Oleh: Sudjarwo 
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
A: Aku bunuh kamu nanti!
B: Coba, bunuhlah, jika memang jago!
A: Nanti, kata saya!
Sebenarnya beberapa hari ini, saya kehilangan mood untuk menulis, bahkan sampai pada titik nadir: lesu dan “buntu”.Namun membaca tulisan opini Herman Batin Mangku (HBM) pada media ini yang berkaitan dengan dialog imajiner dua tokoh negeri ini, gairah untuk menulis sontak muncul.
Pada alinie terakhir dari tulisan itu menyentuh dawai humor saya dan memantik untuk munculnya dialog tiga kalimet pendek di atas. Tulisan ini mencoba memahami dialog imajiner itu dari sisi kehidupan lain.
Tiga kalimat pendek yang, meski tampak sederhana, menyimpan lapisan makna mendalam tentang manusia, kebebasan, dan keberadaan.
Dalam suasana konflik yang dapat kita bayangkan muncul dari pergulatan batin atau perseteruan laten antar dua pribadi, dialog ini membuka pintu perenungan panjang tentang siapa manusia itu dan bagaimana eksistensinya ditentukan oleh kebebasan memilih, menunda, atau bahkan menggugurkan niat yang lahir dari dorongan sesaat.
Kalimat pertama adalah ancaman. Namun, bukan sekadar ekspresi amarah biasa. Ia adalah pernyataan kuasa, bentuk dari kehendak atas yang lain, sebuah pengakuan akan potensi destruktif yang bisa diwujudkan.
Dalam perspektif filsafat manusia, manusia tidak hanya makhluk berpikir, tetapi juga makhluk bertindak, yang dengan kesadarannya mampu memilih jalan penciptaan atau kehancuran.
Kalimat “aku bunuh kamu nanti” mengandung kesadaran itu, ia bukan perbuatan spontan, tapi janji tindakan yang ditunda. Di sinilah letak kedalaman pertamanya: ancaman itu tidak bersifat segera, melainkan direncanakan.
Ia mengandung deliberasi, dan karenanya mengandung kebebasan.
Responsnya, “bunuhlah,” bukan bentuk ketakutan, melainkan penerimaan. Bahkan, bisa dimaknai sebagai tantangan. Di sinilah filsafat eksistensial berperan. Manusia, sebagaimana dipahami oleh pemikir seperti Sartre, adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab atas kebebasannya.
Ketika seseorang menjawab “bunuhlah,” ia seolah mengamini kemungkinan bahwa hidup ini adalah bentang yang absurd yang tak selalu berpola, tak selalu adil. Tapi dalam pengakuan terhadap ancaman itu, ia juga menunjukkan keutuhan dirinya sebagai subjek.
Ia tidak bersembunyi di balik ketakutan, tidak pula menawar ancaman itu dengan permohonan. Ia berdiri sebagai pribadi utuh yang menerima bahwa hidup dan mati bisa saja bukan di tangannya, namun respons terhadap keduanya tetap menjadi kebebasannya.
Pernyataan penutup, “nanti, kata saya,” adalah titik balik. Di sinilah dimensi kemanusiaan paling nyata terlihat. Ada jeda, ada ruang berpikir. Ancaman yang sedari awal dikatakan dengan niat yang tegas, kini kembali ditegaskan akan terjadi tetapi di waktu yang tak pasti.
Ini bukan hanya penundaan, melainkan pengakuan akan keberlangsungan waktu dan kemungkinan berubahnya kehendak.
Di dalamnya ada pengakuan bahwa manusia tidak statis. Bahwa kehendak bisa berubah, bahwa kemarahan bisa reda, bahwa niat untuk mengakhiri hidup orang lain bisa menjadi renungan yang membawa pada pemahaman yang lebih dalam.
Jika kita tarik lebih jauh ke dalam pemikiran Emmanuel Levinas, ada yang jauh lebih menggetarkan. Levinas mengajarkan bahwa wajah orang lain adalah panggilan etis. Bahwa melihat orang lain bukan hanya melihat objek, tetapi subjek yang memanggil tanggung jawab kita.
Maka, mengancam membunuh orang lain bukan hanya pernyataan kekuasaan, tapi bentuk penyangkalan terhadap kemanusiaan yang hadir di depan kita. Namun, menariknya, dialog ini memperlihatkan kemungkinan bahwa si pengancam belum tentu akan mewujudkan niatnya.
“Nanti, kata saya,” membuka celah etis itu: kemungkinan bahwa ia akan melihat wajah orang yang diancam, mengenal kemanusiaannya, dan akhirnya memilih untuk tidak menjadi algojo. Maka dalam penundaan itu terdapat harapan akan kesadaran etis.
Manusia, pada akhirnya, adalah makhluk yang tidak selesai. Selalu menjadi, tidak pernah final.
Dalam tiga kalimat ini, kita melihat bagaimana manusia berada dalam ambiguitas: antara kehendak dan keraguan, antara penerimaan dan perlawanan, antara keputusan dan penundaan.
Filsafat manusia mengajarkan bahwa yang membuat kita manusia bukan sekadar tubuh atau pikiran, tapi kemampuan untuk memilih, menunda, mengubah, dan bahkan menggugurkan pilihan. Itulah kebebasan eksistensial yang menjadi ciri kita sebagai manusia.
Akhir cerita dari dialog imajiner HBM menarik untuk dicermati. Apakah Sang jenderal akan menggunakan cara kejenderalanannya dalam menyelesaikan masalah, seperti yang di singgung oleh HBM dalam alinea penutup atau dengan cara lain yang lebih elegan.
Entahlah…hanya pelaku dan Tuhan yang tahu. Hanya yang perlu digarisbawahi , filsafat tidak hanya membaca dialog ini sebagai percakapan dua orang. Ia membacanya sebagai percakapan tentang kita semua.
Tentang ketegangan antara kehendak dan moralitas, antara hasrat dan tanggung jawab, antara kebebasan dan batas-batasnya. Dan justru dalam ketegangan itu, manusia menjadi manusia. Oleh sebab itu mari kita tunggu dialog imajiner selanjutnya dari HBM. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Bayang-Bayang Hantu Kekuasaan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada media sosial mainstream saat ini, sedang ramai dibicarakan bagaimana seorang pimpinan daerah sedang menunjukkan kuasanya dengan memberikan bantuan kepada instansi yang bukan kewenangannya untuk dibantu. Alih-alih untuk menyadari akan kekeliruan saat diingatkan, sekalipun dengan surat terbuka. Malah yang dimunculkan sikap bertahan, dengan berlindung kepada pendapat tenaga kontrak yang dibayar untuk melindungi setiap kebijakannya.
Fenomena seperti ini kerap muncul di ruang sosial; kelakuan sebagian pejabat publik untuk menunjukkan resistensi terhadap kritik. Ketika diingatkan, bukan keterbukaan yang ditampilkan, melainkan reaksi defensif, penuh kecurigaan, bahkan kemarahan. Dalam situasi semacam ini, bukan nalar yang bekerja, tetapi ego. Ego yang telah tersentuh oleh kekuasaan tidak lagi mengenal batas. Ia merasa memiliki kebenaran, merasa tidak perlu dikoreksi, merasa menjadi penafsir tunggal terhadap apa yang disebut kepentingan rakyat.
Dari sudut pandang filsafat kontemporer, terutama yang menaruh perhatian pada kuasa dan subjektivitas, kita dapat melihat bahwa kekuasaan selalu menggoda untuk menutup diri dari kritik. Kritik mengancam struktur nyaman yang telah dibangun. Ia mengganggu ilusi kendali. Dan dalam dunia yang dikuasai oleh ilusi-ilusi semacam itu, pejabat yang menolak kritik sebenarnya sedang mempertahankan narasi tentang dirinya sendiri; bahwa dirinya kuat, dirinya tahu segalanya, dan dirinya tidak perlu diingatkan.
Namun sejatinya justru dalam momen ketika seseorang menolak kritik, di sanalah kita melihat kegamangan kuasa. Kekuasaan yang sejati tidak takut pada kritik. Sebaliknya, kekuasaan yang rapuh selalu membentengi diri dengan simbol, dengan jarak, dan dengan retorika pengabaian. Maka setiap kali seseorang yang berada dalam posisi kekuasaan menolak untuk mendengar, sesungguhnya ia sedang menunjukkan betapa ia dikendalikan oleh hantu-hantu yang membisikkan superioritas palsu.
Ego kekuasaan bekerja bukan melalui logika, melainkan afek. Ia muncul dalam bentuk rasa terganggu, tersinggung, tersudut. Padahal dalam kerangka rasionalitas publik, kritik seharusnya dilihat sebagai mekanisme penyeimbang. Kritik bukan ancaman, melainkan koreksi. Namun dalam banyak kasus, kritik ditafsir sebagai serangan terhadap pribadi, bukan sebagai masukan terhadap kebijakan. Hal ini menunjukkan bahwa antara jabatan dan identitas, telah terjadi tumpang tindih. Sang pemegang jabatan tidak lagi mampu membedakan antara dirinya sebagai pribadi dan dirinya sebagai bagian dari sistem pelayanan publik.
Kita sedang menghadapi zaman di mana simbol-simbol kekuasaan masih lebih dihormati daripada esensi tanggung jawab. Pakaian dinas, panggilan kehormatan, protokol, dan semua perangkat birokrasi menjadikan pemegang kekuasaan mudah merasa berada di atas. Dalam kondisi semacam ini, kritik terasa seperti penghinaan. Padahal kritik sejatinya adalah bentuk cinta terhadap tatanan yang lebih baik. Tapi cinta semacam ini ditolak karena dianggap sebagai ancaman terhadap martabat palsu yang dibangun oleh simbol-simbol luar.
Filsafat kontemporer mengajarkan kita bahwa identitas bukanlah sesuatu yang tetap. Ia terus berubah, dibentuk oleh relasi, oleh bahasa, oleh sejarah. Maka pejabat publik pun bukan identitas tunggal. Ia harus terus-menerus menjadi, terus merefleksi, terus merespons konteks. Namun ego kekuasaan mematikan proses ini. Ia menjadikan pejabat sebagai sosok beku; yang merasa sudah jadi, bukan sedang menjadi. Tidak ada ruang untuk kritik karena tidak ada kesadaran akan ketidaksempurnaan.
Ketika seseorang tidak bisa menerima kritik, itu bukan semata soal karakter. Itu adalah persoalan filsafat. Itu adalah soal bagaimana seseorang memahami dirinya dalam relasi dengan yang lain. Apakah ia melihat dirinya sebagai pusat segala-galanya, atau sebagai bagian dari jaringan sosial yang saling terkoneksi. Dalam filsafat dialogis, manusia dipahami sebagai makhluk yang hanya bisa menjadi manusia sejati melalui pertemuan dengan yang lain. Maka pejabat publik, dalam ruang sosial, hanya bisa menjalankan fungsinya secara etis jika ia mampu membuka diri terhadap suara rakyat.
Namun kekuasaan kerap membungkam ruang dialog itu. Ia menggantinya dengan monolog. Hanya satu suara yang boleh terdengar. Hanya satu versi kebenaran yang dianggap sah. Dalam ruang seperti ini, kritik kehilangan tempat. Dan ketika kritik tidak lagi punya ruang, maka kekuasaan akan membusuk dalam ruang gema; di mana satu-satunya suara yang terdengar hanyalah suara dari dalam dirinya sendiri. Ini adalah bentuk paling halus dari pembusukan moral dalam kekuasaan.
Kita perlu merenungkan bahwa dalam sistem yang sehat, kekuasaan bukan tempat istimewa, tetapi tempat tanggung jawab. Bukan posisi untuk merasa tinggi, tetapi posisi untuk merunduk dan melayani. Ketika pejabat publik menjadikan kekuasaan sebagai perpanjangan egonya, maka hilanglah fungsi utama kekuasaan itu sendiri: menghadirkan kebaikan bersama. Ego yang membesar dalam kekuasaan menciptakan ruang hampa makna. Semua menjadi soal kehormatan, bukan soal kinerja. Semua menjadi tentang “saya,” bukan tentang “kita.”
Namun, dari kacamata filsafat kontemporer, harapan tidak pernah sepenuhnya padam. Justru dalam kerapuhan struktur ini, ruang etis terbuka. Ruang untuk membongkar kembali, membaca ulang, dan menafsir ulang peran kekuasaan. Kebenaran tidak pernah mati dalam suara yang dibungkam. Ia hidup dalam bisikan-bisikan yang tetap bertahan. Maka jika pejabat publik terus mengedepankan ego daripada keterbukaan, ia sebenarnya sedang menggali jarak yang lebih dalam antara dirinya dan rakyat yang ia wakili.
Satu hal yang pasti: kekuasaan adalah titipan. Dan setiap titipan mengandung risiko. Risiko bahwa ia bisa salah kelola, bisa disalahgunakan, atau bahkan bisa merusak moral penerimanya. Dalam terang ini, kritik bukan ancaman, melainkan pelindung. Ia adalah cermin agar kekuasaan tidak menjadi candu. Agar ego tidak menjelma menjadi hantu yang menuntun kebijakan ke arah yang menindas. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Dilarang Menikah dengan Orang Satu Kampung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu pemerintah kota memberikan “klarifikasi” dari sesuatu hal berkaitan dengan “surat seorang sahabat” yang mencoba mengingatkan atas kekurangtepatan dalam mengambil keputusan karena memberikan bantuan kepada lembaga yang tidak semestinya. Namun alih-alih klarifikasi itu meluruskan, justru membingungkan. Kebingungan itu sama halnya kita membaca judul tulisan ini, karena bisa jadi itu semua orang yang ada di kampung itu, atau bisa juga satu orang dari satu kampung itu. Dalam filsafat ilmu, kesesatan seperti ini dikenal dengan istilah “Terminus aequivocus” berarti “istilah yang ambigu” atau “istilah dengan makna ganda”. Karena istilah “sekampung” dalam frase itu mengandung lebih dari satu arti, dan bisa menyebabkan kesalahpahaman jika tidak dijelaskan lebih lanjut.
Dalam zaman yang serba cepat, ketika informasi datang tanpa henti dan makna bergeser dalam tiap lintasan kalimat, seorang pemimpin dituntut untuk menjadi jangkar kebenaran. Ia bukan sekadar pengelola keputusan, tetapi juga penafsir realitas. Perannya tidak hanya pada tataran tindakan, tetapi juga pada level bahasa: bagaimana ia berbicara, menjelaskan, dan memberi arah melalui kata-kata. Di sinilah letak pentingnya kejelasan konseptual, terutama dalam menghindari penggunaan bahasa yang berada dalam wilayah terminus aequivocus.
Pada kerangka filsafat kontemporer, bahasa bukan lagi hanya alat menyampaikan maksud, tetapi juga arena pembentukan kekuasaan, realitas, dan relasi antarindividu. Maka, seorang pemimpin harus menyadari bahwa tiap kata yang diucapkan memiliki beban etis dan konsekuensi praksis. Ketika sebuah pernyataan memiliki makna ganda, publik dipaksa untuk menafsirkan, menebak, bahkan mencurigai. Hal ini membuka ruang bagi distorsi, manipulasi, dan keraguan yang merusak kepercayaan. Oleh karena itu, kejelasan dalam berbahasa bukan hanya soal retorika, tapi fondasi etika dalam kepemimpinan.
Ketika seorang pemimpin menyampaikan larangan, kebijakan, atau arahan, setiap istilah yang digunakan haruslah bersifat univokus, yaitu memiliki makna yang tunggal, jelas, dan tak menyisakan ruang bagi interpretasi yang membingungkan. Ini bukan berarti menghapus kedalaman bahasa, melainkan menyederhanakan agar pemahaman dapat diakses secara merata.
Sebuah kalimat seperti “dilarang menikahi orang sekampung” tampak sederhana, namun menyimpan potensi ambiguitas besar. Apakah larangan itu berdasar pada geografi, kekerabatan, atau tradisi adat?. Tanpa penjelasan yang tegas, frasa semacam itu membuka peluang perdebatan tanpa ujung.
Di sinilah letak tanggung jawab seorang pemimpin: bukan hanya membuat aturan, tetapi memastikan bahwa aturan itu dipahami sebagaimana dimaksud. Dalam filsafat kontemporer, pemahaman yang salah bukan hanya kesalahan penerima pesan, melainkan juga pengirim pesan yang tidak menyusun komunikasinya dengan akurat. Maka, kejelasan menjadi perwujudan tanggung jawab epistemik, bukan hanya keterampilan komunikasi.
Kepemimpinan yang lemah seringkali tampak dalam kegagalan mengelola makna. Pemimpin yang berkata “kita akan evaluasi” tanpa menjelaskan kriteria, waktu, atau objek evaluasi, sesungguhnya tidak sedang berbicara, tetapi menyembunyikan. Bahasa seperti ini bukan sekadar kosong, melainkan berbahaya. Ia memberi kesan ada tindakan, padahal tidak ada substansi. Ia menenangkan sementara, tapi menciptakan luka jangka panjang. Di sinilah bahasa ganda menunjukkan watak sesungguhnya: sebagai alat kuasa yang membingungkan, bukan membebaskan.
Namun demikian, kejelasan bukan berarti kesederhanaan yang dangkal. Pemimpin tidak boleh terjebak pada gaya komunikasi populis yang mengorbankan kedalaman demi kepuasan massa.
Kejelasan yang dimaksud adalah ketegasan makna: setiap istilah dipilih dengan kesadaran penuh atas sejarah, konteks, dan dampaknya. Ia berbicara untuk dipahami, bukan untuk disanjung. Ia menjelaskan untuk membimbing, bukan untuk mengaburkan.
Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa realitas sosial terbentuk melalui konstruksi linguistik. Dalam dunia di mana batas antara fakta dan opini kian tipis, tugas pemimpin bukan hanya mengatakan hal yang benar, tetapi mengatakan kebenaran dengan cara yang tidak memungkinkan disalahpahami.
Pemimpin yang berbicara tentang “keadilan sosial”, misalnya, harus menjabarkan apakah ia berbicara tentang distribusi ekonomi, kesetaraan hukum, atau representasi politik. Tanpa itu, istilah tersebut menjadi sekadar slogan yang bisa ditafsirkan sesuka hati oleh siapa pun, termasuk oleh mereka yang ingin membelokkan maknanya untuk kepentingan sendiri.
Tantangan terbesar dalam kepemimpinan masa kini bukanlah mengambil keputusan saja, tetapi menjelaskan keputusan itu dalam bahasa yang jujur. Dalam dunia yang kerap penuh kepura-puraan, kejujuran bukan hanya soal niat, tapi juga soal struktur bahasa. Seorang pemimpin yang ingin jujur harus memastikan bahwa setiap istilah yang digunakan tidak menipu melalui ketidakjelasan. Ini adalah bentuk keberanian intelektual dan moral. Lebih mudah menyembunyikan di balik frasa ambigu daripada mengungkapkan kenyataan yang mungkin tidak populer. Tapi pemimpin sejati tidak bersembunyi di balik kabut makna.
Seorang pemimpin harus memahami bahwa setiap publik yang ia pimpin memiliki tingkat literasi makna yang berbeda. Maka, ia harus menjadi jembatan, bukan menara gading. Kata-katanya harus inklusif secara semantik: tidak mempersulit, tapi juga tidak merendahkan. Ia harus mampu merancang komunikasi yang tidak membiarkan warganya tersesat dalam labirin kata yang tidak jelas. Pemimpin tidak hanya bertanggung jawab atas apa yang ia katakan, tetapi juga atas bagaimana hal itu dipahami.
Pada akhirnya, kepemimpinan adalah seni membimbing dalam kegelapan. Dan dalam kegelapan, kata-kata yang jelas adalah cahaya. Pemimpin yang mampu memberi penjelasan tanpa menyisakan ruang untuk ambiguitas, telah memberi lebih dari sekadar informasi, tetapi ia telah memberi arah, ketenangan, dan harapan. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Aku 8unuh Kamu, Nanti!
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
A: Aku bunuh kamu nanti!
B: Coba, bunuhlah, jika memang jago!
A: Nanti, kata saya!
Sebenarnya beberapa hari ini, saya kehilangan mood untuk menulis, bahkan sampai pada titik nadir: lesu dan “buntu”.Namun membaca tulisan opini Herman Batin Mangku (HBM) pada media ini yang berkaitan dengan dialog imajiner dua tokoh negeri ini, gairah untuk menulis sontak muncul.
Pada alinie terakhir dari tulisan itu menyentuh dawai humor saya dan memantik untuk munculnya dialog tiga kalimet pendek di atas. Tulisan ini mencoba memahami dialog imajiner itu dari sisi kehidupan lain.
Tiga kalimat pendek yang, meski tampak sederhana, menyimpan lapisan makna mendalam tentang manusia, kebebasan, dan keberadaan.
Dalam suasana konflik yang dapat kita bayangkan muncul dari pergulatan batin atau perseteruan laten antar dua pribadi, dialog ini membuka pintu perenungan panjang tentang siapa manusia itu dan bagaimana eksistensinya ditentukan oleh kebebasan memilih, menunda, atau bahkan menggugurkan niat yang lahir dari dorongan sesaat.
Kalimat pertama adalah ancaman. Namun, bukan sekadar ekspresi amarah biasa. Ia adalah pernyataan kuasa, bentuk dari kehendak atas yang lain, sebuah pengakuan akan potensi destruktif yang bisa diwujudkan.
Dalam perspektif filsafat manusia, manusia tidak hanya makhluk berpikir, tetapi juga makhluk bertindak, yang dengan kesadarannya mampu memilih jalan penciptaan atau kehancuran.
Kalimat “aku bunuh kamu nanti” mengandung kesadaran itu, ia bukan perbuatan spontan, tapi janji tindakan yang ditunda. Di sinilah letak kedalaman pertamanya: ancaman itu tidak bersifat segera, melainkan direncanakan.
Ia mengandung deliberasi, dan karenanya mengandung kebebasan.
Responsnya, “bunuhlah,” bukan bentuk ketakutan, melainkan penerimaan. Bahkan, bisa dimaknai sebagai tantangan. Di sinilah filsafat eksistensial berperan. Manusia, sebagaimana dipahami oleh pemikir seperti Sartre, adalah makhluk bebas yang bertanggung jawab atas kebebasannya.
Ketika seseorang menjawab “bunuhlah,” ia seolah mengamini kemungkinan bahwa hidup ini adalah bentang yang absurd yang tak selalu berpola, tak selalu adil. Tapi dalam pengakuan terhadap ancaman itu, ia juga menunjukkan keutuhan dirinya sebagai subjek.
Ia tidak bersembunyi di balik ketakutan, tidak pula menawar ancaman itu dengan permohonan. Ia berdiri sebagai pribadi utuh yang menerima bahwa hidup dan mati bisa saja bukan di tangannya, namun respons terhadap keduanya tetap menjadi kebebasannya.
Pernyataan penutup, “nanti, kata saya,” adalah titik balik. Di sinilah dimensi kemanusiaan paling nyata terlihat. Ada jeda, ada ruang berpikir. Ancaman yang sedari awal dikatakan dengan niat yang tegas, kini kembali ditegaskan akan terjadi tetapi di waktu yang tak pasti.
Ini bukan hanya penundaan, melainkan pengakuan akan keberlangsungan waktu dan kemungkinan berubahnya kehendak.
Di dalamnya ada pengakuan bahwa manusia tidak statis. Bahwa kehendak bisa berubah, bahwa kemarahan bisa reda, bahwa niat untuk mengakhiri hidup orang lain bisa menjadi renungan yang membawa pada pemahaman yang lebih dalam.
Jika kita tarik lebih jauh ke dalam pemikiran Emmanuel Levinas, ada yang jauh lebih menggetarkan. Levinas mengajarkan bahwa wajah orang lain adalah panggilan etis. Bahwa melihat orang lain bukan hanya melihat objek, tetapi subjek yang memanggil tanggung jawab kita.
Maka, mengancam membunuh orang lain bukan hanya pernyataan kekuasaan, tapi bentuk penyangkalan terhadap kemanusiaan yang hadir di depan kita. Namun, menariknya, dialog ini memperlihatkan kemungkinan bahwa si pengancam belum tentu akan mewujudkan niatnya.
“Nanti, kata saya,” membuka celah etis itu: kemungkinan bahwa ia akan melihat wajah orang yang diancam, mengenal kemanusiaannya, dan akhirnya memilih untuk tidak menjadi algojo. Maka dalam penundaan itu terdapat harapan akan kesadaran etis.
Manusia, pada akhirnya, adalah makhluk yang tidak selesai. Selalu menjadi, tidak pernah final.
Dalam tiga kalimat ini, kita melihat bagaimana manusia berada dalam ambiguitas: antara kehendak dan keraguan, antara penerimaan dan perlawanan, antara keputusan dan penundaan.
Filsafat manusia mengajarkan bahwa yang membuat kita manusia bukan sekadar tubuh atau pikiran, tapi kemampuan untuk memilih, menunda, mengubah, dan bahkan menggugurkan pilihan. Itulah kebebasan eksistensial yang menjadi ciri kita sebagai manusia.
Akhir cerita dari dialog imajiner HBM menarik untuk dicermati. Apakah Sang jenderal akan menggunakan cara kejenderalanannya dalam menyelesaikan masalah, seperti yang di singgung oleh HBM dalam alinea penutup atau dengan cara lain yang lebih elegan.
Entahlah…hanya pelaku dan Tuhan yang tahu. Hanya yang perlu digarisbawahi , filsafat tidak hanya membaca dialog ini sebagai percakapan dua orang. Ia membacanya sebagai percakapan tentang kita semua.
Tentang ketegangan antara kehendak dan moralitas, antara hasrat dan tanggung jawab, antara kebebasan dan batas-batasnya. Dan justru dalam ketegangan itu, manusia menjadi manusia. Oleh sebab itu mari kita tunggu dialog imajiner selanjutnya dari HBM. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Tertawa Saat Bersedih, Menangis Saat Gembira
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Diskusi bersama mahasiswa pascasarjana memang menarik, dan mengasyikkan; ini terbukti saat diselah-selah bimbingan tugas akhir, diantara mereka ada yang nyeletuk “mengapa kita harus menangis saat bersedih, dan mengapa harus tertawa saat gembira”. Tentu saja pernyataan ini bukan sekedar pernyataan biasa, apalagi pertanyaan humor; akan tetapi pertanyaan yang mengandung unsur pertanyaan filsafat yang sesungguhnya. Tulisan ini mencoba mengungkapnya dari kacamata filsafat kontemporer yang akhir-akhir ini mendapat banyak perhatian dari para penggiat filsafat.
Kehidupan manusia adalah rangkaian pengalaman afeksi yang tidak dapat dipisahkan dari kontradiksi dan ambiguitas. Kita biasa diajarkan bahwa ekspresi emosi haruslah sesuai dengan keadaan: tertawa saat bahagia, menangis saat sedih. Namun, perintah sosial ini seringkali menghilangkan kompleksitas dan kedalaman pengalaman batin. “Tertawalah saat bersedih, dan menangislah saat bergembira” bukanlah sekadar kebalikannya, tetapi sebuah undangan untuk memasuki dimensi afeksi yang lebih luas, di mana emosi tidak lagi dikurung oleh norma dan kepatutan. Di sinilah kita dapat memahami bahwa ekspresi emosi bukan sekadar cerminan keadaan, tetapi juga tindakan pembebasan dan afirmasi eksistensial.
Tertawa saat bersedih mungkin tampak sebagai reaksi yang aneh, sebuah ironi yang menyakitkan. Namun, tertawa dalam kesedihan adalah manifestasi dari sebuah perlawanan terhadap keputusasaan. Tawa yang muncul di saat kita tengah menghadapi kesedihan yang mendalam bukan penyangkalan, melainkan sebuah cara untuk mengatasi dan memberi jarak terhadap penderitaan. Ia memecah kesunyian yang membebani, menembus kebekuan emosi, dan membuka ruang bagi kebebasan batin. Ketika tawa muncul di tengah gelombang kesedihan, ia mengisyaratkan bahwa manusia tidak sepenuhnya menjadi korban dari nasib atau keadaan. Ada kapasitas untuk menegaskan keberadaan, untuk tetap hadir dengan kekuatan yang tak terduga. Tertawa di saat bersedih adalah bahasa tubuh yang mengungkapkan bahwa meskipun dunia menawarkan kesakitan, kita masih dapat memilih sikap dan cara meresponnya.
Lebih jauh lagi, tawa di saat sedih menunjukkan ambiguitas dalam diri manusia: keberadaan emosi yang tidak bisa dikotak-kotakkan menjadi hitam dan putih, bahagia dan sedih, benar dan salah. Ia memperlihatkan bahwa kesedihan dan kegembiraan tidak harus beroperasi secara eksklusif, melainkan dapat saling melengkapi dan menambah kedalaman pengalaman batin manusia. Dalam tawa yang lahir dari kesedihan, terdapat penghormatan terhadap kompleksitas hidup dan ketidaksempurnaannya. Ini juga merupakan pengingat bahwa realitas tidak selalu konsisten dan dapat dimengerti secara linier. Justru di antara ketidakteraturan itulah manusia menemukan kreativitas dan kebebasan.
Sebaliknya, menangis saat bergembira juga menyimpan makna yang dalam dan paradoksal. Tangisan yang muncul dalam momen kegembiraan adalah simbol dari kepekaan dan intensitas pengalaman. Kegembiraan yang terlalu besar sering kali membebani tubuh dan jiwa sehingga mewujud dalam air mata sebagai pelepasan ketegangan yang mendalam. Tangisan ini bukan kelemahan atau ketidakseimbangan, melainkan bentuk integrasi afektif yang utuh, di mana sukacita dan kesedihan melebur menjadi satu. Ia mengajarkan bahwa emosi manusia bersifat holistik dan saling terkait. Air mata bahagia membuka ruang bagi rasa syukur, kelegaan, dan keterhubungan yang lebih dalam dengan diri sendiri dan Tuhan.
Menangis dalam kebahagiaan mengingatkan bahwa hidup bukan sekadar tentang mencapai tujuan atau keberhasilan yang tampak luar, tetapi juga tentang merasakan kehadiran penuh dari momen itu sendiri. Air mata di tengah kegembiraan menjadi saksi bahwa manusia mampu menerima segala kompleksitas dan kerentanan eksistensialnya. Dalam tangisan bahagia, terdapat penerimaan atas kefanaan, ketidakpastian, dan ketidaksempurnaan yang melekat pada kehidupan. Ini adalah ekspresi kesadaran penuh bahwa sukacita yang sejati selalu membawa fragmen kesedihan, dan begitu pula sebaliknya.
Mempraktikkan tertawa saat bersedih dan menangis saat bergembira adalah tindakan pemberontakan terhadap pembatasan tersebut. Ia mengajak manusia untuk menerima seluruh spektrum afeksi tanpa prasangka, menghargai ambiguitas dan kompleksitas yang melekat dalam tiap momen hidup. Ini adalah bentuk keberanian untuk membiarkan diri terbuka, rentan, dan jujur dalam menghadapi realitas yang tidak pasti. Kebebasan afektif yang demikian membuka pintu bagi hubungan sosial yang lebih tulus dan bermakna, karena ia mengundang empati dan pengakuan atas keunikan pengalaman setiap individu.
Pada akhirnya, ungkapan “Tertawalah saat bersedih, dan menangislah saat bergembira” mengajarkan kita bahwa hidup adalah pengalaman yang tidak bisa dipisahkan dari ambiguitas dan kontradiksi. Emosi manusia adalah jaringan kompleks yang menuntut kita untuk menerima dan merangkul ketidaksesuaian yang ada di dalamnya. Melalui paradoks ini, kita menemukan ruang kebebasan untuk menjadi utuh, jujur, dan otentik, dan menghormati setiap fragmen perasaan tanpa memaksakan konsistensi palsu yang mengasingkan. Dengan keberanian untuk menertawakan kesedihan dan menangisi kebahagiaan, kita mengukuhkan kemanusiaan kita dalam segala ketidaksempurnaannya. Kita belajar bahwa tawa dan tangis bukan hanya ekspresi reaktif, tetapi tindakan afirmasi terhadap hidup yang penuh warna dan keajaiban. Sebuah tindakan yang, pada akhirnya, mengantarkan kita pada pemahaman bahwa kebebasan sejati bukanlah pembebasan dari emosi, melainkan pembebasan dalam dan melalui emosi itu sendiri. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Siapkan Pelaksanaan MONEV Periode 1 Tahun Akademik 2025/2026
Ketua LPMI Universitas Malahayati, Dr. M. Arifki Zainaro, M.Kep, menyampaikan bahwa MONEV merupakan bagian penting dalam siklus penjaminan mutu akademik, untuk memastikan proses pembelajaran berjalan sesuai dengan standar dan pedoman yang telah ditetapkan Universitas.
“Melalui MONEV, kita ingin memastikan bahwa Rencana Pembelajaran Semester (RPS) sudah sesuai template Universitas, dosen melaksanakan pembelajaran tepat waktu, serta bukti kehadiran dapat terdokumentasi dengan baik melalui sistem IT yang sudah disiapkan,” ungkapnta.
Untuk kelancaran pelaksanaan, LPMI telah mengirimkan pemberitahuan resmi kepada Dekan, BPMI, dan Ketua Program Studi agar mengingatkan dosen-dosen di lingkungan masing-masing. Seluruh dosen diminta melengkapi RPS dan mengunggahnya ke dalam sistem bukti kehadiran yang telah dikembangkan Tim IT Universitas Malahayati.
Dengan adanya persiapan yang matang, diharapkan MONEV Periode 1 ini dapat berjalan efektif serta memberikan gambaran menyeluruh terkait keterlaksanaan perkuliahan di semester berjalan. Hasil MONEV nantinya akan menjadi dasar bagi Universitas dalam menyusun strategi peningkatan mutu pembelajaran ke depan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Dirgahayu ke 80 Tentara Nasional Indonesia (TNI) “TNI Prima, TNI Rakyat, Indonesia Maju”
Pembentukan TKR adalah respon atas kebutuhan kekuatan pertahanan resmi untuk menjaga kemerdekaan dari ancaman militer Belanda. Sebelum menjadi TNI seperti sekarang, organisasi ini mengalami beberapa perubahan. TKR awalnya berasal dari Badan Keamanan Rakyat (BKR), kemudian disusun ulang menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) agar memiliki struktur yang lebih teratur dan sesuai dengan dasar militer internasional
Upaya pemerintah untuk menyatukan berbagai kekuatan bersenjata terus dilakukan. Hingga pada 3 Juni 1947, Tentara Nasional Indonesia (TNI) pun disahkan. TNI merupakan gabungan antara TRI dan badan-badan perjuangan rakyat. TNI kemudian menjadi bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada tahun 1962 bersama dengan kepolisian, sebelum akhirnya dipisahkan kembali sesuai Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004. Adapun penetapan tanggal 5 Oktober sebagai hari lahir TNI didasarkan pada pembentukan TKR yang menjadi cikal bakal organisasi militer Indonesia.
Dirgahayu ke 80 Tentara Nasional Indonesia (TNI)! Semoga TNI senantiasa menjadi garda terdepan dalam menjaga kedaulatan, persatuan, dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan semangat TNI PRIMA – TNI Rakyat, Indonesia Maju, mari bersama kita lanjutkan pengabdian untuk bangsa dan negara. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Selamat Hari Batik Nasional 2025, Kita Bangga Punya Batik!
Berdasarkan laman Kemendikbud, sejarah Hari Batik Nasional bermula ketika pengakuan batik sebagai warisan budaya tak benda oleh UNESCO di tahun 2009. Hal itu terjadi dalam sidang ke-4 Komite Antar Pemerintah tentang Warisan Tak Benda di Abu Dhabi tepat 2 Oktober 2009. Saat itu, batik diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda Manusia atau Representative List of The Intangible Cultural Heritage of Humanity. Bersama dengan beberapa budaya lainnya seperti wayang, keris, noken, dan tari saman.
Melihat ke belakang, batik diperkenalkan kepada dunia internasional oleh Presiden Soekarno ketika Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Batik Indonesia didaftarkan untuk mendapatkan status Intangible Cultural Heritage (ICH) melalui UNESCO pada 4 September 2008 di Jakarta. Pengajuan batik untuk Warisan Kemanusiaan Budaya Lisan dan Nonbendawi UNESCO diterima secara resmi pada 9 Januari 2009. Kemudian resmi dikukuhkan sebagai bagian dari Warisan Tak Benda dalam sidang keempat Komite Antar Pemerintah yang diselenggarakan oleh UNESCO di Abu Dhabi pata 2 Oktober 2009.
Tanggal tersebut ditetapkan menjadi Hari Batik Nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2009 yang dikeluarkan pada 17 November 2009. Lewat surat itu, Kementerian Dalam Negeri menerbitkan surat edaran untuk mengimbau seluruh pegawai pemerintah di tingkat provinsi tingkat pusat maupun daerah mengenakan batik setiap Hari Batik Nasional.
Selamat Hari Batik Nasional, 02 Oktober 2025. “Batik adalah warisan budaya bangsa yang mengandung nilai seni, filosofi, serta identitas Indonesia. Mari kita lestarikan, cintai, dan banggakan batik sebagai jati diri bangsa di kancah dunia. Dengan semangat Hari Batik Nasional, kita jadikan batik bukan hanya sekadar pakaian, melainkan simbol persatuan, kreativitas, dan kebanggaan Indonesia.” (gil)
Editor: Gilang Agusman
Mahasiswa Charles Sturt University Australia Kunjungi Perpustakaan Universitas Malahayati, Kagumi Digitalisasi dan Layanan Modern
Kunjungan yang berlangsung beberapa pekan lalu ini menunjukkan bahwa UPT Perpustakaan Universitas Malahayati layak dijadikan destinasi pembelajaran, baik bagi masyarakat domestik maupun mancanegara. Keunikan perpustakaan serta sistem digitalisasi yang telah diimplementasikan meskipun masih dalam tahap pengembangan, mendapat apresiasi dari rombongan CSU.
“Kami melihat Perpustakaan Universitas Malahayati sudah mengarah ke standar internasional. Digitalisasi yang dikembangkan memberikan peluang besar bagi mahasiswa untuk belajar dengan lebih efektif,” ungkap salah satu pengajar CSU.
“Perpustakaan adalah jantung universitas. Kami berkomitmen menghadirkan layanan terbaik, memperkaya koleksi, dan mengoptimalkan teknologi informasi agar sesuai dengan tuntutan zaman. Kunjungan dari Charles Sturt University menjadi bukti nyata bahwa transformasi yang kami lakukan mendapat apresiasi, bahkan hingga ke tingkat internasional,” ujarnya.
Lebih lanjut, Nowo menambahkan bahwa perpustakaan Universitas Malahayati tidak hanya fokus pada digitalisasi, tetapi juga pada peningkatan layanan berbasis literasi informasi, agar mahasiswa mampu memanfaatkan sumber daya dengan cerdas, kritis, dan produktif.
Kunjungan ini juga membuka peluang kolaborasi akademik dan pertukaran ilmu pengetahuan antara Universitas Malahayati dan Charles Sturt University. Kehadiran tamu mancanegara tersebut menjadi bagian dari upaya Universitas Malahayati untuk menghadirkan atmosfer akademik yang inklusif, modern, dan berdaya saing global.
Dengan semangat transformasi dan inovasi, UPT Perpustakaan Universitas Malahayati diharapkan dapat menjadi role model bagi pengembangan perpustakaan perguruan tinggi di Indonesia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Optimalisasi Sampah Organik Jadi Sabun Disinfektan Ramah Lingkungan, Dosen dan Mahasiswa Universitas Malahayati Gelar Pengabdian Masyarakat di Kelurahan Pesawahan
Program ini terselenggara atas dukungan DPPM Kemdikbudristek Tahun 2025 melalui Hibah Pemberdayaan Kemitraan Masyarakat (PKM) dengan Nomor Kontrak 334/C3/DT.05.00/PM-BATCH III/2025 tertanggal 10 September 2025.
Tim pengabdian masyarakat berasal dari kolaborasi tiga prodi Hadirkan Inovasi “ECORIND”yakni Farmasi, Teknik Lingkungan, dan Ekonomi. Mereka terdiri dari: apt. Ade Maria Ulfa., M.Kes (Prodi Farmasi), Natalina, S.T., M.T (Prodi Teknik Lingkungan), Prof. Erna Listyaningsih, SE., M.Si., Ph.D (Prodi Ekonomi). Tim ini juga dibantu dua mahasiswa, Galih Bimantara dan Muhammad Putra Pratama.
Melalui sosialisasi, pelatihan, hingga pendampingan teknologi tepat guna, para ibu PKK Kelurahan Pesawahan dibekali keterampilan dalam pemilahan sampah organik rumah tangga (khususnya kulit buah), proses fermentasi ekoenzim, hingga pembuatan produk inovatif berupa sabun disinfektan pembersih lantai “ECORIND” (ECO = Ekoenzim Ramah Lingkungan, RIND = Kulit Buah).
“Pemanfaatan kulit buah sebagai bahan dasar ekoenzim akan menghasilkan sabun disinfektan ramah lingkungan yang ekonomis dan bahkan bernilai jual,” ujarnya.
Lurah Pesawahan, Musa Shaleh., S.I.Kom, menyampaikan apresiasi atas kegiatan ini. Menurutnya, Kelurahan Pesawahan memiliki 117 kepala keluarga, dengan 80% di antaranya termasuk keluarga miskin. Data tahun 2024 mencatat bahwa wilayah ini menghasilkan sampah sebanyak 227 kg per hari, dengan 60% berasal dari sampah rumah tangga.
“Selama ini sampah rumah tangga belum dimanfaatkan secara maksimal. Kehadiran program pengabdian masyarakat ini tentu sangat membantu warga, khususnya ibu-ibu PKK, untuk mengolah sampah organik menjadi produk bermanfaat dan bernilai ekonomi,” ungkapnya.
Dengan adanya inovasi ini, masyarakat diharapkan tidak hanya mampu menjaga kebersihan lingkungan, tetapi juga memperoleh peluang ekonomi baru dari pemanfaatan limbah organik rumah tangga. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Memaknai Hari Kesaktian Pancasila 2025, Pancasila Perekat Bangsa Menuju Indonesia Raya
Tahun ini, peringatan Hari Kesaktian Pancasila mengusung tema “Pancasila Perekat Bangsa Menuju Indonesia Raya”. Tema ini menjadi pengingat bahwa di tengah keberagaman suku, agama, bahasa, dan budaya, Pancasila hadir sebagai dasar negara sekaligus jembatan pemersatu bangsa.
Hari Kesaktian Pancasila juga menjadi refleksi atas pengorbanan para Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S). Dengan penuh keberanian, mereka mempertahankan tegaknya ideologi Pancasila dari rongrongan ideologi yang ingin menggantinya. Pengorbanan tersebut menjadi teladan abadi tentang arti kesetiaan, keberanian, dan cinta tanah air.
Peringatan ini bukan sekadar mengenang sejarah, melainkan juga momentum untuk menanamkan kembali nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Nilai gotong royong, persatuan, toleransi, keadilan, serta semangat musyawarah harus terus dihidupkan di tengah masyarakat, terutama dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.
Mari jadikan Hari Kesaktian Pancasila sebagai ajakan bersama untuk menjaga persatuan bangsa, memperkokoh nasionalisme, dan menumbuhkan semangat cinta tanah air. Semoga dengan berpegang teguh pada Pancasila, Indonesia mampu melangkah lebih maju, kuat, dan bermartabat menuju Indonesia Raya yang sejahtera dan berkeadilan.
Selamat memperingati Hari Kesaktian Pancasila 2025!
Pancasila adalah perekat bangsa, pondasi kokoh menuju Indonesia yang jaya. (gil)
Editor: Gilang Agusman