Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari itu tidak seperti biasanya. Setelah membuka laptop berjam-jam, tidak satu pun tulisan saya hasilkan. Otak serasa buntu tidak mau diajak berpikir.
Ada terlintas untuk menulis tentang sesuatu, namun terbayang tidak begitu relevan untuk ditulis. Akhirnya naskah yang sudah empat ratus kata lebih itu dihapus, diganti dengan judul lain dalam topik yang berbeda. Lagi-lagi atas dasar pertimbangan etika, tulisan itu tidak layak diteruskan. Akhirnya nasibnya sama dengan tulisan terdahulu, harus dihapus.
Halaman kosong itu hanya di tatap, dipelototi oleh mata, diterawang oleh pikiran dan diadili oleh hati. Saat itu betul-betul terjadi perang antara mata, hati, dan pikiran dalam melihat fenomena sosial yang sedang banyak bermunculan. Menetapkan skala prioritas atas dasar pertimbangan etika, kepatutan, akademik, dan kejurnalistikan; ternyata mengakibatkan benturan dahsyat didalam angan. Tentu saja akibatnya menjadi ambyar semua mana yang akan di tulis.
Ternyata membaca fenomena negeri ini menjadikan buntu pikir akibat dari terlalu banyaknya kita mengetahui banyak hal, dan keterkaitan antarhal. Benar apa kata filosof yang mengatakan bahwa puncak ilmu pengetahuan itu adalah ketidaktahuan. Ini terbukti dari saat banyak hal yang kita ketahui dan akan mencoba menulisnya, ternyata tulisan itu justru mewakili ketidaktahuan kita tentang banyak hal tadi.
Sebagai sedikit ilustrasi, kita memiliki pengetahuan berupa informasi bahwa pajak akan dinaikkan, BBM akan dinaikkan, tarif listrik sudah akan dinaikkan, akan ada tambahan baru pajak untuk bikin rumah dengan label Tambah Penderitaan Rakyat, harga kebutuhan pokok sudah mulai naik, bayar sekolah untuk anak-anak juga sudah akan naik. Sementara gaji sebagai pendapatan tetap tidak akan ada kenaikan, yang ada penambahan pajak. Kita berada ditengah-tengah pusaran semua itu; tentu saja semua ini mendorong kita akan duduk termenung sendirian karena “buntu pikir”.
Kebuntuan ini makin menjadi-jadi manakala membaca komentar teman-teman terhadap tulisan-tulisan yang pernah disajikan, terutama berkaitan dengan perilaku korup yang mewabah saat ini. Komentar-komentar tadi ada yang menghujat karena begitu banyaknya pengalaman sahabat tadi berhadapan dengan pejabat yang jahat. Ada yang memberi komentar sumpahserapah akibat dari begitu banyak ketidakadilan yang beliau terima saat berurusan dengan yang berpelat merah. Adalagi usulan dari seorang karib untuk menghilangkan itu semua pejabat yang tidak kompeten untuk diganti; hanya menjadi persoalan yang berkewenangan menggati-pun juga tidak kompeten.
Ada juga kemenakan yang menulis ”Pendidikan antikorupsi tidak akan mampu menyelesaikan persoalan ini…karena pendidikan sendiri sistemnya sendiri sudah korup.”
Itu contoh adanya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang hanya untuk menutupi kapitalisasi pendidikan saja. Terus beliau mengusulkan negeri ini harus dirombak total. Pertanyaannya pernah dilakukan tahun 1998, namun sekian tahun kemudian bukan tambah baik, ternyata makin parah. Karena saat peristiwa itu terjadi pemimpin yang ada sekarang masih ada di ketiak aman, jadi tidak ikut merasakan pahit getirnya perjuangan. Sementara pejuang yang tersisapun sudah tua-tua bahkan banyak yang sudah berpulang.
Dari sekian komentar ada satu yang menohok, beliau berkomentar padat singkat, pedas komentarnya: “Sampean dan saya hanya bisa berkeluh kesah, berdoa, dan paling menulis. Itu pun jangan harap akan mereka baca….”
Sahabat satu ini betul-betul ada pada jurang keputusasaan melihat fenomena saat ini. Sedikit ulasan tentang beliau yang juga pernah berkomentar,”Zaman dahulu korupsi sudah ada. Di era Daendels membangun jalan Trans-Jawa, uang upah untuk para pekerja tidak pernah sampai kepada para kuli. Uangnya dikorupsi para petinggi anak negeri sendiri. Namun zaman itu sendiri-sendiri korupsinya, seperti yang juga dilakukan Yusuf Muda Dalam di era Orde Lama. Sekarang korupsi dilakukan dengan berjamaah dan banyak berkali lipat berpangkat empat..apakah itu namanya bukan kejahatan kemanusiaan.”
Komentar beliau ini menjadi bahan perenungan yang semakin dalam dan semakin sulit untuk ditulis.
Pertanyaan demi pertanyaan begitu juga komentar masuk membuat semakin bingung mana yang harus ditulis. Semua kejadian itu nyata, semua peristiwa itu ada, dan banyak orang mengetahui. Namun, banyak orang berdiam diri. Keberdiamdirian ini bisa jadi akibat kefrustrasian yang berkepanjangan, akhirnya memunculkan sikap apatis. Memang posisi menjadi sangat sulit, berdiam diri dianggap apatis, banyak bicara dibilang nyinyir. Lebih menyakitkan lagi jika diberi label…”karena tidak kebagian” atau minimal ”kurang kerjaan”.
Buntu tidak punya uang itu dahsyat. Namun ternyata lebih dahsyat lagi jika buntu akal. Sebab, jika ini melanda semua warga negeri, tidak menutup kemungkinan akan berakibat pada ledakan sosial. Sesuai hukum sosial dalam filsafat Jawa, jika manusia mendapat tekanan sosial dia akan melakukan tiga hal. Tahap pertama dia akan ngalah (mengalah). Pada posisi ini mereka akan mendiamkan dengan tingkat kesabaran yang tinggi.
Jika tahap ini mereka sudah tidak kuat lagi maka akan ngalih (berpindah). Maksudnya adalah pindah atau hijrah ke tempat lain untuk menghindari benturan yang merugikan dirinya. Terakhir jika semua sudah maka yang tinggal nglawan. Maknanya ialah mereka akan melakukan perlawanan dengan cara mereka.
Nah, apakah semua ini akan berakhir seperti kata filsafat tadi? walahuallam bishawab.
Editor: Gilang Agusman
Qholik Mawardi Mahasiswa Universitas Malahayati, Catatkan Prestasi Pada Ajang Duta Bahasa dan Solo Song Competition
Ajang Pemilihan Duta Bahasa Provinsi Lampung 2024 adalah sebuah kompetisi yang diselenggarakan untuk mencari duta yang mampu menjadi perwakilan yang baik dalam mempromosikan dan melestarikan bahasa daerah Lampung. Pemilihan duta bahasa juga dapat menjadi platform untuk mempromosikan penggunaan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari, yang dapat membantu dalam menjaga keberlanjutan dan keberagaman budaya daerah.
Qholik mengungkapkan rasa syukur, bahagia dan bangganya dengan terpilihnya menjadi bagian Duta Bahasa Provinsi Lampung. “Ajang ini membuat saya dapat bertemu dengan orang-orang hebat, dan menginspirasi saya untuk terus maju dan mengembangkan potensi yang saya miliki,” ungkapnya.
Ia berharap dengan terpilihnya menjadi Duta Bahasa Provinsi Lampung, dirinya dapat bertanggung jawab serta dapat menjadi contoh dalam Trigarta Bangun Bahasa. “Utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing,”ujarnya.
Qholik merasa cukup puas dan bangga dengan pencapaian ini. “Meskipun ini adalah gelar Juara Harapan 2, bagi saya ini adalah tonggak awal untuk terus berkembang dan mengeksplorasi bakat seni saya lebih jauh lagi,” ucapnya.
Harapan kedepannya, Ia dapat menggali lebih banyak lagi potensi yang ia miliki dalam bernyanyi. “Saya juga berkomitmen untuk terus mengasah keterampilan saya dan memberikan yang terbaik dalam setiap karya yang saya ciptakan,” tambahnya.
Tak lupa ia mengucapkan terimakasih kepada Universitas Malahayati dan Prodi, keluarga dan teman-teman yang telah mendungkungnya dalam ajang lomba ini. “Saya berharap makin banyak mahasiswa yang akan membawa harum nama Universitas Malahayati, baik dikancah provinsi, nasional, maupun internasi0nal,” serunya.
Editor: Gilang Agusman
Kepala BAA Universitas Malahayati Tarmizi Ikuti Bimtek Pengelolaan Informasi Publik di LLDIKTI Wilayah II
Palembang (malahayati.ac.id): Kepala Biro Administrasi Akademik Universitas Malahayati Bandar Lampung, Tarmizi, SE., M. Akt, mewakili Rektor Universitas Malahayati, turut serta dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Pengelolaan Informasi Publik dan Dokumentasi bagi perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh LLDIKTI Wilayah II Palembang di Kantor LLDIKTI pada hari Jumat (7/6/2024).
Kegiatan Bimtek tersebut merupakan bagian dari upaya Pembangunan Zona Integritas Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK).
Dalam pertemuan ini, seluruh perguruan tinggi di bawah naungan LLDIKTI Wilayah II berkomitmen untuk menegakkan integritas dan memberikan layanan terbaik.
Tarmizi menegaskan pentingnya pengelolaan informasi publik dan dokumentasi bagi perguruan tinggi.
“Pengelolaan informasi publik dan dokumentasi ini sangat penting bagi sebuah perguruan tinggi karena berfungsi memberikan informasi yang benar dan tepat terkait segala aktivitas perguruan tinggi dan dapat terdokumentasikan dengan baik,” ujarnya.
Acara ini dihadiri oleh para Pengelola Informasi Publik dan Dokumentasi (PPID) serta Humas dari berbagai perguruan tinggi di bawah naungan LLDIKTI Wilayah II Palembang.
Keluaran dari acar ini bahwa setiap perguruan tinggi dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan informasi publik serta mendukung terwujudnya zona integritas yang bebas dari korupsi. (*)
Editor: Asyihin
Pekan Seni Mahasiswa Daerah (PEKSIMIDA) Provinsi Lampung 2024 Segera Dimulai, Catat Tanggal dan Ketentuanya!
Tangkai Lomba; Pop, Dangdut, Keroncong, Seriosa. Akan dilaksanakan di Gedung Graha Bintang Universitas Malahayati, 28 – 29 Juni 2024. Jadi tunggu apalagi, Buruan daftar sekarang. dan raih kesempatan untuk mewakili Provinsi Lampung dalam ajang Pekan Seni Mahasiswa Tingkat Nasional. Yuk ikut berpartisipasi untuk mengukir prestasi, Tunjukan bakat seni kalian. Catat tanggalnya jangan sampai terlewat!
Link Petunjuk teknis, kalian tinggal scan QR Code nya. Info lebih lanjut pendaftaran dan lain2 dapat menghubungi : +62822-8210-8899 – Pak Rudi. (gil/humasmalahayatinews)
Becik Ketitik Olo Ketoro
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada saat Pemilihan Umum tahun 1971 ada partai politik yang bernuansa keagamaan pernah menggunakan istilah “becik ketitik olo ketoro, nomor siji wadah saliro”; artinya yang baik akan kelihatan yang buruk akan tampak, nomor satu tempat kita berada; karena partai itu bernomor urut satu. Dan, pada pemilu periode berikutnya partai ini dipaksa gabung dengan yang lain dan diberi lambang berbeda dengan kemauannya.
Kita lihat dulu apa sebenarnya istilah judul di atas; Pepatah “Becik Ketitik, Olo Ketoro” berasal dari bahasa Jawa yang memiliki makna filosofis yang dalam. Secara harfiah, pepatah ini berarti “yang baik akan terlihat, yang buruk akan ketahuan.” Makna filosofis dari pepatah ini adalah bahwa perbuatan baik atau kebajikan seseorang pada akhirnya akan terlihat dan diakui, sedangkan perbuatan buruk atau kesalahan seseorang juga akan terungkap seiring waktu. Ini mencerminkan keyakinan bahwa kebenaran dan keadilan pada akhirnya akan terungkap, meskipun mungkin memerlukan waktu. Tentu saja untuk soal yang satu ini bersifat unlimited, atau tak terhingga karena menyangkut soal kapan itu berurusan dengan kodrat, dan itu wilayah transidental.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, pepatah ini mengajarkan kita untuk selalu berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, karena pada akhirnya semua perbuatan kita akan diketahui oleh orang lain. Ini juga mengandung pesan moral bahwa kita harus bertanggung jawab atas tindakan kita dan selalu berusaha untuk menjalani hidup dengan integritas dan kejujuran. Filosofi ini juga sering digunakan sebagai pengingat untuk tetap berbuat baik meskipun tidak selalu mendapatkan pengakuan atau penghargaan segera, karena pada akhirnya, kebajikan akan selalu mendapatkan tempat yang layak dalam pandangan masyarakat.
Pepatah “Becik Ketitik, Olo Ketoro” adalah bagian dari kearifan lokal masyarakat Jawa dan telah diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi. Oleh karena itu, referensi tertulis yang secara khusus membahas pepatah ini mungkin tidak banyak tersedia. Namun, pemahaman dan penerapan pepatah ini bisa ditemukan dalam berbagai karya sastra, artikel budaya, dan studi etnografi yang membahas kebijaksanaan lokal dan filosofi hidup masyarakat Jawa.
Tampaknya masyarakat sudah memiliki mekanisme tersendiri untuk mengontrol perilaku anggotanya. Ternyata filosofi ini terus relevan dan berfungsi untuk menjaga integritas, kejujuran, dan tanggung jawab individu dalam komunitas sosial. Persoalannya sekarang seiring perkembangan masyarakat yang cenderung semakin individualistik; tampaknya sudah mulai abai akan hal ini. Sebagai contoh manakala ada penyimpangan sosial dalam suatu masyarakat, hal itu akan mendapat perhatian, jika dirasakan akan merugikan orang banyak atau sistem sosial yang ada. Manakala hal itu dirasakan secara individu tidak bisa diambil manfaat, maka soal baik atau buruk perilaku adalah urusan individu, terlepas dampak yang akan ditimbulkan.
Seiring perjalanan waktu dimana kontrol sosial yang sudah mulai longgar saat ini; tampaknya akan menggeser makna hakiki dari becik ketitik olo ketoro menjadi “becik yo becik mu dewe, olo yo olo mu dewe” terjemahan bebasnya baik ya baik mu sendiri, jelek ya jelek mu sendiri; dengan kata lain tanggung jawab sosial sudah memudar seiring dengan memudarnya nilai-nilai kebersamaan di dalam masyarakat. Akibatnya bukan menjadi barang aneh jika kita menemui proses pembiaran oleh masyarakat terhadap semua perilaku, sejauh itu tidak merugikan personal. Jika-pun terjadi tindakan yang merugikan personal, maka mengedepankan hukum formal lebih menjadi pilihan.
Oleh sebab itu tidak aneh jika sekarang persoalan sedikit saja bukan diselesaikan dengan tabayun sebagai mekanisme kearifan local, tetapi langsung saja lapor kepada pihak yang berwajib. Maka tidaklah heran sekarang lembaga-lembaga formal menjadi tempat penyelesaian segala urusan yang seharusnya bukan menjadi urusannya. Celah ini tentu sangat berisiko secara sosial, karena rawan terjadi penyimpangan; baik dalam segi jabatan maupun kekuasaan dan uang.
Jaman yang serba instan seperti sekarang banyak diantara kita yang tidak bersedia untuk menunggu waktu, sehingga jika berbuat baik saat ini harus saat ini pula mendapatkan ganjaran. Namun, sebaliknya jika ada yang berbuat tidak baik hukumannya minta ditunda, kalau bisa dibatalkan.
Kehidupan sudah banyak perubahan, termasuk tata nilai; justru sekarang bagaimana berusaha sekalipun sebenarnya tidak baik, justru berpatut diri supaya tetap baik, bahkan memaksa orang lain untuk mengatakan bahwa dirinya baik. Oleh sebab itu kita sudah diingatkan oleh orang bijak pada masanya dan sampai sekarang masih relevan yaitu …”eling lan waspodo”… ingat dan selalu waspada; maksudnya selalu sadar diri siapa kita, sedang apa kita, dimana kita; untuk tetap selalu waspada agar terhindar dari semua hal yang tidak baik untuk kita.
Salam Waras.
Editor: Gilang Agusman
Kapan Matinya
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada suatu sore duduklah sepasang lansia mengitari meja makan, mereka berdua selisih usia terpaut cukup jauh, suami lebih tua sepuluh tahun dari istrinya yang juga sudah tidak muda lagi, namun gurat-gurat kecantikan masa lalunya masih tampak nyata. Entah sedang membincangkan apa mereka berdua, yang jelas mereka sering salah memaknai masing-masing kehendak karena mereka berdua sudah sama-sama kurang pendengaran. Manakala mereka selisih paham sering hanya soal sepele, namun menjadi serius karena kepikunan masing-masing yang melanda mereka. Saat itu entah sedang kesal atau sedang tidak enak rasa, istri yang dicintainya bertahun-tahun itu berbisik ditelinga sang suami yang renta dengan satu potong kalimat …”Kapan sampean matinya”…
Sontak sang suami tersenyum, beliau tidak marah karena saking cintanya pada istri dan paham betul tabiatnya. Justru ucapan istrinya tadi mengingatkan beliau akan peristiwa perang Barathayuda dengan cerita Bisma Gugur yang sering dia dengar dan liat di media sosial kesukaannya; pada waktu itu Resi Bisma tergeletak di Padang Kurusetra dengan tusukan seribu panah di badan, yang berasal dari busurnya Dewi Srikandi, istri Arjuna yang memang ahli dalam memanah. Resi Bisma ditanya dengan pertanyaan yang serupa istri sang kakek tadi: oleh anak kembar Putra Prabu Pandu yang juga lima Pandawa. Bisma menjawab …”nanti menunggu sinar matahari masuk keperaduan”… Kakek renta yang mendapat pertanyaan dari nenek lincah tadi juga segera menjawab dengan tangkas karena terinspirasi Bisma, dengan jawaban …”tanyakan pada Sang Dalang”… Tentu saja sang istri jadi bingung mendengar jawaban tadi, karena dia ingat persis bahwa Sang Dalang Wayang Kulit tetangga desanya sudah lama meninggal dunia. Lalu kenapa suaminya meminta dirinya bertanya kepada orang yang sudah lama meninggal. Dengan bersungut-sungut si nenek menjauh dari si kakek sambil ngedumel entah apa yang diucapkan karena yang mendengar juga tuli. Sementara Sang Kakek tersenyum dikulum dalam keompongan giginya yang sudah mulai habis dimakan usia.
Sepenggal cerita kehidupan di atas meninggalkan sejuta tanya apa sebenarnya yang terjadi manakala manusia sudah berada pada batas maksimal kemampuan raganya menerima beban ruh yang ada di dalam badan wadag (jasmani)-nya. Ternyata hiasan diri seperti pakaian mewah, harta berlimpah, jabatan tinggi, dan asesoris duniawi lainnya; pada titik kulminasi tertentu sudah tidak berguna sama sekali, sekalipun masih berada di dunia ini, dan itu menunjukkan kefanaan. Bisa jadi panjangnya usia, justru menjadi beban bagi raganya sendiri, atau bisa jadi juga menjadi beban sosial bagi orang lain.
Tampaknya Tuhan berskenario yang semula manusia diberi usia sangat penjang, bahkan mencapai 900 tahun, dan akhirnya diberi 62 tahun saja; menunjukkan ada tugas sosial dimasing-masing periode yang diberi takaran untuk diselesaikan. Periodesasi bisa panjang, bobot tugas sosial-individual bisa ringan. Atau sebaliknya periodesasi bisa singkat, namun tugas sosial kemsyarakatan dan individual bisa berat. Dan, yang paling sengsara jika usia diberi panjang, juga berikut beban sosial dan individual yang tidak ringan. Jadi pilihan akan doa minta panjang usia seyogyanya juga disertai sehat yang bermanfaat baik bagi dirinya, utamanya untuk orang lain.
Jika kita mengingat ini semua, tentu akan menumbuhkan kesadaran pribadi bahwa apa yang dipesankan orang bijak terdahulu bahwa..”hidup ini sekedar bermain sebelum nanti akan pulang”… atau orang jawa bilang ….”urip mung sak dermo mampir ngombe” (sekedar mampir minum)… Oleh sebab itu kehidupan dunia yang seolah panjang sejatinya sangat singkat, karena kita tidak lebih hanya singgah sejenak untuk minum. Konsep hidup seperti ini dalam budaya jawa sudah dinukil oleh para pujangga masa lalu di dalam serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha, yang mengandung nilai-nilai filosofi sejalan dengan makna “urip sadermo mampir ngombe.” Karya-karya itu ditulis oleh pujangga dan raja-raja Jawa, seperti Ranggawarsita dan Mangkunegara IV, yang mengajarkan pentingnya kesadaran akan kefanaan hidup.
Apakah ajaran ini yang menginspirasi pedesaan orang jawa pada masa lalu yang sering meletakkan kendi (tempat air minum dari tanah liat) ada di depan rumah, sehingga siapa saja yang lewat dan merasa haus boleh meminumnya. Belum ada penelitian yang dapat ditelusuri, sampai budaya itu sekarang sudah punah. Namun hakekat ..”mampir ngombe”…tampaknya diejawantahkan dalam perilaku sehari-hari.
Akan tetapi ada juga pendapat mengatakan karena tidak mengetahui kapan kematiannya akan datang-lah barang kali maka manusia menjadi sangat rakus akan kehidupan dunia, dan lupa bahwa kita hanya sekedar singgah sebentar untuk minum. Bisa dibayangkan semua mengetahui bahwa tidak akan kita bawa harta yang berlimpah saat kita dikuburkan; namun begitu rakusnya sampai-sampai melakukan korupsi berukuran unlimited.
Bagi mereka yang sadar akan makna kehidupan yang hanya sekedar …“mampir ngombe”.., justru ketidaktahuan akan waktu kematian itu digunakan untuk mengumpulkan amal sholeh, paling tidak dengan selalu berbuat baik kapanpun dimanapun dengan siapapun. Walaupun saat ini berbuat baik sering disalah tafsirkan menjadi sesuatu yang berbeda dari makna hakikinya.
Salam Waras (gil/humasmalahayatinews)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Menerima dan Menyalurkan Hewan Qurban
* Sapi (7 orang) Rp. 3.500.000 /orang
* Kambing per orang Rp. 3.500.000
Keterangan :
1. Harga sudah termasuk biaya pemotongan dan perawatan
2. Atau bisa antar langsung hewan qurban H – 1
Tranfer ke BNI rek. 0161793186 an. Abu Rohmad. Info pendaftran dapat menghubungi : 0813 6949 7508 (Abu Rohmad – Bendahara Panitia), 0822 6917 1020 (Ust Sutikno), 0857 2248 0918 (Ust Muslih).
“Maka laksanakan sholat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah (sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT). Al – Kautsar ayat 2..Ayoo bergurban.. siapkan qurban terbaikmu..
Editor: Gilang Agusman
10 Dosen Universitas Malahayati Bandar Lampung Jadi Penerima Pendanaan Program Penelitian TA 2024 dari Kemendikbud Ristek
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Sebanyak 10 dosen dari Universitas Malahayati Bandar Lampung berhasil lolos sebagai penerima pendanaan program penelitian untuk tahun anggaran 2024, Selasa (4/6/2024).
Keberhasilan ini didapat dari total 11.994 dosen perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang juga lolos sebagai penerima hibah penelitian.
Keputusan tersebut diumumkan melalui Keputusan Kuasa Pengguna Anggaran Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat Nomor 0459/E5/PG.02.00/2024, 30 Mei 2024.
Berikut adalah nama-nama dosen penerima pendanaan beserta judul penelitiannya:
Sebelumnya, Sebanyak 60 dosen Universitas Malahayati Bandar Lampung mengikuti Workshop Peningkatan Kapasitas Dosen dalam Penulisan Artikel Ilmiah pada Jurnal Internasional Bereputasi. Acara ini berlangsung di lantai 5 gedung rektorat, Selasa (21/5/2024).
Kegiatan ini diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Malahayati Bandar Lampung dan menghadirkan narasumber Prof. Amirul Mukminin, S.Pd., M.Sc.Ed., Ph.D dari Universitas Jambi, seorang pakar di bidang penulisan artikel ilmiah internasional. (*)
Editor: Asyihin
Universitas Malahayati dan BKKBN Lampung Jalin Kerja Sama Intensifikasi Kompetensi Pelayanan Kontrasepsi
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandar Lampung dan Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Lampung menyepakati kerja sama untuk meningkatkan kompetensi pelayanan kontrasepsi pada mahasiswa di Kantor BKKBN Perwakilan Lampung, Selasa (4/6/2024).
Kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi di Provinsi Lampung.
Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung Dr. Achmad Farich, dr., M.M., menyatakan bahwa kerja sama ini mencakup kegiatan konseling, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), serta promosi program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.
“Selain itu, kegiatan pendidikan sebelum mahasiswa terlibat sebagai sumber daya manusia kesehatan dalam pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi juga menjadi fokus,” terang rektor.
Agar kerja sama ini dapat berjalan lancar, kedua belah pihak sepakat untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.
Universitas Malahayati akan mendapatkan dukungan pelaksanaan kegiatan intensifikasi kompetensi pelayanan kontrasepsi pada mahasiswa profesi kedokteran/profesi kebidanan, serta fasilitasi sumber daya manusia dan sarana pendidikan yang dibutuhkan.
Kerja sama ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan serentak di seluruh Indonesia dalam rangka Hari Keluarga Nasional dengan Peluncuran Pelayanan KB Serentak Sejuta Aseptor tahun 2024.
Diharapkan, kerja sama ini dapat memberikan dampak positif dalam meningkatkan kualitas pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi di Provinsi Lampung. (*)
Editor: Asyihin
Buntu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari itu tidak seperti biasanya. Setelah membuka laptop berjam-jam, tidak satu pun tulisan saya hasilkan. Otak serasa buntu tidak mau diajak berpikir.
Ada terlintas untuk menulis tentang sesuatu, namun terbayang tidak begitu relevan untuk ditulis. Akhirnya naskah yang sudah empat ratus kata lebih itu dihapus, diganti dengan judul lain dalam topik yang berbeda. Lagi-lagi atas dasar pertimbangan etika, tulisan itu tidak layak diteruskan. Akhirnya nasibnya sama dengan tulisan terdahulu, harus dihapus.
Halaman kosong itu hanya di tatap, dipelototi oleh mata, diterawang oleh pikiran dan diadili oleh hati. Saat itu betul-betul terjadi perang antara mata, hati, dan pikiran dalam melihat fenomena sosial yang sedang banyak bermunculan. Menetapkan skala prioritas atas dasar pertimbangan etika, kepatutan, akademik, dan kejurnalistikan; ternyata mengakibatkan benturan dahsyat didalam angan. Tentu saja akibatnya menjadi ambyar semua mana yang akan di tulis.
Ternyata membaca fenomena negeri ini menjadikan buntu pikir akibat dari terlalu banyaknya kita mengetahui banyak hal, dan keterkaitan antarhal. Benar apa kata filosof yang mengatakan bahwa puncak ilmu pengetahuan itu adalah ketidaktahuan. Ini terbukti dari saat banyak hal yang kita ketahui dan akan mencoba menulisnya, ternyata tulisan itu justru mewakili ketidaktahuan kita tentang banyak hal tadi.
Sebagai sedikit ilustrasi, kita memiliki pengetahuan berupa informasi bahwa pajak akan dinaikkan, BBM akan dinaikkan, tarif listrik sudah akan dinaikkan, akan ada tambahan baru pajak untuk bikin rumah dengan label Tambah Penderitaan Rakyat, harga kebutuhan pokok sudah mulai naik, bayar sekolah untuk anak-anak juga sudah akan naik. Sementara gaji sebagai pendapatan tetap tidak akan ada kenaikan, yang ada penambahan pajak. Kita berada ditengah-tengah pusaran semua itu; tentu saja semua ini mendorong kita akan duduk termenung sendirian karena “buntu pikir”.
Kebuntuan ini makin menjadi-jadi manakala membaca komentar teman-teman terhadap tulisan-tulisan yang pernah disajikan, terutama berkaitan dengan perilaku korup yang mewabah saat ini. Komentar-komentar tadi ada yang menghujat karena begitu banyaknya pengalaman sahabat tadi berhadapan dengan pejabat yang jahat. Ada yang memberi komentar sumpahserapah akibat dari begitu banyak ketidakadilan yang beliau terima saat berurusan dengan yang berpelat merah. Adalagi usulan dari seorang karib untuk menghilangkan itu semua pejabat yang tidak kompeten untuk diganti; hanya menjadi persoalan yang berkewenangan menggati-pun juga tidak kompeten.
Ada juga kemenakan yang menulis ”Pendidikan antikorupsi tidak akan mampu menyelesaikan persoalan ini…karena pendidikan sendiri sistemnya sendiri sudah korup.”
Itu contoh adanya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang hanya untuk menutupi kapitalisasi pendidikan saja. Terus beliau mengusulkan negeri ini harus dirombak total. Pertanyaannya pernah dilakukan tahun 1998, namun sekian tahun kemudian bukan tambah baik, ternyata makin parah. Karena saat peristiwa itu terjadi pemimpin yang ada sekarang masih ada di ketiak aman, jadi tidak ikut merasakan pahit getirnya perjuangan. Sementara pejuang yang tersisapun sudah tua-tua bahkan banyak yang sudah berpulang.
Dari sekian komentar ada satu yang menohok, beliau berkomentar padat singkat, pedas komentarnya: “Sampean dan saya hanya bisa berkeluh kesah, berdoa, dan paling menulis. Itu pun jangan harap akan mereka baca….”
Sahabat satu ini betul-betul ada pada jurang keputusasaan melihat fenomena saat ini. Sedikit ulasan tentang beliau yang juga pernah berkomentar,”Zaman dahulu korupsi sudah ada. Di era Daendels membangun jalan Trans-Jawa, uang upah untuk para pekerja tidak pernah sampai kepada para kuli. Uangnya dikorupsi para petinggi anak negeri sendiri. Namun zaman itu sendiri-sendiri korupsinya, seperti yang juga dilakukan Yusuf Muda Dalam di era Orde Lama. Sekarang korupsi dilakukan dengan berjamaah dan banyak berkali lipat berpangkat empat..apakah itu namanya bukan kejahatan kemanusiaan.”
Komentar beliau ini menjadi bahan perenungan yang semakin dalam dan semakin sulit untuk ditulis.
Pertanyaan demi pertanyaan begitu juga komentar masuk membuat semakin bingung mana yang harus ditulis. Semua kejadian itu nyata, semua peristiwa itu ada, dan banyak orang mengetahui. Namun, banyak orang berdiam diri. Keberdiamdirian ini bisa jadi akibat kefrustrasian yang berkepanjangan, akhirnya memunculkan sikap apatis. Memang posisi menjadi sangat sulit, berdiam diri dianggap apatis, banyak bicara dibilang nyinyir. Lebih menyakitkan lagi jika diberi label…”karena tidak kebagian” atau minimal ”kurang kerjaan”.
Buntu tidak punya uang itu dahsyat. Namun ternyata lebih dahsyat lagi jika buntu akal. Sebab, jika ini melanda semua warga negeri, tidak menutup kemungkinan akan berakibat pada ledakan sosial. Sesuai hukum sosial dalam filsafat Jawa, jika manusia mendapat tekanan sosial dia akan melakukan tiga hal. Tahap pertama dia akan ngalah (mengalah). Pada posisi ini mereka akan mendiamkan dengan tingkat kesabaran yang tinggi.
Jika tahap ini mereka sudah tidak kuat lagi maka akan ngalih (berpindah). Maksudnya adalah pindah atau hijrah ke tempat lain untuk menghindari benturan yang merugikan dirinya. Terakhir jika semua sudah maka yang tinggal nglawan. Maknanya ialah mereka akan melakukan perlawanan dengan cara mereka.
Nah, apakah semua ini akan berakhir seperti kata filsafat tadi? walahuallam bishawab.
Editor: Gilang Agusman
Humas Universitas Malahayati dan Ramil 410-02/TBS Tanam 50 Pohon di Area Kampus
Bandar Lampung (malahayati.ac.id) : Kepala Bagian Humas Universitas Malahayati, Emil Tanhar, S. Kom, bersama Batuud Ramil 410-02/TBS, Peltu Usep Sopwan melaksanakan kegiatan penanaman pohon di area Universitas Malahayati Bandar Lampung, Jumat (31/5/2024).
Emil Tanhar menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya penghijauan di area kompleks kampus.
“Adapun pohon yang ditanam sebanyak 50 batang dengan jenis tanaman Akar Wangi, ada juga pohon Alpukat, Pete, dan Durian,” ujar Emi.
Emil Tanhar berharap kegiatan penanaman pohon ini dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi lingkungan kampus dan sekitarnya.
“Saat ini, pohon yang sudah kami tanam antara lain Manggis, Kelor, Durian, dan tanaman kayu lainnya. Semoga selain sebagai penghijauan, buahnya juga dapat memberikan manfaat,” ucapnya.
Acara ini turut dihadiri oleh staf Humas Universitas Malahayati, Babinsa Koramil 410-02/TBS, karyawan Universitas Malahayati, serta warga masyarakat sekitar kampus. (*)
Editor: Asyihin