Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Mencermati “Gawe Sosial” yang akan berlangsung di Provinsi Lampung, ternyata kita harus mengacungkan jempol kepada Herman Batin Mangku (HBM) yang dengan cermat menelisik lika-liku dari perjalanan hajat sosial tadi.
Dengan kecermatan dalam analisis dan menuangkan dalam tulisan HBM menengarai bagaimana “Sinder Kebon” memiliki peran aktif dalam menentukan arah mata angin, karena Sang Ratu memiliki sumber cuan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin politik.
Wilayah Sang Ratu biarkan urusan HBM untuk mengulikanalitiknya, karena beliau ahli dalam olah-mengolah data yang seperti ini. Tulisan ini ingin melihat sisi lain, terutama dilihat dari Teori Belajar Sosial oleh Bandura, yang banyak mengedepankan peran aktif dari role model dalam membangun interaksi sosial atas dasar kepercayaan sekaligus kepentingan sosial.
Menggunakan jalan analisis yang dibangun HBM bermuara pada bagaimana peran tokoh yang akan muncul, bukan hanya di depan public akan tetapi lebih lagi di depan Sang Ratu.
Ini persoalan yang tidak mudah untuk dikuliti, karena bisa jadi secara public seorang tokoh sangat popular, namun secara ekonomis tidak terlihat oleh Sang Ratu sebagai asset.
Atau sebaliknya secara figur tidak begitu terkenal, namun dihadapan Sang Ratu justru ini memiliki nilai ekonomis tinggi, tentu saja pilihan akan ke sini.
Pertanyaannya mengapa begitu penting peran Sang Ratu sebagai pemilik pundi cuan. Tentu saja teori Tabur Tuai amat cocok untuk dijadikan pisau bedah analisis.
Dan, yang tidak kalah pentingnya analisis HBM akan meluncur kepada kesimpulan karena didukung data rata-rata pendidikan pemilih, jika ukuran nasional yang kita pakai, ada pada kelas tujuh.
Kebutuhan dasar pada level ini tentu berbeda dengan level para penganalisis yang sangat tinggi dan mumpuni, tetapi hanya segelintir saja jumlahnya.
Tidak salah jika HBM berasumsi berdasarkan pengalaman lampau bahwa peran Sinder Kebon sangat menentukan berputarnya roda pemilihan kepala daerah di daerah ini.
Namun HBM juga harus ingat bahwa pengalaman Pemilu yang baru saja lewat menyisakan level harga yang terbentuk ditengah masyarakat untuk suara mereka. Dan, jika asumsi ini dipakai, maka betapa menjadi mahalnya biaya yang akan dikeluarkan untuk Gawe Sosial yang akan datang.
Tampaknya kondisi seperti ini hanya para Borju saja yang dapat maju sebagai calon pemimpin, karena hanya mereka yang memiliki “minyak sosial” guna menggerakkan roda kehendak dan keinginan.
Untuk para cerdik pandai haraf paham diri, tampaknya saat sekarang belum wayahnya naik panggung, karena konstituen lebih suka dengan yang nyata dan berapa, bukan nanti kita bersama mengerjakan apa.
Pendewasaan politik di daerah ini tampaknya baru ada pada lapisan atas, dan jumlahnya tidak begitu signifikan. Sementara yang masih “puber politik” pada lapisan bawahnya masih cukup besar.
Sementara lapisan paling bawah yang jumlahnya lebih banyak serta menjadi mata penentu bagi suatu hasil pemilihan; orientasinya masih sangat pragmatis.
Mari kita amati bersama bagaimana arus putar yang sedang berproses, dan sehat selalu buat HBM, jangan berhenti dengan “tipis-tipis” mu; karena dengan itu kita merasa peduli akan negeri; walau kadang dibuat menyayat hati, karena pilu tak terperi.
Selamat Berjuan Kolpah dengan cara mu (SJ)
Sinder Kebon Penentu Hajatan Demokrasi Orang Lampung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Mencermati “Gawe Sosial” yang akan berlangsung di Provinsi Lampung, ternyata kita harus mengacungkan jempol kepada Herman Batin Mangku (HBM) yang dengan cermat menelisik lika-liku dari perjalanan hajat sosial tadi.
Dengan kecermatan dalam analisis dan menuangkan dalam tulisan HBM menengarai bagaimana “Sinder Kebon” memiliki peran aktif dalam menentukan arah mata angin, karena Sang Ratu memiliki sumber cuan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan mesin politik.
Wilayah Sang Ratu biarkan urusan HBM untuk mengulikanalitiknya, karena beliau ahli dalam olah-mengolah data yang seperti ini. Tulisan ini ingin melihat sisi lain, terutama dilihat dari Teori Belajar Sosial oleh Bandura, yang banyak mengedepankan peran aktif dari role model dalam membangun interaksi sosial atas dasar kepercayaan sekaligus kepentingan sosial.
Menggunakan jalan analisis yang dibangun HBM bermuara pada bagaimana peran tokoh yang akan muncul, bukan hanya di depan public akan tetapi lebih lagi di depan Sang Ratu.
Ini persoalan yang tidak mudah untuk dikuliti, karena bisa jadi secara public seorang tokoh sangat popular, namun secara ekonomis tidak terlihat oleh Sang Ratu sebagai asset.
Atau sebaliknya secara figur tidak begitu terkenal, namun dihadapan Sang Ratu justru ini memiliki nilai ekonomis tinggi, tentu saja pilihan akan ke sini.
Pertanyaannya mengapa begitu penting peran Sang Ratu sebagai pemilik pundi cuan. Tentu saja teori Tabur Tuai amat cocok untuk dijadikan pisau bedah analisis.
Dan, yang tidak kalah pentingnya analisis HBM akan meluncur kepada kesimpulan karena didukung data rata-rata pendidikan pemilih, jika ukuran nasional yang kita pakai, ada pada kelas tujuh.
Kebutuhan dasar pada level ini tentu berbeda dengan level para penganalisis yang sangat tinggi dan mumpuni, tetapi hanya segelintir saja jumlahnya.
Tidak salah jika HBM berasumsi berdasarkan pengalaman lampau bahwa peran Sinder Kebon sangat menentukan berputarnya roda pemilihan kepala daerah di daerah ini.
Namun HBM juga harus ingat bahwa pengalaman Pemilu yang baru saja lewat menyisakan level harga yang terbentuk ditengah masyarakat untuk suara mereka. Dan, jika asumsi ini dipakai, maka betapa menjadi mahalnya biaya yang akan dikeluarkan untuk Gawe Sosial yang akan datang.
Tampaknya kondisi seperti ini hanya para Borju saja yang dapat maju sebagai calon pemimpin, karena hanya mereka yang memiliki “minyak sosial” guna menggerakkan roda kehendak dan keinginan.
Untuk para cerdik pandai haraf paham diri, tampaknya saat sekarang belum wayahnya naik panggung, karena konstituen lebih suka dengan yang nyata dan berapa, bukan nanti kita bersama mengerjakan apa.
Pendewasaan politik di daerah ini tampaknya baru ada pada lapisan atas, dan jumlahnya tidak begitu signifikan. Sementara yang masih “puber politik” pada lapisan bawahnya masih cukup besar.
Sementara lapisan paling bawah yang jumlahnya lebih banyak serta menjadi mata penentu bagi suatu hasil pemilihan; orientasinya masih sangat pragmatis.
Mari kita amati bersama bagaimana arus putar yang sedang berproses, dan sehat selalu buat HBM, jangan berhenti dengan “tipis-tipis” mu; karena dengan itu kita merasa peduli akan negeri; walau kadang dibuat menyayat hati, karena pilu tak terperi.
Selamat Berjuan Kolpah dengan cara mu (SJ)
BUYUT
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari Raya Idulfitri kali ini mengharubiru rasa sebagai manusia manakala kita dapat larut didalamnya, dan sekaligus mengambil hikmah dari apa yang terjadi. Saat berkumpul dengan sebagian keluarga besar; tentu saja disertai dengan bertanya tentang keluarga, dan tidak dinyana ternyata penulis sudah menjadi “buyut” pada garis turun dari Abang tertua; dengan katalengkap status buyut kemenakan sudah resmi disandang.
Usia yang terus merangkak naik seiring dengan menurunnya jatah hidup di dunia; menjadikan diri semakin teguh ada pada jalur untuk kembali. Sementara yang membanggakan adalah garis turun yang dalam istilah Jawa terus “ngremboko” (terjemahan bebasnya berkembang meluas), semua tidak dapat dipungkiri.
Namun dari semua di atas menyisakan pemikiran, ternyata Buyut bisa dimaknai sebagai “buyut biologis” atau “buyut ideologis”. Sebab bisa saja terjadi buyut secara biologis, belum tentu buyut secara ideologis. Atau sebaliknya, buyut secara ideologis tidak harus berasal dari buyut biologis. Pada tataran ini menyisakan kajian sejarah ideol ogis yang perlu dicermati. “Makna buyut ideologis” bisa merujuk pada pemahaman tentang bagaimana ideologi-ideologi yang dipeluk oleh nenek moyang atau leluhur kita mempengaruhi pemikiran, nilai, dan tindakan kita saat ini. Ini dapat mencakup pemahaman tentang bagaimana ideologi-ideologi tersebut memengaruhi keputusan politik, sosial, budaya, dan ekonomi dalam sejarah keluarga atau komunitas tertentu.
Dengan memahami makna buyut ideologis, seseorang dapat lebih memahami akar dari nilai-nilai dan keyakinan yang membentuk identitas keluarga atau kelompok kemudian menjadi bangsa, serta bagaimana pengaruh tersebut masih memainkan peran dalam kehidupan sampai saat ini.
Berpijak pada pemikiran itu, seyogyanya bangsa ini sudah mencapai tataran buyut ideologis untuk Pancasila, bahkan mungkin sudah sampai pada garis turun “Canggah” menuju “udeg-udeg dan Gantung siwur”. Tentu saja dengan tuntutan yang berbeda guna menuntun mereka memahami akar budaya dan nilai-nilai kebangsaannya.
Sayangnya penanaman ideology ini pada tataran “buyut” belum sesuai dengan yang diharapkan; bahkan banyak hal justru menyimpang dari “angger-angger” atau tatanilai yang telah ditetapkan oleh para pendahulu kita. Akibatnya generasi buyut tidak begitu memahami implementasi nilai pandangan hidup bangsanya. Sebagai negara yang besar dan memiliki beragam kaum didalamnya, sangat memerlukan pengikat ideologis yang bersifat permanen, agar tidak bercerai berai pada saat berada level Udeg Udeg, dan Gantung Siwur.
Manakala negeri ini tidak melakukan upaya pelanggengan ideology bangsanya, maka kita sama-sama membuat sejarah kehancuran secara sistimatis bagi negeri ini. Peneruslestarian ideology yang selama sepuluh tahun terakhir ini hanya diserahkan kepada lembaga pendidikan formal, sudah sangat mendesak untuk ditinjau kembali. Kita masih memerlukan cara-cara masif terencana guna menanamkan ideology bangsa ini kepada generasi penerus. Kita sudah tidak memerlukan lagi slogan, akan tetapi yang kita perlukan adalah tindakan nyata, terencana, terukur sebagai bangsa.
Pancasila sebagai ideology bangsa tidak cukup hanya dihafal karena tuntutan pembelajaran, akan tetapi lebih kepada aplikasi dalam kehidupan nyata. Makin kemari tampaknya kesenjangan itu makin terasa, indikasi yang dapat kita jadikan tolok ukur adalah banyaknya penyimpangan moral yang semula bersifat individual, sekarang berubah menjadi berjamaah.
Kemudahan teknologi masa kini dapat menjadi pisau bermata dua; manakala kita tidak bijak dan berhati-hati dalam bertindak; maka media masa menjadi media ampuh memviralkannya. Dan, ini berarti dapat membunuh siapa saja, termasuk kita karena perbuatan kita dikuliti oleh nitizen sebagai “warga baru” di dunia sosial. Banyak contoh sudah terjadi dimana-mana; karena masa kini tidak bisa lagi sertamerta kita menutub aib manakala sudah berurusan dengan warga maya ini.
Tampaknya sudah semakin mendesak agar pendidikan Pancasila sebagai pedoman bernegara dan pandangan hidup berbangsa untuk direvitalisasi methode pembelajarannya, agar sesuai dengan tuntutan jaman. Pola-pola indoktrinasi seperti dulu, harus sudah diganti dengan pola “ngemong”, dan pemberian contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari; agar generasi Buyut, kemudian, Udeg-Udeg, diteruskan Gantung Siwur, dan seterusnya ; tidak kehilangan arah.
Salam waras (SJ)
Dari Pengusaha jadi Apoteker, Alumni Universitas Malahayati Ruth Sri Agus Murniningsih Miliki 9 Apotek di Lampung
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Di usia yang tidak lagi muda, Apt. Ruth Sri Agus Murniningsih, S.Farm, berhasil menorehkan prestasi sebagai seorang pengusaha apotek. Menariknya, prestasinya ini diraihnya meskipun pada awalnya ia hanya lulus dari Sekolah Menengah Farmasi dan belum memiliki gelar apoteker.
Ruth Sri Agus Murniningsih memulai karirinya sebagai seorang pengusaha yang mengelola sejumlah apotek di bawah naungan Apotek Cahaya Group, Ruth Sri Agus Murniningsih mengakui bahwa perjalanan keberhasilannya tidaklah mudah. Namun, semangatnya untuk terus belajar dan berkembang di bidang farmasi tak pernah padam.
Klik di sini : Pendaftaran Online Mahasiswa Baru
Pada usia 40 tahun, Ruth Sri Agus Murniningsih memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Ia mantap memilih Program Studi S1 Farmasi di Universitas Malahayati Bandar Lampung sebagai langkah untuk meningkatkan pengetahuan dan keilmuannya.
“Awalnya saya hanya seorang pemilik apotek, namun dengan perjalanan panjang di dunia kesehatan, saya tertarik untuk menjadi seorang ahli farmasi,” ungkap Ruth Sri Agus Murniningsih.
Menurutnya, berkat bimbingan para dosen di Universitas Malahayati, Ia berhasil menyelesaikan studi dengan baik meskipun sibuk dengan pekerjaan dan tanggung jawab keluarga.
Perjalanan pendidikan Ruth Sri Agus Murniningsih di Malahayati tidak hanya memberinya ilmu, tetapi juga dukungan sarana dan prasarana yang memadai.
“Sarana prasarana di Malahayati mendukung baik dalam sistem pembelajaran maupun praktik di laboratorium,” tambahnya.
Klik di sini : Pendaftaran Online Mahasiswa Baru
Setelah lulus pada tahun 2022, Ruth Sri Agus Murniningsih melanjutkan pendidikan profesi apoteker di Bandung dan berhasil meraih gelar apoteker pada tahun 2023. Kini, ia sukses mengelola 9 Apotek di berbagai daerah di Provinsi Lampung dengan nama Apotek Cahaya.
Kisah sukses Ruth Sri Agus Murniningsih memberikan inspirasi bahwa dengan kemauan yang kuat, segala hal bisa dimungkinkan.
“Pendidikan adalah kunci untuk meningkatkan status dalam profesi yang kita geluti, Jangan pernah ragu untuk mengejar mimpi, karena belajar adalah investasi yang tak pernah rugi.” pesannya.
Klik di sini : Pendaftaran Online Mahasiswa Baru
Saat ini, Program Studi S1 Farmasi Universitas Malahayati Bandar Lampung membuka penerimaan mahasiswa baru (PMB) untuk tahun akademik 2024/2025. Generasi Z yang memiliki minat dalam bidang kesehatan khususnya S1 Farmasi dan bisa seperti Ruth Sri Agus Murniningsih, yuk bergabung dengan prodi ini.
Pendaftaran dapat dilakukan secara online melalui link resmi Pendaftaran Mahasiswa Baru Universitas Malahayati Bandar Lampung atau dengan datang langsung ke kampus tertinggi di Lampung ini. (*)
Editor: Asyihin
Mengidupi Hidup
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menghidupi hidup dalam filsafat adalah tentang mempertimbangkan dan mengikuti prinsip-prinsip, nilai-nilai, dan keyakinan yang memberikan arah dan makna bagi kehidupan seseorang. Ini melibatkan refleksi mendalam tentang tujuan hidup, makna eksistensi, dan cara terbaik untuk menjalani kehidupan yang bermakna dan memuaskan.
Pendapat lain yang hampir sama mengatakan: Menghidupi hidup adalah sesuatu tindakan yang melibatkan pengaplikasian prinsip-prinsip dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam mengatasi tantangan maupun mengambil keputusan. Ini mungkin melibatkan proses refleksi, meditasi, atau diskusi filosofis dengan orang lain untuk memperdalam pemahaman tentang apa yang dianggap penting dan berharga dalam hidup. Setiap orang mungkin memiliki definisi yang sedikit berbeda tentang apa yang membuat hidup mereka bermakna dan menghidupi. Yang penting adalah menemukan keseimbangan dan memprioritaskan hal-hal yang penting bagi kita dalam mencapai kehidupan yang memuaskan dan bermakna.
Kita tinggalkan definisi konseptual langit di atas; mari kita memijakkan kaki ke bumi. Ternyata apa yang ada pada alam idea di atas, banyak hal yang tidak sejalan, bahkan tidak sedikit yang bertentangan. Tentu saja hal itu boleh-boleh saja, sebab meminjam istilah Plato bahwa hidup adalah bayang-bayang, bisa jadi bayang-bayang yang tercipta tidak sesuai dengan aslinya karena berbeda pencahayaan dan cara pandang.
Sebagai misal, aturan itu dibuat dan disepakati bersama untuk kepentingan bersama. Ternyata dalam perjalanannya banyak pengecualian yang muncul akibat berbenturan dengan kepentingan, baik pribadi maupun kelompok. Bisa dibayangkan jika orang kecil tidak memiliki jaringan dengan penguasa atau yang sedang berkuasa melakukan pelanggaran, maka hukuman ditegakkan atasnya tanpa ampun. Berbeda jika pelanggaran yang sama dilakukan oleh mereka yang berkuasa atau punya hubungan kedekatan dengan yang sedang berkuasa, maka cukup dengan kata maaf dan sedikit cium tangan, selesailah semua persoalan. Akan menjadi sempurna kekecualian itu manakala bersinggungan dengan mereka yang memiliki uang, sehingga dapat membeli apa saja, termasuk kekuasaan dan sekaligus penguasanya.
Hal di atas berlaku pada siapa saja, termasuk “penguasa agama”. Sekalipun dalam esensi ajarannya sangat mulia karena harus memuliakan ciptaanNYA; namun pada prakteknya ada diantaranya syahwat duniawi membelenggu diri dan kebutuhan hidup keluarga, akhirnya keyakinan sakralnya dijual dengan membenturkan kepada keyakinan orang lain yang jelas berbeda esensi, guna mendapatkan popularitas murahan dan cuan.
Menghidupi hidup tidak dengan cara menebar benih kebencian, sebab tidak perlu disebar kebencian itu sudah ada pada celah perbedaan. Sementara perbedaan sendiri sudah ada sejak diciptakan dunia dan isinya oleh Sang Maha Pencipta. Benih kebencian itu akan subur manakala kita melihat perbedaan sebagai ketidaksamaan, sementara dia akan layu manakala kita melihat perbedaan sebagai keberagaman.
Oleh sebab itu salah satu tugas manusia adalah menjadi derigen bagi dirinya dan keluarganya, sehingga terjadi harmoni dalam mensinkronkan perbedaan yang ada. Tugas kederigenan ini juga melekat kepada semua pemimpin formal, nonformal dan informal, termasuk pemimpin agama dengan komunitasnya. Pemimpin itu hanya ditinggikan seranting, didahulukan selangkah dari yang dipimpin. Manakala dia sudah terlalu tinggi dan atau terlalu jauh, siap-siap saja akan ditinggalkan oleh pengikutnya.
Perlu disadari bersama bahwa dunia ini bukan kebun, akan tetapi taman, sebab jika kebun hanya diisi oleh satu atau dua jenis tanaman, sementara jika taman dia dihiasi oleh beragam tanaman bahkan bunga warna warni yang berbeda satu sama lain, dan justru tampak indah untuk dipandang serta nyaman untuk ditinggali.
Menghidupi yang menghidupkan tidak harus dengan cara membunuh kehidupan manusia lain; apalagi dengan sengaja melakukan penyebaran kebencian, hal itu sama dengan membunuh kehidupan yang seharusnya hidup, dan dalam ajaran semua agama langit menilai perilaku seperti itu adalah pengingkaran terhadap Tuhan semesta alam. (R-1)
Salam Waras (SJ)
Rektor Universitas Malahayati, Achmad Farich: Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Seiring berakhirnya bulan suci Ramadan, kita semua bersama-sama menyambut hari yang penuh dengan kebahagiaan, hari yang merupakan puncak dari ibadah puasa kita, yaitu Hari Raya Idul Fitri.
Dalam kesempatan yang mulia ini, saya, Dr. Achmad Farich, dr., MM., Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung, dengan penuh suka cita mengucapkan selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah kepada seluruh keluarga besar civitas akademika Universitas Malahayati, serta kepada seluruh umat Islam.
Hari yang suci ini adalah momen yang sangat berharga bagi kita semua untuk merayakan kebersamaan dan penuh kasih sayang. Hari Raya Idul Fitri juga menjadi waktu yang tepat untuk saling memaafkan, mempererat tali silaturahmi, serta berbagi kebahagiaan dengan sesame khususnya keluarga.
Akhir kata, semoga Hari Raya Idul Fitri tahun ini lebih membawa berkah, kebahagiaan, dan kesuksesan bagi kita semua. Selamat Hari Raya Idul Fitri 1445 Hijriah, mohon maaf lahir dan batin. (*)
Masalah yang Membuat Masalah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Masalah sering diberi makna sebagai kesenjangan antara harapan dengan kenyataan. Semua mahasiswa pascasarjana mesti memahami definisi atau batasan ini, terutama mereka yang sedang menulis karya ilmiah. Masalah dalam filsafat ilmu merujuk pada pertanyaan-pertanyaan mendasar dan tantangan-tantangan yang timbul dalam upaya manusia untuk memahami sifat, metode, ruang lingkup, dan batasan ilmu pengetahuan.
“Pernyataan yang menggambarkan masalah yang membuat masalah dalam filsafat” adalah frasa yang mungkin tidak jelas. Namun, jika kita bermaksud untuk bertanya tentang masalah yang mendasar dalam filsafat yang menghasilkan tantangan dan kompleksitas tambahan. Setiap masalah itu menantang cara kita memahami dunia dan memperoleh pengetahuan tentangnya, dan sering kali melibatkan refleksi mendalam tentang sifat dan batasan pengetahuan manusia.
Tentu, dalam batasan di atas, kita semua diajak terbang tinggi pada atmosfir ilmu pengetahuan, dan hanya mereka-mereka yang mau mendalami filsafat, yang ingin terus mengepakkan sayap guna terbang untuk mencapai puncak idea.
Tampaknya kita tidak memiliki solusi definitif yang memuaskan. Ini menimbulkan pertanyaan tentang apakah ada jawaban yang benar atau apakah kita hanya dapat mengembangkan pemahaman yang relatif tentang fenomena-fenomena ini. Oleh karena itu, mari kita membumikan masalah, dengan tujuan utamanya adalah untuk menjadikan masalah atau konsep yang dibahas lebih relevan dan dapat dipahami oleh orang kebanyakan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Ini membantu dalam menyadarkan masyarakat akan pentingnya masalah tersebut dan mendorong tindakan yang mungkin diperlukan untuk menyelesaikan atau mengatasi masalah.
Sedangkan sekarang yang kita banyak lihat dan rasakan adalah justru banyak orang hanya pandai membuat masalah, dan tidak menyelesaikan masalah. Justru masalah yang dibuat tadi menimbulkan masalah baru bagi orang lain. Menjadi repot lagi ada orang yang menyelesaikan masalahnya, dengan cara membuat masalah pada orang lain. Meminjam konsep dialektika, penyelesaian masalah adalah salah satu unsur terjadinya perubahan sosial. Namun, jika masalah itu justru menjadikan masalah bagi orang lain, maka yang akan terjadi adalah destruktif sosial. Sekalipun ini juga merupakan bentuk lain dari perubahan sosial, namun ongkos sosial yang diminta menjadi sangat mahal.
Bisa dibayangkan hanya untuk menyingkirkan satu orang dalam perhelatan suatu helatan sosial harus mengeluarkan biaya yang sangat fantastis. Terkadang yang dijadikan alasan hanya suatu fatamorgana sosial, bahkan fobia sosial. Dan jika ditanyakan kepada yang bersangkutan jawabannya pun merupakan ilusi sosial. Logika yang dibangun hanya berdasar pada asumsi “jika-maka”, tentu saja akibatnya tidak jarang membuat masalah pada orang lain, dan itu bisa jadi bentuk rudapaksa sosial pada orang lain.
Merudapaksa situasi agar dapat menuruti kehendak seseorang atau sekelompok orang dengan cara apa pun adalah sikap keangkaramurkaan yang ditampilkan oleh Prabu Rahwana dalam pewayangan pada episode Ramayana. Karya Walmiki ratusan tahun lalu itu, ternyata sampai kini masih tetap terasa aktual.
Kelelahan fisik saja tidak mudah mengobatinya. Apalagi kelelahan sosial memerlukan waktu lama untuk mengobati, dan lebih lagi jika sampai pada tataran luka sosial. Sebab, ini akan menjadi sejarah.
Tulisan sejarah tidak bisa dihapus kecuali dengan cara licik dan pembohongan publik; sementara kelicikan dan kebohongan yang dilakukan akan menjadikan juga sejarah. Bisa dijadikan tamsil seorang tokoh ilmuwan pada saat ada pada posisi netral, mengatakan sesuatu masalah bukan masalah. Namun pada saat beliau ada pada posisi kepentingan tertentu, karena harus membela kepentingan tertentu pula, pendapatnya berbanding terbalik dengan posisi semula. Sementara saat dikonfirmasi dengan bukti jejak digital, beliau hanya angkat bahu.
Hebatnya lagi,manakala kita bicara etika yang bersifat universal, dalam arti melampaui sekat-sekat sosial yang selama ini diciptakan, dengan dalih perbedaan keyakinan, perbedaan mazab, perbedaan lainnya; ternyata disempitkan bahkan dibenturkan pada kepentingan tertentu, sehingga menafikan hakikat yang dipersoalkan. Politik adu domba tingkat tinggi dan halus ini sangat membahayakan, karena hanya mereka yang memiliki nalar sehat mampu menangkap apa yang dikehendaki.
Orang bijak mengatakan “Jika kita tidak bisa mengubah angin, tetapi kita bisa menyesuaikan layar.” “Ketika jalanmu terhalang, ubahlah arahmu, jangan pernah kehilangan tujuanmu.”
Selamat mengakhiri bulan suci. Semoga kita mendapatkan keberkahan dunia dan akhirat.
Salam waras. (SJ)
Nrimo Ing Pandum
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada konteks “pandum” pada kalimat judul; kata tersebut berasal dari bahasa Jawa yang berarti kebijaksanaan atau kearifan. Jadi, “ajaran budi pekerti yang menekankan pada konteks menerima” mungkin mengacu pada konsep atau nilai-nilai yang menekankan pentingnya memiliki sikap yang bijaksana dan terbuka hati dalam menghadapi berbagai situasi dan dalam kehidupan sehari-hari.
Sisi lain dalam konteks ajaran budi pekerti, “menerima” bisa diartikan sebagai sikap yang bijaksana dan penuh kedamaian dalam menghadapi berbagai situasi dan orang dalam kehidupan. Ini melibatkan kesediaan untuk menerima kenyataan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan, dengan sikap yang positif dan terbuka hati.Dalam banyak tradisi agama dan filsafat, menerima juga sering kali dihubungkan dengan sikap kesabaran, kerendahan hati, dan kebaikan hati.
Nrimo ing pandum pada tulisan ini lebih kepada pendekatan filsafat, yang jika diartikan secara harfiah adalah menerima keadaan apapun yang diberikan Tuhan kepada kita. Konsep “menerima” dalam filsafat bisa diinterpretasikan dalam beberapa cara, tergantung pada konteks filosofisnya. Berikut adalah beberapa interpretasi umum dari konsep tersebut: Pertama: Penerimaan terhadap Keragaman Pemikiran: Dalam filsafat, penerimaan sering kali mengacu pada sikap terbuka terhadap keragaman pandangan, teori, dan perspektif. Ini mencakup pengakuan bahwa ada banyak pendekatan yang berbeda terhadap pemahaman tentang dunia dan kehidupan, dan tidak ada satu pandangan tunggal yang benar atau mutlak.
Kedua, Penerimaan terhadap Ketidakpastian: Konsep penerimaan juga dapat berhubungan dengan kesadaran akan ketidakpastian dalam pengetahuan manusia. Filsafat menerima bahwa ada keterbatasan dalam pemahaman manusia, dan seringkali tidak mungkin untuk mencapai kebenaran absolut atau jawaban yang definitif terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis. Ketiga, Penerimaan terhadap Kritik: Penerimaan dalam filsafat juga mencakup kesiapan untuk menerima kritik terhadap pandangan atau argumen kita sendiri. Ini melibatkan kesediaan untuk mempertimbangkan sudut pandang yang berbeda dan menerima bahwa ada kelemahan dalam pemikiran kita sendiri yang mungkin perlu disesuaikan atau ditingkatkan.
Keempat, Penerimaan terhadap Realitas: Konsep penerimaan dalam filsafat juga bisa merujuk pada sikap menerima terhadap realitas yang ada. Ini termasuk pengakuan bahwa dunia ini memiliki struktur dan aturan tertentu yang dapat dipahami dan dipelajari, meskipun mungkin ada aspek-aspek yang tetap misterius atau sulit dipahami.
Interpretasi terhadap semua pandangan di atas dalam melihat konsep penerimaan dalam filsafat yaitu lebih pada: menyoroti sikap terbuka, reflektif, dan menghargai keragaman dalam pengetahuan, pemikiran, dan pengalaman manusia. Ini merupakan aspek penting dari proses filosofis yang mengarah pada pemahaman yang lebih mendalam tentang dunia dan diri kita sendiri.
Namun, manakala melihat fenomena yang ada sekarang kita jumpai; ternyata bergeser dari apa yang ada pada konsep di atas; dan tidak jarang justru banyak peristiwa yang ada berbanding terbalik dengan apa yang tertera dalam konsep idealistic tadi. Dalam pandangan terbuka hal ini sah saja karena setiap manusia memiliki sudut pandang yang berbeda dalam melihat sesuatu. Justru yang menjadi persoalan adalah memaksakan pandangan kita kepada pihak lain agar berpandangan seperti diri kita. Disinilah letak “kecelakaan berfikir”, tentu akibatnya perselisihan tidak dapat dihindari.
Tidak salah jika “nrimo ing pandum” yang semula merupakan ajaran budi yang luhur, justru sekarang ada rekayasa sosial agar pihak lain berada pada posisi nrimo ing pandum. Manakala yang bersangkutan mengingkari, maka hukuman sosial dijatuhkan kepadanya dengan cukup menggunakan satu kata “tidak mau menerima nasib” atau bahasa lainnya “ora nrimo ing pandum”.
Upaya-upaya licik seperti ini tampaknya sekarang paling laku keras untuk diperbuat, terutama untuk melabelkan stigma kepada pihak lain, sehingga apa yang tidak segaris dengan pemikirannya adalah berposisi sebagai lawan. Rekayasa sosial seperti ini menjadi dahsyat saat ini karena juga didukung dengan menggunakan media sosial yang canggih, maka sempurnalah kelakuan tidak terpuji seperti itu. Apalagi jika disertai dengan syahwat ingin berkuasa yang tanpa batas, maka sempurnalah efek rusak yang diciptakan.
Oleh sebab itu tidak salah jika ada koreksi dari para cerdik-cendikia bahwa tidak selamanya berfikir positif itu baik, sebab jika berfikir positif ditempat yang salah, atau dibuat pada posisi yang salah; maka sebenarnya berfikir seperti itu menjadi sia-sia. Karena seharusnya berfikir positif ditempat yang benar pada waktu yang benar, itulah garis linier yang akan membawa kita jauh dari malapetaka. (R-1)
Salam Waras! (SJ)
Informasi Libur dan Cuti Bersama Hari Raya Idul Fitri 1445H
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Bandar Lampung Gelar Kuliah Pakar dan Buka Bersama
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Fakultas Hukum Universitas Malahayati Bandar Lampung menggelar acara Kuliah Pakar dan Buka Bersama di gedung Malahayati Career Center, Selasa (2/4/2024).
Acara ini bertujuan untuk menjalin sinergitas keilmuan dalam bidang hukum pidana, perdata, dan hukum tata negara dalam menyambut bulan suci Ramadhan.
Tema acara yang diusung adalah “Sinergitas Keilmuan Hukum Pidana, Perdata, dan Hukum Tata Negara dalam Membuka Khasanah di Bulan Ramadhan.”
Tiga narasumber utama, yakni Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas 1, Dr. Saiful Sahri, S. Sos., MH.; Direktur LBH Bandar Lampung, Sumaindra Jawardi, SH.; dan Notaris & PPAT, Rendy Renaldy, SH., M.Kn., turut hadir untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan mereka.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, SH., MH., kepada humas Malahayatinews mengatakan bahwa acara ini menekankan pentingnya pemahaman atas perkembangan hukum sesuai dengan dinamika masyarakat.
“Sangat penting bagi mahasiswa untuk memahami aturan-aturan terbaru, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, serta penerapan aturan tersebut dalam konteks lembaga pemasyarakatan,” ucapnya.
Acara tersebut turut dihadiri oleh jajaran dosen dan 280 mahasiswa Prodi Ilmu Hukum Universitas Malahayati. Setelah sesi kuliah pakar, acara dilanjutkan dengan buka puasa bersama, dihadiri pembina yayasan Altek, Rusli Bintang, Rektor Universitas Malahayati, Dr. Achmad Farich, dr., MM., Wakil Rektor 2, Dr. Harmani Harun, SE., MM. Ak., dan Kepala BAU Tarmizi, SE, M. Akt.
Dalam rangka meningkatkan interaksi antar lembaga, Kalapas Kelas 1 turut membawa warga binaan dan pendamping untuk mempromosikan produksi roti “raja bakery” Yg dibuat dan diproduksi oleh warga binaan dan menampilkan band warga binaan untuk mendukung penuh acara tersebut.
Aditia berharap, acara tersebut memberikan manfaat ilmu bagi mahasiswa serta menjadi implementasi nyata dari kerjasama antar institusi fakultas hukum dengan mitra, seperti Lapas, lembaga bantuan hukum Bandar Lampung, dan notaris. (*)
Editor: Asyihin
Pembenaran yang Tidak Benar
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Konsep filsafat rasionalisme memberi batasan “Pembenaran yang tidak benar” merujuk pada situasi ketika seseorang mencoba untuk membenarkan atau merasionalisasikan suatu tindakan atau keputusan, tetapi alasannya tidaklah tepat atau tidak sesuai dengan fakta. Ini bisa terjadi ketika seseorang mencoba untuk menghindari tanggung jawab atas kesalahan atau tindakan yang tidak bermoral. Ini merupakan contoh dari bias kognitif yang dikenal sebagai “rasionalisasi”. Yakni ketika seseorang mencari-cari alasan yang mungkin untuk mendukung pilihan atau tindakan mereka, terlepas dari kebenaran objektif.
Dalam filsafat idealisme, pembenaran yang tidak benar diinterpretasikan sebagai ketidaksesuaian antara konsep atau keyakinan yang dipertahankan oleh individu dengan realitas objektif atau kebenaran mutlak. Idealisme cenderung menekankan pentingnya ide, pemikiran, atau konsep-konsep yang ada dalam pikiran manusia sebagai kunci untuk memahami dunia.
Jika seseorang dalam kerangka idealis menyimpulkan sesuatu yang bertentangan dengan fakta atau kebenaran, itu mungkin disebut sebagai “pembenaran yang tidak benar” karena tidak konsisten dengan ide-ide yang dianggap sebagai realitas atau kebenaran hakiki. Namun, perlu dicatat bahwa itu adalah interpretasi yang sangat umum, dan filsafat idealisme memiliki variasi dan subtleties yang luas dalam pemikiran dan interpretasinya.
Sudut pandang ini tidak mengabaikan kemungkinan variasi dalam interpretasi idealisme dari berbagai filosof atau aliran pemikiran idealis. Dalam filsafat Hegelian, pembenaran yang tidak benar dianggap sebagai ketidaksesuaian antara pemikiran atau keyakinan individu dengan realitas yang terungkap dalam proses dialektis. Hegel mengembangkan konsep dialektika untuk menjelaskan bagaimana kontradiksi dan pertentangan dalam pemikiran dan realitas dapat membawa pada pemahaman yang lebih dalam.
Dalam kerangka ini, “pembenaran yang tidak benar” bisa terjadi ketika seseorang tetap mempertahankan pemikiran atau keyakinan yang bertentangan dengan perkembangan dialektis atau evolusi pengetahuan. Misalnya, jika seseorang mempertahankan keyakinan tertentu meskipun telah terungkap bahwa keyakinan tersebut tidak konsisten dengan fakta-fakta yang ada atau dengan pemahaman yang lebih dalam tentang realitas, hal itu bisa dianggap sebagai “pembenaran yang tidak benar” menurut sudut pandang Hegelian.
Berbeda tipis dengan pandangan Hegel, yang menyatakan bahwa proses dialektis mengarah pada pemahaman yang lebih tinggi dan sintesis dari pertentangan atau kontradiksi. Oleh karena itu, mempertahankan pemikiran yang bertentangan dengan sintesis yang lebih tinggi dapat dianggap sebagai pembenaran yang tidak benar karena tidak mengikuti pergerakan dialektis menuju pemahaman yang lebih mendalam.
Kenyataannya dalam masyarakat kita sekarang sedang demam akan “pembenaran yang tidak benar” dengan segala macam variannya. Tentu sudut pandang, kepentingan, tujuan, keinginan, dan masih banyak lagi, berkelindan di sana guna mengokohkan akan pembenaran yang diyakini dan diklaim benar oleh diri dan kelompoknya. Sementara kelompok lain memandang ada upaya pembenaran dari sesuatu yang jelas-jelas tidak benar. Inipun tentu didasari akan berbagai motif yang mungkin tidak jauh berbeda atau bahkan sama, jika kerangka pertama tadi digunakan pada kelompok ini.
Pembenaran atas ketidakbenaran ini akan terus dan terus ada di dunia , sampai nanti dunia kiamat. Oleh karena itu, pengadilan akhiratlah yang membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah secara adil. Pertanyaannya apakah kita menunggu nanti setelah mati baru menemukan hakikat kebenaran. Tentu jawabannya tidak, sebab peraturan untuk mengatur kebenaran itu dibuat untuk mengatur kita semua termasuk yang membuat aturan, sehingga jika salah satu atau sebagian diantara kita mengingkari atau melanggarnya, maka sejatinya kita telah masuk neraka sebelum mati.
Oleh karena itu, janganlah sampai kita terjebak pada paradigma; berawal dari yang baik berakhir dengan yang tidak baik. Paling tidak berawal dari yang kurang baik, berakhir dengan baik. Namun alangkah indahnya jika kita memulai dari yang baik dan berakhir dengan yang baik pula. Agama telah mengajarkan pada kita untuk “istigfarlah untuk masa lalumu, bersyukurlah untuk hari ini, dan berdoalah untuk hari esokmu.
Salam waras. (SJ)