Buntu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu tidak seperti biasanya. Setelah membuka laptop berjam-jam, tidak satu pun tulisan saya hasilkan. Otak serasa buntu tidak mau diajak berpikir.

Ada terlintas untuk menulis tentang sesuatu, namun terbayang tidak begitu relevan untuk ditulis. Akhirnya naskah yang sudah empat ratus kata lebih itu dihapus, diganti dengan judul lain dalam topik yang berbeda. Lagi-lagi atas dasar pertimbangan etika, tulisan itu tidak layak diteruskan. Akhirnya nasibnya sama dengan tulisan terdahulu, harus dihapus.

Halaman kosong itu hanya di tatap, dipelototi oleh mata, diterawang oleh pikiran dan diadili oleh hati. Saat itu betul-betul terjadi perang antara mata, hati, dan pikiran dalam melihat fenomena sosial yang sedang banyak bermunculan. Menetapkan skala prioritas atas dasar pertimbangan etika, kepatutan, akademik, dan kejurnalistikan; ternyata mengakibatkan benturan dahsyat didalam angan. Tentu saja akibatnya menjadi ambyar semua mana yang akan di tulis.

Ternyata membaca fenomena negeri ini menjadikan buntu pikir akibat dari terlalu banyaknya kita mengetahui banyak hal, dan keterkaitan antarhal. Benar apa kata filosof yang mengatakan bahwa puncak ilmu pengetahuan itu adalah ketidaktahuan. Ini terbukti dari saat banyak hal yang kita ketahui dan akan mencoba menulisnya, ternyata tulisan itu justru mewakili ketidaktahuan kita tentang banyak hal tadi.

Sebagai sedikit ilustrasi, kita memiliki pengetahuan berupa informasi bahwa pajak akan dinaikkan, BBM akan dinaikkan, tarif listrik sudah akan dinaikkan, akan ada tambahan baru pajak untuk bikin rumah dengan label Tambah Penderitaan Rakyat, harga kebutuhan pokok sudah mulai naik, bayar sekolah untuk anak-anak juga sudah akan naik. Sementara gaji sebagai pendapatan tetap tidak akan ada kenaikan, yang ada penambahan pajak. Kita berada ditengah-tengah pusaran semua itu; tentu saja semua ini mendorong kita akan duduk termenung sendirian karena “buntu pikir”.

Kebuntuan ini makin menjadi-jadi manakala membaca komentar teman-teman terhadap tulisan-tulisan yang pernah disajikan, terutama berkaitan dengan perilaku korup yang mewabah saat ini. Komentar-komentar tadi ada yang menghujat karena begitu banyaknya pengalaman sahabat tadi berhadapan dengan pejabat yang jahat. Ada yang memberi komentar sumpahserapah akibat dari begitu banyak ketidakadilan yang beliau terima saat berurusan dengan yang berpelat merah. Adalagi usulan dari seorang karib untuk menghilangkan itu semua pejabat yang tidak kompeten untuk diganti; hanya menjadi persoalan yang berkewenangan menggati-pun juga tidak kompeten.

Ada juga kemenakan yang menulis ”Pendidikan antikorupsi tidak akan mampu menyelesaikan persoalan ini…karena pendidikan sendiri sistemnya sendiri sudah korup.”

Itu contoh adanya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang hanya untuk menutupi kapitalisasi pendidikan saja. Terus beliau mengusulkan negeri ini harus dirombak total. Pertanyaannya pernah dilakukan tahun 1998,  namun sekian tahun kemudian bukan tambah baik, ternyata makin parah. Karena saat peristiwa itu terjadi pemimpin yang ada sekarang masih ada di ketiak aman, jadi tidak ikut merasakan pahit getirnya perjuangan. Sementara pejuang yang tersisapun sudah tua-tua bahkan banyak yang sudah berpulang.

Dari sekian komentar ada satu yang menohok, beliau berkomentar padat singkat, pedas komentarnya: “Sampean dan saya hanya bisa berkeluh kesah, berdoa, dan paling menulis. Itu pun jangan harap akan mereka baca….”

Sahabat satu ini betul-betul ada pada jurang keputusasaan melihat fenomena saat ini. Sedikit ulasan tentang beliau yang juga pernah berkomentar,”Zaman dahulu korupsi sudah ada. Di era Daendels membangun jalan Trans-Jawa, uang upah untuk para pekerja tidak pernah sampai kepada para kuli. Uangnya dikorupsi para petinggi anak negeri sendiri. Namun zaman itu sendiri-sendiri korupsinya, seperti yang juga dilakukan Yusuf Muda Dalam di era Orde Lama. Sekarang korupsi dilakukan dengan berjamaah dan banyak berkali lipat berpangkat empat..apakah itu namanya bukan kejahatan kemanusiaan.”

Komentar beliau ini menjadi bahan perenungan yang semakin dalam dan semakin sulit untuk ditulis.
Pertanyaan demi pertanyaan begitu juga komentar masuk membuat semakin bingung mana yang harus ditulis. Semua kejadian itu nyata, semua peristiwa itu ada, dan banyak orang mengetahui. Namun, banyak orang berdiam diri. Keberdiamdirian ini bisa jadi akibat kefrustrasian yang berkepanjangan, akhirnya memunculkan sikap apatis. Memang posisi menjadi sangat sulit, berdiam diri dianggap apatis, banyak bicara dibilang nyinyir. Lebih menyakitkan lagi jika diberi label…”karena tidak kebagian” atau minimal ”kurang kerjaan”.

Buntu tidak punya uang itu dahsyat. Namun ternyata lebih dahsyat lagi jika buntu akal. Sebab,  jika ini melanda semua warga negeri, tidak menutup kemungkinan akan berakibat pada ledakan sosial. Sesuai hukum sosial dalam filsafat Jawa, jika manusia mendapat tekanan sosial dia akan melakukan tiga hal. Tahap pertama dia akan ngalah (mengalah). Pada posisi ini mereka akan mendiamkan dengan tingkat kesabaran yang tinggi.

Jika tahap ini mereka sudah tidak kuat lagi maka akan ngalih (berpindah). Maksudnya adalah pindah atau hijrah ke tempat lain untuk menghindari benturan yang merugikan dirinya. Terakhir jika semua sudah maka yang tinggal nglawan. Maknanya ialah mereka akan melakukan perlawanan dengan cara mereka.

Nah, apakah semua ini akan berakhir seperti kata filsafat tadi? walahuallam bishawab.

Editor: Gilang Agusman

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply