Oleh: Sudjarwo 
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Satu episode cerita Ramayana versi pedalangan Jawa berjudul “Romo Tambak” bisa diaktualkan secara kontradiktif saat ini. Kisah ini sesungguhnya bersumbu kepada kekuatan cinta Rama kepada Sinta. Terkesan sepele, tetapi dalam perjalanan dan perjuangannya begitu sarat makna.
Judul pada tulisan ini sengaja dibuat konfrontatif karena ada peristiwa aktual yang mungkin saja terinspirasi dari dongeng Ramayana ini. Judulnya Pagar Laut. Saya yakin, awal kisah ini juga bersumbu dari cinta, lebih tepatnya cinta kepada dunia.
Romo Tambak mengangkat perjuangan Prabu Ramawijaya (Rama) bersama para sekutunya dari bangsa Wanara (kera), dalam membangun jalur menuju Alengka untuk menyelamatkan Dewi Sinta. Di tangan para pujangga Jawa, cerita ini diperkaya dengan narasi dan tambahan tokoh dan nuansa kearifan lokal.
Alur kisah diawali dengan kabar baik yang datang dari Anoman kepada Rama. Kethek (kera) putih ini membawa berita bahwa Dewi Sinta, kekasih Rama berada di Taman Argasoka di Kerajaan Alengka. Kabar ini A-1, kata Anoman. Mendengar itu, rasa rindu Rama yang amat dalam kepada kekasih hatinya tak terbendung. Rama memutuskan untuk menjemput Dewi Sinta yang saat itu dalam penguasaan Rahwana. Ia mengatur siasat, menggalang dukungan, dan mempersiapkan penyerangan.
Pasukan sudah siap, perjalanan dimulai, dan satu dua rintangan diatasi. Namun, pada suatu titik, mereka dihadapkan pada kendala besar, yakni lautan luas yang memisahkan wilayah tempat Rama berada (biasanya digambarkan di kawasan India Selatan) dengan Pulau Alengka.
Rama bersemedi di tepi laut, memohon restu kepada Bethara Baruna (dewa penguasa lautan) agar memberikan jalan bagi pasukannya untuk menyeberang. Pada awalnya, Samodra Raja tidak memberikan tanggapan. Rama, dalam kemarahannya, berniat menembakkan panah pusaka untuk mengeringkan lautan. Ketegangan ini membuat Bethara Baruna akhirnya muncul dan memberikan saran kepada Rama agar membangun tambak (bendungan) dengan bantuan para monyet.
Dengan perintah Rama, para wanara mulai membangun tambak menggunakan batu-batu besar yang diambil dari gunung dan hutan. Dalam versi Jawa, proses ini dipenuhi dengan adegan heroik dan humor, karena para kera sering digambarkan memiliki karakter unik. Mereka dibagi tugas spesifik. Anoman menjadi pemimpin utama, ia mengatur pembagian tugas dengan sigap. Sugriwa dan Subali diberi mandat memimpin pasukan dengan kekuatan besar untuk membawa batu. Anggada, Jembawan, dan para wanara lainnya memiliki peran mempercepat pembangunan tambak.
Dalam beberapa versi pedalangan, Rahwana mencoba menggagalkan pembangunan tambak dengan mengirimkan pasukan raksasa atau menciptakan badai. Namun, para munyuk berhasil menghalau gangguan tersebut dengan bantuan Hanoman dan Rama yang melindungi pekerjaan mereka.
Setelah usaha keras, tambak akhirnya selesai dan jalur menuju Alengka terbuka.
Tambak ini sering disebut sebagai Romo Tambak. Romo bermakna ayah atau pemimpin, merujuk pada Rama sebagai pelindung dan pembimbing dalam perjuangan ini. Untuk kata “Romo” sampai hari ini melekat pada keluarga Jawa panggilan kepada ayah atau orang yang dituakan dan sangat dihormati.
Seperti potongan video, cerita Romo Tambak ini dipotong sampai di sini dulu. Sebab, pesan yang ingin disampaikan dalam konteks ini adalah makna moral tentang bagaimana sesuatu yang semula dianggap mustahil bisa terwujud dengan kerja keras dan kebersamaan. Dan nilai-nilai itu sangat melekat dalam budaya Jawa.
Nilai-nilai itu adalah, pertama, semangat gotong royong. Kesuksesan pembangunan tanggul tambak yang membelah laut menuju Alengka adalah simbol kerja sama yang sangat kuat. Para wanara yang bekerja tanpa pamrih mencerminkan nilai gotong royong yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa.
Kedua, keimanan pada kekuatan Ilahi. Keajaiban batu yang mengapung karena nama Rama menggambarkan kekuatan doa dan keimanan. Nama Rama sebagai lambang kebaikan dan keadilan menjadi kekuatan spiritual yang mengatasi batas-batas fisik.
Ketiga, keseimbangan alam dan manusia. Hubungan antara manusia, alam, dan dewa (Samodra Raja) mencerminkan pandangan kosmologis Jawa yang menekankan harmoni.
Kita tinggalkan dulu cerita Romo Tambak yang memang berbasis dongeng. Namun, tampaknya ada yang mengadopsi dongeng ini ke dalam realita kita berbangsa. Bukan Romo Tambak, tetapi Tambak Laut atau lebih dikenal dengan sebutan pagar laut. Celakanya, kisah nyata ini memiliki makna yang kontradiksi dengan nilai yang disampaikan melalui kisah Ramayana.
Bisa dibayangkan ternyata “menambak Laut” yang semula ditafsir sebagai tindakan kepahlawanan, ternyata di alam nyata justru sebaliknya. Bahkan menjadi perusak ekosistem yang ada, dengan berkedok untuk kepentingan yang lebih besar.
Selama sepuluh tahun kita ternina bobok dengan tampilan yang sederhana seolah tanpa dosa, ternyata lautpun bisa dipagar sampai tiga puluh kilometer; bahkan itu tidak hanya di satu tempat. Di beberapa tempat di negeri ini laut sudah berpagar, dan tanpa ada protes dari manapun.
Lembaga Swadaya Masyarakat yang selama ini dikenal garang, ternyata bisa abai dengan pagar laut yang terus bertambah dan merebak di mana-mana.
Atas nama reklamasi, pengamanan wilayah, dan entah apalagi; semua bisa dilakukan; bahkan surat resmi dari negarapun ada. Setelah terbuka dan diambil tindakan; tidak satupun pejabat yang mau bertanggungjawab. Padahal mereka sudah terima “cuan” saat itu entah dengan atas nama “uang apa”. Dan, anehnya ada pejabat tinggi saat menjabat mengeluarkan surat izin resmi, begitu di tanya, jawabannya ringan bagai kapas “saya tidak tahu”. Seolah berlaku hukum sosial kalau tanggung jawab sifatnya ke bawah, kalau uang sifat ke atas.
Kita tinggal tunggu apakah “langit” di negeri ini sudah juga disertifikatkan, karena bisa jadi nantinya orang memiliki lahan tidak berikut langitnya. Atau menjual langitnya saja, tidak berikut lahan atau bangunan dibawahnya; karena negeri ini sudah mendekati menjadi “negeri dongeng”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Pesan Rektor Dr. Muhammad Kadafi, Mahasiswa Universitas Malahayati Harus Menjadi Pemimpin Berkualitas, Berintegritas serta Mampu Menginspirasi dan Membawa Perubahan Positif
Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH., dalam sambutannya menyampaikan pesan yang penuh inspirasi kepada seluruh pimpinan organisasi kemahasiswaan yang baru saja dilantik. “Hari ini adalah momen bersejarah yang menandai langkah baru bagi kepemimpinan mahasiswa di Universitas Malahayati. Kepada seluruh pimpinan organisasi kemahasiswaan yang dilantik, saya ucapkan selamat. Tanggung jawab yang kini diemban bukan hanya sekadar gelar, tetapi juga kesempatan untuk berkontribusi membangun kampus yang lebih baik dan lebih unggul,” ujarnya dengan penuh semangat.
“Kepemimpinan bukan hanya tentang mengatur, tetapi tentang memberi inspirasi dan mendorong teman-teman seangkatan untuk bergerak bersama menuju perubahan yang positif. Di tangan kalian, organisasi ini akan tumbuh dan berkembang menjadi lebih kreatif, inovatif, dan penuh prestasi. Jadikan setiap langkah kalian sebagai bukti nyata bahwa pemimpin sejati tidak hanya diukur dari jabatan, tetapi dari sejauh mana kalian mampu memberikan manfaat bagi masyarakat dan kampus,” tambah Rektor.
Tak lupa, Rektor Universitas Malahayati juga memberikan dorongan kuat kepada Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan seluruh organisasi kemahasiswaan untuk terus maju dan berusaha meraih cita-cita. “BEM Universitas Malahayati, kalian adalah motor penggerak utama dalam menciptakan atmosfer kampus yang dinamis dan penuh prestasi. Teruslah berkarya, maju terus tanpa henti, dan jangan pernah ragu untuk meraih impian kalian. Peran kalian sangat penting dalam membentuk generasi muda yang cerdas, kreatif, dan memiliki semangat kebangsaan yang tinggi. Dunia menanti kontribusi kalian untuk masa depan yang lebih baik,” tambahnya.
Dengan pelantikan ini, Universitas Malahayati semakin menunjukkan komitmennya dalam mencetak pemimpin-pemimpin masa depan yang siap berkompetisi dan memberikan kontribusi di berbagai bidang. Semoga para pimpinan organisasi kemahasiswaan yang baru dilantik dapat memimpin dengan penuh tanggung jawab, serta membawa perubahan positif bagi kehidupan kampus dan dunia luar. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Pelantikan Pimpinan Organisasi Kemahasiswaan Universitas Malahayati Periode 2024-2025, Menyongsong Masa Depan yang Lebih Dinamis dan Berprestasi
Acara pelantikan ini juga turut disaksikan oleh para mahasiswa yang telah siap untuk memimpin dan menggerakkan organisasi kemahasiswaan di berbagai tingkat.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor III Universitas Malahayati, Dr.Eng Rina Febrina, ST., MT, mengawali pidato dengan penuh rasa syukur:
“Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya, kita dapat berkumpul di sini dalam keadaan sehat untuk menghadiri Pelantikan Pimpinan Organisasi Kemahasiswaan Universitas Malahayati Periode 2024-2025. Sebagai Wakil Rektor III yang membawahi bidang kemahasiswaan, saya merasa bangga dapat melaporkan bahwa pada periode kali ini, kami melantik 34 organisasi kemahasiswaan yang terdiri dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di tingkat universitas dan fakultas, Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dari berbagai program studi, serta Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang beragam dan aktif di berbagai bidang.”
Sebagai bagian integral dari universitas, organisasi kemahasiswaan memiliki peran strategis dalam mengembangkan kepemimpinan, mendorong kreativitas, dan memperkuat semangat kebangsaan. Dengan kepemimpinan yang baru ini, Universitas Malahayati berharap organisasi kemahasiswaan dapat terus berkontribusi menciptakan lingkungan kampus yang harmonis, berdaya saing, dan memberikan dampak positif bagi seluruh civitas akademika serta masyarakat luas.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Rektor III juga menyampaikan apresiasi kepada Rektor dan seluruh jajaran pimpinan Universitas Malahayati yang telah memberikan dukungan penuh terhadap kegiatan kemahasiswaan. “Dengan kepemimpinan baru ini, kami percaya organisasi kemahasiswaan Universitas Malahayati akan semakin berkembang, terus berinovasi, dan memberikan manfaat yang besar, tidak hanya bagi mahasiswa, tetapi juga untuk kampus dan masyarakat secara keseluruhan.”
Semangat kepemimpinan yang penuh harapan dan tanggung jawab ini diharapkan menjadi katalisator untuk perubahan positif yang membawa Universitas Malahayati menuju masa depan yang lebih gemilang. Dengan komitmen dan dedikasi tinggi, pimpinan organisasi kemahasiswaan yang baru dilantik siap menghadirkan atmosfer kampus yang lebih dinamis, penuh kreativitas, dan mengedepankan prestasi di berbagai bidang. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Kalau yang Tahu, Pada Nggak Mau
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu yang lalu tim dosen program studi pascarajana mengantarkan mahasiswa ke lapangan untuk melakukan Pembelajaran Lapangan atau PBL di wilayah perbatasan kota dengan salah satu kabupaten tetangga. Sejumlah dosen menjadi pendamping mahasiswa untuk menemukenali persoalan kesehatan pada masyarakat, dengan diantar oleh kepala dusun dan pendamping kesehatan masyarakat.
Dalam perjalanan, salah seorang pimpinan lembaga berkomentar saat berdiskusi yang kaitan dengan persoalan pembangunan bangsa. Beliau berkata “Kita banyak memiliki orang pandai, alumni dari perguruan tinggi pemerintahan dalam negeri, tetapi mereka tidak suka tampil mengambil alih pimpinan tertinggi melalui pemilihan untuk daerahnya”.
Tatkala disesak apa sebenarnya alasan mereka tidak mau tampil itu, ternyata jawabannya sederhana “Karena yang bersangkutan mengetahui persis persoalan yang ada di dalam pemerintahan, dan persoalan itu tidak mudah untuk diselesaikan, justru kebanyakan yang ada menunda masalah, atau bisa jadi masalahnya dipelihara”.
Jawaban-jawaban cerdas dan akademis itu menjadi renungan yang dalam, karena jika dirunut secara sistematis, kebanyakan orang-orang pandai dan mengetahui persoalan daerah itu lebih memilih untuk berada di zona nyaman, dengan meniti karier berjenjang saja, tanpa harus berpeluh-peluh mengikuti pola pemilihan pimpinan (daerah). Dengan kata lain mereka yang tampil dalam pemilihan itu sebenarnya orang yang tidak paham akan persoalan kepemerintahan, hanya bermodal “nekat”, mereka maju ikut kontestasi pemilihan. Sementara jargon “Untuk memperbaiki, membangun, meneruskan” itu adalah konsumsi politik kepemiluan saja. Karena begitu didesak apa yang akan diperbaiki, apa yang akan dibangun, dan apa yang akan diteruskan; yang keluar adalah jawaban diplomatis untuk menghindar dari debat, karena jika sampai debat akan tampak “ketidakpahamannya” akan persoalan. Hal ini terbukti ada wilayah daerah yang tidak tersentuh perbaikan jalan, sekalipun sudah entah berapa kali ganti pimpinan daerah.
Analogi ini tentu tidak selamanya benar, akan tetapi dapat dijadikan referensi pemikiran bersama, karena banyak fakta menunjukkan ada pimpinan daerah yang hanya mengandalkan sekretaris daerahnya jika berkaitan dengan kepemerintahan, sementara yang bersangkutan hanya berfikir bagaimana mengembalikan modal saat maju berkontestasi, dan melaju lagi di periode berikutnya. Bisa juga bagaimana ada keluarganya yang bisa didorong untuk maju menggantikannya. Sehingga otaknya dipenuhi dengan strategi pemenangan dan pelanggengan kekuasaan, bukan memikirkan nasib dari yang dipimpinannya. Jika ada kepala daerah yang berpikir full untuk daerahnya semata-mata sebagai pengabdian dan mencari amal sholeh untuk kepentingan akhiratnya, itu berarti berkah dari Tuhan untuk daerah itu. Sayangnya yang namanya berkah itu tidak banyak; justru yang ditemukan pimpinan daerah memfasilitasi personal untuk ritual keagamaan sebagian tokoh agar dapat dijadikan vote getter bagi keberlangsungan kepemimpinannya ke depan.
Kondisi “Kalau tahu pasti tidak mau” akan terasa manakala pencalonan mengalami kekalahan karena banyak dipecundangi. Hal ini sangat kentara pada waktu kontestasi politik yang baru berlalu. Banyak diantara mereka yang mengalami kekalahan merasa “di luar dugaannya”; hal ini jika dikalkulasi dengan dana, tenaga, dan pendukung yang ada. Mereka tidak menyadari “faktor keberuntungan” itu ternyata tidak hanya pada nasib baik saja, akan tetapi juga ada faktor lain, termasuk diantaranya “tingkat penghianatan pendukung”. Karena mereka yang mengetahui bagaimana lika-liku perjalanan kepemilihan, onak dan duri perjalanan, serta faktor “X” yang lain; dari awal sudah berhitung “maju” atau “tidak”. Di sini tampaknya kecerdasan intelektual saja tidak cukup, tetapi harus didukung oleh kecerdasan emosional, dan kemampuan “membaca” lapangan dengan jeli itu sangat diperlukan, bahkan bisa jadi intuisi juga ikut memberi kontribusi.
Sebagai contoh, ada seorang birokrat memiliki kemampuan intelektual yang mumpuni, bergelar doktor sungguh-sungguh karena kuliah sungguh-sungguh, pangkat dan pengalaman sangat mumpuni, pernah menjabat berbagai jabatan penting dari yang paling rendah sampaai yang paling tinggi untuk level daerah, peluang untuk maju ke jenjang karier tertinggi ada. Namun begitu yang bersangkutan mengetahui bahwa finalisasi jabatan itu dipilih oleh suatu aturan pemilihan yang didominasi oleh keinginan yang akan menggunakan; dengan sertamerta yang bersangkutan “menghindar diri” untuk tidak masuk pada kontestasi pemilihan jabatan, tentu dengan cara yang sangat elegan, karena yang bersangkutan paham jika nekat ikut masuk, maka hanya akan mendapatkan “malu” saja. Ternyata kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosionalnya mampu membaca situasi dengan baik dan benar.
Pertanyaan lanjut apa yang akan terjadi pada negeri ini jika para orang pandai tidak mau ambil kesempatan karena dari jauh mereka sudah tahu bahwa kesempatan itu bukan untuknya. Bisa jadi mereka akan lebih nyaman menjadi warga dunia, dibandingkan jadi warga negara. Kalau ini yang terjadi maka diaspora Indonesia makin banyak adanya. Wallahuaklam wisawab. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Diberikan Pengalaman Langsung Lewat Program Base Learning di Desa Sukajaya Lempasing
Menurut Kepala Program Studi (Ka.Prodi) Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati, Dr. Samino, SH., M.Kes., kegiatan PBL diharapkan dapat memberikan pengalaman nyata bagi mahasiswa dalam melakukan analisis masalah kesehatan yang ada di masyarakat. “Dengan PBL, mahasiswa diharapkan mampu melakukan kegiatan pengumpulan dan pencarian data, menganalisis masalah, memilih masalah potensial, serta merumuskan intervensi penyelesaian masalah kesehatan sebagai bagian dari implementasi Siklus Pemecahan Masalah (Problem Solving Cycle),” ujarnya.
Kegiatan PBL ini tidak hanya mengedepankan aspek teknis, namun juga bertujuan untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa dalam melaksanakan upaya-upaya pemecahan masalah kesehatan masyarakat yang bersifat promotif dan edukatif. Mahasiswa akan melalui tahapan identifikasi masalah, penentuan prioritas masalah, serta analisis faktor-faktor yang mempengaruhi, baik itu yang mendukung maupun yang menghambat. Selanjutnya, mahasiswa akan menyusun Plan of Action (POA) untuk merancang kegiatan intervensi yang tepat guna untuk menyelesaikan masalah kesehatan yang ada di desa.
Kegiatan PBL ini berlangsung di 8 dusun yang ada di Desa Sukajaya Lempasing, dan mahasiswa dibagi ke dalam 8 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 7 hingga 8 mahasiswa. Setiap kelompok akan terjun langsung ke lapangan untuk berinteraksi dengan masyarakat, mengidentifikasi masalah kesehatan yang relevan, dan merancang solusi berbasis kebutuhan lokal.
Melalui kegiatan ini, mahasiswa diharapkan mampu melakukan diagnosa komunitas (Community Diagnosis) dan pemecahan masalah kesehatan (Problem Solving) dengan memberdayakan potensi lingkungan dan melibatkan stakeholder terkait. Salah satu konsep utama yang digunakan dalam analisis status kesehatan masyarakat adalah konsep HL Blum, yang melibatkan empat faktor penting: lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan, dan keturunan. Dengan menggunakan kerangka ini, mahasiswa akan dapat memahami secara lebih mendalam faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat dan merumuskan solusi yang lebih efektif.
Melalui program PBL ini, Universitas Malahayati berharap dapat menghasilkan lulusan yang tidak hanya memiliki pemahaman teoritis yang kuat, tetapi juga keterampilan praktis yang siap diterapkan di lapangan. Dengan pengalaman langsung di desa, mahasiswa akan memiliki bekal yang lebih baik untuk menghadapi tantangan kesehatan masyarakat di dunia nyata.
Kegiatan PBL ini akan berlangsung hingga 16 Februari 2025 dan diharapkan dapat memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan kualitas hidup masyarakat Desa Sukajaya Lempasing, serta memberikan pengalaman berharga bagi mahasiswa dalam pengembangan kompetensi kesehatan masyarakat mereka. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Lakukan Problem Based Learning di Desa Sukajaya Lempasing
Universitas Malahayati diwakili oleh Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes., beserta wakil yang turut hadir bersama Kepala Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, Dr. Samino, SH., M.Kes., dan segenap dosen Magister Kesehatan Masyarakat, serta Guru Besar Universitas Malahayati, Prof. Dr. Sudjarwo, MS. Kegiatan ini juga dihadiri oleh berbagai pihak yang turut berperan penting dalam pelaksanaan program tersebut.
Rusli Effendi, Sekretaris Desa Sukajaya Lempasing, menyambut kedatangan tim Universitas Malahayati dengan hangat. Dalam sambutannya, Rusli mengungkapkan rasa terima kasih dan apresiasi yang tinggi atas kepercayaan yang diberikan kepada desanya untuk menjadi lokasi PBL kali ini. “Kami sangat senang dan bangga Desa Sukajaya Lempasing dipilih untuk program PBL ini. Semoga kegiatan ini dapat membawa manfaat yang besar bagi masyarakat kami, khususnya dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya kesehatan yang baik,” ujar Rusli Effendi.
Kegiatan PBL ini akan berlangsung hingga 16 Februari 2025, di mana mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati akan bekerja langsung dengan masyarakat Desa Sukajaya Lempasing dalam menganalisis masalah kesehatan yang ada dan merancang solusi berbasis komunitas. Program ini tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan keterampilan akademik mahasiswa, tetapi juga untuk mempererat hubungan antara universitas dan masyarakat setempat.
Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta menjadi model dalam implementasi pendidikan kesehatan yang berbasis pada kebutuhan lokal. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Kekuasaan, Mitos atau Fakta
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kekuasaan adalah elemen penting dalam kehidupan sosial dan politik yang mepengaruhi hubungan antarindividu maupun kelompok. Penggunaan kekuasaan yang bijak dan etis dapat membawa manfaat besar, sementara penyalahgunaannya dapat menyebabkan ketidakadilan dan konflik. Batasan atau definisi kekuasaan sendiri banyak sekali; salah satu ringkasannya adalah, kemampuan atau kapasitas seseorang, kelompok, atau institusi untuk memengaruhi, mengendalikan, atau mengarahkan perilaku, keputusan, atau tindakan orang lain. Kekuasaan merupakan salah satu elemen penting dalam hubungan sosial, politik, ekonomi, dan organisasi.
Seiring perjalanan waktu kekuasaan itu dipertahankan dengan membangun mitos; meskipun kekuasaan itu nyata, dalam beberapa kasus, kekuasaan bisa menjadi mitos jika dianggap sebagai sesuatu yang absolut, suci, atau tak terbantahkan. Legitimasi kekuasaan sering dibangun melalui mitos; sementara itu penguasa sering menggunakan cerita, simbol, atau ideologi untuk memperkuat kekuasaan mereka. Di negeri ini pernah seorang Presiden diangkat untuk seumur hidup, karena oleh orang sekitarnya dimembangunkan mitos untuk yang bersangkutan, dengan tujuan mereka yang ada disekitar tadi untuk mendapatkan manfaat akan hal tadi.
Di negeri ini berkelindannya antara kekuasaan, mitos dan fakta sudah lama terjadi; salah satu diantaranya adalah Kisah Pangeran Pekik dari Surabaya yang menjadi menantu Sultan Agung Raja Mataram Islam. Dari berbagai sumber jika dirangkum kita temukan kisah singkat sebagai berikut: Pangeran Pekik adalah seorang bangsawan dari Surabaya, wilayah yang ditaklukkan oleh Sultan Agung. Sebagai bagian dari upaya menyatukan kekuasaan, Sultan Agung menikahkan putrinya dengan Pangeran Pekik, menjadikannya menantu. Hubungan antara menantu dan mertua ini awalnya terlihat harmonis, namun legenda menyebutkan bahwa ada perasaan saling curiga di antara keduanya, terutama karena Pangeran Pekik dianggap berpotensi menjadi ancaman terhadap kekuasaan Sultan Agung.
Dalam beberapa versi cerita, disebutkan bahwa Pangeran Pekik dieksekusi atas perintah Sultan Agung karena tuduhan konspirasi atau pengkhianatan. Pemenggalan kepala menjadi hukuman berat yang diterapkan untuk menjaga kehormatan dan wibawa raja, sekaligus sebagai peringatan kepada pihak lain yang mungkin berniat melawan kekuasaan Mataram. Mitos yang berkembang bahwa kepala Pangeran Pekik di tanam dibawah Dampar atau Singga Sana Raja, sedangkan badannya dimakamkan di luar. Mitos ini dibangun bertujuan untuk meneguhkan kekuasaan raja itu mutlak.
Di Negeri Konoha juga pernah terjadi seorang Kepala Negara konon memaksa anak putrinya menceraikan suami hanya karena diduga menantu itu berkonspirasi ingin menjatuhkanya sebagai kepala negara. Namun duapuluh lima tahun kemudian, sang mantan menantu tadi justru menjadi Kepala Negara ditempat mantan mertua menjadi kepala negara.
Berbeda lagi perkembangan masa kini, di era modern yang menjunjung tinggi demokrasi; ternyata mitos bisa menjadi fakta dengan mudah. Hari ini yang menjadi pimpinan adalah suaminya, dilanjutkan kemudian oleh istrinya, dan digantikan anaknya. Hal seperti ini sah-sah saja karena tidak ada perundang-undangan formal yang dilanggar.
Ada juga orang tua dan anak berseteru hanya karena perebutan kekuasaan atas sesuatu sumber daya ekonomi. Hal seperti ini bisa saja terjadi; sekalipun mitos sudah dibangun bahwa “anak harus mengikuti kehendak orang tua”. Namun pada persoalan ini faktanya berbeda dikarenakan persoalan yang melatarbelaknginya juga berbeda. Bisa dibayangkan perusahaan armada transportasi yang selama ini dikelola oleh anaknya; terpaksa harus dicabut oleh sang-ayah karena menurut beliau penyelenggaraan manajemennya tidak sesuai khitah perusahaan yang dibangunnya.
Merujuk pada sejumlah peristiwa di atas ternyata kekuasaan pada sisi lain bisa berupa mitos, namun pada sisi yang berbeda bisa berubah menjadi fakta. Sebaliknya kekuasaan yang merupakan fakta, namun untuk meneruslajukan syahwat berkuasa, bisa saja dipertahankan dengan menggunakan mitos. Akan tetapi jika kita pahami dari sisi yang berbeda bisa jadi kekuasaan itu adalah anugerah, atau bisa juga merupakan cobaan dari
Yang Maha Kuasa. Berarti kekuasaan itu saat ada pada wilayah ontology, dia bebas nilai; namun manakala dia sudah berada pada wilayan empistemologi, apalagi axiology; maka saat itulah menjadikan kekuasaan tergantung kepada yang menerima mandat atas kekuasaan itu. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Google Bisa Telat Mikir
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu melalui media ini mengirimkan naskah untuk diterbitkan, entah naskah yang keberapa tidak tercatat. Karena apa arti catatan jika dia tidak memberi pesan apa-apa kepada kita sebagai pembaca. Ada pengalaman unik, nyata fakta, sekaligus mustahil; karena seluruh kita di dunia ini hampir semua menggunakan Google dalam bermedia masa, atau mencari informasi apapun. Banyak diantara kita ternyata sangat percaya dengan google dalam berbagai hal. Namun pengalaman menunjukkan tidak selamanya demikian, google adalah program buatan manusia yang tidak mungkin mampu melampaui kemampuan manusia sebagai pembuatnya. Hal ini terbukti dari pengalaman yang dijumpai oleh penulis dalam mengirimkan tulisan, yang bertautan dengan google.
Kasus pertama, tulisan bisa muncul tetapi tidak bisa dibuka; ternyata setelah judulnya diganti tulisan baru bisa dibuka. Peristiwa seperti itu berulang sampai tiga kali atau tiga naskah, dan ini menunjukkan bahwa google tidak paham akan arti kata judul, sehingga menengarai melanggaran aturan mereka. Padahal judul itu tidak berbau rasis, deskriminatif, dan kekerasan; semata-mata hanya kata serapan dari bahasa daerah. Disini tampak sekali keterbatasan kemampuan google dalam “membaca” data. Hal ini menunjukkan bahwa yang mampu mensifati hasil produk itu ya produk itu sendiri, tidak otomatis “kecerdasan buatan” adalah produk berkemampuan tanpa batas.
Kasus yang kedua lebih seru lagi. Semula dengan alasan “pemeliharaan jaringan” media online tidak bisa dibuka. Beberapa jam kemudian baru normal, namun ditengah kenormalan tadi naskah tulisan tidak bisa dibuka. Atas usul penulis oleh redaktur diganti judul, ternyata tetap saja tidak bisa, sampai-sampai hal itu dilakukan berkali-kali. Namun tetap saja google tidak merespon; akhirnya diputuskan untuk dibiarkan. Namun dengan seijin redaksi tulisan tadi dikirimkan kepada media lain. ternyata tidak ada kendala apa-apa; semua lancar seperti tiada peristiwa apapun, dan tulisannya terbit begitu saja . Sebaliknya tulisan yang ada di media ini beberapa puluh jam kemudian mendadak bisa di buka. Di sini menunjukkan bahwa google memang hanya sekedar barang hasil. Tidak bisa diandalkan atau dideklarasikan sebagai program terbaik; dia tetap ciptaan manusia yang memiliki keterbatasan sekaligus kebodohan.
Tulisan ini sengaja dibuat apakah google mampu menditeksi akan koreksian ini melalui sistemnya, atau operator dibelakangnya. Jika sistemnya mampu atau operatornya mampu, itu juga menunjukkan kelemahannya, karena koreksian ini menyangkut emosi, sementara sistem termasuk operator dibelakangnya harus terbebas dari emosi. Sebaliknya jika tidak mampu menditeksi koreksian ini, maka sempurnalah kebodohan yang dimilikinya, dan semakin meneguhkan bahwa dia tidak lebih hanya sistem.
Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis mengingatkan kita semua bahwa ketidaksempurnaan itu adalah sunatullah sejauh itu ciptaan manusia; hanya ciptaan Sang Maha Penciptalah yang berhak menyandang predikat kesempurnaan. Itupun masih diberi keterbatasan dalam hal penggunaan, yang harus memenuhi dan mematuhi hukum-hukumNYA.
Kita semua diharapkan tidak terlalu terbuai dengan produk yang bisa mengkooptasi pemikiran, perilaku, bahkan cara pandang kita. Karena yang namanya sistem itu dapat dipastikan jalannya mengikuti pola algoritma; oleh sebab itu pemahaman akan esensi sangat diperlukan, terutama jika sudah berkaitan dengan “tujuan” dan “kegunaan”.
Kita tidak perlu terpropokasi oleh iklan dari suatu produk sistem, atau mempercayai sepenuhnya dari suatu sistem yang dibangun oleh keahlian. Sebab setiap produk sudah dapat dipastikan adanya tingkat error yang ditoleransi. Oleh sebab itu kita harus tetap waspada akan penggunaannya; bisa jadi saat itu kita berada pada wilayah error dari sistem itu. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Dies Natalis ke-31 Universitas Malahayati, Momen Penuh Makna dan Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Gemilang
Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH., menyampaikan sambutannya via zoom dengan penuh rasa bangga mengungkapkan bahwa universitas yang dipimpinnya kini sudah memasuki usia 31 tahun. Menurutnya, Universitas Malahayati bukan lagi kampus baru, tetapi sudah menjadi salah satu perguruan tinggi yang memiliki sejarah panjang dan kontribusi signifikan untuk Provinsi Lampung.
Dalam momen yang penuh haru itu, Dr. Kadafi juga menceritakan perjalanan panjang Yayasan Alih Teknologi dan Universitas Malahayati sejak awal berdiri hingga berkembang pesat seperti sekarang ini.
“Perjalanan kami bukan tanpa tantangan, namun berkat dedikasi dan kerja keras seluruh sivitas akademika, Universitas Malahayati kini menjadi kebanggaan bagi seluruh masyarakat Lampung,” ujarnya.
Tak lupa, beliau mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada seluruh pihak yang telah mendukung kemajuan universitas, serta menyampaikan harapan agar Dies Natalis kali ini menjadi momentum untuk evaluasi diri. “Semoga dari usia ke-31 ini, kita bisa bersama-sama melihat apa yang perlu diperbaiki, dikembangkan, dan ditingkatkan”.
Rektor berpesan, semoga dari perayaan ulang tahun ini, kita dapat bersama-sama menilai dan merenungkan segala kekurangan yang masih ada, agar bisa kita perbaiki, kembangkan, dan tingkatkan. “Kami berkomitmen untuk terus mendorong kemajuan di setiap lini Universitas Malahayati, dengan tekad untuk menjadikannya sebagai World Class University yang tidak hanya menjadi kebanggaan Lampung, tetapi juga Indonesia”.
Harapan kami, prestasi-prestasi yang telah diraih selama ini terus berkembang, sehingga kita mampu mencapai puncak yang lebih tinggi dan memberikan kontribusi lebih besar bagi bangsa dan negara,” tambahnya.
Dies Natalis ke-31 Universitas Malahayati ini bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga refleksi atas perjalanan panjang dan pencapaian yang telah diraih. Dengan usia yang semakin matang, Rektor berharap Universitas Malahayati terus berbenah dan memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara.
“31 tahun ini adalah usia yang sudah sangat matang, saatnya bagi kita untuk memperbaiki dan terus memberikan yang terbaik untuk Indonesia,” tutupnya dengan penuh keyakinan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Hikayat Romo Tambak versus Tambak Laut
–
Satu episode cerita Ramayana versi pedalangan Jawa berjudul “Romo Tambak” bisa diaktualkan secara kontradiktif saat ini. Kisah ini sesungguhnya bersumbu kepada kekuatan cinta Rama kepada Sinta. Terkesan sepele, tetapi dalam perjalanan dan perjuangannya begitu sarat makna.
Judul pada tulisan ini sengaja dibuat konfrontatif karena ada peristiwa aktual yang mungkin saja terinspirasi dari dongeng Ramayana ini. Judulnya Pagar Laut. Saya yakin, awal kisah ini juga bersumbu dari cinta, lebih tepatnya cinta kepada dunia.
Romo Tambak mengangkat perjuangan Prabu Ramawijaya (Rama) bersama para sekutunya dari bangsa Wanara (kera), dalam membangun jalur menuju Alengka untuk menyelamatkan Dewi Sinta. Di tangan para pujangga Jawa, cerita ini diperkaya dengan narasi dan tambahan tokoh dan nuansa kearifan lokal.
Alur kisah diawali dengan kabar baik yang datang dari Anoman kepada Rama. Kethek (kera) putih ini membawa berita bahwa Dewi Sinta, kekasih Rama berada di Taman Argasoka di Kerajaan Alengka. Kabar ini A-1, kata Anoman. Mendengar itu, rasa rindu Rama yang amat dalam kepada kekasih hatinya tak terbendung. Rama memutuskan untuk menjemput Dewi Sinta yang saat itu dalam penguasaan Rahwana. Ia mengatur siasat, menggalang dukungan, dan mempersiapkan penyerangan.
Pasukan sudah siap, perjalanan dimulai, dan satu dua rintangan diatasi. Namun, pada suatu titik, mereka dihadapkan pada kendala besar, yakni lautan luas yang memisahkan wilayah tempat Rama berada (biasanya digambarkan di kawasan India Selatan) dengan Pulau Alengka.
Rama bersemedi di tepi laut, memohon restu kepada Bethara Baruna (dewa penguasa lautan) agar memberikan jalan bagi pasukannya untuk menyeberang. Pada awalnya, Samodra Raja tidak memberikan tanggapan. Rama, dalam kemarahannya, berniat menembakkan panah pusaka untuk mengeringkan lautan. Ketegangan ini membuat Bethara Baruna akhirnya muncul dan memberikan saran kepada Rama agar membangun tambak (bendungan) dengan bantuan para monyet.
Dengan perintah Rama, para wanara mulai membangun tambak menggunakan batu-batu besar yang diambil dari gunung dan hutan. Dalam versi Jawa, proses ini dipenuhi dengan adegan heroik dan humor, karena para kera sering digambarkan memiliki karakter unik. Mereka dibagi tugas spesifik. Anoman menjadi pemimpin utama, ia mengatur pembagian tugas dengan sigap. Sugriwa dan Subali diberi mandat memimpin pasukan dengan kekuatan besar untuk membawa batu. Anggada, Jembawan, dan para wanara lainnya memiliki peran mempercepat pembangunan tambak.
Dalam beberapa versi pedalangan, Rahwana mencoba menggagalkan pembangunan tambak dengan mengirimkan pasukan raksasa atau menciptakan badai. Namun, para munyuk berhasil menghalau gangguan tersebut dengan bantuan Hanoman dan Rama yang melindungi pekerjaan mereka.
Setelah usaha keras, tambak akhirnya selesai dan jalur menuju Alengka terbuka.
Tambak ini sering disebut sebagai Romo Tambak. Romo bermakna ayah atau pemimpin, merujuk pada Rama sebagai pelindung dan pembimbing dalam perjuangan ini. Untuk kata “Romo” sampai hari ini melekat pada keluarga Jawa panggilan kepada ayah atau orang yang dituakan dan sangat dihormati.
Seperti potongan video, cerita Romo Tambak ini dipotong sampai di sini dulu. Sebab, pesan yang ingin disampaikan dalam konteks ini adalah makna moral tentang bagaimana sesuatu yang semula dianggap mustahil bisa terwujud dengan kerja keras dan kebersamaan. Dan nilai-nilai itu sangat melekat dalam budaya Jawa.
Nilai-nilai itu adalah, pertama, semangat gotong royong. Kesuksesan pembangunan tanggul tambak yang membelah laut menuju Alengka adalah simbol kerja sama yang sangat kuat. Para wanara yang bekerja tanpa pamrih mencerminkan nilai gotong royong yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa.
Kedua, keimanan pada kekuatan Ilahi. Keajaiban batu yang mengapung karena nama Rama menggambarkan kekuatan doa dan keimanan. Nama Rama sebagai lambang kebaikan dan keadilan menjadi kekuatan spiritual yang mengatasi batas-batas fisik.
Ketiga, keseimbangan alam dan manusia. Hubungan antara manusia, alam, dan dewa (Samodra Raja) mencerminkan pandangan kosmologis Jawa yang menekankan harmoni.
Kita tinggalkan dulu cerita Romo Tambak yang memang berbasis dongeng. Namun, tampaknya ada yang mengadopsi dongeng ini ke dalam realita kita berbangsa. Bukan Romo Tambak, tetapi Tambak Laut atau lebih dikenal dengan sebutan pagar laut. Celakanya, kisah nyata ini memiliki makna yang kontradiksi dengan nilai yang disampaikan melalui kisah Ramayana.
Bisa dibayangkan ternyata “menambak Laut” yang semula ditafsir sebagai tindakan kepahlawanan, ternyata di alam nyata justru sebaliknya. Bahkan menjadi perusak ekosistem yang ada, dengan berkedok untuk kepentingan yang lebih besar.
Selama sepuluh tahun kita ternina bobok dengan tampilan yang sederhana seolah tanpa dosa, ternyata lautpun bisa dipagar sampai tiga puluh kilometer; bahkan itu tidak hanya di satu tempat. Di beberapa tempat di negeri ini laut sudah berpagar, dan tanpa ada protes dari manapun.
Lembaga Swadaya Masyarakat yang selama ini dikenal garang, ternyata bisa abai dengan pagar laut yang terus bertambah dan merebak di mana-mana.
Atas nama reklamasi, pengamanan wilayah, dan entah apalagi; semua bisa dilakukan; bahkan surat resmi dari negarapun ada. Setelah terbuka dan diambil tindakan; tidak satupun pejabat yang mau bertanggungjawab. Padahal mereka sudah terima “cuan” saat itu entah dengan atas nama “uang apa”. Dan, anehnya ada pejabat tinggi saat menjabat mengeluarkan surat izin resmi, begitu di tanya, jawabannya ringan bagai kapas “saya tidak tahu”. Seolah berlaku hukum sosial kalau tanggung jawab sifatnya ke bawah, kalau uang sifat ke atas.
Kita tinggal tunggu apakah “langit” di negeri ini sudah juga disertifikatkan, karena bisa jadi nantinya orang memiliki lahan tidak berikut langitnya. Atau menjual langitnya saja, tidak berikut lahan atau bangunan dibawahnya; karena negeri ini sudah mendekati menjadi “negeri dongeng”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kekuasaan yang Menguasai
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa hari lalu ada seorang sohib mengomentari tulisan yang terbit di salah satu media dengan sangat filosofis dan mendasar. Menurutnya, sekarang telah terjadi pergeseran maknawi tentang kekuasaan. Kekuasaan yang semula secara ontologis bermakna amanah yang diemban untuk menyejahterakan yang memberi kuasa melalui proses penghimpunan dukungan berupa pemilihan, sekarang berubah bahwa kekuasaan yang diperoleh itu adalah “milik pribadi”. Karena milik pribadi, mau digunakan untuk apa, dengan cara apa, suka-suka yang berkuasa.
Komentar seperti itu sangat menohok, karena hanya mereka yang terus berfikir kritis methodologis yang mampu menganalisis pergeseran seperti itu.
Memang, kekuasaan tidak hanya bersifat fisik atau koersif. Kekuasaan juga ideologis, spiritual, dan struktural. Kekuasaan yang “menguasai” cenderung melibatkan permainan kompleks antara kendali, pengaruh, dan legitimasi. Berkelindannya ketiga hal tadi, itulah seni berkuasa.
Ketika kekuasaan dianggap sebagai milik pribadi, ia sering menimbulkan ketimpangan, korupsi, dan penyalahgunaan. Namun, filsafat kekuasaan modern menekankan pentingnya memandang kekuasaan sebagai tanggung jawab bersama yang bertujuan melayani kepentingan umum, bukan kepentingan individu semata.
Mengapa di negeri ini sering timbul “rasa diri” bahwa kekuasaan itu adalah “milik pribadi”? Ternyata salah satu di antaranya karena peninggalan pemikiran feodal. Kekuasaan dalam perspektif tradisional masih begitu melekat pada sebagian otak pejabat, sehingga berwujud dalam bentuk sistem monarki tradisional bentuk baru, dan oleh karenanya kekuasaan dianggap sebagai hak pribadi pemimpin atau penguasa. Kekuasaan diwariskan melalui garis keturunan, dan penguasa dianggap memiliki hak ilahi (divine right of kings).
Seiring itu juga muncul kekuasaan pribadi dalam wujud neo-feodalisme: Dalam feodalisme, kekuasaan pribadi ditentukan oleh hubungan hierarkis antara tuan tanah dan bawahannya. Kekuasaan atas wilayah dan rakyat menjadi “milik pribadi” tuan tanah. Sedangkan dalam neo-feodalisme kekuasaan pribadi akan sumber ekonomi rakyat menjadi kekuatan besar untuk “berbuat apa saja” agar syahwat untuk terus berkuasa terpenuhi.
Kekuasaan lahan berganti akan penguasaan pasar dan sumber produksi; sempurnalah jadinya harga ditentukan oleh pribadi yang dimanisfestasikan oleh koorporasinya.
Kekuasaan yang dipersonifikasi sebagai milik pribadi ini dimuluskan jalannya manakala kekuasaan untuk membuat aturanpun dikuasai dengan pola pikir koorporasi. Sehingga hari ini suaminya jadi pemimpin, besok bisa istrinya, dan lusa bisa jadi anaknya. Secara perundangan tidak ada yang dilanggar, hanya kepatutan saja seolah kurang tepat. Namun kepatutan sendiri adalah produk budaya, manakala budayanya sudah direkayasa agar sesuatu yang semula tidak patut, bisa saja diubah menjadi “patut”; maka semua akan tampak “mulus” tanpa cacat; maka sempurnalah kekuasaan yang menguasai sehingga bisa menjadikan kekuasaan adalah sama dan sebangun dengan milik pribadi.
Tampaknya kesalahan silogisme di atas saat ini sedang berlangsung dinegeri yang kita cintai ini. Sehingga analogi yang dikemukakan oleh sahabat pemberi ide ini yang mengatakan banyak diantara kita salah memaknai saat Syaidina Umar sedih melihat rakyatnya ada yang merebus batu agar anak-anaknya bisa melupakan kemiskinan dan tertidur; menjadi “biarkan mereka merebus batu sampai kapan pun yang penting saya bisa tidur”. Kalau syaidina Umar mendatangi sendiri rakyatnya tanpa pengawalan sehingga tidak perlu biaya; sementara sekarang jika pemimpinnya datang, lebih besar ongkos dia datang dibandingkan dengan yang dia sumbangkan.
Kehadiran pemerintah dimaknai berbeda dengan konsep dasarnya; namun karena itu menjadi semacam kelaziman, maka tampaknya semakin sempurna kesalahan silogisme dibangun. Bisa dibayangkan kehadiran pemimpin yang dirancang, ternyata settingannya harus memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Semua ini mengakibatkan “pemerintahan biaya tinggi” yang ujungnya hanya membangun pencitraan semata. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman