Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Perjalanan menuju salah satu daerah istimewa di pulau Jawa dengan membawa rombongan mahasiswa pascasarjana bersama pimpinan lembaga, menjadikan kenangan nostalgia 27 tahun yang lalu. Kami menggunakan bus kelas tertinggi dari salah satu perusahaan oto bus dengan nama yang dijadikan judul tulisan ini.
Karena sudah lama tidak naik bus jarak yang jauh, maka kesan dan kenangan masa lalu terus tayang di pikiran hampir di sepanjang perjalan. Ada nostalgia indah, ada haru biru, ada cerita asmara, ada susah payah, ada legenda, ada mistis, ada realitas, dan seabrek kisah masa lampau. Maka, ketika sampai di kamar hotel, energi untuk menulis serasa tidak terbendung. Salah satunya tema dari sepenggal pembicaraan dalam perjalanan itu.
Karena yang ada dalam bus adalah para intelektual yang akan melakukan studi lapangan di universitas tertua di negeri ini; maka pembicaraanpun tidak lepas dari konteks keilmuan dan keilmiahan. Salah satu yang menjadi trending topic adalah adanya tagar yang sedang heboh di dunia maya dengan mengajak untuk sementara tinggalkan tanah air guna mencari kehidupan yang lebih baik. Semua mereka peserta diskusi terbatas itu sepakat; mengecam pejabat negara yang berkomentar “asal bunyi”; yaitu komentar yang bukan mencari solusi, tetapi justru membuat masalah baru pada anak negeri.
Terlepas dari itu semua, tulisan ini mencoba tidak memihak kepada siapapun karena itu adalah pendapat pribadi dan sah-sah saja untuk berbeda pendapat. Tulisan ini ingin mengajak sedikit melakukan kilas balik secara filosofis, yaitu berkaitan dengan tujuan pendidikan yang ada di Indonesia, terutama untuk perguruan tinggi.
Pengalaman selama hampir setengah abad menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi tentu banyak terlibat dalam merumuskan tujuan institusional yang sangat filosofis. Namun dari semua ragam yang dirumuskan selalu ada terselip kalimat “mampu bersaing pada pasar global” atau paling tidak “mampu mencapai kelas internasional”.
Konsekuensi dari semua itu adalah pembelajaran yang digelar harus berstandar internasional, dan diharapkan alumninya mampu bersaing di dunia global. Bahkan akhir-akhir ini sekolah-sekolah kejuruan juga ikutan memasang tujuan institusionalnya agar para tamatannya mampu bersaing di pasar global.
Menyimak dari semua itu, sebenarnya pada kurun sepuluh tahun terakhir kita sudah mempersiapkan anak-anak muda Indonesia untuk mampu bersaing di pasar global. Salah satu bentuk persaingannya itu adalah “masuk ke dunia kerja global”. Lalu apakah ada yang salah jika mereka setelah tamat mencoba masuk pasar kerja global, dan diterima kemudian bekerja di negara orang.
Faktor lain ialah penguasaan bahasa asing yang menjadi wajib bagi mereka. Dan, mereka sudah sangat menguasai semenjak sekolah dasar. Begitu mereka ada pada strata Sekolah Menengah Atas, banyak diantaranya sudah menguasai paling tidak dua bahasa asing, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa dasar mereka. Lebih laju lagi di perguruan tinggi, mereka dituntut untuk menulis jurnal dalam bahasa asing (Inggris) dan berbahasa asing saat melakukan pertemuan ilmiah. Tidak jarang kemampuan bahasa asingnya lebih baik daripada dosennya.
Begitu mereka tamat, tentu saja akan berpikir global dan merasa “merdeka” untuk menentukan masa depannya sendiri. Jika pilihan mereka untuk bekerja di negara asing lebih kuat, hal itu semata-mata karena mereka merasa mampu bersaing di sana kemudian mendapatkan penghasilan yang sesuai dengan estimasi mereka. Lalu pertanyaannya “salahkah mereka?”.
Mereka menjadi duta-duta negara ini, dan tidak salah kalau mereka disebut “pahlawan devisa” atau “duta devisa”. Mereka tidak menghabiskan anggaran negara seperti halnya pejabat negara, justru mereka menghasilkan devisa negara dengan rela meninggalkan keluarga untuk mendapatkan kehidupan lebih baik. Jika dulu pahlawan devisa disandang oleh para tenaga kerja dengan kelas informal; justru sekarang ada pada wilayah formal.
Lalu, jika ada yang mempertanyakan “nasionalisme” mereka; rasanya pertanyaan itu tidak adil dan tidak tepat. Justru pertanyaan itu harusnya dipertanyakan kepada para kuruptor, dan para penghukum ringan sang koruptor, atau mereka yang memfasilitasi koruptor untuk mendapatkan segala kemudahan. Dan, jika ucapan itu terlontar dari mulut para penguasa negeri ini, justru pertanyaan balik juga harus dijawab oleh mereka ; “Apa yang sudah mereka berikan kepada negeri ini”; kalau hanya sekedar rebutan kursi lewat kegiatan atas nama pemilihan, tetapi sebenarnya penipuan.
Perlu kita pahami bersama generasi Z yang ada sekarang mereka bukan hanya warga negara, tetapi juga warga dunia. Oleh sebab itu beri mereka kebebasan untuk menjelajah dunia ini; tugas kita adalah bagaimana menguatkan “rasa keindonesiaan” di jiwa mereka. Sekalipun mereka ada di Kutub Utara atau Kutub Selatan sekalipun, dada mereka tetap merah-putih, tetap Indonesia. Jangan mereka dicaci atau dibenci, kalau itu yang kita lakukan, maka mereka akan semakin jauh dari kita, dan semakin kencang larinya menuju negeri orang.
Melalui tulisan ini pesan disampaikan kepada kita semua, mari jaga ucapan kita, terutama para petinggi negeri; agar tidak terjadi luka hati pada generasi. Karena jika itu yang terjadi, maka jangan harap negeri ini akan “berpenghuni”. Salam Waras dari tepi Malioboro. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Munggah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kata “munggah” berasal dari bahasa Jawa yang berarti “naik” atau “menaikkan”. Kata ini sering digunakan dalam berbagai konteks. Sementara dalam kontek budaya dikenal istilah punggahan. Punggahan adalah tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Jawa dan sebagian masyarakat di Indonesia menjelang bulan Ramadhan. Dapat dimaknai juga sebagai momen meningkatkan kualitas diri dalam menyambut bulan suci Ramadhan bagi umat muslim. Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur dan persiapan menyucikan diri sebelum menjalankan ibadah puasa.
Bentuk kegiatannya bisa bermacam-macam sesuai dengan budaya tempatan, karena ini bukan perintah agama secara prinsip, maka variasinya menjadi sangat beragam. Bahkan ada yang memposisikan haram melakukannya, ada yang makruh, dan sebagainya. Namun tulisan ini tidak masuk ke wilayah itu, dan lebih fokus pada perilaku sosial.
Tradisi ini juga dikenal pada berbagai sub-etnik di nusantara dengan istilah munggah; seperti juga pada masyarakat Palembang yang selalu mengadakan kenduri ruwah. Bahkan ada yang disertai dengan mandi limau, yaitu mandi yang airnya disertai dengan perasan jeruk nipis. Dahulu beberapa daerah di Riau, Aceh dan beberapa bagian lainnya diantara masyarakat ada yang melakukan ritual ini menjelang puasa Ramadhan.
Kita tinggalkan munggah dan punggahan dalam konteks budaya, tulisan ini lebih menekankan munggah dalam arti “naik”; itupun khususon pada harga-harga kebutuhan sehari-hari di bulan Ramadhan. Sudah semacam hukum ekonomi pasar berlaku untuk situasi ini; semua kebutuhan, terutama bahan pokok, disaat seperti ini mulai merangkak naik. Kenaikan harga seperti ini masih disertai dengan kekurangan stok bahan, atau juga meningkatnya yang membutuhkan. Hukum ekonomi pasar sempurna menjadi terwujud, dan tentu akibatnya banyak dampak yang harus terjadi, baik positif maupun negatif.
Mendekati hari lebaran, maka kondisi seperti ini seolah semakin menjadi-jadi; dan anehnya semua kita termasuk pemerintah sering abai dalam mengatisipasinya. Walhasil, harga menjadi “munggah” disertai kata sejadi-jadinya, atau menggila. Tentu kondisi inilah yang diharapkan oleh para spekulan untuk meraup keuntungan yang sebanyak-banyaknya.
Perilaku munggahkan harga ini sebenarnya oleh para spekulan sudah dirancang jauh hari; banyak diantara mereka sudah menimbun barang satu atau dua bulan sebelumnya. Dan, menjualnyapun dengan mode tertentu, yaitu tiga hari sebelum dan tiga hari saat bulan puasa berjalan. Hal ini dilakukan karena semua orang ingin berpuasa, bahkan yang tidak menjalankan ibadah shalatpun sibuk ikut berpuasa. Kemudian pada hari keempat atau kelima mereka tidak lagi berpuasa, tetapi sibuk mencari persiapan lebaran. Pada umumnya mereka inilah yang paling getol untuk mencari uang dengan cara apapun agar dapat ikut pesta lebaran.
Penjualan berikutnya dilakukan hari-hari terakhir puasa, dimana keramaian puasa melebihi kondisi normal. Apapun yang dijual saat itu, dengan harga berapapun seolah akan habis saja. Dan terakhir dijual saat para pedagang lain masih sibuk mudik lebaran, mereka yang memanfaatkan keadaan, maka menjual barang dengan seenak sendiri saja dalam menetapkan harga. Hal ini terjadi karena pasar tidak ada pesaingnya. Mereka yang membutuhkan harus rela membayar berapapun karena merasa memerlukan dan pedagang belum banyak yang kembali berjualan.
Tampaknya siklus seperti ini berjalan dari tahun ketahun, sehingga kita seolah pasrah dengan keadaan. Para penjualpun menikmati kondisi ini dari masa ke masa. Sementara yang memang melaksanakan ibadah puasa sebagai kewajiban, tidak terpengaruh akan kenaikan harga, sebab rata-rata mereka memang sudah terbiasa berpuasa, dan tidak perlu mempersiapkan segalanya secara berlebihan. Atau memang selama ini mereka harus berpuasa sepanjang tahun karena ketidakadaan; oleh sebab itu mereka tidak merasakan perbedaan signifikan dengan hari-hari biasa.
Hal lain lagi karena banyak diantara kita terserang “hawak mata” terjemahan bebasnya lapar mata. Sesungguhnya kita tidak membutuhkan, tetapi hanya sekedar menginginkan; akhirnya semua mau diraih disiapkan di atas meja; begitu tiba waktu berbuka semua yang dikumpulkan tadi tidak tersentuh, apalagi mau dimakan.
Untuk itu teman-teman seiman,.mari kita siapkan diri untuk “munggah” dalam pengertian hakiki, yaitu mempersiapkan diri untuk melaksanakan ibadah puasa sesuai dengan perintah agama dengan cara membersihkan diri dari penyakit hati. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Jalan-Jembatan Seiring Sejalan, Bukan Jalan Jadi Siring, Sudah Mimpi Kereta Gantung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
SEJARAH jalan dan jembatan sangat erat kaitannya dengan perkembangan peradaban manusia. Infrastruktur ini menjadi bagian penting dalam mobilitas, perdagangan, dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Berikut adalah gambaran singkat sejarah jalan dan jembatan dari masa ke masa berdasarkan referensi digital:
A. SEJARAH JALAN
Jalan Prasejarah
Manusia purba menggunakan jalur alami seperti jalan setapak di hutan atau dataran. Jalur pertama kemungkinan besar terbentuk dari kebiasaan hewan dan manusia yang berjalan berulang kali di rute yang sama.
Jalan Kuno
Mesopotamia dan Mesir sekitar 4000 SM. Peradaban Mesopotamia membangun jalan tanah untuk perdagangan. Bangsa Mesir menggunakan batu untuk jalan di sekitar piramida.
Jalan Romawi
Kekaisaran Romawi 500 SM – 476 M membangun jalan dengan teknik canggih menggunakan batu besar, pasir, dan kerikil. Beberapa jalan Romawi masih bertahan hingga sekarang.
Jalan Sutra
Jalur perdagangan 200 SM – 1400 M yang menghubungkan Tiongkok, Asia Tengah, Timur Tengah, hingga Eropa.
Revolusi Industri
Pembangunan jalan dengan teknik baru seperti penggunaan batu makadam oleh John Loudon McAdam antar thun 1700-1800-an.
Jalan Modern pada Abad ke-20 sudah berkembang pesat menggunakan aspal dan beton.
Pada Abad ke-21, jalan tol, jalan layang, dan sistem jalan pintar berbasis teknologi mulai digunakan.
B. SEJARAH JEMBATAN
Jembatan Primitif
Awalnya berupa batang kayu atau batu yang diletakkan melintasi sungai. Manusia purba juga menggunakan akar pohon yang tumbuh alami sebagai jembatan gantung sederhana.
Jembatan Kuno.
Jembatan Batu Mesopotamia sekitar 3000 SM dibangun dengan batu bata lumpur dan kayu.
Jembatan Romawi
Jembatan yang menggunakan batu dan beton tahan air sekira 500 SM – 500 M. Contoh jembatan yang terkenal pada era ini adalah Jembatan Alcántara di Spanyol.
Jembatan Gantung Inca
Jembatan gantung yang dibuat dari serat alami seperti rumput dan digunakan di Pegunungan Andes pada tahun 1400-an.
Jembatan Revolusi Industri
Jembatan Abad Pertengahan dan Revolusi Industri ini telah menggunakan besi pada 1779 di Inggris. Jembatan Iron Bridge di Shropshire, Inggris, adalah jembatan pertama dari besi tuang.
Jembatan Rel
Jembatan Era Kereta Api pada tahun 1800-an terbuat dari besi dan baja yang dibangun untuk mendukung transportasi kereta api.
Jembatan Modern
Jembatan gantung muncul mulai tahun 1900-an sampai sekarang contohnya Golden Gate Bridge di Amerika Serikat dan Jembatan Akashi-Kaikyō di Jepang.
Jembatan Kabel
Cable-Stayed Bridge mulai pada tahun 1950-an sampai sekarang misalnya Jembatan Suramadu di Indonesia).
Jembatan Berteknologi Tinggi
Jembatan yang muncul pada Abad ke-21 menggunakan material ringan dan teknologi anti-gempa.
Jalan dan jembatan terus berkembang dengan teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi, keamanan, dan daya tahan. Infrastruktur ini tetap menjadi tulang punggung transportasi global.
Berarti, jalan dan jembatan adalah pasangan ideal yang tak terpisahkan. Dengan kata lain jalannya harus bagus jembatannya juga bagus.
Yang kemudian menjadi persoalan, banyak jalan yang rusak sementara mau membangun jembatan kabel atau kereta gantung.
Pemikiran yang seperti ini jika ada pada kepala pemimpin, seyogyanya yang bersangkutan minum obat terlebih dahulu sehingga bisa berfikir jernih.
Pemimpin jangan menjadi pemimpi, walau kedua diksi ini hanya selisih satu huruf maknanya menjadi sangat jauh berbeda. Mimpi dalam pengertian visioner kedepan itu berbeda dengan mimpi dalam tidur; apalagi menjadi sangat berbeda lagi mimpinya sebelum tidur. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati Gelar Penyuluhan Hukum Bisnis Syariah dan Praktiknya, Sebagai Wujud Pembelajaran untuk Mahasiswa
Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, S.H., M.H., dalam sambutannya menyampaikan bahwa kegiatan ini sangat relevan sebagai bagian dari pembelajaran mahasiswa dalam mata kuliah Hukum Bisnis Syariah. Dengan mengusung metode perkuliahan Outcome Based Education (OBE), kegiatan ini bertujuan untuk mempersiapkan mahasiswa agar lebih siap menghadapi dunia kerja yang semakin berkembang dan membutuhkan pemahaman hukum yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, khususnya dalam bidang bisnis.
“Kami sangat mendukung kegiatan seperti ini karena dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang hukum bisnis syariah, serta memberikan pengalaman praktis yang sangat dibutuhkan sebelum terjun ke dunia profesional,” kata Dekan Fakultas Hukum, Aditia Arief Firmanto.
Dalam kegiatan tersebut, para peserta diberikan pemahaman mengenai Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum Bisnis, Praktik Hukum Syariah dalam Perekonomian, serta Sosialisasi Hukum Bisnis Syariah dan Praktiknya. Selain itu, acara ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam bidang hukum bisnis dan syariah serta memberikan kesempatan untuk mengaplikasikan pembelajaran yang didapatkan di dalam kelas ke dalam praktik kehidupan nyata.
Kaprodi Ilmu Hukum Universitas Malahayati, Rissa Afni Martinouva, S.H., M.H., menambahkan bahwa penyuluhan ini adalah langkah yang sangat penting untuk mengembangkan kreativitas dan semangat mahasiswa Fakultas Hukum dalam memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian yang mengusung perdagangan dan bisnis secara Islam. “Penyuluhan ini tidak hanya sebagai ajang pembelajaran, tetapi juga sebagai wadah bagi mahasiswa untuk terlibat aktif dalam pengembangan hukum bisnis syariah yang kian relevan dalam perkembangan ekonomi global,” ungkap Rissa Afni Martinouva.
Dalam konteks ekonomi global yang terus berkembang, munculnya berbagai model bisnis baru memerlukan regulasi dan tata kelola yang adil, transparan, serta sesuai dengan nilai-nilai etika. Hukum bisnis syariah hadir sebagai solusi untuk menjamin keberlanjutan usaha yang tidak hanya mengutamakan keuntungan, tetapi juga keberkahan, keadilan, dan kesejahteraan bersama.
Semoga kegiatan ini dapat menjadi awal yang baik bagi pengembangan ilmu hukum syariah di kalangan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati dan turut memberikan manfaat bagi masyarakat luas. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Membangun Asa yang Berserak
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa jam setelah tiba dari beraudiensi dengan perguruan tinggi negeri papan atas di negeri ini, yang berada di daerah istimewa, dalam rangka menyinkronkan rencana pembukaan suatu program bergengsi di dunia akademik, dilanjutkan pengukuhan guru besar baru di tempat tugas; berikutnya tugas baru sudah menanti. Dan, tugas yang tidak dapat digantikan diantaranya adalah menjadi ketua tim “penyatuan” keluarga besar melalui ikatan perkawinan. Sekalipun jarak yang harus ditempuh cukup jauh dan dalam kondisi lelah sangat secara fisik dan mental, karena sudah tidak muda lagi; tetapi mengingat tugas kemanusiaan yang sangat mulia itu, maka semua dijalankan dengan riang gembira bersama keluarga.
Ternyata ditengah-tengah momen kehidupan yang sakral itu; ditemukan mutiara “nasehat diri” dari peristiwa sosial yang terjadi. Keluarga-keluarga inti yang hadir ternyata hampir semua adalah produk dari amalgamasi. Sangat jarang lagi ditemukan suami-istri yang berasal dari satu sub-etnik yang sama; mereka rata-rata berbeda latar belakang budaya; sehingga membentuk budaya baru, namun tidak meninggalkan sub-budaya etniknya, minimal bahasa ibu.
Menariknya lagi himpunan mereka ini sudah terjalin sejak lama. Menurut catatan sejarah, daerah ini dibuka sekitar tahun 1930 oleh Belanda. Pemerintah kolonial membangun jalan raya yang menghubungkan antarkeresidenan di Sumatera. Pembangunan jalan ini mendorong pembukaan dan pengembangan wilayah di sepanjang rute tersebut.
Pemukim datang dan pergi seiring dengan lajunya perdagangan hasil bumi, terutama rempah masa lampau; mengakibatkan daerah ini menjadi maju pesat, dan sekarang termasuk kecamatan yang kepadatan penduduknya cukup tinggi. Dan, dari semua itu seolah daerah ini ingin memunculkan “akulah Indonesia” karena interaksi antarsubetnik di sini begitu harmonis, serta tidak pernah terjadi konflik antar mereka.
Atas dasar itu dapat disimak saat mereka memperkenalkan diri saat berlangsungnya suatu acara dengan menyebut “Bapak saya dari subetnik X, sedangkan ibu saya bersubetnik Y; saya bisa bahasa kedua orang tua saya dengan fasih”. Perkenalan diri seperti ini untuk didaerah ini sudah sangat biasa; oleh karena itu ikatan antar-intermereka secara kekeluargaan menjadi kentara dan sangat erat sekali.
Pembentukan Indonesia ternyata sudah dimulai prosesnya jauh sebelum merdeka untuk daerah ini; jejak-jejak itupun menyejarah sampai hari ini. Namun sayangnya harmoni yang seperti ini dirusak oleh mereka-mereka yang berfikir sesaat dan cenderung “norak”. Salah satu diantaranya adalah membangun tembok sosial dengan mengatasnamakan ekonomi. Mereka yang secara ekonomi lebih beruntung, maka merekalah yang berhak untuk mendapatkan status lebih dari yang lainnya. Akhirnya daerah ini menjadi penyuplai tenaga kerja sektor informal untuk luar daerah, bahkan sampai luar negeri; dengan tujuan mencari penghasilan sebanyak-banyaknya di luar untuk dibawa pulang dan memperbaiki status sosial yang ada selama ini. Bahkan ada yang tega meninggalkan keluarga demi mengejar harapan di negeri orang. Namun ada juga suami yang memanfaatkan momen ini untuk melepaskan diri dari tanggung jawab; sehingga merasa sudah memberi ijin kepada keluarga kerja keluar daerah itu berarti harus mendapatkan imbal jasa dari yang pergi.
Daerah yang masih ditopang oleh produk pertanian, terutama tanamanan keras ini, masyarakatnya memiliki karakter yang sudah berubah menjadi egaliter. Ukuran normatif individual sudah membentuk pola, oleh sebab itu secara normatif wilayah ini sudah layak disebut “kota”; namun dari aspek perilaku penunjang, masih ada pada posisi transisi.
Jika tagar untuk meninggalkan negeri guna memperbaiki nasib di negeri orang itu baru sekarang muncul; untuk daerah ini sudah lama dilakukan oleh mereka yang memang tidak melihat peluang di daerah ini. Homo Ekonomikus yang melekat pada manusia, seolah saat ini mendapatkan pintu keluar yang luas, termasuk untuk warga daerah ini. Justru slogan yang dikenal pada masyarakat ini adalah “jaga yang kita miliki, sabar menghadapi apa yang terjadi”; seolah merupakan pendorong jiwa semangat untuk meraih yang lebih baik lagi. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Kunjungi Dinas Kesehatan DIY, Penerapan Integrasi Pelayanan Kesehatan Primer
Universitas Malahayati dipimpin oleh Guru Besar Universitas Malahayati, Prof. Dr. Sudjarwo, MS, bersama dengan Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK), Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes, Ketua Program Studi (Ka. Prodi) Magister Kesehatan Masyarakat, Dr. Samino SH., M.Kes, serta Sekretaris Prodi, Khoidar Amirus, SKM., M.Kes. Kehadiran mereka disambut dengan antusias oleh pihak Dinas Kesehatan DIY yang dipimpin oleh Drg. Pambajun Setyaningastutie, M.Kes, selaku Kepala Dinas Kesehatan DIY.
Beliau juga mengungkapkan bahwa upaya ini bertujuan untuk menciptakan sistem kesehatan yang lebih efisien dan merata, yang menjangkau seluruh lapisan masyarakat, terutama di daerah-daerah terpencil. “Kami berharap penerapan sistem ini dapat menjadi contoh bagi daerah lain di Indonesia,” tambahnya.
Dalam kesempatan tersebut, Dr. Lolita juga menekankan pentingnya kolaborasi antara dunia pendidikan dan sektor kesehatan. “Kami percaya bahwa melalui kerjasama yang lebih erat antara akademisi, pemerintah, dan praktisi kesehatan, kita bisa menciptakan sistem kesehatan yang lebih inklusif dan adaptif. Kunjungan ini memperkuat komitmen kami untuk terus mendalami isu-isu kesehatan masyarakat yang relevan, serta berkontribusi lebih banyak dalam meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia,” tambahnya.
Kegiatan ini juga memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk berdiskusi langsung dengan para ahli dan praktisi kesehatan, serta mendapatkan wawasan mengenai praktik-praktik terbaik dalam sistem pelayanan kesehatan yang sudah terintegrasi. Dengan demikian, diharapkan mahasiswa dapat lebih siap menghadapi tantangan di dunia kesehatan pasca-kelulusan dan dapat berkontribusi dalam meningkatkan sistem pelayanan kesehatan di masa depan.
Sebagai penutup, Dr. Lolita Sary menyampaikan harapannya bahwa kegiatan ini bukan hanya berhenti sebagai kunjungan edukatif, tetapi juga membuka peluang bagi kedua institusi untuk menjalin kerja sama yang lebih erat di masa depan. “Kami berharap dapat terus berkolaborasi dengan Dinas Kesehatan DIY dalam mengembangkan penelitian, program-program kesehatan masyarakat, serta pelatihan untuk meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan. Kunjungan ini menjadi batu loncatan bagi kami untuk terus mendalami isu-isu kesehatan yang krusial bagi masyarakat,” tutupnya.
Kunjungan ini mendapat sambutan positif dari seluruh pihak yang terlibat, dan diharapkan dapat memperkuat hubungan antara dunia pendidikan dan sektor kesehatan dalam upaya menciptakan sistem kesehatan yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Bukan Sekedar Pisau
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pisau guillotine, alat pemenggal kepala yang terkenal dari Prancis. Berdasarkan jejak digital ditemukan informasi bahwa Guillotine berasal dari ide lama tentang eksekusi cepat dan “manusiawi.” Sebelum guillotine, eksekusi dilakukan dengan kapak atau pedang, yang sering kali tidak akurat dan menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan. Pada akhir abad ke-18, dokter Joseph-Ignace Guillotin, seorang anggota Majelis Nasional Prancis, mengusulkan alat eksekusi yang lebih cepat dan tanpa rasa sakit. Meski namanya melekat pada alat ini, ia bukan penciptanya. Desain guillotine dikembangkan oleh Antoine Louis, seorang ahli bedah, dan dibuat oleh tukang kayu bernama Tobias Schmidt pada tahun 1792.
Guillotine menjadi simbol utama Revolusi Prancis (1789-1799), terutama selama periode Teror (1793-1794), di mana ribuan orang dieksekusi, termasuk Raja Louis XVI dan Marie Antoinette. Guillotine tetap digunakan di Prancis hingga abad ke-20. Eksekusi terakhir dengan guillotine terjadi pada tahun 1977 terhadap Hamida Djandoubi, seorang terpidana pembunuhan. Dan kemudian Prancis menghapus hukuman mati pada tahun 1981.
Kita tinggalkan “alat eksekusi” yang mengerikan itu dan kita tilik pada dunia nyata, ternyata Guillotine sekarang sedang digunakan dinegeri ini; hanya yang dipenggal bukan leher penjahat, dan bukan juga leher para kuruptor; akan tetapi anggaran belanja disemua lini kehidupan bernegara. Bagi mereka yang menghalangi untuk tidak melakukannya karena alasan apapun, maka “leher” yang bersangkutan dilibas, dengan satu kata ganti yaitu reshuffle . Tidak mau memotong anggaran bea siswa pendidikan sudah cukup untuk dijadikan alasan bahwa yang bersangkutan melakukan pembangkangan, dan yang bersangkutan layak kena guillotine reshuffle, padahal hal ini terjadi karena yang bersangkutan paham betul dampaknya jika anggaran bea siswa dipangkas. Tentu saja agar alasan itu tampak manis dan masuk akal, dicarikan kalimat yang lebih bersifat personal; dengan demikian yang bersangkutan terkesan “tidak bisa memimpin” atau tidak layak menjadi pemimpin dan atau apapun nama lainnya.
Penggunaan guillotine anggaran itu perlu demi penghematan, namun jika digunakan secara semena-mena atau bahkan otoriter hanya karena alasan program prioritas; maka dampak dari penggunaannya sudah mulai terasa dalam kehidupan sehari-hari. Pendapatan pegawai menjadi kecil, adanya pemangkasan tenaga kerja, pemangkasan jam kerja, mencari pekerjaan bagi tenaga kerja produktif menjadi sulit, pengangguran mulai terasa muncul dimana-mana, eksodus orang muda potensial ke luar negeri menjadi pilihan utama, pasar tradisional mulai lesu, daya beli menurun, pemberlakuan pajak tinggi dan sebagainya. Tentu saja kondisi ini muncul diluar skenario para perencana awal. Belum lagi ditambah komentar atau celetukan para pemimpin level atas yang terkadang tidak terkontrol bahkan terkesan asal bunyi, menjadikan semakin runyam keadaan. Belum lagi dilakukannya pengawasan bahkan pembungkaman social bagi mereka yang berfikir kritis; hal ini mengingatkan akan prakondisi terhadap diberlakukannya system otoriter pada kehidupan bernegara, dan ini wajib untuk kita waspadai.
Tampaknya harus ada pemikiran ulang agar terjadi penataan ulang supaya tekanan social tidak terjadi begitu massif. Salah satu diantaranya “pemangkasan bicara yang tidak perlu” bagi para pemimpin, adalah salah satu diantaranya yang juga harus dipilih.
Ternyata puasa tidak makan tidak minum itu pada sebagain kita lebih “mudah” melakukan dibandingkan puasa bicara; walaupun sebenarnya hakekat puasa itu bukan hanya menahan lapar dan haus saja, termasuk mengontrol bicara. Oleh karena itu “pembekalan” yang dilakukan oleh pimpinan tertinggi saat sebelum pengambilan sumpah jabatan, tampaknya harus diselipkan materi “metode berbicara” kepada para pembantunya.
Tampaknya kedepan kita harus lebih bijak lagi dalam mengelola negeri ini; ternyata pemangkasan anggaran itu dampaknya bukan hanya pada satu segi kehidupan. Akan tetapi merambah kemana-mana, bak lagu Bengawan Solo “mengalir sampai jauh” ; bedanya kalau bengawan solo membuat banjir air, ini justru bisa terjadi banjir air mata karena terkena pemutusan hubungan kerja.
Mengkencangkan ikat pinggang ternyata harus ditambah satu tarikan lagi, agar kita makin ramping, dan makin tidak nafsu makan karena memang tidak ada yang dimakan. Penataan ulang kehidupan tampaknya harus banyak dilakukan oleh kita setiap penggantian kepemimpinan negeri. Oleh sebab itu untuk kedepan semua ini adalah pembelajaran social yang sangat berharga bagi kita semua.
Salam Waras
Kota Besar yang Kecil di Daerah Istimewa
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Siang yang terik menerpa daerah istimewa di wilayah Indonesia yang sedang kami kunjungi; bersama rombongan kecil mahasiswa pascasarjana mendatangi pusat kesehatan masyarakat di salah satu daerah yang bernama “besar”, tetapi melayani hanya satu desa dengan jumlah penduduk terpadat di daerah ini. Mahasiswa dan rombongan diterima oleh kepala pusat kesehatan masyarakat setempat yang seorang dokter muda energik, dengan segudang pengalaman dan penguasaan masalah yang sangat mumpuni.
Wilayah kerjanya hanya satu desa, tetapi kepadatan penduduknya luar biasa, jika dibandingkan dengan daerah kita (Sumatera pada umumnya) sama dengan jumlah penduduk dua kecamatan dijadikan satu. Jumlah dokter yang melayani enam orang, dengan standar pelayanan kelas utama, sekalipun fasilitas yang ada seadanya.
Sekalipun Pendapatan Asli Daerah sangat kecil, dan hanya mengandalkan sektor pariwisata, namun upaya mempertahankan pelayanan prima untuk warganya luar biasa. Bahkan dapat dikatakan melampaui batas-batas kemampuan yang mereka miliki. Bisa dibayangkan pusat kesehatan masyarakat ini memiliki sejumlah dokter dan sejumlah tenaga medis yang siap membantu memberikan pelayanan dua puluh empat jam, sekalipun mereka memiliki tetangga rumah sakit dan dikelilingi tempat dokter spesialis praktek. Masyarakat kelas bawah secara ekonomi, menjadi sekala prioritas bagi mereka.
Semangat pengabdian yang luar biasa bekerja tanpa suara alias senyap, mereka lakukan dengan sungguh-sungguh. Ditengah-tengah suasana “pemotongan” anggaran di berbagai sektor, termasuk kesehatan; mereka gagah berani berjuang untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakatnya.
Semangat pengabdian yang ditopang oleh kemampuan intelektual yang tinggi bagi para penyelenggaranya, memang merupakan modal dasar yang tangguh guna mewujudkan visi dan misi yang mereka emban. Hal ini sangat dirasakan saat hadir di tengah-tengah mereka; sampai-sampai ada mahasiswa pascasarjana yang juga seorang dokter berkomentar “yang kita punya mereka punya, sebaliknya banyak yang mereka punya, kita tidak punya”, salah satu diantaranya adalah jiwa korsa dan semangat juang tinggi mereka.
Namun, dari semua yang mereka miliki, ada yang mereka tidak punyai yaitu; sikap arogansi dari masyarakat yang dilayani. Banyak para peserta berbisik di sekitar penulis ingin mencontoh tampilan seorang satuan pengamanan, yang berbadan tinggi besar; sekalipun wanita tampak tampilan ketegasan di tengah pelayanan. Tentu saja keluarga pasien yang rewel minta pelayanan melebihi aturan, termasuk antrian, jika berhadapan dengan model satuan pengamanan begini akan mikir dua kali.
Hal lain adalah kebersihan lingkungan yang terjaga; sekalipun gedung mereka tampak tua, tetapi soal kebersihan tidak terabaikan. Sesuai dengan nama daerahnya memang “Gede” dalam arti besar yang sesungguhnya jika berkaitan dengan kebersihan dan tata laksana lingkungan.
Tingkat kesadaran warga akan kesehatan memang merupakan “pintu masuk” bagi terjaganya kualitas layanan yang mereka tampilkan. Hal ini dibuktikan dengan satuan-satuan tugas kesehatan masyarakat yang mereka bentuk pada tingkat dusun; mendapatkan respon positif dari warga, sekalipun tidak ada dana pendukung yang menyertainya.
Dengan begini, apakah masih harus tetap dipertahankan pikiran untuk pemotongan anggaran bidang kesehatan dan pendidikan untuk masyarakat. Rasanya kita telah berbuat ketidakadilan ditengah pengabdian yang dilakukan oleh para petugas kesehatan di lapangan. Tidak salah jika ada pemikiran yang mengatakan bahwa “anggaran boleh dipotong, namun tidak untuk bidang kesehatan dan pendidikan”.
Semua hal di atas adalah fakta lapangan, oleh sebab itu jika elemen mahasiswa berteriak dimana-mana, dasar mereka adalah antara lain kondisi ini. Namun sayang masih ada segelintir orang yang menjadi busser hanya karena sekedar untuk mendapatkan kebutuhan dasar. Sementara mereka yang selalu memikirkan kondisi bangsa ini ke depan, tampaknya sudah mulai lelah dan masa bodoh. Semoga oleh-oleh yang menjadi uneg-uneg ini bisa menggema di tengah padang pasir harapan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Rose yang Indah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Perjalanan menuju salah satu daerah istimewa di pulau Jawa dengan membawa rombongan mahasiswa pascasarjana bersama pimpinan lembaga, menjadikan kenangan nostalgia 27 tahun yang lalu. Kami menggunakan bus kelas tertinggi dari salah satu perusahaan oto bus dengan nama yang dijadikan judul tulisan ini.
Karena sudah lama tidak naik bus jarak yang jauh, maka kesan dan kenangan masa lalu terus tayang di pikiran hampir di sepanjang perjalan. Ada nostalgia indah, ada haru biru, ada cerita asmara, ada susah payah, ada legenda, ada mistis, ada realitas, dan seabrek kisah masa lampau. Maka, ketika sampai di kamar hotel, energi untuk menulis serasa tidak terbendung. Salah satunya tema dari sepenggal pembicaraan dalam perjalanan itu.
Karena yang ada dalam bus adalah para intelektual yang akan melakukan studi lapangan di universitas tertua di negeri ini; maka pembicaraanpun tidak lepas dari konteks keilmuan dan keilmiahan. Salah satu yang menjadi trending topic adalah adanya tagar yang sedang heboh di dunia maya dengan mengajak untuk sementara tinggalkan tanah air guna mencari kehidupan yang lebih baik. Semua mereka peserta diskusi terbatas itu sepakat; mengecam pejabat negara yang berkomentar “asal bunyi”; yaitu komentar yang bukan mencari solusi, tetapi justru membuat masalah baru pada anak negeri.
Terlepas dari itu semua, tulisan ini mencoba tidak memihak kepada siapapun karena itu adalah pendapat pribadi dan sah-sah saja untuk berbeda pendapat. Tulisan ini ingin mengajak sedikit melakukan kilas balik secara filosofis, yaitu berkaitan dengan tujuan pendidikan yang ada di Indonesia, terutama untuk perguruan tinggi.
Pengalaman selama hampir setengah abad menjadi tenaga pengajar di perguruan tinggi tentu banyak terlibat dalam merumuskan tujuan institusional yang sangat filosofis. Namun dari semua ragam yang dirumuskan selalu ada terselip kalimat “mampu bersaing pada pasar global” atau paling tidak “mampu mencapai kelas internasional”.
Konsekuensi dari semua itu adalah pembelajaran yang digelar harus berstandar internasional, dan diharapkan alumninya mampu bersaing di dunia global. Bahkan akhir-akhir ini sekolah-sekolah kejuruan juga ikutan memasang tujuan institusionalnya agar para tamatannya mampu bersaing di pasar global.
Menyimak dari semua itu, sebenarnya pada kurun sepuluh tahun terakhir kita sudah mempersiapkan anak-anak muda Indonesia untuk mampu bersaing di pasar global. Salah satu bentuk persaingannya itu adalah “masuk ke dunia kerja global”. Lalu apakah ada yang salah jika mereka setelah tamat mencoba masuk pasar kerja global, dan diterima kemudian bekerja di negara orang.
Faktor lain ialah penguasaan bahasa asing yang menjadi wajib bagi mereka. Dan, mereka sudah sangat menguasai semenjak sekolah dasar. Begitu mereka ada pada strata Sekolah Menengah Atas, banyak diantaranya sudah menguasai paling tidak dua bahasa asing, dengan bahasa Inggris sebagai bahasa dasar mereka. Lebih laju lagi di perguruan tinggi, mereka dituntut untuk menulis jurnal dalam bahasa asing (Inggris) dan berbahasa asing saat melakukan pertemuan ilmiah. Tidak jarang kemampuan bahasa asingnya lebih baik daripada dosennya.
Begitu mereka tamat, tentu saja akan berpikir global dan merasa “merdeka” untuk menentukan masa depannya sendiri. Jika pilihan mereka untuk bekerja di negara asing lebih kuat, hal itu semata-mata karena mereka merasa mampu bersaing di sana kemudian mendapatkan penghasilan yang sesuai dengan estimasi mereka. Lalu pertanyaannya “salahkah mereka?”.
Mereka menjadi duta-duta negara ini, dan tidak salah kalau mereka disebut “pahlawan devisa” atau “duta devisa”. Mereka tidak menghabiskan anggaran negara seperti halnya pejabat negara, justru mereka menghasilkan devisa negara dengan rela meninggalkan keluarga untuk mendapatkan kehidupan lebih baik. Jika dulu pahlawan devisa disandang oleh para tenaga kerja dengan kelas informal; justru sekarang ada pada wilayah formal.
Lalu, jika ada yang mempertanyakan “nasionalisme” mereka; rasanya pertanyaan itu tidak adil dan tidak tepat. Justru pertanyaan itu harusnya dipertanyakan kepada para kuruptor, dan para penghukum ringan sang koruptor, atau mereka yang memfasilitasi koruptor untuk mendapatkan segala kemudahan. Dan, jika ucapan itu terlontar dari mulut para penguasa negeri ini, justru pertanyaan balik juga harus dijawab oleh mereka ; “Apa yang sudah mereka berikan kepada negeri ini”; kalau hanya sekedar rebutan kursi lewat kegiatan atas nama pemilihan, tetapi sebenarnya penipuan.
Perlu kita pahami bersama generasi Z yang ada sekarang mereka bukan hanya warga negara, tetapi juga warga dunia. Oleh sebab itu beri mereka kebebasan untuk menjelajah dunia ini; tugas kita adalah bagaimana menguatkan “rasa keindonesiaan” di jiwa mereka. Sekalipun mereka ada di Kutub Utara atau Kutub Selatan sekalipun, dada mereka tetap merah-putih, tetap Indonesia. Jangan mereka dicaci atau dibenci, kalau itu yang kita lakukan, maka mereka akan semakin jauh dari kita, dan semakin kencang larinya menuju negeri orang.
Melalui tulisan ini pesan disampaikan kepada kita semua, mari jaga ucapan kita, terutama para petinggi negeri; agar tidak terjadi luka hati pada generasi. Karena jika itu yang terjadi, maka jangan harap negeri ini akan “berpenghuni”. Salam Waras dari tepi Malioboro. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Gelar Wisuda Periode ke-38, Apresiasi Dosen dengan Skor SINTA Tertinggi 2024
Keistimewaan wisuda kali ini semakin terasa dengan penghargaan bagi dosen terbaik Universitas Malahayati yang memiliki skor SINTA tertinggi tahun 2024. SINTA (Science and Technology Index) adalah sistem yang menilai produktivitas akademik dan penelitian para dosen di Indonesia, dan capaian luar biasa ini menjadi bukti komitmen Universitas Malahayati dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi.
Para dosen yang menerima penghargaan atas pencapaian SINTA tertinggi di Universitas Malahayati adalah: Dr. Febriyanti, SE., M.Si, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, Dr. Arifki Zainaro, S.Kep., Ns., M.Kes,Prof. Erna Listyaningsih, SE., M.Si., Ph.D, Dr. Usastiawaty Cik Ayu S I, S.Kep., Ns., M.Kes, Festy Ladyani Mustofa, dr., M.Kes, Annisa Primadiamanti, S.Farm., Apt., M.Sc, Dina Dwi Nuryani, SKM., M.Kes, Nova Muhani, S.ST., M.K.M, Ana Mariza, S.ST., M.Kes.
Keberhasilan dosen-dosen Universitas Malahayati ini menjadi bukti nyata bahwa perguruan tinggi ini tidak hanya fokus pada pengajaran, tetapi juga aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak besar pada masyarakat. Dengan didukung oleh dosen-dosen berkualitas yang memiliki komitmen tinggi terhadap riset, Universitas Malahayati terus berupaya menjadi salah satu perguruan tinggi terkemuka di Indonesia.
Universitas Malahayati Gelar Wisuda Periode ke-38 dan Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kedokteran Dasar Fisiologi, Prof. Dr. Dessy Hermawan
Prof. Dessy resmi menyandang gelar guru besar setelah SK Mendikti No.136639/M/07/2024 yang diterbitkan pada 22 November 2024. Penetapan ini menjadi kebanggaan bagi Universitas Malahayati, yang kini memiliki tiga guru besar, yakni Prof. Dr. Sudjarwo, MS., Prof. Erna Listyaningsih, Ph.D., dan Prof. Dr. Dessy Hermawan. Pengukuhan ini memperkuat posisi Universitas Malahayati sebagai perguruan tinggi unggul, khususnya di bidang farmasi dan ilmu kesehatan.
“Dulu, kita hanya mengenal vitamin D sebagai penguat tulang dan gigi. Namun, dengan perkembangan ilmu pengetahuan, kini kita menyadari bahwa vitamin D memiliki berbagai manfaat lain yang luar biasa. Vitamin D bekerja secara sinergis di berbagai organ tubuh, seperti kulit, hati, dan ginjal,” kata Prof. Dessy dalam pidatonya.
Dalam orasinya, beliau menjelaskan bagaimana biosintesis vitamin D dimulai dari paparan sinar matahari yang merangsang tubuh untuk memproduksi vitamin ini, yang kemudian diaktifkan oleh organ tubuh. Prof. Dessy juga menyampaikan bahwa vitamin D bukan hanya berperan dalam kesehatan tulang, namun memiliki banyak manfaat penting lainnya, seperti: Mencegah Obesitas: Vitamin D membantu dalam pengaturan berat badan dan metabolisme tubuh. Menghambat Perkembangan Sel Kanker: Penelitian menunjukkan bahwa vitamin D dapat mengurangi risiko beberapa jenis kanker dengan memperlambat pertumbuhan sel kanker. Membantu Menstabilkan Gula Darah: Vitamin D memiliki peran penting dalam pengelolaan kadar gula darah, yang dapat membantu mencegah atau mengelola diabetes. Meningkatkan Sistem Imunitas: Vitamin D berperan dalam memperkuat sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh lebih siap menghadapi infeksi dan penyakit. Membantu Mengatur Tekanan Darah: Vitamin D berperan dalam menjaga kestabilan tekanan darah, yang penting bagi kesehatan jantung dan pembuluh darah.
“Vitamin D adalah kunci untuk memperbaiki kualitas hidup dan meningkatkan kesehatan tubuh secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memastikan asupan vitamin D yang cukup melalui makanan, paparan sinar matahari, dan suplemen yang tepat,” jelas Prof. Dessy dengan penuh semangat.
Acara wisuda ke-38 ini tidak hanya menjadi momen penting bagi 799 wisudawan dan wisudawati yang lulus dari berbagai program studi, tetapi juga menjadi tonggak sejarah bagi Universitas Malahayati yang terus berupaya memberikan kontribusi nyata dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dengan pengukuhan Prof. Dr. Dessy Hermawan sebagai guru besar, Universitas Malahayati semakin memperkuat komitmennya untuk mencetak tenaga medis dan akademisi yang kompeten dan siap menghadapi tantangan global, terutama dalam bidang kesehatan dan kedokteran.
Semoga dengan semangat baru yang dibawa oleh para lulusan dan dosen-dosen berprestasi ini, Universitas Malahayati dapat terus berinovasi dalam menghasilkan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kepedulian tinggi terhadap kemajuan kesehatan masyarakat. (gil)
Editor: Gilang Agusman