Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu saat memberi kuliah di salah satu program pascasarjana pada perguruan tinggi papan atas di daerah ini, ada mahasiswa yang sibuk menggunakan gadgetnya saat perkuliahan berlangsung. Diberi pandangan mata tidak suka dengan caranya, yang bersangkutan tidak tanggap. Diberi sindiran juga tidak mempan, seolah yang diucapkan dosen sebagai angin lalu. Karena tidak mau mengorbankan waktu dan mahasiswa lain, perkuliahan dibuat tanya jawab, agar bisa berkeliling area mengamati mahasiswa; ternyata yang bersangkutan tetap saja melakukan aktivitasnya. Sampai-sampai temannya yang ada di seberang meja merasa tidak nyaman dengan perilaku tadi. Model mahasiswa/I seperti ini termasuk kategori “ndablek”.
Berdasarkan penelusuran digital “ndablek” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang keras kepala, bandel, atau tidak mau menurut pada aturan atau nasihat. Orang yang “ndablek” cenderung sulit diatur, tidak peduli dengan konsekuensi, dan tetap melakukan sesuatu meskipun sudah diperingatkan atau dilarang. Dalam konteks tertentu, “ndablek” bisa memiliki nuansa negatif, misalnya untuk menyebut anak yang susah dinasihati atau orang yang tidak memiliki rasa malu ketika melanggar norma, atau tidak paham sindiran bahkan teguran sekalipun.
Ternyata perilaku ndablek ini tidak hanya ada di ruang kelas atau ruang kuliah saja, akan tetapi hampir disemua lini kehidupan ditemukan “mahluk ndablek”. Bisa dibayangkan jika pimpinan daerah sudah melarang untuk melakukan sesuatu, karena ada sesuatu alasan lain yang memberatkan, ternyata yang bersangkutan tetap nekad melakukan larangan tadi dengan harapan dalam hati agar dirinya menjadi terkenal, atau dikenal. Ada lagi kelakuan untuk menutupi “kendablekan”-nya dengan cara mengutak-atik istilah dari studi banding menjadi studi tiru; begitu ditanya wartawan asli yang bersangkutan tutup muka dan lari terbirit-birit berlindung di ketiak para pengawal bayaran.
Banyak lagi sederatan contoh yang dapat kita tampilkan, tetapi sebaiknya kita mencari makna dan hakikat dari perilaku ndablek. Ternyata bila ditelusuri secara teori diperoleh informasi dari berbagai literatur bahwa perilaku ndablek itu memiliki akar persoalan, penjelasannya sebagai berikut:
1. Teori Belajar (Behaviorisme)
Menurut teori behaviorisme, perilaku ndablek bisa terjadi karena penguatan negatif atau kurangnya konsekuensi yang tegas. Jika seseorang terbiasa melanggar aturan tanpa hukuman yang jelas, ia akan belajar bahwa perilaku tersebut bisa terus dilakukan tanpa konsekuensi serius.
2. Teori Kepribadian (Psikoanalisis – Freud)
Sigmund Freud membagi kepribadian menjadi Id, Ego, dan Superego. Orang yang ndablek cenderung lebih dikendalikan oleh Id (dorongan kesenangan) dibanding Superego (moral dan aturan sosial).
3. Teori Perkembangan Moral (Kohlberg)
Menurut Lawrence Kohlberg, seseorang bisa bertindak ndablek jika masih berada pada tahap perkembangan moral yang rendah, yaitu:
Tahap Prakonvensional → Hanya patuh jika ada hukuman atau imbalan. Jika tidak ada hukuman, maka aturan dilanggar.
Tahap Konvensional → Patuh hanya untuk menyenangkan orang lain, bukan karena memahami nilai moralnya.
Orang ndablek mungkin belum mencapai tahap Postkonvensional, di mana seseorang menaati aturan berdasarkan prinsip moral yang lebih tinggi.
4. Teori Kognitif-Sosial (Bandura)
Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku ndablek bisa muncul karena modeling atau observasi. Jika seseorang sering melihat orang lain melanggar aturan tanpa konsekuensi, maka ia cenderung meniru perilaku tersebut.
5. Teori Attachment (Bowlby & Ainsworth)
Jika seseorang memiliki hubungan emosional yang buruk dengan orang tua atau pengasuhnya di masa kecil, ia bisa mengembangkan attachment insecure, yang membuatnya sulit menerima aturan atau otoritas di kemudian hari.
Ternyata perilaku ndablek itu tidak sesederhana wujudnya atau tampilannya, sebab dibawah sadar pelakunya ada persoalan-persoalan serius yang mendorongnya sehingga menjadi ndablek. Tidak peduli dia pejabat atau rakyat jika sudah terserang penyakit ndablek, maka akan menyusahkan orang lain atau paling tidak merusak sistem sosial yang telah dibangun bertahun-tahun.
Berdasarkan studi terakhir ternyata ndablek ini bisa berkembang menjadi muka tembok; oleh karena itu bangun kerangka silogismenya: orang ndablek bisa saja berlanjut menjadi muka tembok, tetapi orang muka tembok pasti didahului perilaku ndablek. Seseorang yang ndablek mungkin masih merasa malu atau takut akan adanya konsekuensi, sedangkan muka tembok sudah sampai pada tahap tidak peduli sama sekali terhadap omongan atau peringatan orang lain. Bahkan nyolong uang rakyat dengan cara licik yang kedapatan sudah bisa dipastikan mukanya menjadi muka tembok.
Berbeda lagi dengan yang ada di sana; ternyata ndablek dengan muka tembok berkelindan sempurna. Bisa dibayangkan korupsi karena minyak dengan total mencapai hampir satu kuadriliun, begitu ditayangkan wajah-wajah mereka seperti tidak menanggung beban, atau paling tidak malu; justru yang ditampilkan cengar-cengir seperti muka kuda liar Sumbawa. Bisa jadi muka tembok yang bertulang ndablek ini sudah menghitung, jika hukumannya paling 15 tahun penjara dipotong masa tahanan dan “kelakuan baik”, maka tinggal sekitar tujuh tahun, kemudian mendapat remisi dan seterusnya akhirnya mereka hanya kena lima tahun penjara, itupun penjaranya bisa disulap sesuai selera. Belum lagi kalau ada bantuan meringankan dari mereka yang selama ini menjadi pemilik negeri; maka selesailah semua bisa hilang dimakan waktu.
Semoga ndablek tidak berkembang menjadi “penyakit sosial”, karena jika ini yang terjadi maka kita akan mengalami kesultan mengobatinya, karena pasiennya ndablek, yang mengobati juga ndablek, yang melayani ya ndablek; maka sempurnalah menjadi “pawai ndablek”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Bene’h
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat berbincang dengan salah seorang staf administrasi senior di ruang depan pascasarjana, kami memperbincangkan banyak hal, dan diantaranya adalah bagaimana sikap ibu yang selalu pemberi maaf kepada kesalahan anak-anaknya, dan betapa banyak air mata bunda mengalir saat bulan suci seperti ini, apalagi nanti saat satu syawal tiba; mengalir deras sebagai perwujudan maaf pada anak-anaknya. Sejurus kemudian beliau mengatakan “itu jika ibu yang beneh, kalau yang tidak ya …beda lagi jadinya Prof..” beliau sambil tertawa khas. Kata “beneh” yang sudah lama tidak terdengar di telinga menjadi menarik disimak sebagai bahasa ibu kami yang dahulu masih sering terdengar.
Berdasarkan jejak digital kata “beneh” itu dahulu di tulis bene’h, yang bermakna sesuai dengan aturan moral yang berlaku dan sesuai dengan tata krama kehidupan sebagai manusia. oleh sebab itu pada waktu dulu jika orang tua memarahi anaknya keluar ucapan “dasar bocah ora bene’h” maksudnya adalah anak yang tidak memiliki tata krama sopan santun.
Kebene’han itu sekarang mulai berangsur langka, karena terdistorsi oleh sejumlah perubahan perilaku akibat perubahan sistem sosial yang ada. Perlu dipahami bahwa jika hal-hal tidak bene’h terjadi di sekitar kita itu pada umumnya disebabkan oleh dua hal: pertama, memang ukurannya telah berubah. Hal ini disebabkan oleh karena sistem nilai yang dianut antargenerasi sudah berubah. Akibatnya perilaku yang dahulu dianggap tidak patut, justru sekarang menjadi patut.
Kedua, memang perilakunya sudah berubah; yang semula dianggap tidak patut, sekarang justru menjadi sangat patut. Akhirnya membuat keyakinan akan kebenaran perilaku menjadi berubah. Jika dulu murid dihardik guru itu bene’h; sekarang jika ada guru menghardik murid, tunggu sebentar kemudian orang tua datang untuk menghadik guru. Kurang puas lapor petugas keamanan dan kemudian di sidang; gurunya dihardik petugas penegak hukum; padahal mereka bisa menjadi seperti itu semua karena guru.
Namun ketidak bene’han ini menjadi “kelucuan” bahkan bisa menjadi “agak gila sedikit” jika kita perhatikan contoh kemaren; bayangkan Setasiun Pengisian Bahan Bakar berjumlah delapan ribu dan tersebar di negeri ini, ditest standard Ron nya dengan mengambil sampel “hanya” dua Stasiun dan itupun di Ibu Kota; kemudian pejabat dengan bangga menyimpulkan sudah memenuhi standard “semua”. Teori metodologi penelitian mana yang dipakai, padahal pimpinannya bergelar akademik tertinggi. Wajar saja jika orang mengatakan “dasar ora bene’h”.
Ketidak bene’h-an ini juga melanda kita semua, dan itu telah pernah diingatkan oleh Jalaluddin Rumi beberapa abad silam yang peringatannya sebagai berikut: “ Tuhan yang engkau sembah di bulan Ramadhan adalah Tuhan yang sama yang engkau jauhi di bulan-bulan lainnya. Lantas mengapa caramu beribadah berbeda..?..”. Kalimat itu sangat menusuk bagi mereka yang bene’h dan berpikir waras.
Oleh sebab itu sikap bene’h dalam konteks perilaku sosial, yang mirip dengan sikap hormat dan patuh kepada otoritas, dapat dianalisis melalui beberapa teori sosial. Berikut adalah beberapa teori sosial yang relevan dari hasil penelusuran digital:
1. Teori Fungsionalisme Struktural (Talcott Parsons)
Dalam perspektif ini, sikap bene’h dapat dipahami sebagai bagian dari sistem sosial yang menjaga keseimbangan dan keteraturan. Dalam masyarakat timur, kepatuhan kepada orang tua, pemimpin, dan figur otoritas berfungsi untuk mempertahankan harmoni sosial (rukun).
2. Teori Kekuasaan dan Hegemoni (Antonio Gramsci)
Sikap bene’h bisa dilihat sebagai bentuk hegemoni budaya, di mana norma kepatuhan dan penghormatan terhadap otoritas tertanam melalui sosialiasi sejak kecil. Orang timur cenderung mengikuti budaya ewuh pakewuh (segan/tidak enak hati) sebagai mekanisme kontrol sosial.
3. Teori Interaksionisme Simbolik (Herbert Blumer)
Dari sudut pandang ini, sikap bene’h terbentuk melalui interaksi sosial dan simbol-simbol budaya. Misalnya, penggunaan bahasa yang bertingkat atau kata ganti penghormatan; itu adalah mencerminkan penghormatan dalam hubungan sosial dan menjadi alat internalisasi sikap patuh.
4. Teori Pertukaran Sosial (George Homans & Blau)
Kepatuhan dalam budaya timur juga bisa dipandang sebagai bentuk pertukaran sosial, di mana seseorang bersikap patuh (manut) dengan harapan mendapat perlindungan, kesejahteraan, atau dukungan sosial dalam sistem patron-klien.
5. Teori Strukturasi (Anthony Giddens)
Sikap bene’h dalam budaya timur bukan hanya hasil dari struktur sosial yang membentuk individu, tetapi juga tindakan individu yang terus-menerus mereproduksi budaya kepatuhan dan hormat dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam perspektif teori sosial, sikap bene’h dalam masyarakat timur bukan sekadar kepatuhan pasif, tetapi merupakan hasil dari interaksi sosial yang kompleks, di mana norma, simbol, dan relasi kuasa berperan dalam membentuk dan mempertahankannya.
Namun sayangnya siring perjalanan waktu sekarang sikap bene’h ini sudah memudar. Sekarang sudah sulit untuk membedakan mana yang bene’h dengan yang tidak bene’h; bahkan tidak jarang mereka yang bene’h dianggap tidak bene’h; justru yang tidak bene’h dianggap bene’h. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Kaya Kok Mimpi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi buta seorang ibu membangunkan suaminya dengan memaksa, tentu akibat kelakuan istrinya tadi suaminya tergagap dan jika dialog itu didiskripsikan akan tampil sebagai beriku:
Istri : “ Pak bangun, bangun, bangun…. mana uang untuk saya, kan bapak dapat uang banyak dari pemberian Bos bapak di kantor. Kenapa bapak mulai tidak jujur mendapatkan uang oplosan minyak jumlahnya banyak, saya tidak dikasih…saya mau jalan-jalan keluar negeri, mau beli Tas dan Jam Tangan mewah. Cepat Pak mana uangnya ”.
Suami: dengan tergagap bangun sambil mengusap mata dengan lengannya, dan terheran-heran melihat kelakuan istrinya; setelah tenang sejurus kemudian bertanya : “Uang apa Bu…saya gak ngerti apa maksud Ibu”. Sambil kelihatan linglung dan bingung.
Istrinya tidak terima dengan jawaban suaminya yang kelihatan bloon, seraya berkata sambil menghardik seperti kebiasaannya “bohonggggg bapak ini, mana uangnya, mana…mana. Sini cepat kasihkan saya” sambil memelototkan matanya dan mebenarkan daster tidur yang mlorot. Suaminya semakin bingung dan garuk-garuk kepala, seraya berkata: “ayo turun dulu kita duduk sambil ngopi, kita bicara baik-baik”. Suami mulai menyadari ada yang tidak beres dengan istrinya.
Sejurus kemudian pasangan suami istri yang sudah tidak muda lagi itu duduk diruang dapur sambil ngopi. Suaminya bertanya baik-baik dengan istrinya: “Ibu bagaimana ceritanya kamu bisa minta uang sementara kita berdua masih tidur dan hari masih gelap”. Suaminya mendekatkan duduknya kesamping istrinya sambil membenarkan sarungnya yang mlorot. Istrinya bengong dan baru sadar bahwa dia sebenarnya tadi mimpi, dan dengan sedikit malu dia berkata pada suaminya : “maafkan saya Pak…ternyata tadi saya itu mimpi…perasaan saya bapak mendapat bagian dari korupsi di Patra Niaga: entah siapa yang memberi..bapak diberi uang satu karung isinya uang ratusan ribu warna merah semua…dan bapak tidak memberikan ke saya, semua bapak ambil dan dibawa lari oleh bapak entah kemana…dan saya kejar: maka saya bangun itu langsung membangunkan bapak untuk minta uang”.
Mendengar permintaan maaf dan cerita dari istrinya, sang bapak sedih dalam hati namun tidak dia tampilkan di raut wajahnya. Beliau tersenyum lalu mencium kening istrinya seraya berkata: “besok kalau mau tidur jangan lupa ambil air sembahyang dan berdoa minta perlindungan Allah, agar tidak diganggu setan dalam tidurnya”.
Kejadian itu berlalu, namun luka hati bapak tadi belum terobati memikirkan bagaimana lukanya hati banyak orang dinegeri ini membaca berita fantastisnya nilai rupiah yang dikorupsi oleh “bandit berdasi”, padahal gaji mereka sudah amat sangat besar. Bapak tadi berfikir perlu berapa ribu tahun dia bekerja untuk mendapatkan gaji sebesar para koruptor tadi. Uang yang dikorupsi tadi jika diberikan beras kemudian dibagikan orang se negara ini, tentu tidak ada orang kelaparan dipinggir jalan, atau jika diberikan kepada mereka yang memerlukan modal usaha, berapa usaha kecil menengah yang terbantu. Berapa banyak sekolah jika dibangunkan sekolah baru atau rehab sekolah yang rusak di negeri ini. Bapak tadi tidak sadar bahwa dirinya juga sudah ketularan penyakit “khayal” istrinya yang baru saja dibangunkan.
Negeri ini tampaknya sedang menampilkan drama kehidupan dengan sempurna, sehingga rakyatnya dibuat bak nonton sinetron. Belum selesai satu episode, sudah dimunculkan episode baru. Akhirnya penonton menjadi lelah, dan bersikap “masa bodoh”: pertanyaannya apakah ini sengaja tertulis dalam skenario. Tentu jawabannya ada pada sang sutradara. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Dukung Riset dan Pengabdian, LPPM Universitas Malahayati Adakan Coaching Clinic Hibah Kemendiktisaintek
Pada hari pertama, Coaching Clinic difokuskan pada penulisan proposal hibah penelitian, sementara hari kedua berfokus pada proposal hibah pengabdian kepada masyarakat. Kegiatan ini dibuka langsung oleh Ketua LPPM Universitas Malahayati, Prof. Erna Listyaningsih, SE., M.Si., Ph.D., yang menyampaikan harapan besar agar kegiatan ini dapat membantu para dosen dalam memaksimalkan potensi mereka dalam dunia riset dan pengabdian masyarakat.
Namun, Prof. Erna juga menambahkan bahwa status kluster utama ini membawa tantangan baru bagi Universitas Malahayati, terutama dalam hal persaingan untuk mendapatkan hibah penelitian dan pengabdian masyarakat yang semakin ketat. Oleh karena itu, kegiatan Coaching Clinic ini sangat penting untuk meningkatkan kualitas proposal hibah yang diajukan oleh dosen Unmal.
Di hari pertama Coaching Clinic, para peserta diberikan pemahaman mendalam mengenai penulisan proposal hibah penelitian yang sesuai dengan standar Kemendikbudristek. Dr. Fabriyanti memberikan materi yang sangat aplikatif dan berbobot, membantu para dosen untuk memahami setiap langkah yang perlu diambil dalam menyusun proposal yang dapat bersaing di tingkat nasional.
Dengan adanya acara ini, diharapkan dosen-dosen Universitas Malahayati tidak hanya lebih siap dalam menghadapi persaingan hibah, tetapi juga semakin termotivasi untuk menghasilkan riset dan pengabdian yang bermanfaat bagi masyarakat. LPPM Universitas Malahayati berharap kegiatan ini bisa menjadi langkah awal dalam memperkuat reputasi akademik Unmal dan mendukung pengembangan ilmu pengetahuan yang berkualitas. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Melihat Dari Sisi Lain
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang ruang kerja kedatangan seorang mahasiswa pascasarjana yang kebetulan seorang dokter. Mahasiswa ini tampak cerdas dan berfikir rasional sebagai ciri khas ilmuwan; yang bersangkutan sengaja datang bersilaturahmi, sekaligus ingin sedikit berdiskusi di waktu yang sangat mepet yang dia miliki. Dia berbagi pengalaman saat melakukan studi lapangan di salah satu daerah istimewa negeri ini dan ini sangat menyenangkan.
Pada waktu berkunjung ke salah satu rumah sakit terbesar di sana, dokter ini menemukan ruang profesor di unit gawat darurat; saat ditanyakan lebih dalam kepada kepala unit ternyata sang profesor setiap hari datang dan siap menerima konsultasi dari dokter yang bertugas di unit itu jika diperlukan. Prinsip mereka kegagalan penanganan pertama akan berakibat fatal selanjutnya. Untuk itu agar tidak salah mengambil langkah maka profesor memberi advais jika diperlukan, dan jalan keluar jika ada hambatan ditemukan.
Terlepas dari hal administrasi, dokter yang juga mahasiswa pasca ini dan telah memiliki pengalaman yang luas baik dalam maupun luar negeri, merasa kagum dengan hadirnya seorang guru besar ditengah pengabdian kemanusiaan. Dari persoalan kesehatan ini diskusi berkembang kearah filsafat manusia, karena yang bersangkutan pembaca setia artikel yang selalu dikirim; dan sejurus kemudian mahasiswa balik bertanya dengan pertanyaan sebagai berikut:
Mahasiswa: “Prof, mengapa tulisan prof selama ini yang saya baca banyak melihat sisi-sisi gelap yang tidak terbaca oleh orang lain dari suatu persistiwa atau persoalan, sementara orang lain senang menulis yang terang saja dan sedikit memuja, sementara Profesor agak pelit untuk memuji, apa dasar pemikirannya”.
Pertanyaan ini sebenarnya mewakili dari banyak pembaca terhadap artikel yang selama ini ada, bahkan ada seorang anggota dewan terhormat memberi apresiasi sekaligus peringatan agar hati-hati karena ada juga yang tidak suka dengan cara ini; beliaupun mengingatkan adanya pasal-pasal karet yang sering digunakan untuk melibas orang yang tidak segaris. Oleh sebab itu jawaban pertanyaan di atas adalah: jika kita mau menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna dimuka bumi ini, karena ketidaksempurnaannya itulah justru menyempurnakan. Demikian halnya juga dengan produk budaya, perilaku dan apapun namanya dapat dipastikan memiliki sisi gelap. Dan, sisi itu tidak disadari oleh yang bersangkutan, sehingga merasa diri benar terus, atau paling tidak merasa benar. Oleh sebab itu perlu diberi pemahaman dengan cara santun bahwa dirinya atau apapun namanya, ternyata memiliki sisi-sisi gelap yang harus disadari. Penyadaran ini perlu agar supaya mencapai kesempurnaan setelah diadakan perbaikan.
Mahasiswa tadi terus mengejar dengan pertanyaan baru “tetapi begini Profesor; tulisan Profesor tidak pernah menunjuk orang, tempat, situasi atau apapun itu; sehingga hanya mereka yang terasa saja akan terkena. Sementara mereka yang tidak melakukan kesalahan tetap saja merasa happy; apakah cara ini efektif atau bagaimana sejatinya”.
Pertanyaan ini mengingatkan seorang teman jurnalis senior pada masanya yang berdiskusi di daerah puncak Bogor saat masa pasca orde baru. Karya jurnalis itu tidak selamanya harus disampaikan dengan bahasa bombastis, apalagi tunjuk hidung. Semua itu di samping melanggar sopan-santun ketimuran, juga membawa aura seolah-olah kita menjadi wakil Tuhan untuk menghakimi mahluk didunia ini. Tentu sikap pongah seperti ini sama halnya “merasa diri bersih” dan itu bukan fitrah manusia sejati. Ada paham lain yang berbeda dan bertentangan, itu sah-sah saja, dan boleh boleh saja. Namun menjadi pertanyaan apakah kita memperingatkan harus dengan hardikan, suara keras, dan cara keras lainnya.
Apakah tidak lebih efektif jika peringatan kita itu dirasakan saat yang bersangkutan dalam kondisi tenang dan rileks, sehingga yang bersangkutan menerima dengan tidak harus kehilangan martabat. Bahkan doktor Ridwan seorang mahasiswa bimbingan dulu mengatakan “mandi di laut itu nikmat bagi yang sehat, namun bagi mereka yang ada sedikit luka, maka rasa air laut itu menjadi pedih tak terhingga”. Kalimat ini sangat tajam sebab menunjukkan mereka yang terasa itu karena serasa; sebab jika dia tidak serasa maka dia tidak akan berasa.
Oleh karena itu benar apa kata Kiai Musthopa Bisri kerja yang paling sulit tetapi besar faedahnya adalah kerja bakti membersihkan hati. Itu harus kita lakukan setiap hari agar supaya tidak tersumbat oleh penyakit hati. Dan, bentuk rasa sayang itu tidak selamanya harus ditimang, terkadang sesekali perlu juga ditendang. Oleh sebab itu marah tidak selamanya mewakili ketidaksukaan, justru itu bisa jadi rasa sayang dalam bentuk lain; hanya tinggal bagaimana menyampaikannya, dan menerimanya; itu soal kedewasaan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Melalui Ramadan, Kita Gapai Kesempurnaan Iman
Sutikno, S.Pd.I., M.Pd.I
Dosen Agama Islam Universitas Malahayati
–
Islam merupakan agama yang universal. Islam memandang bahwa yang menentukan keselamatan dan kebahagiaan seseorang di dunia terlebih di akhirat tidak hanya bertumpu pada aspek Hablum Minallah (hubungan dengan Allah SWT). Namun, Hablum Minannas (hubungan dengan sesama manusia) juga ikut menentukan hal di atas.
Banyak di antara nash yang sahih, baik dalam Alquran maupun Al-Hadits menerangkan hal demikian. Allah SWT menegaskan bahwa orang yang mendustakan hari pembalasan salah satu di antara mereka adalah orang yang tidak ada kepekaan sosial. Allah SWT berfirman yang artinya: ’’Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan untuk memberi makan orang miskin”. (QS. Al-Ma’un ayat 1-3).
Sayyid Thanthawi dalam Tafsirul Wasith mengatakan, manusia yang mendustakan hari pembalasan sungguh telah melampaui batas dalam keburukan dan kejelekannya.
Hal itu karena kerasnya hati sehingga tidak berbuat lemah lembut terhadap anak yatim, melainkan merendahkan, mencegah segala kebaikan kepadanya. (Thanthawi, Tafsirul Wasith, juz XV, halaman 519).
Rasulullah SAW juga mengaitkan antara keimanan dan hubungan sosial dengan tetangga, beliau bersabda yang artinya, “Demi Allah, tidak sempurna imannya, demi Allah tidak sempurna imannya, demi Allah tidak sempurna imannya.” Rasulullah SAW ditanya: ’’Siapa yang tidak sempurna imannya wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seseorang yang tetangganya tidak merasa aman atas kejahatannya.” (HR al-Bukhari).
Karena keimanan seorang muslim dituntut adanya At-tawazun (keseimbangan) antara hubungan vertikal/Hablum Minallah (hubungan kepada Allah) dan horizontal/Hablum Mimannas (hubungan kepada sesama manusia).
Maka melalui momentum Ramadan ini kita maksimalkan untuk melatih diri menuju keseimbangan yang itu, banyak pahala dari berpuasa pada siang hari dan Qiyamulail (salat tarawih) pada malam harinya serta amalan-amalan lain yang memiliki dimensi ta’abudiyah (penghambaan) seperti tilawah Alquran, salawat, zikir, dan lain-lain.
Namun, pada Ramadan ini kita juga tidak boleh melupakan ibadah yang berdimensi sosial yang mana ini sama-sama penting bagi kita. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Barang siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”(HR. Tirmidzi).
Di dalam hadits yang lain, Nabi SAW juga bersabda yang artinya: “Dari Anas dikatakan: Wahai Rasulullah, sedekah apa yang nilainya paling utama? Rasul menjawab: Sedekah di bulan Ramadhan. (HR At-Tirmidzi).
Dan tentu masih banyak lagi dalil-dalil tentang ibadah yang berdimensi sosial pada bulan Ramadan ini. Sebagai bentuk implementasi dari itu, kita mulai membuka hati betapa banyak ladang kebaikan yang bisa kita lakukan untuk mengisi Ramadan ini.
Sebagai contoh, kita dapat memberikan makanan untuk berbuka puasa bagi para musafir (orang dalam perjalanan) atau kita bisa salurkan di masjid-masjid sekitar tempat tinggal kita, kita juga bisa memberi makan sahur bagi orang yang hendak berpuasa biasanya pada 10 hari terakhir Ramadan ada itikaf dan kita juga bisa berinfak pada saat salat tarawih, salat Jumat, dan salat maktubah lainnya di masjid kita.
Harapannya keluar dari madrasah Ramadan ini, kita benar-benar menggapai kesempurnaan iman sehingga kita mendapat gelar muttaqin (orang-orang yang bertakwa sebagaimana merupakan tujuan dari puasa itu sendiri. Amin. (STK)
Editor: Gilang Agusman
Pelantikan Ketua DPK PPNI Universitas Malahayati Berlangsung Sukses, Siap Bawa Perubahan Positif
Dalam sambutannya, Ns. Eko Harsono, S.Kep mengapresiasi terselenggaranya pelantikan ini dan menaruh harapan besar kepada pengurus baru. Ia menegaskan bahwa keberadaan DPK PPNI Universitas Malahayati sangat strategis dalam membangun profesionalisme perawat di lingkungan akademik dan praktik. “Saya berharap kepengurusan yang baru dapat menjalankan tugas dengan penuh tanggung jawab serta terus berkontribusi dalam memajukan profesi keperawatan,” ujarnya.
Dalam pidato perdananya sebagai ketua, Eka Yudha Chrisanto menyampaikan rasa terima kasih atas kepercayaan yang diberikan kepadanya. Ia juga menegaskan komitmennya untuk bersinergi dengan DPD PPNI dan mengikuti arahan organisasi pusat. “Kami siap membawa DPK PPNI Universitas Malahayati menuju perubahan yang lebih inovatif dan terus memperjuangkan kepentingan anggota serta profesi keperawatan secara keseluruhan,” ungkapnya.
Selain sebagai ajang pelantikan, kegiatan ini juga menjadi momentum penting dalam mempererat silaturahmi antaranggota PPNI. Para peserta yang hadir turut berdiskusi mengenai berbagai program kerja yang telah dirancang untuk meningkatkan kualitas perawat, baik di lingkungan akademik maupun dalam dunia praktik.
Dengan kepengurusan baru ini, diharapkan DPK PPNI Universitas Malahayati semakin berkembang dan mampu memberikan kontribusi nyata bagi profesi keperawatan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Pelantikan ini menjadi langkah awal menuju masa depan organisasi yang lebih solid, inovatif, dan berdampak luas bagi dunia keperawatan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
“Ndablek”
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu saat memberi kuliah di salah satu program pascasarjana pada perguruan tinggi papan atas di daerah ini, ada mahasiswa yang sibuk menggunakan gadgetnya saat perkuliahan berlangsung. Diberi pandangan mata tidak suka dengan caranya, yang bersangkutan tidak tanggap. Diberi sindiran juga tidak mempan, seolah yang diucapkan dosen sebagai angin lalu. Karena tidak mau mengorbankan waktu dan mahasiswa lain, perkuliahan dibuat tanya jawab, agar bisa berkeliling area mengamati mahasiswa; ternyata yang bersangkutan tetap saja melakukan aktivitasnya. Sampai-sampai temannya yang ada di seberang meja merasa tidak nyaman dengan perilaku tadi. Model mahasiswa/I seperti ini termasuk kategori “ndablek”.
Berdasarkan penelusuran digital “ndablek” adalah istilah dalam bahasa Jawa yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang keras kepala, bandel, atau tidak mau menurut pada aturan atau nasihat. Orang yang “ndablek” cenderung sulit diatur, tidak peduli dengan konsekuensi, dan tetap melakukan sesuatu meskipun sudah diperingatkan atau dilarang. Dalam konteks tertentu, “ndablek” bisa memiliki nuansa negatif, misalnya untuk menyebut anak yang susah dinasihati atau orang yang tidak memiliki rasa malu ketika melanggar norma, atau tidak paham sindiran bahkan teguran sekalipun.
Ternyata perilaku ndablek ini tidak hanya ada di ruang kelas atau ruang kuliah saja, akan tetapi hampir disemua lini kehidupan ditemukan “mahluk ndablek”. Bisa dibayangkan jika pimpinan daerah sudah melarang untuk melakukan sesuatu, karena ada sesuatu alasan lain yang memberatkan, ternyata yang bersangkutan tetap nekad melakukan larangan tadi dengan harapan dalam hati agar dirinya menjadi terkenal, atau dikenal. Ada lagi kelakuan untuk menutupi “kendablekan”-nya dengan cara mengutak-atik istilah dari studi banding menjadi studi tiru; begitu ditanya wartawan asli yang bersangkutan tutup muka dan lari terbirit-birit berlindung di ketiak para pengawal bayaran.
Banyak lagi sederatan contoh yang dapat kita tampilkan, tetapi sebaiknya kita mencari makna dan hakikat dari perilaku ndablek. Ternyata bila ditelusuri secara teori diperoleh informasi dari berbagai literatur bahwa perilaku ndablek itu memiliki akar persoalan, penjelasannya sebagai berikut:
1. Teori Belajar (Behaviorisme)
Menurut teori behaviorisme, perilaku ndablek bisa terjadi karena penguatan negatif atau kurangnya konsekuensi yang tegas. Jika seseorang terbiasa melanggar aturan tanpa hukuman yang jelas, ia akan belajar bahwa perilaku tersebut bisa terus dilakukan tanpa konsekuensi serius.
2. Teori Kepribadian (Psikoanalisis – Freud)
Sigmund Freud membagi kepribadian menjadi Id, Ego, dan Superego. Orang yang ndablek cenderung lebih dikendalikan oleh Id (dorongan kesenangan) dibanding Superego (moral dan aturan sosial).
3. Teori Perkembangan Moral (Kohlberg)
Menurut Lawrence Kohlberg, seseorang bisa bertindak ndablek jika masih berada pada tahap perkembangan moral yang rendah, yaitu:
Tahap Prakonvensional → Hanya patuh jika ada hukuman atau imbalan. Jika tidak ada hukuman, maka aturan dilanggar.
Tahap Konvensional → Patuh hanya untuk menyenangkan orang lain, bukan karena memahami nilai moralnya.
Orang ndablek mungkin belum mencapai tahap Postkonvensional, di mana seseorang menaati aturan berdasarkan prinsip moral yang lebih tinggi.
4. Teori Kognitif-Sosial (Bandura)
Albert Bandura menjelaskan bahwa perilaku ndablek bisa muncul karena modeling atau observasi. Jika seseorang sering melihat orang lain melanggar aturan tanpa konsekuensi, maka ia cenderung meniru perilaku tersebut.
5. Teori Attachment (Bowlby & Ainsworth)
Jika seseorang memiliki hubungan emosional yang buruk dengan orang tua atau pengasuhnya di masa kecil, ia bisa mengembangkan attachment insecure, yang membuatnya sulit menerima aturan atau otoritas di kemudian hari.
Ternyata perilaku ndablek itu tidak sesederhana wujudnya atau tampilannya, sebab dibawah sadar pelakunya ada persoalan-persoalan serius yang mendorongnya sehingga menjadi ndablek. Tidak peduli dia pejabat atau rakyat jika sudah terserang penyakit ndablek, maka akan menyusahkan orang lain atau paling tidak merusak sistem sosial yang telah dibangun bertahun-tahun.
Berdasarkan studi terakhir ternyata ndablek ini bisa berkembang menjadi muka tembok; oleh karena itu bangun kerangka silogismenya: orang ndablek bisa saja berlanjut menjadi muka tembok, tetapi orang muka tembok pasti didahului perilaku ndablek. Seseorang yang ndablek mungkin masih merasa malu atau takut akan adanya konsekuensi, sedangkan muka tembok sudah sampai pada tahap tidak peduli sama sekali terhadap omongan atau peringatan orang lain. Bahkan nyolong uang rakyat dengan cara licik yang kedapatan sudah bisa dipastikan mukanya menjadi muka tembok.
Berbeda lagi dengan yang ada di sana; ternyata ndablek dengan muka tembok berkelindan sempurna. Bisa dibayangkan korupsi karena minyak dengan total mencapai hampir satu kuadriliun, begitu ditayangkan wajah-wajah mereka seperti tidak menanggung beban, atau paling tidak malu; justru yang ditampilkan cengar-cengir seperti muka kuda liar Sumbawa. Bisa jadi muka tembok yang bertulang ndablek ini sudah menghitung, jika hukumannya paling 15 tahun penjara dipotong masa tahanan dan “kelakuan baik”, maka tinggal sekitar tujuh tahun, kemudian mendapat remisi dan seterusnya akhirnya mereka hanya kena lima tahun penjara, itupun penjaranya bisa disulap sesuai selera. Belum lagi kalau ada bantuan meringankan dari mereka yang selama ini menjadi pemilik negeri; maka selesailah semua bisa hilang dimakan waktu.
Semoga ndablek tidak berkembang menjadi “penyakit sosial”, karena jika ini yang terjadi maka kita akan mengalami kesultan mengobatinya, karena pasiennya ndablek, yang mengobati juga ndablek, yang melayani ya ndablek; maka sempurnalah menjadi “pawai ndablek”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Ramadhan Momentum Sempurnakan Amal Kebaikan
Muslih, S.H.I., M.H
Dosen Agama dan Dosen Ilmu Hukum Universitas Malahayati
–
Bismillah Alhamdulillah la haula wala quwwata illa billahil aliyil adzim.
Allahuma soli ala sayyidina muhammadin waala alihi sayyidina muhammadin.
Assalamualaikum Warohmatullahi wabarakatuh
Ramadhan sebagai pintu awal bulan kalender hijriah dalam islam yang penuh keberkahan menandakan momentum penting untuk mengisi bulan ramadahan dengan penuh semangat antusias senang gembira melalui amal kebaikan yang sempurna. Wujud cinta dan kasih sayang pada bulan Ramadhan bukan hanya sekedar ucapan belaka melainkan perlu diwujudkan dalam bentuk amal-amal yang di kerjakan dengan sempurna.
Semangat Masyarakat yang begitu besar dalam mengisi bulan suci Ramadhan yang penuh hikmah terlihat dari bagaimana antusias menyambut penetapan 1 ramadhan 1446 hijriah. Kegembiraan masyarakat terlihat dengan memunuhi masjid masjid Allah dengan Aktivitas ibadah. Paginya dengan suasana riuh suara ramai mempersiapkan saur, sore sore mempersiapkan untuk buka hingga jalan jalan sampai macet, dll. Supaya aktivitas ibdah dapat diraih dengan sempurna seyogyanya menerapkan pilar penting kesempurnaan (Amal) aktivitas/ kegiatan ibadah
Tiga (3) pilar penting kesempurnaan amal dengan menerapkan pilar pertama (1) Cinta (hub) dalam bentuk ibadah rasa cinta atau al-mahabbah yang menjadi dasar penting dalam beribadah kepada Allah SWT. Cinta ini dapat membuat ibadah dilakukan dengan tulus, ikhlas, dan penuh kesadaran. Amal ibadah melalui rasa cinta lahir lahir sikap rela mengorbankan waktunya tenaga pikiran untuk keberkahan bulan Ramadhan, dengan rasa cinta ia peduli berbagi kepada tetangganya, menjaga ucapannya dan prilakunya yang menyakiti orang lain.
Momentum Ramadhan ia sempurnakan untuk meraih manfaat yang ada didalamnya, untuk mendapatkan ampunan (Magfirah) Allah dengan cara perpuasa hanya atas keimanan dan keikhlasan semata, mendirikan shalat hanya karena iman dan Ikhlas, begitupun amal yang lainnya. “Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Āli ‘Imrān [3]: 31).
Untuk mendapatkan manfaat atas (Rahmat)Allah dan pembebasan dari api neraka (Itqun Minan Nar) sebagaimana Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dimana Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Awal bulan Ramadhan adalah Rahmah, pertengahannya Maghfirah dan akhirnya Itqun Minan Nar (pembebasan dari api neraka)”.
Untuk mewujudkan atau membuktikan rasa cinta kepada Allah manusia dituntut untuk patuh atas segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya serta mengikuti ajaran nabinya (Nabi Muhammad SAW) selain itu atas kesempatan waktu ia manfaatkan untuk berdzikir dan berdoa pagi hari, sore hari, malam hari, bahkan setiap hembusan nafas untuk disalurkan ingat kepada Allah sang maha pencipta.
Pilar kedua (2) Takut (Al-Khauf) maksudnya dalam menjalankan (Amal) aktivitas lahir rasa takut dihadapan Allah. Kegiatan yang dilakukan hawatir mendatangkan murka, hawatir tidak sesuai dengan kehendak Allah, mempunyai kekhawatiran atau ketakutan sekiranya lisannya mengucapkan perkataan yang mendatangkan murka Allah. Hawatir tidak sempurna apa yang dijalankannya sebagaimana dalam hadits“Tanda sempurnanya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu (perkataan) yang tidak berguna”. (HR. At Tirmidzi).
Takut adalah suatu sikap seseorang untuk tidak berbuat sesuatu jika tidak ada manfaat dan faidah serta petunjuk yang jelas. Seseorang yang takut kepada Allah mestinya ia mengenal dirinya apakah mengetahui segala fungsi hati akal dan fisik dengan baik ataukah sebaliknya sebagaimana satu ungkapan kaidah (man arofa nafsah waman arofa robbah) siapa yang mengenal dirinya maka ia mengenal tuhannya. Takut kepada Allah adalah salah satu bentuk ibadah yang tidak terlalu diperhatikan oleh sebagian orang-orang mukmin, padahal itu menjadi dasar beribadah dengan benar. Firman Allah Ta’ala: “Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kalian kepadaKu, jika kamu benar-benar orang yang beriman”.(Ali ‘Imran 175).
Momentum Ramadhan mengajarkan kesempurnaan amal dapat diraih dengan rasa takut jika perut menahan rasa lapar dan haus tapi tidak dapat pahalanya. Orang mukmin yang baik tidak akan memasukkan makanan ke dalam perutnya kecuali dari yang halal, dan memakannya hanya terbatas pada kebutuhannya saja.Sebagaimana Firman Allah Ta’ala: Artinya: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian lain diantara kamu dengan jalan yang batil”.(Al Baqarah: 188).
Pilar ke tiga (3) harapan (Roja). Maksudnya segala bentuk amal yang dilakukan Roja’ adalah sikap mental dalam Islam yang berarti mengharapkan ridha, rahmat, dan pertolongan Allah SWT. Roja’ merupakan salah satu sifat penting yang harus dimiliki seorang Muslim. Mengharap sesuatu meyakini sesuatu, meminta sesuatu, berdoa untuk sesuatu hanya karena atas kehendaknya Allah semata dan atas ridhanya. Tetapi pengharapan ini dalam bentuk kesempurnaan kebaikan Ketika mampu menyeimbangkan rasa takut dan harap disertai dengan ikhtiar doa, dan tawakal dilatih dengan cara melaksanakan ibadah harian (yaumiah) seperti shalat, membaca Al-Quran, dan berdzikir puasa, selalu berupaya memperbaiki diri, meningkatkan akhlak, dan menghindari dosa belajar tentang ajaran agama dan memahami makna dalam Al-Quran.
Dengan berkah Ramadhan dan keistimewaan serta kesempurnaannya Berbagai manfaat yang akan didapatkan dari sikap roja adalah seseoarang memiliki sikap optimis yang pantang menyerah, memiliki keyakinan kuat, tekadnya kokoh, jauh dari rasa sedih dan putus asa, memiliki perasangka yang baik, senantiasa merasa tenang, terhindar dari penyakit hati. Maka segala urusan dengan bekal yang demikian akan memegang kendali sesuai pedoman sebagaimana firman Allah Artinya: “Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain.” (QS. Al-Insyirah: 7) Orang yang memiliki sikap rodja akan jauh dari sifat malas, berpangku tangan. Ia akan selalu berusaha dan bertindak sehingga tampak inovatif dan kreatif. untuk tumbuh dan berkembang. (Msl)
Editor: Gilang Agusman
Dosen dan Mahasiswa Psikologi Universitas Malahayati Gelar Pengabdian Masyarakat untuk Anak Berhadapan dengan Hukum
Acara ini melibatkan dosen psikologi, serta mahasiswa Psikologi angkatan 2022 dan 2023, yang secara aktif berinteraksi dengan anak-anak ABH dalam serangkaian kegiatan edukatif dan terapeutik.
Kegiatan diawali dengan sambutan dari pihak UPTD PKS Insan Berguna, yang menyambut baik inisiatif dari Universitas Malahayati dalam mendampingi anak-anak yang menghadapi tantangan hukum.
Selanjutnya, dosen Prodi Psikologi, Octa Reni Setiawati, S.Psi., M.Psi, memberikan prolog mengenai kesejahteraan mental, dengan fokus pada isu pornografi, seks bebas, dan penyalahgunaan narkoba. Materi ini disampaikan untuk meningkatkan pemahaman ABH tentang dampak psikologis dari perilaku berisiko serta memberikan wawasan tentang bagaimana mereka dapat mengelola diri dengan lebih baik.
Untuk mengukur kondisi psikologis anak-anak, tim psikologi Universitas Malahayati melakukan pretest kesejahteraan psikologis, yang bertujuan untuk memahami kondisi awal mereka sebelum diberikan intervensi melalui aktivitas menyenangkan dan edukatif.
Setelah pretest, mahasiswa psikologi mengajak ABH bermain games tebak karakter, yang dirancang untuk meningkatkan kerja sama tim, kepercayaan diri, dan interaksi sosial. Anak-anak dibagi menjadi tiga kelompok dan secara bergantian memperagakan karakter yang diberikan oleh mahasiswa psikologi.
“Gamesnya seru bang, bikin kita seneng, kerja sama tim juga sama kepercayaan satu sama lain bang,” ujar salah satu peserta ABH dengan antusias.
Kegiatan berlanjut dengan post-test untuk melihat apakah ada perubahan dalam kesejahteraan psikologis anak-anak setelah mengikuti aktivitas sebelumnya.
Selanjutnya, dilakukan asesmen kecerdasan menggunakan beberapa alat tes psikologi yang telah disiapkan. Anak-anak kemudian menjalani sesi wawancara dengan dosen psikologi secara bergantian. Pendekatan ini bertujuan untuk memahami lebih dalam kondisi emosional, kognitif, serta aspek sosial mereka, yang nantinya dapat menjadi dasar untuk intervensi lebih lanjut.
Kegiatan ini tidak hanya memberikan dampak positif bagi anak-anak ABH, tetapi juga menjadi pembelajaran berharga bagi mahasiswa dan dosen psikologi. Melalui interaksi langsung dengan ABH, mereka dapat memahami lebih dalam tantangan psikologis yang dihadapi oleh anak-anak yang berkonflik dengan hukum, serta bagaimana memberikan dukungan yang tepat untuk membantu pemulihan mereka.
Kegiatan ini diharapkan dapat menjadi program berkelanjutan, yang terus memberikan manfaat bagi ABH dalam aspek mental, emosional, dan sosial, serta membantu mereka untuk dapat beradaptasi dan kembali ke masyarakat dengan lebih sehat dan produktif.
Dengan adanya inisiatif seperti ini, Universitas Malahayati terus menunjukkan komitmennya dalam memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang membutuhkan pendampingan psikologis untuk masa depan yang lebih baik. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Tempe Gembus Makanan Rakyat
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada bulan ramadhan seperti ini mengingatkan suasana pedesaan pada akhir tahun 50 an; saat itu negeri ini kondisinya masih sangat memprihatinkan. Pemberontakan ada di mana-mana, rakyat mengalami kekurangan sandang dan pangan, ekonomi begitu sulit; bahkan untuk makanpun rasanya sulit menemukan makanan yang layak. Apalagi jika ukuraan saat ini dipakai, maka bagai bumi dengan langit. Namun kondisi itu tidak membuat menyerah jika harus melakukan ibadah puasa, karena memang puasa itu disamping perintah agama; ternyata juga pada saat itu sudah dilakukan hampir setiap hari karena ketiadaan.
Namun ditengah kesulitan itu ada makanan khas pedesaan bernama “Tempe Gembus”, yaitu tempe yang terbuat dari ampas tahu, dalam bahasa Jawa disebut Gembus, yang difermentasi dengan ragi tempe. Biasanya dijadikan lauk atau camilan goreng di berbagai daerah masyarakat Jawa. Makanan ini menjadi sangat favorit karena disamping murah meriah juga mudah. Walaupun pada waktu itu ada juga masyarakat yang bereksperimen dengan menggantikan kacang kedelai dengan biji karet. Tentu proses pengolahannya sulit, rumit dan bertele-tele. Mengapa kacang kedelai tidak jadi pilihan, karena jika memiliki kacang kedelai lebih baik dijual dengan harga yang cukup lumayan saat itu, dan uangnya dibelikan beras, dan keperluan lain.
Kita tinggalkan soal makan lezat bernama gembus itu, karena kata “gembus” pada sebagaian masyarakat Jawa juga digunakan untuk sebagai kata kiasan. Makna gembus kadang digunakan dalam bahasa sehari-hari untuk menyebut seseorang yang banyak omong tapi kurang substansi, seperti dalam ungkapan “mulutnya kayak tempe gembus” (omong besar tapi kosong). Kalau menggunakan dialek ngapak biasanya akan dikatakan “omongane kaya gembus” terjemahan bebasnya omongannya seperti gembus, maksudnya besar omong.
Ternyata kalau dahulu gembus itu adalah makanan, sekarang berubah bukan hanya makanan tetapi juga pembicaraan, dan pembicaraan yang kosong seperti halnya gembus seperti dialek ngapak, itu sudah merajalela disegala sendi kehidupan. Bisa dibayangkan pembuka mega korupsi ternyata juga punya borok tukang korupsi; sehingga saat mau bicara tentang korupsi yang ditangkap langsung bilang “apa mau saya buka juga korupsimu”. Akhirnya yang keluar pembicaraannya seperti gembus.
Sebelum maju menjadi pemimpin diminta melakukan kampanye, dan semua kita terperangah bahkan ada yang sangat berharap yang bersangkutan langsung saja menjadi pemimpin karena akan membuka ribuan lowongan kerja bagi semua. Namun baru beberapa bulan menjabat ternyata sudah ratusan pabrik tutup dengan ribuan karyawan menjadi pengangguran, akibat dari kebijakkan orang pilihannnya yang tidak mampu. Dan, sekali lagi kata gembus paling cocok untuk kondisi ini.
Belum bekerja sudah mengatur siasat agar bagaimana tetap menjadi pemimpin untuk limatahun kedepan, karena merasakan empuknya singgasana. Akhirnya dibuat kesepakatan mengikat kepada pendukungnya agar tidak lari. Sementara pekerjaan yang seharusnya dikerjakan belum juga dikerjakan; begitu mendengar gerakan anak muda untuk mencari pekerjaan di luar, semua kebakaran jenggot akkhirnya komentar “gembus” yang keluar dari pembelanya.
Memang tidak ada yang sempurna didunia ini, dan tidak bisa segala sesuatu instan, harus berproses. Namun proses akan berjalan manakala perencanaan dibuat dan dikerjakan, dengan melibatkan semua elemen terkait. Bukan lagi masanya mengumbar janji seperti saat “menjual diri”, karena itu akan memperbesar “gembus” saja. Sekarang sudah waktunya membuktikan apa yang diucapkan dengan jelas, tegas, kapan, dan apa yang akan dilakukan untuk mencapainya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman