klarifikasi minta maaf. Anggota dewan tadi lupa bahwa jejak digital itu tidak bisa hilang dengan ucapan, sekalipun itu ucapan maaf. Sang anggota juga tidak menyadari bahwa ingatan kolektif masa masih ada berkaitan dengan bagaimana beberapa anggota dewan terhormat harus terjungkal karena ulahnya. Tampaknya beliau termasuk orang yang tidak mau belajar dengan pengalaman, sehingga kehilangan sensitifitas.
Fenomena beberapa orang di lembaga perwakilan yang akhir-akhir ini menyerupai hubungan antara tombol klakson dan pedal gas, seolah mengungkap dinamika mendalam tentang sifat dasar manusia. Dalam kendaraan, klakson adalah simbol suara sebagai seruan, peringatan, tekanan; sementara pedal gas melambangkan gerak, tindakan, dan kemajuan. Ketika dua hal ini tidak selaras, perjalanan menjadi kacau: bunyi bising tanpa gerak, atau gerak kencang tanpa arah. Analogi ini menjadi sangat relevan ketika kita melihat bagaimana suara-suara keras dari ruang perwakilan sering tidak berbanding lurus dengan tindakan nyata yang seharusnya menggerakkan kehidupan berbangsa.
Dalam filsafat manusia, suara dan tindakan merupakan dua dimensi hakiki eksistensi. Manusia tidak hanya makhluk berpikir, tetapi juga makhluk yang berkehendak dan bertindak. Suara dapat dipahami sebagai ekspresi kehendak, sedangkan tindakan adalah realisasi dari kehendak itu sendiri. Ketika sebuah lembaga yang dibentuk untuk mewakili aspirasi rakyat lebih sering menghasilkan suara keras seperti: perdebatan, klaim moral, gestur simbolik; tanpa diikuti tindakan substantif, maka terjadi keterputusan antara kehendak dan realisasi. Inilah yang oleh banyak pemikir dianggap sebagai bentuk ketidakotentikan dalam eksistensi manusia: adanya ketidaksesuaian antara apa yang diucapkan dan apa yang dilakukan.
Fenomena tombol klakson yang keras namun pedal gas tak bergerak menggambarkan keadaan ketika manusia terjebak dalam ilusi performativitas. Ruang perwakilan menjadi panggung, tempat setiap suara yang dilontarkan seolah menjadi pertunjukan moral, padahal esensinya tidak terletak pada bagaimana kerasnya suara itu, tetapi bagaimana tindakan yang dihasilkan dari suara tersebut mempengaruhi kehidupan bersama. Dari sudut pandang ini, politik kehilangan fungsi ontologisnya sebagai alat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, berubah menjadi permainan simbolik yang menghiasi permukaan namun kosong di dalam.
Filsafat manusia menekankan bahwa manusia adalah makhluk yang bertanggung jawab. Tanggung jawab adalah kemampuan untuk merespons secara otentik terhadap tuntutan nilai-nilai kehidupan. Dalam konteks lembaga perwakilan, tanggung jawab berarti bergerak dari sekadar mengeluarkan suara menuju tindakan nyata yang berakar pada pemahaman mendalam mengenai kebutuhan rakyat. Ketika tombol klakson ditekan tanpa henti, yang muncul adalah kebisingan yang menutupi kekosongan tindakan. Kebisingan itu dapat menciptakan persepsi kerja, padahal roda kenyataan tidak benar-benar bergerak. Ini merupakan bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab eksistensial manusia sebagai agen moral dan politik.
Lebih jauh, analogi pedal gas juga mencerminkan keberanian untuk bergerak. Dalam filsafat keberadaan, tindakan memerlukan keberanian untuk memasuki ketidakpastian, menanggung risiko, dan mengupayakan perubahan. Namun pedal gas yang hanya diinjak setengah-setengah atau bahkan tidak disentuh sama sekali menunjukkan ketakutan akan konsekuensi tindakan. Di sinilah muncul paradoks: suara keras memberikan kesan kekuatan, namun ketiadaan tindakan menunjukkan kelemahan. Ini adalah bentuk disharmoni antara kehendak dan tindakan, antara retorika dan etika, antara citra dan realitas.
Fenomena ini juga dapat dibaca sebagai krisis orientasi. Sebuah kendaraan yang terus menerus dibunyikan klaksonnya tetapi tidak bergerak menunjukkan kebingungan arah. Dalam filsafat manusia, orientasi hidup menentukan kualitas eksistensi. Jika orientasi politik tidak lagi tertuju pada kebaikan bersama, tetapi pada kepentingan yang bersifat sektoral atau personal, maka tindakan kehilangan maknanya. Dalam situasi seperti itu, suara menjadi alat untuk mempertahankan posisi, bukan untuk memperjuangkan nilai.
Krisis orientasi ini diperparah oleh kecenderungan manusia untuk mencari pengakuan. Dalam ranah perwakilan, pengakuan sering diperoleh melalui pernyataan lantang, bukan melalui hasil nyata. Inilah yang menyebabkan tombol klakson ditekan lebih sering daripada pedal gas diinjak. Padahal manusia dalam pandangan filosofis memiliki dorongan untuk mencapai aktualisasi diri, yaitu menjadi makhluk yang mampu merealisasikan potensi moralnya. Aktualisasi itu tidak mungkin dicapai hanya dengan berbicara; ia membutuhkan tindakan yang konsisten dengan nilai-nilai yang diperjuangkan.
Jika lembaga perwakilan ingin kembali menjadi ruang moral dan politik yang otentik, maka harmonisasi antara suara dan tindakan harus dipulihkan. Klakson dan pedal gas harus bekerja secara saling melengkapi: suara yang muncul harus menjadi penanda arah gerak, dan gerak yang dilakukan harus sesuai dengan suara yang diucapkan. Dengan demikian, politik kembali menjadi wilayah di mana manusia menjalankan hakikatnya sebagai makhluk yang berpikir, berkehendak, dan bertindak secara bertanggung jawab.
Pada akhirnya, fenomena tombol klakson dan pedal gas ini mengajak kita merenung tentang kualitas kemanusiaan di balik dinamika kekuasaan. Ia menguji apakah manusia mampu menjembatani jarak antara kata dan perbuatan, antara kepentingan dan nilai, antara kenyamanan dan keberanian. Ketika suara dan tindakan bersatu dalam orientasi moral yang benar, lembaga perwakilan tidak lagi menjadi ruang bising tanpa arah, tetapi menjadi kendaraan yang bergerak ke depan membawa harapan masyarakat menuju masa depan yang lebih bermakna. Salam Waras (SJ)
Editor : Fadly

