Oleh: Sudjarwo 
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seorang santri menjumpai gurunya dan bertanya, “Guru, apakah yang dimaksud dengan bicara dalam diam? Sementara berbicara itu berarti tidak diam, bagaimana bisa demikian Guru?”. Dengan senyuman khas, Sang Guru menatap wajah santrinya dalam-dalam. Diam-diam dia mengagumi kecerdasan santri ini yang memang senang membaca.
Guru mencoba menjawab “Baiklah muridku, akan aku coba melihat dari pandangan beberapa tokoh besar dalam agama yang kita anut mengenai persoalan ini. Hanya saja, persiapkan diri dengan mata batinmu guna merasakan perbedaan mendasar di antara mereka, dan pesanku dirimu tidak perlu memihak apalagi membenci”.
Sang Guru mulai mendedah persoalan ini demikian: Berbicara dalam diam sering dikaitkan dengan ketuhanan; oleh sebab itu lengkap kalimat itu adalah Tuhan berbicara dalam diam. Dari berbagai sumber buku yang pernah saya baca ditemukan risalah bahwa makna “Tuhan berbicara dalam diam” adalah ungkapan spiritual yang sangat dalam dan kaya akan tradisi sufisme, khususnya dalam ajaran Jalaluddin Rumi.
Berikut makna filosofis dan spiritual dari frasa itu:
Pertama, Diam adalah Bahasa Tuhan.
Dalam dunia yang penuh kebisingan pikiran, kata-kata, dan ego, diam menjadi ruang suci tempat jiwa bisa benar-benar mendengar. Rumi percaya bahwa kata-kata seringkali membatasi, sedangkan Tuhan melampaui bahasa manusia. Dalam keheningan batin, kita bisa menangkap bisikan Ilahi yang tak bisa diucapkan dengan logika. Rumi menulis: “Ada suara yang tidak bisa didengar telinga. Dengarkan dengan hatimu, karena Tuhan berbicara dalam diam.”
Kedua. Diam sebagai Meditasi dan Kesadaran.
Diam bukan sekadar tidak berbicara, tapi diam batin — bebas dari ego, keinginan, dan distraksi duniawi. Oleh sebab itu dalam diam yang hening, hati menjadi cermin. Rumi berpendapat bahwa Tuhan ‘berbicara’ dalam bentuk ilham, kesadaran, pemahaman, atau kedamaian mendalam.
Ketiga, Penderitaan Diam dan Kehadiran Tuhan.
Terkadang, seseorang mengalami luka atau kesedihan yang begitu dalam sehingga tidak terungkap oleh kata-kata. Rumi melihat rasa sakit dan keheningan batin sebagai momen paling dekat dengan Tuhan. Dan Rumi berkata : “Kesedihanmu adalah pesan dari langit. Dengarkan air matamu; ia membawa pesan cinta dari Sang Kekasih.”
Keempat. Diam dan Penyatuan (Fana).
Dalam sufisme, puncak spiritualitas adalah fana — lenyapnya ego dalam kehadiran Tuhan. Di titik ini, tak ada lagi “aku” yang berbicara, hanya ada keheningan murni, yang justru penuh makna Ilahi. Oleh sebab itu Rumi berpesan bahwa: “Tuhan berbicara dalam diam” berarti bahwa dalam keheningan terdalam jiwa — ketika pikiran tenang, hati bersih, dan ego runtuh — itulah saat suara Tuhan bisa didengar. Bukan dengan telinga, tapi dengan hati yang terbuka.
Berbeda lagi pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah, sufi perempuan besar dari abad ke-8, tentang “Tuhan berbicara dalam diam” sejalan, namun memiliki nuansa khas: penuh cinta murni (mahabbah) dan pengosongan total diri untuk Tuhan. Dalam ajarannya, diam bukan sekadar keadaan sunyi, tetapi kehadiran penuh jiwa yang sepenuhnya terarah pada Sang Kekasih, yaitu Tuhan.
Adawiyah meyakini bahwa cinta kepada Tuhan tidak membutuhkan perantara kata, karena cinta sejati adalah hadir sepenuhnya untuk-Nya, bahkan tanpa mengucap. Ucapan beliau yang terkenal sampai saat ini ialah: “Tuhanku, aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka atau rindu surga. Tetapi karena Engkaulah yang layak dicintai”. Dalam konteks itu, diam adalah bentuk tertinggi dari ibadah dan penyerahan—karena ketika cinta sudah menyala total, tak ada lagi yang perlu dikatakan.
Bagi Rabi’ah, cinta kepada Tuhan membuat jiwa mendengarkan suara Ilahi dalam keheningan batin, bukan dari telinga, tapi dari rasa yang paling halus. Tuhan tidak perlu “berkata-kata” karena hadirat-Nya bisa dirasakan dalam ketenangan, air mata, atau bahkan dalam napas paling sunyi.
Diam dalam ajaran Adawiyah juga bisa dilihat sebagai ruang kosong dari selain Tuhan, tempat jiwa bisa bersatu tanpa gangguan duniawi. Dalam diam itu, Tuhan “berbicara” lewat cahaya, rasa tenang, atau getaran cinta yang menyusup ke relung jiwa. Diam Menjadi doa yang tertinggi, sebab dalam kecintaan yang mendalam, kata-kata malah terasa tidak cukup. Maka, diam dalam cinta sufi bukan hampa, tapi justru doa yang paling dalam, karena cinta murni lebih fasih dari lisan.
Berbeda lagi pandangan Imam Al-Ghazali tentang “Tuhan berbicara dalam diam”; beliau tidak sepekat dan puitis seperti dalam ajaran Rumi atau Rabi’ah Al-Adawiyah, namun tetap mendalam dan kaya secara intelektual maupun spiritual. Sebagai seorang filsuf, teolog, dan sufi besar, Al-Ghazali memadukan akal, hati, dan wahyu dalam memahami relasi manusia dengan Tuhan.
Pandangan beliau, diam sebagai jalan ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan). Pengatahuan sejati tentang Tuhan (ma’rifah) tidak dicapai semata-mata melalui logika atau banyak bicara, tetapi lewat penyucian jiwa dan kontemplasi mendalam. Perkataan beliau yang terkenal sampai hari ini ialah: “Diam adalah kunci ibadah dan sarana keselamatan dari kesalahan lisan”. Jadi, diam di sini adalah alat untuk membersihkan hati, karena hati yang bersih adalah tempat Tuhan menanamkan cahaya-Nya.
Menurut Al-Ghazali, ketika seseorang mencapai tahapan tazkiyah (penyucian jiwa), hatinya menjadi wadah cahaya ilahi (nur). Dalam kondisi ini, bukan suara literal yang didengar, tapi ilham (bisikan kebenaran) yang datang langsung dari Tuhan ke dalam hati. Oleh karena itu beliau berpesan: “Jika hatimu suci, maka setiap bisikan baik yang muncul di sana adalah dari Tuhan.” Walaupun pesan ini sebagai keunggulan sekaligus kelemahan Ghazali; nanti pada lain kesempatan kita bicarakan secara khusus tentang ini.
Al-Ghazali sangat menekankan uzlah (menyepi dari dunia) sebagai cara mendengar kebenaran yang lebih hakiki. Dunia, dengan segala kesibukan dan suara-suara luar, bisa menutupi suara Ilahi. Dalam Misykat al-Anwar (Niche of Lights), ia membahas bahwa cahaya Tuhan hanya masuk ke hati yang bebas dari kegelapan hawa nafsu dan gangguan luar. Oleh sebab itu “diam”, bagi Al-Ghazali, adalah penutup pintu dunia agar terbuka pintu langit.
“Berbicara dalam diam” menurut Al-Ghazali berarti bahwa dalam diam yang dipenuhi dzikir, tafakur, dan penyucian jiwa, hati menjadi wadah ilham Ilahi. Bukan suara yang terdengar telinga, melainkan cahaya kebenaran yang hadir dalam batin.
Demikianlah wahai muridku, betapa “diam” merupakan pintu maksuk ke dalam keramaian “keilahian”; hanya sayang banyak manusia terjebak dalam keramaian, sebenarnya dia dalam kesunyian; dan, akhirnya dia tidak bisa “diam”. Semoga kau memahami apa makna semua itu. Sang santri tertunduk takzim mohon diri dari hadapan sang guru karena harus mengumandangakan adzhan tanda waktu shalat telah tiba. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Sukses Gelar Yudisium Profesi Dokter Ke-72, 64 Lulusan Siap Mengabdi
Acara yudisium dihadiri langsung oleh jajaran pimpinan universitas, di antaranya Wakil Rektor I, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., Wakil Rektor IV, Drs. Suharman, M.Pd., M.Kes., Dekan Fakultas Kedokteran, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, serta Wakil Dekan, Kepala Program Studi Profesi Dokter, dr. Ade Utia Detty, M.Kes., Sekretaris Prodi, dan para dosen dari Prodi Profesi serta Pendidikan Dokter.
“Kalian bukan hanya lulus dari ruang kuliah dan bangsal rumah sakit, tapi juga telah ditempa oleh waktu, tekanan, dan pengalaman yang membentuk karakter sejati seorang dokter. Jadilah dokter yang bukan hanya menyembuhkan, tapi juga menginspirasi dan melayani dengan hati,” ujarnya penuh semangat.
“Hari ini, kalian tidak hanya mengukuhkan gelar, tetapi juga mengemban tanggung jawab besar di tengah masyarakat. Semoga ilmu yang kalian bawa bisa menjadi penerang bagi mereka yang membutuhkan. Jangan pernah berhenti belajar dan teruslah jadi dokter yang rendah hati dan berintegritas,” tutur Prof. Dessy.
Ia juga mengingatkan para lulusan untuk tetap menjalin solidaritas dan memberikan dukungan kepada rekan-rekan yang masih berjuang menyelesaikan studinya.
“Saya titip, bantu adik-adik kalian yang belum lulus. Ajak mereka bangkit, beri semangat dan motivasi. Jadikan keberhasilan kalian sebagai inspirasi agar mereka juga bisa berdiri di panggung yang sama suatu hari nanti,” pesannya.
Menutup sambutannya, Prof. Dessy menekankan pentingnya menjaga nama baik almamater tercinta.
“Dimana pun kalian berada nantinya, ingatlah bahwa kalian membawa nama besar Universitas Malahayati. Jaga sikap, jaga etika, dan jadilah pribadi yang membanggakan. Biarkan dunia melihat bahwa dokter lulusan Malahayati adalah dokter yang berkualitas dan berkarakter,” tegasnya.
Acara yudisium ditutup dengan pembacaan janji dokter dan doa bersama, diikuti oleh sesi foto dan momen kebersamaan yang tak terlupakan. Yudisium ini bukan hanya sebuah seremoni, melainkan tonggak awal bagi para lulusan untuk menapaki jalan pengabdian sebagai tenaga medis profesional.
Selamat kepada 64 dokter baru. Perjalanan kalian baru dimulai, dan dunia menanti dedikasi terbaik kalian. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Berbicara dalam Diam
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Seorang santri menjumpai gurunya dan bertanya, “Guru, apakah yang dimaksud dengan bicara dalam diam? Sementara berbicara itu berarti tidak diam, bagaimana bisa demikian Guru?”. Dengan senyuman khas, Sang Guru menatap wajah santrinya dalam-dalam. Diam-diam dia mengagumi kecerdasan santri ini yang memang senang membaca.
Guru mencoba menjawab “Baiklah muridku, akan aku coba melihat dari pandangan beberapa tokoh besar dalam agama yang kita anut mengenai persoalan ini. Hanya saja, persiapkan diri dengan mata batinmu guna merasakan perbedaan mendasar di antara mereka, dan pesanku dirimu tidak perlu memihak apalagi membenci”.
Sang Guru mulai mendedah persoalan ini demikian: Berbicara dalam diam sering dikaitkan dengan ketuhanan; oleh sebab itu lengkap kalimat itu adalah Tuhan berbicara dalam diam. Dari berbagai sumber buku yang pernah saya baca ditemukan risalah bahwa makna “Tuhan berbicara dalam diam” adalah ungkapan spiritual yang sangat dalam dan kaya akan tradisi sufisme, khususnya dalam ajaran Jalaluddin Rumi.
Berikut makna filosofis dan spiritual dari frasa itu:
Pertama, Diam adalah Bahasa Tuhan.
Dalam dunia yang penuh kebisingan pikiran, kata-kata, dan ego, diam menjadi ruang suci tempat jiwa bisa benar-benar mendengar. Rumi percaya bahwa kata-kata seringkali membatasi, sedangkan Tuhan melampaui bahasa manusia. Dalam keheningan batin, kita bisa menangkap bisikan Ilahi yang tak bisa diucapkan dengan logika. Rumi menulis: “Ada suara yang tidak bisa didengar telinga. Dengarkan dengan hatimu, karena Tuhan berbicara dalam diam.”
Kedua. Diam sebagai Meditasi dan Kesadaran.
Diam bukan sekadar tidak berbicara, tapi diam batin — bebas dari ego, keinginan, dan distraksi duniawi. Oleh sebab itu dalam diam yang hening, hati menjadi cermin. Rumi berpendapat bahwa Tuhan ‘berbicara’ dalam bentuk ilham, kesadaran, pemahaman, atau kedamaian mendalam.
Ketiga, Penderitaan Diam dan Kehadiran Tuhan.
Terkadang, seseorang mengalami luka atau kesedihan yang begitu dalam sehingga tidak terungkap oleh kata-kata. Rumi melihat rasa sakit dan keheningan batin sebagai momen paling dekat dengan Tuhan. Dan Rumi berkata : “Kesedihanmu adalah pesan dari langit. Dengarkan air matamu; ia membawa pesan cinta dari Sang Kekasih.”
Keempat. Diam dan Penyatuan (Fana).
Dalam sufisme, puncak spiritualitas adalah fana — lenyapnya ego dalam kehadiran Tuhan. Di titik ini, tak ada lagi “aku” yang berbicara, hanya ada keheningan murni, yang justru penuh makna Ilahi. Oleh sebab itu Rumi berpesan bahwa: “Tuhan berbicara dalam diam” berarti bahwa dalam keheningan terdalam jiwa — ketika pikiran tenang, hati bersih, dan ego runtuh — itulah saat suara Tuhan bisa didengar. Bukan dengan telinga, tapi dengan hati yang terbuka.
Berbeda lagi pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah, sufi perempuan besar dari abad ke-8, tentang “Tuhan berbicara dalam diam” sejalan, namun memiliki nuansa khas: penuh cinta murni (mahabbah) dan pengosongan total diri untuk Tuhan. Dalam ajarannya, diam bukan sekadar keadaan sunyi, tetapi kehadiran penuh jiwa yang sepenuhnya terarah pada Sang Kekasih, yaitu Tuhan.
Adawiyah meyakini bahwa cinta kepada Tuhan tidak membutuhkan perantara kata, karena cinta sejati adalah hadir sepenuhnya untuk-Nya, bahkan tanpa mengucap. Ucapan beliau yang terkenal sampai saat ini ialah: “Tuhanku, aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka atau rindu surga. Tetapi karena Engkaulah yang layak dicintai”. Dalam konteks itu, diam adalah bentuk tertinggi dari ibadah dan penyerahan—karena ketika cinta sudah menyala total, tak ada lagi yang perlu dikatakan.
Bagi Rabi’ah, cinta kepada Tuhan membuat jiwa mendengarkan suara Ilahi dalam keheningan batin, bukan dari telinga, tapi dari rasa yang paling halus. Tuhan tidak perlu “berkata-kata” karena hadirat-Nya bisa dirasakan dalam ketenangan, air mata, atau bahkan dalam napas paling sunyi.
Diam dalam ajaran Adawiyah juga bisa dilihat sebagai ruang kosong dari selain Tuhan, tempat jiwa bisa bersatu tanpa gangguan duniawi. Dalam diam itu, Tuhan “berbicara” lewat cahaya, rasa tenang, atau getaran cinta yang menyusup ke relung jiwa. Diam Menjadi doa yang tertinggi, sebab dalam kecintaan yang mendalam, kata-kata malah terasa tidak cukup. Maka, diam dalam cinta sufi bukan hampa, tapi justru doa yang paling dalam, karena cinta murni lebih fasih dari lisan.
Berbeda lagi pandangan Imam Al-Ghazali tentang “Tuhan berbicara dalam diam”; beliau tidak sepekat dan puitis seperti dalam ajaran Rumi atau Rabi’ah Al-Adawiyah, namun tetap mendalam dan kaya secara intelektual maupun spiritual. Sebagai seorang filsuf, teolog, dan sufi besar, Al-Ghazali memadukan akal, hati, dan wahyu dalam memahami relasi manusia dengan Tuhan.
Pandangan beliau, diam sebagai jalan ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan). Pengatahuan sejati tentang Tuhan (ma’rifah) tidak dicapai semata-mata melalui logika atau banyak bicara, tetapi lewat penyucian jiwa dan kontemplasi mendalam. Perkataan beliau yang terkenal sampai hari ini ialah: “Diam adalah kunci ibadah dan sarana keselamatan dari kesalahan lisan”. Jadi, diam di sini adalah alat untuk membersihkan hati, karena hati yang bersih adalah tempat Tuhan menanamkan cahaya-Nya.
Menurut Al-Ghazali, ketika seseorang mencapai tahapan tazkiyah (penyucian jiwa), hatinya menjadi wadah cahaya ilahi (nur). Dalam kondisi ini, bukan suara literal yang didengar, tapi ilham (bisikan kebenaran) yang datang langsung dari Tuhan ke dalam hati. Oleh karena itu beliau berpesan: “Jika hatimu suci, maka setiap bisikan baik yang muncul di sana adalah dari Tuhan.” Walaupun pesan ini sebagai keunggulan sekaligus kelemahan Ghazali; nanti pada lain kesempatan kita bicarakan secara khusus tentang ini.
Al-Ghazali sangat menekankan uzlah (menyepi dari dunia) sebagai cara mendengar kebenaran yang lebih hakiki. Dunia, dengan segala kesibukan dan suara-suara luar, bisa menutupi suara Ilahi. Dalam Misykat al-Anwar (Niche of Lights), ia membahas bahwa cahaya Tuhan hanya masuk ke hati yang bebas dari kegelapan hawa nafsu dan gangguan luar. Oleh sebab itu “diam”, bagi Al-Ghazali, adalah penutup pintu dunia agar terbuka pintu langit.
“Berbicara dalam diam” menurut Al-Ghazali berarti bahwa dalam diam yang dipenuhi dzikir, tafakur, dan penyucian jiwa, hati menjadi wadah ilham Ilahi. Bukan suara yang terdengar telinga, melainkan cahaya kebenaran yang hadir dalam batin.
Demikianlah wahai muridku, betapa “diam” merupakan pintu maksuk ke dalam keramaian “keilahian”; hanya sayang banyak manusia terjebak dalam keramaian, sebenarnya dia dalam kesunyian; dan, akhirnya dia tidak bisa “diam”. Semoga kau memahami apa makna semua itu. Sang santri tertunduk takzim mohon diri dari hadapan sang guru karena harus mengumandangakan adzhan tanda waktu shalat telah tiba. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Tuhan dan Ijazah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang seorang sohib jurnalis senior berkirim artikel tentang Tak Ada Tuhan Dalam Ijazah dari salah seorang penulis yang mumpuni. Jadilah kami berdua diskusi digital, dan terbersitlah keinginan menulis dengan judul di atas. Memang saat ini hampir semua kita menjadi “penggila ijazah”; karena selembar ini mirip dewa sebagai penanda dan penyelamat untuk segala hal; sampai-sampai banyak kita yang lupa akan “pemilik dunia dan isinya”.
Sebelum lebih jauh kita dedah dahulu menggunakan referensi digital, bagaimana hubungan keduanya yang sering membuat manusia saling menafikan. Hubungan antara Tuhan dan ijazah dalam konteks filsafat Islam dan teologi dapat dilihat dari sudut pandang integrasi antara ilmu pengetahuan (yang diwakili oleh ijazah) dan spiritualitas (yang berhubungan dengan Tuhan). Meskipun ijazah adalah simbol pengakuan terhadap pencapaian akademis dan keahlian dalam suatu bidang, dalam banyak tradisi keagamaan, ilmu pengetahuan tidak hanya dipandang sebagai alat untuk meraih kesuksesan duniawi, tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Berikut adalah beberapa cara di mana keduanya dapat dihubungkan dalam pandangan filsafat Islam:
Banyak tokoh filsafat Islam, seperti Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Ghazali, dan Mulla Sadra, memandang ilmu (pengetahuan) sebagai sesuatu yang bukan hanya untuk tujuan duniawi, tetapi juga sebagai sarana untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan dan makna hidup. Al-Farabi dan Ibn Sina menyatakan bahwa pengetahuan rasional (seperti yang diperoleh melalui pendidikan formal atau ijazah) adalah alat untuk memahami alam semesta yang diciptakan oleh Tuhan. Mereka percaya bahwa melalui pengetahuan dan filsafat, seseorang dapat mengetahui lebih banyak tentang penyebab pertama (Tuhan), struktur alam semesta, dan tujuan hidup manusia. Dalam konteks ini, ijazah dapat dipandang sebagai salah satu bentuk pencapaian dalam perjalanan untuk lebih memahami ciptaan Tuhan, yang pada akhirnya mengarah pada pemahaman yang lebih dalam tentang Tuhan itu sendiri.
Al-Ghazali, meskipun mengkritik penggunaan akal secara berlebihan dalam filsafat, tetap mengakui bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui akal dan wahyu berperan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Ijazah dalam konteks ini adalah simbol dari pengetahuan yang diperlukan untuk berkontribusi pada kehidupan moral dan spiritual yang lebih baik. Namun, Al-Ghazali menekankan bahwa pengetahuan yang paling tinggi adalah yang mengarah pada pemahaman dan kedekatan dengan Tuhan, yang tidak bisa dicapai hanya melalui ilmu duniawi semata, tetapi juga melalui penghayatan spiritual.
Di dalam Islam, ilmu pengetahuan bukan hanya dilihat sebagai pencapaian pribadi, tetapi juga sebagai tanggung jawab moral terhadap masyarakat. Dalam hadis Nabi Muhammad SAW disebutkan bahwa: “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah). Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dan ijazah memiliki dimensi spiritual, di mana seseorang yang berilmu (memiliki ijazah) diharapkan untuk menggunakan ilmunya untuk kebaikan umat manusia, dan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dengan cara berkontribusi pada masyarakat dan memperbaiki kehidupan orang lain.
Dalam pandangan ini, ijazah bisa dipandang sebagai alat untuk melaksanakan amanah yang diberikan oleh Tuhan, yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup manusia secara keseluruhan, baik dalam dunia materi maupun spiritual. Sebagai contoh, seseorang yang memegang ijazah di bidang kedokteran, teknik, atau pendidikan, diharapkan untuk menggunakan ilmunya demi kebaikan umat, yang juga merupakan bentuk ibadah kepada Tuhan.
Dalam ajaran Islam, semua pengetahuan pada dasarnya adalah karunia dari Tuhan. Al-Qur’an dalam beberapa ayat menyatakan bahwa hanya Tuhan yang memiliki pengetahuan yang sempurna dan hakikat segala sesuatu. Oleh karena itu, setiap bentuk pengetahuan, termasuk yang diperoleh melalui pendidikan formal (sehingga mendapatkan ijazah), pada akhirnya merupakan bagian dari rahmat Tuhan. Dengan demikian, ijazah menjadi simbol dari proses belajar yang diilhamkan oleh Tuhan. Pendidikan formal adalah cara manusia untuk mengembangkan kemampuan yang diberikan Tuhan untuk memahami dunia, namun Tuhanlah yang memberi hikmah sejati kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.
Tuhan adalah sumber segala pengetahuan dan kebijaksanaan, dan untuk dapat mengaplikasikan pengetahuan (seperti yang terwujud dalam ijazah) dengan benar, seseorang harus memiliki kewaspadaan spiritual (taqwa). Pendidikan, dalam pandangan ini, harus dilihat sebagai sebuah karunia dari Tuhan, yang harus digunakan dengan penuh rasa tanggung jawab untuk menghormati Tuhan dan meningkatkan kualitas hidup spiritual serta material.
Ijazah sebagai simbol pengetahuan tidak hanya berfungsi sebagai alat untuk mendapatkan pekerjaan atau status sosial, tetapi lebih dari itu, juga berkaitan dengan moralitas. Sebagaimana yang diajarkan dalam ajaran Islam, ilmu yang tidak disertai dengan keimanan dan akhlak yang baik akan mengarah pada kesombongan atau penyalahgunaan pengetahuan tersebut. Oleh karena itu, penguasaan ilmu yang tercermin dalam ijazah harus dilengkapi dengan kesadaran akan Tuhan, untuk memastikan bahwa ilmu digunakan untuk tujuan yang benar dan sesuai dengan ajaran agama. Ibn Sina misalnya, menekankan pentingnya menggabungkan pengetahuan dengan kebajikan moral. Dalam filsafatnya, ia menjelaskan bahwa pengetahuan yang baik adalah pengetahuan yang membawa seseorang lebih dekat kepada kebenaran ilahi dan membantu orang tersebut untuk hidup dengan kebajikan.
Tuhan dan ijazah dapat dipandang sebagai dua hal yang saling melengkapi. Ijazah merupakan simbol pencapaian ilmu dan pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan, yang sering kali berfungsi untuk membantu seseorang meraih tujuan duniawi. Namun, dalam banyak tradisi spiritual, terutama dalam filsafat Islam, ilmu tersebut tidak hanya untuk pencapaian duniawi tetapi juga sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Ilmu yang diperoleh (yang terwujud dalam ijazah) dianggap sebagai karunia dari Tuhan, dan harus digunakan untuk tujuan moral dan spiritual, untuk meningkatkan kualitas hidup baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu “Ilmu Yang Bermanfaat” adalah salah satu bekal manusia dalam melanjutkan perjalanannya di alam barzah, guna menuju Tuhan. Maka jika dalam memperoleh ijazah diperoleh dengan cara melanggar aqidah, bisa dipastikan ilmu yang diperolehpun tidak bermanfaat. Jadi tidak salah jika Hari Wardoyo berpendapat untuk meneguhkan keberadaan agama dalam diri itu melewati Iman, sedangkan untuk meneguhkan keberadaan ijazah itu adalah badai pertanyaan, termasuk mempertanyakan keabsahan ijazahnya itu sendiri. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswi Psikologi Universitas Malahayati Raih Penghargaan Top Delegate (Fully Funded Awardee) di Ajang Internasional Malaysia-Singapura
Dalam program kepemudaan berskala internasional ini, Syahra berhasil meraih penghargaan bergengsi Top Delegate – Fully Funded Awardee, mengungguli ratusan peserta muda lainnya dari berbagai daerah di Indonesia. Kegiatan ini menjadi wadah pertukaran pemuda dalam rangka memperluas wawasan global, memperkuat jaringan internasional, dan memupuk semangat kontribusi bagi bangsa.
Rangkaian program yang berlangsung di dua negara ini mencakup sesi Presentation Youth Project, University Visit & Orientation, Company Visit, Cultural Show Malaysia, Awarding Day for IYEN Delegates.
Bangga dan Bersyukur, Ini Kata Syahra Aulia Pradani
“Alhamdulillah, saya sangat bersyukur atas kesempatan dan kepercayaan ini. Menjadi Top Delegate(Fully Funded Awardee) di program internasional ini adalah pengalaman yang luar biasa dan membuka banyak perspektif baru bagi saya, semoga langkah awal yg baik ini bisa mendatangkan kebaikan lainnya untuk saya dan juga orang sekitar” ujar Syahra penuh semangat.
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada dirinya sendiri, keluarga, teman-teman, serta orang orang baik disekeliling nya.
“Semoga pencapaian ini bisa menjadi inspirasi bagi orang sekitar.
Pesan dari saya, bagi teman-teman yang sedang berjuang di jalan masing-masing, percayalah bahwa setiap proses yang kamu lalui, sekecil apa pun itu, punya makna dan akan membawamu ke tempat yang tak pernah kamu bayangkan sebelumnya. Jangan takut untuk mencoba hal baru, keluar dari zona nyaman, dan memperjuangkan mimpi mimpi itu. Kegagalan dan ragu itu wajar, tapi jangan biarkan itu menghentikan langkah kamu, karna kita semua sedang bertumbuh, dan setiap langkah adalah kemenangan kecil yang patut dirayakan.”
tambahnya.
Pencapaian Syahra Aulia Pradani menjadi bukti nyata bahwa mahasiswa Universitas Malahayati memiliki kapasitas untuk tampil dan berprestasi di kancah internasional. Semoga semangat dan dedikasi Syahra dapat menjadi pemantik semangat bagi generasi muda lainnya untuk terus berkarya dan membawa nama baik Indonesia di mata dunia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Penghargaan Emas dari DJP Lewat Program Relawan Pajak RENJANI
BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Prestasi membanggakan kembali diraih oleh mahasiswa Universitas Malahayati. Tujuh mahasiswa Program Studi Akuntansi sukses meraih Piagam Penghargaan Emas dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) atas kontribusi aktif mereka dalam program Relawan Pajak RENJANI (Relawan Pajak Jejaring Nusantara Indonesia).
Ketujuh mahasiswa tersebut adalah Denila Geraldine (23210058), Endang Sri Suketi (23210081), Elsa Fitriandini (23210079), Muhammad Lutfi (23210029), Nabillah Putri Nazahwa (23210136), Raden Ayu Ellen Isma Fransiska (23210052), dan Choirunnisa Ramadhani (l23210245).
Mereka tidak hanya menjalankan tugas di lingkungan kampus, tetapi juga aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Natar dan KPP Madya Bandar Lampung.Melalui program ini, para mahasiswa terlibat langsung dalam membantu wajib pajak mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan, serta memberikan edukasi tentang pentingnya kepatuhan pajak.
Hardini Ariningrum, S.E., M.Ak., CFRS, Ketua Tax Center Universitas Malahayati, menyampaikan apresiasi atas dedikasi para mahasiswa.
“Kami sangat bangga melihat antusiasme dan semangat yang ditunjukkan. Lewat kegiatan ini, mereka tidak hanya belajar secara praktis, tetapi juga berkontribusi nyata dalam meningkatkan kesadaran pajak di masyarakat. Ini adalah pengalaman yang luar biasa untuk mendukung kesiapan mereka di dunia kerja,” ujarnya.
Para mahasiswa pun membagikan pengalaman berharga mereka:
Denia Geraldine berujar, “Bergabung dengan Program Relawan Pajak (Renjani) merupakan pengalaman berharga yang mempertemukan kamu dengan masyarakat dan dunia perpajakan.”
Nabillah Putri Nazahwa mengatakan, “Kegiatan ini memberikan pemahaman mendalam tentang pengisian SPT serta perbedaan antara SPT pribadi dan badan. Saya merasa jauh lebih percaya diri menghadapi dunia perpajakan ke depan.”
Endang Sri Suketi menambahkan, “Sebagai mahasiswa akuntansi, kami akhirnya bisa mempraktikkan ilmu kelas dalam dunia nyata. Ini kesempatan emas untuk belajar langsung dan membantu masyarakat secara langsung.”
Elsa Fitriandini berbagi, “Kami dilatih untuk menjelaskan konsep pajak dengan cara sederhana dan mudah dipahami. Kegiatan ini mengasah kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah kami.”
Raden Ayu Ellen Isma Fransiska mengungkapkan, “Kami belajar tentang pentingnya etika kerja dan ketelitian dalam mengisi data perpajakan. Ini pelajaran yang sangat penting untuk karier kami ke depan.”
Muhammad Lutfi menilai, “Program ini mengasah keterampilan teknis dan sosial kami. Sangat relevan dengan kebutuhan dunia kerja.”
Sementara itu, Choirunnisa Ramadhani menyampaikan, “Saya jadi lebih memahami peran vital pajak dalam pembangunan. Ini membuat saya lebih sadar akan tanggung jawab sosial sebagai warga negara.”
Selama tiga bulan, dari 3 Februari 2025 sampai 30 April 2025, ketujuh mahasiswa ini telah memberikan dedikasi dan berkomitmen penuh kepada masyarakat. Kegiatan RENJANI ini menjadi bukti nyata komitmen Universitas Malahayati dalam mendorong mahasiswa untuk terlibat langsung dalam isu-isu penting di masyarakat. Tak hanya meningkatkan keterampilan akademik dan praktikal, tetapi juga membentuk karakter generasi muda yang peduli, tanggap, dan siap menjadi agen perubahan dalam sistem perpajakan Indonesia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Spirit Mengubah Diri Sesuai Pandangan Illahi
SPIRIT MENGUBAH DIRI SESUAI PANDANGAN ILLAHI
Muslih, S.H.I., M.H
Dosen Agama dan Dosen Ilmu hukum Universitas Malahayati
Spirit atau semangat adalah energi, gairah, antusiasme, atau kekuatan batin yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks umum, semangat bisa berarti semangat jiwa, antusiasme, gairah, gelora, atau energi. Dalam Islam, spirit atau semangat (bahasa Arab: روح, ruh) memiliki berbagai makna dan peran, mulai dari semangat beragama, semangat hijrah, hingga semangat keadilan dan kemanusiaan. Spirit dalam Islam juga sering dihubungkan dengan kekuatan rohani dan jiwa yang mendorong manusia untuk berbuat kebaikan dan menolak kemungkaran. Semangat untuk mengubah diri memiliki dasar kuat dalam Al-Quran tentang perubahan diri adalah Al-Quran Surat Ar-Rad ayat 11 yang berbunyi:
… إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُواْ مَا بِأَنفُسِهمْ وَإِذَآ أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوْءًا فَلَا مَرَدَّ لَةً وَمَا لهُم مِن دُونِهِ مِن وَالِ ١١
11. …Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.
Ayat ini menunjukkan bahwa perubahan nasib atau keadaan seseorang tidak akan terjadi secara otomatis, tetapi harus dimulai dari perubahan diri sendiri. Ayat ini menekankan pentingnya usaha dan perubahan positif pada diri sendiri sebagai prasyarat untuk mendapatkan perubahan positif dari Allah SWT. Perubahan diri di sini tidak hanya terbatas pada aspek fisik, tetapi juga mencakup perubahan dalam sikap, perilaku, kebiasaan, dan pemikiran.
Meskipun manusia harus berusaha dan mengubah diri, perubahan tetap merupakan anugerah dari Allah SWT. Ayat ini menekankan pentingnya berdoa dan meminta pertolongan Allah SWT dalam setiap perubahan.
Implementasi dari contoh Perubahan diri bisa dilakukan melalui berbagai cara, seperti semangat belajar, semangat beribadah, segera bertaubat, semangat merubah kebiasaan buruk, dan berusaha lebih baik dalam berbagai aspek kehidupan.
Semangat perubahan letaknya terdapat pada bagian hati, sebagaimana Dalil kekuatan hati dalam Islam dapat ditemukan di berbagai ayat Al-Qur’an yang menekankan pentingnya menjaga hati, mengingat Allah, dan merawat hati dari penyakit dan keburukan. Sumber hati dari Al-Quran Surah Al-Fath ayat 4,
هُوَ ٱلَّذِيَ أَنزَلَ السَّكِينَةَ فِي قُلُوبِ ٱلْمُؤْمِنِينَ لِيَزْدَادُوَاْ إِيمَنَّا مَعَ إِيمَنِهِمٌّ وَلِلَّهِ جُنُودُ السَّمّوّتِ وَالْأَرْض وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمَا حَكِيمَا ٤
4. Dialah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Wahai Allah yang maha membulak balikan hati, dengan Upaya dan ikhtiar semangat perubahan jika bukan atas ijinmu maka tidak mungkin dapat melakukan perubahan maka kekuatan darimu ya rabb yang merubahnya hal in tergambar secara nyata dalam Al-Quran Al-Baqarah ayat 74,
ثُمَّ قَسَتْ قُلُوبُكُم مِنْ بَعْدٍ ذَلِكَ فَهِيَ كَٱلْحِجَارَةِ أَوْ أَشَدٌ قَسْوَةٌ وَإِنَّ مِنَ ٱلْحِجَارَةٍ لَمَا يَتَفَجَّرُ مِنْهُ الْأَنْهَرُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَشَقَقُ فَيَخْرُجُ مِنْهُ ٱلْمَآءُ وَإِنَّ مِنْهَا لَمَا يَهْبِطُ مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ وَمَا اللهُ بِغَفِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ ٧٤
74. Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal diantara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan diantaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-sekali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
Ditengah hiruk pikuk dunia, semakin banyak ujian dan tantangan dari jaman modern, media, teknologi, kemegahan, yang menyebabkan hati lalai terhadap Allah yang menyebabkan hati keras, bahkan lebih keras dari pada batu (Assaddu Koswah) hal in sebagaimana dalam Al-Quran Al -Maidah Ayat 13,
فَبِمَا نَقُضِهِمْ مِيئُقَهُمْ لَعَنَّهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَسِيَةٌ يُحَرَفُونَ ٱلْكَلِمَ عَن مَوَاضِعِةٍ وَنَسُواْ حَظَّا مِمَّا ذُكِّرُواْ بِةّ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَىٰ خَآئِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمَّ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَٱصْفَحُ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُحْسِنِينَ ١٣
13. (Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuki mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merubah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit diantara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkan mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.
Esensi untuk memiliki semagat perubahan pada diri tercermin pada dasar hadis nabi pentingnya perubahan diri, seperti hadis tentang “barang siapa yang ingin diubah keadaan baiknya, maka hendaklah dia mengubah kebiasaan buruknya”.
Pada akhirnya kita dapat memahami tentang spirit merubah diri dari Dalil-dalil tersebut mengajarkan bahwa perubahan diri adalah kunci utama untuk meraih perubahan nasib dan keadaan yang lebih baik. Manusia harus berusaha dan mengubah diri ke arah yang lebih positif, serta berdoa dan meminta pertolongan Allah SWT dalam setiap perubahan. Perubahan itu akan semakin bersar jika masing masing diri memperbaiki yang akhirnya keluarga juga semakin baik, pada Masyarakat semakin baik bahkan pada tatanan regional dan negara sekalipun akan lebih baik dengan memulai dari perubahan diri pribadi. (Msl)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Universitas Malahayati Raih Juara 2 Nasional Kejuaraan Karate Piala LA CUP 5
Ajang bergengsi tingkat nasional ini diikuti oleh ratusan atlet karate dari berbagai daerah di Indonesia. Persaingan yang ketat tak menyurutkan semangat Zamzam untuk tampil maksimal. Dengan teknik yang matang dan semangat juang tinggi, Zamzam sukses menembus babak final dan menyabet posisi kedua.
Dalam keterangannya, Zamzam mengungkapkan rasa syukur atas pencapaiannya dan membagikan pesan inspiratif bagi para generasi muda.
“Latihan itu bukan soal siapa yang paling kuat, tapi siapa yang paling konsisten. Disiplin dan komitmen dalam berlatih adalah kunci untuk berkembang dan mencapai prestasi,” ujar Zamzam.
Prestasi ini tidak hanya menjadi kebanggaan pribadi bagi Zamzam, tetapi juga mengharumkan nama Universitas Malahayati di kancah nasional. Semoga torehan ini menjadi motivasi bagi mahasiswa lainnya untuk terus berprestasi di bidang akademik maupun non-akademik. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Jalur Langit
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu Tuhan menurunkan rahmat melalui hujan yang cukup lebat, dan saat memposisikan kendaraan di areal parkir, mendadak alat komunikasi berdering memberi tanda ada yang ingin bicara. Ternyata di seberang sana ada sahabat yang ingin mengajak berbincang sejenak. Tentu saja dengan senang hati melayaninya; dan, isi bincangan beliau adalah kondisi saat ini yang sedang tidak baik-baik saja; bahkan tunjangan yang seharusnya beliau terima, sampai hari ini belum juga nongol karena persoalan administratif. Sementara kemarin ada juga peristiwa serupa tapi tak sama berkontakhubung dengan penulis ingin menemukan jalan keluar dari persoalan kehidupan. Karena semua jalur sudah dilakukan, namun hasilnya masih juga belum didapat, maka jawaban dari keduanya adalah tiga kata “Gunakan jalur langit”; tampaknya diksi ini sangat mengawang-awang; namun baiklah kita telusuri makna filosofinya melalui pustaka digital.
Secara harfiah, jalur langit mengacu pada sebuah rute pendakian atau perjalanan yang membentang di ketinggian, biasanya menyusuri punggung gunung atau pegunungan. Di berbagai budaya Nusantara, jalur langit juga sering dikaitkan dengan perjalanan spiritual menuju kesadaran yang lebih tinggi, semacam tirakat atau laku batin untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Makna makrifat menapaki jalur langit bukan hanya tentang mencapai puncak gunung, tetapi tentang “menuruni diri sendiri”. Dalam sunyi dan lelahnya pendakian, mereka menemukan perenungan yang tak bisa didapat di tengah hiruk pikuk kehidupan. Pendakian menjadi media kontemplasi, di mana manusia berhadapan dengan dirinya, dengan alam, dan dengan kekuatan yang lebih tinggi.
Secara filosofis, jalur langit juga menggambarkan perjalanan batin manusia untuk mencapai pencerahan atau kesadaran spiritual yang lebih tinggi. Jalur ini bukan hanya rute fisik, tapi juga simbol dari pendakian jiwa—sebuah proses untuk meninggalkan hal-hal duniawi dan mendekat kepada Yang Maha Esa. Oleh sebab itu jalur langit adalah representasi dari kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos—antara langit (Tuhan, spirit, semesta) dan bumi (manusia, materi, kehidupan duniawi).
Dalam banyak ajaran spiritual dan kearifan lokal, manusia dianggap sebagai jembatan antara dua alam tersebut, dan jalur langit adalah cara untuk menyelaraskan keduanya dalam diri.
Perjalanan di jalur langit sering kali berat, sepi, dan panjang, tidak jarang juga melelahkan. Ini melambangkan proses pembakaran ego dan penyucian diri. Dalam sunyi, manusia berhadapan dengan dirinya sendiri, tanpa topeng sosial. Filosofinya: untuk “naik” ke langit, seseorang harus “turun” ke dalam dirinya terlebih dahulu.
Di ketinggian, dengan napas tersengal dan tubuh lelah, manusia menyadari betapa kecil dirinya di hadapan alam dan semesta. Jalur langit menanamkan sikap rendah hati dan kesadaran bahwa hidup ini penuh batas—waktu, tenaga, dan kehidupan itu sendiri. Dari sana, muncul kebijaksanaan untuk menjalani hidup dengan lebih bermakna. Oleh sebab itu filosofi jalur langit mengajarkan bahwa pencapaian bukan hal yang instan. Semua butuh proses, konsistensi, dan niat yang jernih. Setiap langkah—meski lambat dan berat—adalah bagian dari perjalanan besar. Jalur langit mencerminkan nilai kesabaran dan keikhlasan dalam menjalani hidup.
Jalur langit bukan hanya jalan fisik di ketinggian, melainkan simbol dari perjalanan jiwa manusia menuju terang, kebenaran, dan kedamaian. Ia mengajak kita untuk naik—bukan sekadar secara vertikal, tapi secara batiniah—melewati batas-batas diri, waktu, dan dunia, menuju kebijaksanaan sejati. Oleh sebab itu filosofi jalur langit dalam Islam dapat dipahami sebagai simbol perjalanan ruhani mendekat kepada Allah, menempuh jalan kesucian, kerendahan hati, dan kesadaran diri. Islam mendorong umatnya untuk terus naik dalam kualitas iman dan amal, namun selalu dengan bimbingan wahyu, bukan hanya intuisi pribadi. Dengan demikian, jalur langit bisa menjadi metafora Islami yang kaya makna, selama dijalani dengan aqidah yang lurus dan tujuan yang benar sesuai syariat.
Namun, sejatinya jalur langit yang paling dekat itu ada di depan mata kita, yaitu di bawah telapak kaki ibu. Berbahagialah mereka yang masih ditunggui ibu, karena sosok inilah doa untuk anaknya yang makbul tanpa penghalang sedikitpun. Tidak salah jika orang bijak mengatakan basuhlah kaki ibumu dan bersimpuhlah di sana karena semua permohonanmu akan diijabah jika ibumu ridho. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Yang Engkau Cari dan Yang Mencari Engkau
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Terik matahari di awal kemarau tidak harus menjadi penghalang menghadiri acara resepsi pernikahan anak bungsu teman yang Guru Besar pada universitas ternama di negeri ini. Memang waktu diambil setelah selesai dhuhur agar tidak tergesa-gesa, dan semua berjalan lancar sesuai rencana. Di tempat acara justru bertemu dengan sohib-sohib lama yang jika tidak menghadiri acara seperti ini sangat sulit untuk berjumpa. Selesai acara formal dilanjutkan dengan ijin undur diri menerobos terik matahari. Pada daerah perlambatan kendaraan terlihat pasangan usia lanjut sedang menarik dan mendorong gerobak untuk mencari barang bekas. Terbayang bagaimana susahnya hidup ini untuk mencari sesuap nasi harus kerja keras seperti itu; andaikata diminta untuk bertukar peran, sudah pasti patik tidak akan mampu melakoninya. Mereka mengais rezki halal yang entah di mana ditebar Tuhan untuknya; sambil menjalankan kendaraan perlahan terbayang bagaimana rezki itu kita harus cari di muka bumi ini.
Pada saat itu terbayang pendapat Rabiah Al-Adawiyah tentang rezeki sangat erat kaitannya dengan konsep zuhud dan cinta sejati kepada Allah. Sebagai seorang sufi perempuan ternama dari abad ke-8, beliau memandang rezeki bukan hanya sebagai hal duniawi seperti harta, makanan, atau jabatan, tetapi sebagai bagian dari kehendak dan pemberian Allah yang harus diterima dengan penuh tawakal dan syukur.
Rabiah percaya bahwa rezeki setiap makhluk sudah ditentukan oleh Allah, sehingga manusia tidak perlu khawatir secara berlebihan tentangnya. Yang penting adalah menjalankan tugas dan ibadah kepada Allah dengan ikhlas. Beliau dikenal karena menolak hadiah atau pemberian dari para penguasa karena takut hatinya terikat pada dunia. Rezeki yang berlebihan dikhawatirkan bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah.
Baginya, keimanan yang sejati mencakup keyakinan bahwa Allah akan mencukupkan kebutuhan hamba-Nya. Oleh karena itu, beliau sangat menekankan sikap qana’ah dan tawakal dalam menghadapi kehidupan. Dalam banyak doanya, Rabiah tidak meminta surga atau takut neraka, tetapi hanya menginginkan cinta Allah. Maka baginya, rezeki spiritual seperti ketenangan hati, keikhlasan, dan cinta ilahi jauh lebih berharga daripada kekayaan materi.
Sementara itu Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar dari abad ke-13, memiliki pandangan yang sangat dalam dan filosofis tentang rezeki. Dalam ajarannya, rezeki bukan hanya berupa materi, tetapi juga mencakup kebijaksanaan, cinta, cahaya ilahi, dan pemahaman spiritual. Berikut beberapa poin utama dari pandangan Rumi tentang rezeki: Rumi percaya bahwa Allah mencurahkan rezeki kepada setiap makhluk sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Setiap makhluk menerima apa yang sudah ditakdirkan untuknya, dan tidak ada satu pun yang bisa mengambil rezeki orang lain. Rumi berkata: “Jangan khawatir tentang rezekimu. Tidak akan ada yang bisa mengambil apa yang ditakdirkan untukmu.”
Meskipun percaya pada takdir, Rumi tidak menganjurkan pasif. Ia menekankan pentingnya usaha, tapi usaha itu harus dibarengi dengan kepasrahan (tawakal). Dalam puisinya, dia sering menggambarkan usaha manusia sebagai pelayaran, sedangkan arah angin dan ombak ditentukan oleh Tuhan. Bagi Rumi, rezeki yang paling mulia adalah penyadaran hati, kebijaksanaan, dan rasa cinta kepada Tuhan. Dalam banyak puisinya, dia menekankan bahwa manusia seharusnya tidak sibuk mengejar rezeki duniawi semata, karena kekayaan sejati adalah kebersamaan dengan Tuhan. Rumi berpesan: “Carilah yang tidak akan pudar, karena dunia dan semua isinya adalah pinjaman.” Dalam ajaran Rumi, kepuasan batin (qana’ah) jauh lebih penting daripada kelimpahan materi. Orang yang hatinya penuh cinta dan syukur tidak akan merasa kekurangan meskipun secara lahiriah sederhana.
Imam Al-Ghazali berbeda lagi cara pandangnya; melalui karya-karyanya seperti Ihya Ulum al-Din, beliau membahas rezeki dari sudut pandang syariat, filsafat, dan tasawuf. Al-Ghazali menegaskan bahwa setiap makhluk sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Namun, dia juga menjelaskan bahwa manusia tetap diperintahkan untuk berusaha karena usaha adalah bagian dari sunnatullah. Pandangan beliau yang terkenal mengatakan “Rezeki itu terbagi dua: yang engkau cari dan yang mencari engkau. Rezeki yang engkau cari tidak akan datang kecuali dengan usaha. Tapi rezeki yang mencari engkau, akan datang meski engkau duduk diam.”
Al-Ghazali menolak pandangan ekstrem, baik yang mengatakan harus pasrah total tanpa usaha, maupun yang berlebihan dalam mengandalkan kerja tanpa bergantung pada Allah. Ia menekankan bahwa manusia harus berusaha (kasb), tetapi tetap yakin bahwa hasilnya di tangan Allah. Ucapan Al-Ghazali yang monumental adalah “Tawakal bukan berarti meninggalkan usaha, tapi menyerahkan hasilnya kepada Allah.”
Sama seperti para sufi lainnya, Al-Ghazali membedakan antara rezeki lahiriah (makanan, pakaian, harta) dan rezeki batiniah (ilmu, keimanan, hikmah). Ia bahkan menyebut rezeki batin sebagai bentuk rezeki yang lebih mulia dan langgeng. Menurut beliau orang yang tidak qana’ah akan selalu merasa miskin, walaupun hartanya melimpah. Ia menekankan bahwa rezeki sejati adalah yang mendatangkan ketenangan hati dan mendekatkan diri kepada Allah. Oleh sebab itu beliau berpesan “Kekayaan sejati bukan terletak pada banyaknya harta, tapi pada sedikitnya keinginan.” Al-Ghazali mengingatkan bahwa rezeki yang banyak bukan selalu tanda cinta Allah. Sebaliknya, kadang itu adalah ujian. Yang penting adalah bagaimana seseorang mengelola dan bersikap terhadap rezeki itu.
Lamunan mendadak pudar karena saat memundurkan kendaraan memasuki teras rumah mendadak roda belakang membentur pembatas. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Hidup yang Melelahkan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada saat tugas luar daerah mendapat cerita dari teman bagaimana perasaannya saat mendapatkan berita yang sangat tidak mengenakkan sebagai orang tua. Beliau dengan jujur berkata berita yang paling merisaukan bagi orang yang tidak muda lagi adalah tentang keluarga. Dan, pada umumnya berita yang cepat disampaikan itu adalah berita yang memang tidak untuk dinikmati, akan tetapi mengganggu pemikiran terus menerus. Pantas saja, orang-orang terdahulu mengatakan bahwa semakin lanjut usia, ternyata perasaan semakin sensitif dan terkadang tidak masuk akal. Namun semua itu ternyata ada faktanya, sekalipun sulit dinarasikan seolah perjalanan hidup itu melelahkan. Bahkan tidak jarang berita itu membebaninya secara batiniah disaat usia senja, sehingga menurunkan kesehatan dan berakibat kepada kematian.
Berdasarkan telusuran peristiwa dan fakta di dunia maya ternyata ditemukan informasi di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang kian padat dan penuh tuntutan, semakin banyak orang yang merasa hidup ini melelahkan. Melelahkan secara fisik, emosional, bahkan mental. Tak jarang, mereka yang tampak baik-baik saja dari luar sebenarnya sedang menyimpan keletihan mendalam yang tak selalu bisa diungkapkan dengan kata-kata. Keletihan itu bukan hanya soal kurang tidur atau terlalu banyak pekerjaan. Lebih dari itu, ia adalah hasil dari akumulasi tekanan hidup yang terus-menerus, beban ekspektasi yang berlebihan, dan tidak jarang juga kehilangan makna dalam rutinitas yang monoton.
Banyak dari kita menjalani hidup layaknya robot. Bangun pagi karena alarm berbunyi, bergegas berangkat kerja, menyelesaikan tugas demi tugas, pulang dalam kondisi lelah, dan akhirnya tidur hanya untuk mengulang semuanya esok hari. Siklus ini seolah tak pernah berhenti. Bahkan saat akhir pekan tiba, tubuh mungkin beristirahat, tetapi pikiran tetap bekerja. Entah memikirkan target yang belum tercapai, masalah yang belum selesai, atau masa depan yang masih penuh tanda tanya. Apalagi gelombang pemutusan hubungan kerja sedang marak dimana-mana; tentu ini mengganggu ketenangan para pekerja yang sudah terjebak dalam “mencintai” pekerjaan bagai alkohol kehidupan. Tekanan seperti ini secara perlahan bisa mengikis semangat dan gairah hidup. Salah satu cirinya hari-hari terasa hambar, bahkan kehilangan arti. Banyak orang akhirnya bertanya pada diri sendiri: “Untuk apa semua ini? Apa tujuan hidup saya sebenarnya?”
Kita hidup di era yang mengagung-agungkan produktivitas. “Harus sukses sebelum usia 30,” “Kalau belum punya rumah sendiri, berarti belum berhasil,” atau “Punya waktu luang berarti pemalas” — adalah contoh narasi yang terus diperdengarkan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Media sosial memperparah tekanan ini dengan menyuguhkan pencapaian orang lain yang tampak luar biasa, padahal kita tidak tahu cerita di baliknya yang bias jadi berdarah-darah untuk mencapainya apalagi mempertahankannya.
Budaya ini menciptakan ilusi bahwa nilai seseorang ditentukan oleh seberapa sibuk dan seberapa banyak yang bisa mereka hasilkan. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam perlombaan tanpa akhir untuk menjadi lebih baik, lebih kaya, lebih diakui, lebih banyak uang. Ironisnya, semakin keras seseorang berlari, semakin ia merasa tertinggal.
Salah satu dampak terbesar dari hidup yang melelahkan adalah hilangnya koneksi dengan diri sendiri. Kita begitu sibuk memenuhi ekspektasi luar sampai lupa mendengarkan suara hati. Apa yang sebenarnya kita inginkan? Apa yang membuat kita bahagia? Pertanyaan-pertanyaan ini sering kali terkubur di bawah tumpukan pekerjaan, jadwal padat, dan keharusan-keharusan lain, yang terkadang tidak masuk akal. Padahal, mengenal diri sendiri adalah fondasi dari kehidupan yang bermakna. Tanpa itu, kita mudah tersesat, merasa hampa, dan pada akhirnya kelelahan menjadi kondisi kronis yang sulit diatasi.
Berbeda dari kelelahan fisik yang bisa dipulihkan dengan tidur atau istirahat, kelelahan emosional dan mental jauh lebih kompleks. Ia muncul dari tekanan yang tak tampak, seperti rasa cemas, takut gagal, atau perasaan tidak cukup baik. Kadang, orang yang tampak ceria dan produktif pun menyimpan keletihan ini dalam diam. Kondisi ini bisa berkembang menjadi burnout, yakni keadaan di mana seseorang merasa benar-benar terkuras secara emosional, kehilangan motivasi, dan merasa tidak lagi mampu berkontribusi. Burnout bukan sekadar rasa lelah biasa; ia adalah panggilan tubuh dan jiwa untuk berhenti sejenak dan berbenah.
Ketika hidup terasa terlalu berat, mungkin muncul keinginan untuk menyerah. Namun, menyerah bukan satu-satunya pilihan. Yang perlu kita lakukan adalah jeda — bukan berhenti selamanya, tapi memberi ruang untuk bernapas, menata ulang arah, dan mengisi kembali energi yang terkuras. Jeda bisa berupa istirahat sejenak dari rutinitas, membatasi akses terhadap media sosial, mengambil waktu untuk sendiri, atau bahkan mencari bantuan profesional jika diperlukan. Mengakui bahwa kita lelah bukanlah kelemahan, melainkan bentuk keberanian untuk jujur terhadap diri sendiri.
Meski hidup melelahkan, bukan berarti hidup tak punya makna. Justru di tengah kelelahan itu, kita bisa menemukan pelajaran penting: tentang batas, tentang penerimaan, dan tentang apa yang sebenarnya penting dalam hidup ini. Kita bisa mulai dengan hal-hal kecil.
Meluangkan waktu untuk hobi yang kita sukai, menghabiskan waktu berkualitas dengan orang tercinta, atau sekadar menikmati momen sederhana seperti secangkir kopi hangat di pagi hari. Hal-hal ini mungkin tampak remeh, tapi bisa menjadi sumber kebahagiaan yang tulus dan memberi makna baru pada hidup yang kita jalani.
Tidak ada hidup yang sepenuhnya bebas dari tekanan. Namun, kita bisa belajar untuk menyeimbangkan antara tuntutan dan kebutuhan diri. Salah satunya dengan menetapkan batas yang sehat, baik dalam pekerjaan maupun hubungan sosial. Belajar berkata “tidak” pada hal-hal yang menguras energi tanpa memberi nilai tambah. Mengatur ekspektasi, bukan hanya dari orang lain, tapi juga dari diri sendiri.
Hidup memang tidak selalu mudah. Ada saat-saat dimana semuanya terasa berat, melelahkan, dan penuh beban. Tapi di balik semua itu, hidup tetap menyimpan keindahan yang bisa kita temukan — jika kita bersedia mencarinya dengan hati yang terbuka dan bening.
Jika kita merasa hidup ini melelahkan, ingatlah bahwa kita tidak sendiri. Banyak orang yang diam-diam merasakan hal yang sama. Jalan yang paling dianjurkan adalah melalui pendekatan diri dengan Yang Maha Mengetahui. Mari kita introspeksi jangan-jangan ini cobaan dari-Nya untuk mendapatkan kebaikan, atau panggilan untuk kembali kejalan yang benar. Atau bisa jadi adalah benih dosa yang kita tanam dan sekarang kita menuai hasilnya. Hanya Tuhan dan diri kita yang mengetahui. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman