Membenarkan yang Salah

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Baru-baru masyarakat Indonesia dihebohkan peristiwa seorang ibu melaporkan kepala sekolah tempat anaknya belajar ke kepolisian karena tidak terima anaknya ditampar kepala sekolah. Si anak ditampar karena merokok di sekolah. Soal itu, semuanya sudah diatur. Termasuk jika ada siswa yang merokok di sekitar sekolah.

Gubernur dan wakil gubernurnya paham undang-undang ternyata langsung tancap gas menonatifkan kepala sekolah. Setelah “dirujak” netizen mereka baru sadar kalau selama ini mereka tidak sadar. Menjadi seru lagi ada sebagian netizen yang tak paham hakikat pendidikan memberikan dukungan, dengan alasan agar guru tidak semena-mena.

Penulis menunggu ahli pendidikan di daerah ini untuk berbagi ilmunya guna menanggapi peristiwa itu. Sayangnya sampai tulisan ini dibuat, dan peristiwanya berakhir; tak satu pun ahli di daerah ini yang mau berbagi. Bisa jadi beliau-beliau menganggap peritiwa ini tidak penting, atau ada kesibukan lain yang jauh lebih penting. Untuk itu penulis mencoba sedikit berbagi menyikapi peristiwa tadi dari sudut pandang filsafat manusia.

Beberapa tahun lalu saat menjadi saksi ahli yang meringankan terdakwa, dengan pokok perkara salah seorang guru di salah satu kabupaten di daerah ini dituduh orang tua murid telah mencubit anaknya dalam proses pembelajaran.

Saat sidang penulis “terpaksa” memberikan kuliah umum di hadapan majelis hakin menggunakan teori hukuman oleh filosof sekaligus ahli pendidikan, bernama Martinus Jan Langveld.

Langveled menekankan bahwa hukuman harus bersifat mendidik, manusiawi, dan mendorong pertumbuhan moral anak. Dan, tidak kalah pentingnya hukuman tidak boleh membuat cacat, luka atau cidera permanen. Akhirnya terdakwa bebas.Namun, hukuman sosial yang menimpa siswa ini sangat berat, karena tidak ada satupun sekolah dikabupaten itu yang mau menerima pindahan dirinya.

Dalam kehidupan bermasyarakat, terdapat nilai-nilai yang menjadi fondasi tegaknya tatanan moral dan etika. Salah satu nilai yang menjadi pilar penting dalam relasi antarmanusia adalah kebenaran. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, kebenaran sering kali dipelintir, diputarbalikkan, atau bahkan ditukar tempatkan dengan kebohongan dan kekeliruan. Di zaman ketika kebebasan diartikan tanpa batas dan otoritas sering disalahpahami sebagai bentuk penindasan, kita menyaksikan paradoks: membenarkan yang tidak benar dan menyalahkan yang tidak salah.

Peristiwa seorang guru yang dilaporkan ke polisi karena menampar muridnya yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah menjadi cerminan jelas dari krisis nilai tersebut. Ini bukan sekadar persoalan hukum atau pelanggaran disiplin, tetapi merupakan peristiwa yang menyentuh akar terdalam dari relasi kemanusiaan: tentang tanggung jawab, moralitas, peran sosial, dan keutuhan makna menjadi manusia.

Guru, sebagai pendidik, adalah figur yang tidak hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga pembentuk karakter dan penanam nilai. Ketika hukuman yang dimaksudkan sebagai bentuk kepedulian justru dibalas dengan pelaporan ke aparat hukum, maka sesungguhnya yang sedang dipersoalkan bukan hanya tindakan sang guru, melainkan orientasi moral masyarakat itu sendiri.

Manusia adalah makhluk yang dibekali dengan akal budi, hati nurani, dan kesadaran moral. Ia tidak semata-mata bergerak atas dorongan naluriah seperti makhluk lainnya. Dalam dirinya terdapat kemampuan untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang salah. Namun, kemampuan ini tidak tumbuh secara otomatis, melainkan memerlukan proses pendidikan, pembiasaan, dan peneladanan. Guru adalah salah satu agen yang menjalankan fungsi ini. Ketika seorang guru menegur muridnya karena merokok, ia sebenarnya sedang menjalankan peran kodrati dalam membimbing manusia muda untuk menjadi pribadi yang bertanggung jawab atas dirinya dan lingkungan sosialnya.

Namun, ketika tindakan itu dibalas dengan pelaporan, maka terjadi pembalikan logika moral. Tindakan yang seharusnya dipandang sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian justru ditafsirkan sebagai bentuk pelanggaran atau kekerasan. Ini menandakan adanya kekeliruan dalam membaca hakikat relasi manusia dalam dunia pendidikan. Anak yang masih dalam proses pertumbuhan moral semestinya dibimbing, bukan dibebaskan tanpa arah. Kebebasan dalam filsafat manusia bukanlah kebebasan yang liar, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab, yang disertai dengan kesadaran terhadap batas dan tujuan moral dari tindakan.

Dalam perspektif filsafat manusia, relasi antara guru dan murid bukan sekadar relasi instruksional, melainkan relasi eksistensial. Guru hadir bukan hanya untuk mengisi pikiran murid dengan pengetahuan, tetapi untuk membentuk eksistensi mereka sebagai manusia yang utuh. Tindakan guru dalam menegur adalah bagian dari pembentukan karakter. Teguran itu bukan serangan terhadap kebebasan anak, melainkan panggilan untuk bertanggung jawab atas tindakan yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

Di sisi lain, pelaporan terhadap guru mencerminkan adanya krisis otoritas. Otoritas, dalam pengertian sejatinya, bukan dominasi atau kekuasaan sewenang-wenang, melainkan legitimasi moral yang lahir dari tanggung jawab dan kompetensi. Seorang guru memiliki otoritas karena ia dipercaya untuk membimbing dan mendidik. Namun, dalam masyarakat yang krisis nilai, otoritas dipandang dengan kecurigaan. Ketika setiap bentuk disiplin dipandang sebagai kekerasan, dan setiap teguran dianggap sebagai pelanggaran, maka masyarakat itu sedang menggali lubang bagi kehancuran moralnya sendiri.

Manusia sebagai makhluk yang berbudaya seharusnya hidup dalam tatanan nilai yang menjunjung tinggi kejujuran, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap sesama. Ketika nilai-nilai ini digeser oleh kepentingan pragmatis, maka manusia tidak lagi menjadi pribadi yang otentik, tetapi menjadi individu yang tersesat dalam relativisme moral. Membenarkan yang tidak benar dan menyalahkan yang tidak salah adalah gejala dari matinya nurani kolektif. Nurani yang mati tidak lagi mampu membedakan mana kepedulian dan mana kekerasan, mana disiplin dan mana penindasan.

Kita juga patut merenungkan bagaimana masyarakat kita memperlakukan profesi guru. Ketika guru harus berjalan di atas ketakutan akan kriminalisasi, maka yang hilang bukan hanya kebebasan mendidik, tetapi juga martabat profesi itu sendiri. Guru seharusnya diberi ruang untuk menjalankan tugasnya dengan wibawa dan tanggung jawab. Jika setiap tindakan pembinaan harus dikalkulasi secara legalistik, maka pendidikan kehilangan jiwanya sebagai ruang pertumbuhan manusia. Ketakutan akan dipolisikan membuat guru lebih memilih untuk diam daripada bertindak. Dalam jangka panjang, ini akan menciptakan generasi yang miskin bimbingan moral dan hanya mengenal hukum sebagai alat perlindungan diri, bukan sebagai panggilan keadilan.

Pada akhirnya, peristiwa ini menyadarkan kita bahwa krisis bukan terjadi karena satu tindakan, tetapi karena sistem nilai yang lemah. Sistem yang lebih memihak pada perasaan daripada kebenaran. Sistem yang lebih takut pada konflik daripada pada kehancuran nilai.

Kita hidup di tengah masyarakat yang sedang bergulat mencari arah moral. Dalam pergulatan itu, kita ditantang untuk tetap berdiri tegak memihak pada yang benar, walau harus berhadapan dengan suara-suara yang menyesatkan. Selamat berjuang wahai guru, walau hatimu semakin pilu melihat anak didikmu selalu dibawah ketiak ibu. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Pulang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu datang ke kampus seperti biasa, yakni sebelum petugas kebersihan selesai pekerjaan. Bertemu seorang staf senior, seperti biasa kami saling mengabarkan. Namun, di sela kabar yang disampaikan, ia memberi tahu bahwa orang tua salah seorang tenaga pengajar “berpulang”. Innalillahi wainna ilaihi rojiuun.

Kabar duka itu sesungguhnya biasa saja untuk kepulangan orang berusia menjelang 80 tahun dalam keadaan sakit. Namun, itu menarik atensi saya karena bakda zuhur kemarin kami baru membincangkan tentang kondisi almarhum dan riwayat lainnya. Betapa dekatnya kematian.

Setiap kali kabar lelayu itu hadir, saya selalu larut kepada hakikat hidup. Semua ini tampak ingin menegaskan bahwa manusia pada akhirnya harus menyadari hidup bukanlah tentang memiliki, menaklukkan, atau menguasai. Hidup, pada akhirnya, adalah tentang pulang. Bukan sekadar kembali ke rumah dalam arti fisik, melainkan sebuah perjalanan eksistensial yang membawa manusia kembali ke asal-muasalnya, ke pusat dirinya, ke tempat di mana makna tidak lagi harus dikejar, melainkan ditemukan dalam kehadiran yang utuh.

Dalam terang pemahaman ini, hidup bukan satu garis lurus yang membentang ke masa depan tak terbatas, tetapi suatu lingkaran besar yang perlahan, dalam sunyi, membawa kita kembali; bukan ke suatu tempat, tetapi ke suatu keadaan.

Filsafat kontemporer telah mengajukan banyak pertanyaan tentang makna eksistensi, kesadaran, identitas, dan hubungan manusia dengan realitas. Salah satu kegelisahan paling mendasar dari zaman ini adalah keterasingan manusia dari dirinya sendiri.

Kita hidup dalam dunia yang semakin cepat, penuh tekanan untuk menjadi, tetapi sering kali lupa untuk menyadari. Dalam logika modernitas, hidup dipandang sebagai proyek: kita dituntut untuk terus berkembang, terus bergerak, terus memperbarui versi diri agar sesuai dengan tuntutan zaman. Tapi semakin manusia bergerak menjauh dari diam, dari keheningan, dari refleksi, semakin pula ia menjauh dari dirinya sendiri. Maka wajar bila manusia kontemporer begitu sering merasa kehilangan arah, meskipun tampaknya memiliki segalanya.

Dalam konteks inilah, gagasan bahwa hidup hanyalah perjalanan pulang menjadi sangat relevan. Pernyataan ini bukan ekspresi keputusasaan atau pelarian dari realitas, melainkan bentuk kesadaran yang lahir dari perenungan mendalam tentang keberadaan. Jika sejak awal manusia adalah keberadaan yang utuh, yang tidak terpisah dari makna, dari relasi yang hakiki, dan dari rasa cukup yang mendalam, maka semua pencarian di dalam hidup hanyalah upaya untuk kembali ke titik itu. Bukan kembali ke masa lalu secara literal, tetapi pulang ke kedalaman makna yang pernah dimiliki sebelum kita dikaburkan oleh pelbagai lapisan harapan sosial, identitas palsu, dan konstruksi kultural.

Konsepsi tentang pulang ini menantang nalar fungsionalistik yang mereduksi hidup menjadi serangkaian target dan capaian. Dalam kerangka ini, kehidupan tidak lagi dilihat sebagai jalan untuk menjadi “seseorang” menurut ukuran eksternal, tetapi sebagai kesempatan untuk kembali menjadi diri sendiri; bukan versi sosial, bukan bayangan ideal, tetapi eksistensi yang murni. Setiap pengalaman, bahkan yang paling menyakitkan sekalipun, bukanlah kegagalan dalam perjalanan, tetapi bagian dari arah pulang itu sendiri. Keterasingan, kehilangan, kehancuran, dan kejatuhan tidak lagi dimaknai sebagai titik akhir, melainkan sebagai tanda bahwa mungkin kita telah terlalu jauh dari rumah batin kita.

Kesadaran akan hidup sebagai perjalanan pulang juga membuka perspektif baru tentang waktu. Kita biasanya menganggap waktu sebagai garis maju: masa lalu ditinggalkan, masa kini dijalani, masa depan dikejar. Tapi jika hidup adalah pulang, maka waktu bukanlah garis, melainkan spiral. Kita bergerak, bukan untuk menjauh, tetapi untuk kembali. Setiap langkah ke depan adalah langkah yang membawa kita lebih dekat ke dalam. Masa lalu bukan sesuatu yang harus dilupakan, tetapi jendela untuk memahami siapa kita sebenarnya. Masa depan bukan sesuatu yang harus ditaklukkan, tapi arah yang menuntun kita untuk pulang.

Menghayati hidup sebagai perjalanan pulang juga mengubah cara kita memaknai kematian. Dalam paradigma modern, kematian sering dipandang sebagai kekalahan, sebagai akhir yang tragis, atau sebagai sesuatu yang harus ditunda selama mungkin. Tapi jika hidup adalah perjalanan pulang, maka kematian bukan musuh, melainkan gerbang. Ia bukan akhir dari segalanya, tetapi puncak dari perjalanan panjang yang membawa kita kembali ke asal. Ia bukan sesuatu yang harus ditakuti, tetapi sesuatu yang bisa dipahami dengan tenang. Karena pulang, sejatinya, adalah pertemuan: pertemuan dengan asal-usul, dengan makna terdalam, dan dengan keutuhan yang selama ini hanya kita bayangkan dalam bentuk-bentuk yang sementara.

Tentu saja, ini bukan berarti hidup harus dijalani dengan sikap pasif, atau bahwa kita harus berhenti berusaha. Sebaliknya, pemahaman ini justru memberi dasar eksistensial yang kuat bagi tindakan kita. Ketika kita sadar bahwa semua yang kita lakukan adalah bagian dari perjalanan pulang, maka kita tidak lagi terjebak dalam obsesif mengejar dunia. Kita bekerja, mencinta, berproses, bukan untuk membuktikan nilai kita, tapi untuk mengungkapkan keberadaan kita. Kita tidak lagi hidup dari ketakutan akan kegagalan, tapi dari cinta akan makna. Kita berhenti membandingkan jalan kita dengan orang lain, karena kita tahu, semua orang sedang pulang; hanya lewat rute yang berbeda.

Pada akhirnya, hidup bukan tentang sejauh apa kita pergi, tetapi seberapa dalam kita bisa kembali. Bukan tentang seberapa banyak yang kita kumpulkan, tetapi seberapa banyak yang bisa kita lepaskan. Dan bukan tentang seberapa lama kita hidup, tetapi apakah kita pernah benar-benar pulang. Dalam dunia yang semakin bising, kebenaran ini akan selalu berbisik: semua ini hanyalah perjalanan. Dan semua perjalanan, cepat atau lambat, akan membawa kita kembali ke tempat yang tak pernah benar-benar kita tinggalkan; ke sunyi asal, ke kedalaman makna, ke “rumah yang sejati”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Ada Tak Dianggap, Tidak Ada Dicari

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Ruang kuliah program doktor hari itu agak sedikit berbeda dari hari-hari biasa; karena topik pembahasan pada pertemuan keempat ini banyak membahas hal-hal yang bersifat abstrak, bahkan sering harus menggunakan diksi-diksi langit. Tatkala kuliah sedang dibentang, ada mahasiswa mengintrupsi ijin bertanya agak sedikit keluar topik, yaitu bagaimana menyikapi kondisi manakala kita ada pada posisi “ada tidak dianggap, sementara kalau tidak adapun, tidak dicari” Kondisi seperti itu dalam kajian filsafat kontemporer bagaimana. Tentu intrupsi seperti ini tidak bisa dijawab dengan sepintas lalu; karena memerlukan uraian dari berbagai sudut pandang keilmuan. Salah satu sudut kajian itu jika diringkas akan terbentang seperti si bawah ini.

Ungkapan di atas di pandang dari permukaan mungkin terdengar sederhana, namun jika direnungkan lebih dalam, ia menyimpan makna yang sangat mendalam dan kaya akan refleksi spiritual. Dalam kehidupan manusia, konsep keberadaan dan ketidakberadaan bukan sekadar soal realitas fisik atau objektif, melainkan juga terkait dengan bagaimana kesadaran memproyeksikan makna dan perhatian terhadap sesuatu yang ada maupun yang tiada. Dari sudut pandang filsafat spiritual, ungkapan ini mengajak kita untuk menyelami hubungan antara kesadaran, eksistensi, dan pencarian makna yang esensial dalam hidup.

Pada intinya, kalimat tersebut menyinggung tentang bagaimana manusia memberi arti pada sesuatu hanya jika hal tersebut ada atau tampak nyata dalam pengalaman mereka. Dengan kata lain, keberadaan sesuatu yang tidak mendapat perhatian atau diakui secara sadar oleh individu atau masyarakat, secara praktis dianggap tidak ada. Ini menunjukkan bahwa keberadaan tidak semata-mata ditentukan oleh realitas objektif, melainkan oleh pengakuan dan perhatian yang diberikan oleh kesadaran. Kesadaran menjadi kunci utama dalam mengaktualisasikan apa yang dianggap ada. Maka, “ada” bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri tanpa hubungan dengan pengakuan, dan “tidak ada” bukan sekadar ketiadaan fisik, melainkan juga ketiadaan pengakuan dan pencarian.

Dalam perspektif spiritual, kesadaran bukan hanya sekadar fungsi otak atau pengalaman subjektif biasa, melainkan merupakan jembatan antara dimensi materi dan dimensi yang lebih halus, yang sering disebut dengan jiwa, roh, atau esensi batin. Kesadaran memiliki kemampuan untuk menyentuh, memahami, dan menghadirkan keberadaan sesuatu ke dalam ruang hidup seseorang. Ketika sesuatu “ada”, itu berarti kesadaran telah menyorotnya, memberi ruang dan arti, dan membiarkannya masuk ke dalam dunia pengalaman yang hidup. Sebaliknya, jika sesuatu “tidak dianggap” atau “tidak dicari”, ia tetap berada dalam bayang-bayang ketidaksadaran, yang dalam dimensi spiritual bisa diartikan sebagai ketidaktahuan atau keterpisahan dari kesadaran penuh.

Selanjutnya, konsep “tidak ada tidak dicari” membawa kita pada pemahaman tentang niat dan pencarian spiritual. Dalam hidup, pencarian tidak pernah lepas dari sesuatu yang dianggap “ada” atau “penting”. Kita tidak mencari sesuatu yang secara sadar kita anggap tidak ada atau tidak relevan. Pencarian itu sendiri adalah aktivitas kesadaran yang melibatkan energi dan fokus. Maka, jika suatu hal dianggap tidak ada, tidak ada ruang atau motivasi untuk mencarinya. Ini memberi gambaran bagaimana realitas batin manusia sering kali dibatasi oleh keyakinan, asumsi, dan perhatian yang dipilih secara sadar maupun tidak sadar.

Dalam kaitannya dengan konsep waktu dan ruang, kalimat ini juga menyinggung dimensi eksistensi yang lebih luas. Apa yang “ada” dalam satu momen atau satu tempat bisa jadi tidak “ada” dalam momen atau tempat lain jika tidak diakui oleh kesadaran di sana. Ini mengarah pada pandangan bahwa eksistensi tidak absolut dan statis, melainkan dinamis dan bergantung pada interaksi kesadaran. Dalam dimensi spiritual, ini berarti bahwa segala sesuatu bersifat interrelasional dan transformatif, terus-menerus muncul dan menghilang sesuai dengan fokus dan niat kesadaran.

Dalam konteks hubungan antar manusia dan makhluk lain, kalimat ini juga mengandung pesan mendalam tentang rasa empati dan kesadaran sosial. Ketika seseorang atau sesuatu “tidak dianggap”, maka keberadaannya menjadi tidak nyata dalam dunia orang lain. Hal ini seringkali menyebabkan penderitaan, keterasingan, dan hilangnya makna eksistensial. Dalam perjalanan spiritual, memahami dan mengakui keberadaan sesama makhluk adalah bagian dari membuka kesadaran universal yang melampaui ego dan batasan individual. Dengan menganggap dan menghargai keberadaan orang lain, kita turut membangun jaringan kesadaran kolektif yang mampu menguatkan rasa kasih dan harmoni.

Secara lebih luas, ungkapan ini juga dapat dipahami sebagai refleksi atas fenomena ilusi dan kenyataan dalam hidup. Dalam banyak pengalaman spiritual, batas antara ada dan tidak ada seringkali menjadi kabur. Apa yang kita anggap ada bisa jadi hanya bayangan dari pikiran atau persepsi yang terbatas, sedangkan yang kita anggap tidak ada bisa saja merupakan kenyataan yang lebih dalam dan abadi. Dengan demikian, kesadaran spiritual mengajak kita untuk melampaui dualitas semu antara ada dan tidak ada, untuk menemukan esensi yang melampaui bentuk dan konsep. Di sinilah letak kebijaksanaan, yaitu mampu melihat bahwa realitas sejati bukan hanya apa yang tampak dan diakui secara langsung, tapi juga apa yang tersembunyi dan membutuhkan usaha pencarian yang mendalam.

Namun perlu dipahami bahwa pada titik tertentu, saat manusia menjadi tua, maka manusia akan berada pada posisi ini. Oleh karena itu tidak salah jika orang bijak mengatakan, teman sejatimu itu adalah dirimu sendiri. Dan, karena itu pula banyak orang terdahulu berpesan “orang terakhir yang akan bersamamu sebelum dirimu sendiri adalah pasanganmu” ; oleh karena itu rawatlah kebersamaan bersamanya agar tiba waktunya kita tetap bahagia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Hidup Mau, Matipun Jadi

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Senja menjelang malam, saya terpaksa harus keluar kompleks perumahan karena roda kendaraan ananda dokter muda kami mengalami “mati angin”. Dipakai tidak bisa, dibuang tidak mungkin. Bersama seorang tenaga keamanan kompleks, kedua roda pun dibawa ke sepesialis tambal ban di tepi jalan. Karena hari sudah gelap, tidak mudah untuk mencarinya. Namun, alhamdulillah akhirnya  bertemu satu tempat tambal ban yang masih buka.

Di sela-sela bekerja tukang tambal ban  menjawab “wawancara candaan model Purbaya” yang dilakukan penulis. Ada satu diksi yang sangat menarik dari pembicaraan tak tersetruktur itu ialah “awak ini hidup mau,  mati pun jadi” dengan dialek medok khas bahasa Sumatera Utara. Betapa penuh maknanya diksi itu jika kita renungkan dan dalami secara filosofis.

Ketika dunia melaju dalam kecepatan yang tak bersahabat, banyak individu merasa tertinggal dan terinjak oleh lajunya jaman. Kehidupan yang diidealkan sebagai perjalanan penuh makna dan pembelajaran; justru menjelma menjadi labirin gelap tanpa peta jalan keluar. Di tengah kegetiran ini, muncul satu pertanyaan filosofis yang tak bisa dihindari: apakah hidup masih layak untuk diperjuangkan?

Sebuah pertanyaan yang bukan hanya teoritis, tetapi eksistensial. Saat seseorang merasa tak lagi memiliki pegangan dalam dunia yang makin absurd, nilai hidup itu sendiri mulai dipertanyakan. Kebutuhan dasar manusia bukan lagi sekadar makan dan tempat tinggal, tetapi rasa memiliki makna dalam keberadaannya. Tanpa makna, manusia hanya menjadi objek di antara mekanisme sosial yang impersonal.

Eksistensi manusia bukanlah sesuatu yang tetap, melainkan terus-menerus dibentuk oleh pengalaman, pilihan, dan kondisi lingkungan. Di sinilah kehidupan menjadi medan tempur internal: antara keinginan untuk melanjutkan dan godaan untuk menyerah. Keinginan untuk hidup muncul dari harapan-harapan kecil yang masih bersinar, meski samar. Tapi keinginan untuk mati bukan selalu tentang putus asa; terkadang ia adalah protes yang paling sunyi terhadap dunia yang tak lagi mendengarkan.

Banyak yang berjalan di atas bumi ini dengan hati yang compang-camping. Mereka tersenyum untuk menyembunyikan luka, bekerja keras bukan karena semangat tetapi karena keterpaksaan. Hidup menjadi rutinitas mekanis; bangun, bekerja, tidur, ulangi. Dalam pengulangan tanpa makna itu, seseorang bisa merasa kehilangan dirinya sendiri. Bahkan saat tubuh masih berjalan, jiwa bisa saja sudah menyerah. Maka, “hiduppun mau, matipun jadi” adalah sebuah paradoks manusia modern. Ia mau hidup karena tahu masih ada kemungkinan. Tapi ia juga siap mati, karena tahu bahwa dunia ini tak menjanjikan apa-apa untuknya.

Di dalam ruang yang serba cepat ini, manusia merasa asing terhadap dirinya sendiri. Terasing bukan karena tak mengenal orang lain, tetapi karena tak lagi mengenal siapa dirinya. Segala sesuatu diukur dari produktivitas, kecepatan, dan efisiensi, hingga rasa manusiawi tergantikan oleh algoritma dan ekspektasi sosial. Orang merasa harus “berhasil” agar dianggap layak hidup. Tapi ketika keberhasilan hanya diukur oleh angka, grafik, dan materi, maka seluruh dimensi spiritual, emosional, dan eksistensial tergerus habis.

Realitas sosial hari ini membentuk individu yang rapuh dalam diam. Kerapuhan ini bukan hasil kemalasan atau kelemahan moral, melainkan buah dari tekanan yang berlapis dan terus-menerus. Kegagalan dalam memenuhi ekspektasi sistem dianggap sebagai kegagalan personal, bukan kegagalan struktur. Maka, banyak orang menderita dalam sunyi, menganggap dirinya beban, sementara sesungguhnya mereka adalah korban dari dunia yang tak memberi ruang untuk berhenti dan bernapas.

Dalam tekanan itulah, muncul sikap pasrah: jika bisa hidup, syukur; jika mati, pun tak apa.
Sikap ini bukanlah optimisme buta, melainkan keteguhan diam yang tetap memilih hidup meski tahu hidup itu pahit. Ini bukan glorifikasi penderitaan, tetapi pengakuan jujur bahwa penderitaan ada dan tidak bisa dihindari. Dalam pengakuan itu, manusia bisa menemukan kekuatan baru, kekuatan untuk tetap menjadi diri sendiri meski dunia menolak. Karena hidup bukan tentang menang, tapi tentang terus hadir. Dalam cara pandang ini, “hiduppun mau, matipun jadi” bisa dibaca bukan sebagai sikap pasrah, melainkan sebagai kebebasan terakhir manusia: kebebasan untuk menentukan sikap terhadap hidup dan mati.

Maka, jika kita berada pada titik di mana hidup terasa seperti beban dan mati tampak sebagai pelepasan, kita sedang berdiri di ambang pemahaman terdalam tentang eksistensi. Kita tidak perlu tergesa-gesa menyimpulkan hidup sebagai kutukan. Justru dalam penderitaan itu tersimpan kesempatan untuk memahami apa artinya benar-benar hidup. Hidup bukan hanya tentang kebahagiaan yang bersinar, tetapi juga tentang luka yang mengajarkan kedalaman. Dari luka itu, kita mengenal kerentanan, dan dari kerentanan itu, kita belajar tentang empati, tentang harapan, tentang manusia lain yang juga berjuang diam-diam.

Pada akhirnya, “hiduppun mau, matipun jadi” adalah refleksi terdalam dari kontradiksi yang tak akan pernah bisa kita tuntaskan secara tuntas. Tapi mungkin, dalam ketidaktuntasan itulah kita menemukan ruang untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Ruang untuk merasakan tanpa harus didahului dengan menjelaskan. Ruang untuk mengakui bahwa kita lelah tanpa harus takut dihakimi. Dan ruang untuk tetap hidup, bukan karena kita wajib, tetapi karena kita memilih. Meski dunia tak memberi jaminan apa pun, pilihan untuk tetap hadir adalah bentuk cinta paling jujur terhadap diri sendiri. Selamat Berjuang Orang baik. (SJ)

Editor: Gilang Agusman