Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Lakukan Problem Based Learning di Desa Sukajaya Lempasing

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id)Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati melaksanakan kegiatan Problem-Based Learning (PBL) di Desa Sukajaya Lempasing, Kecamatan Teluk Pandan, Pesawaran. Kegiatan ini diadakan dengan tujuan untuk memperdalam pemahaman mahasiswa mengenai masalah kesehatan masyarakat di tingkat desa, serta memberikan solusi konkret yang dapat diterapkan langsung oleh masyarakat. Acara serah terima program PBL ini dilaksanakan di Balai Desa Sukajaya Lempasing yang melibatkan 60 Mahasiswa. Jumat (31/1/2025).

Universitas Malahayati diwakili oleh Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, Dr. Lolita Sary, SKM., M.Kes., beserta wakil yang turut hadir bersama Kepala Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat, Dr. Samino, SH., M.Kes., dan segenap dosen Magister Kesehatan Masyarakat, serta Guru Besar Universitas Malahayati, Prof. Dr. Sudjarwo, MS. Kegiatan ini juga dihadiri oleh berbagai pihak yang turut berperan penting dalam pelaksanaan program tersebut.

Rusli Effendi, Sekretaris Desa Sukajaya Lempasing, menyambut kedatangan tim Universitas Malahayati dengan hangat. Dalam sambutannya, Rusli mengungkapkan rasa terima kasih dan apresiasi yang tinggi atas kepercayaan yang diberikan kepada desanya untuk menjadi lokasi PBL kali ini. “Kami sangat senang dan bangga Desa Sukajaya Lempasing dipilih untuk program PBL ini. Semoga kegiatan ini dapat membawa manfaat yang besar bagi masyarakat kami, khususnya dalam meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang pentingnya kesehatan yang baik,” ujar Rusli Effendi.

Sementara itu, Dr. Lolita Sary, Dekan Fakultas Ilmu Kesehatan, juga menyampaikan rasa terima kasihnya atas sambutan yang hangat dari warga Desa Sukajaya Lempasing. “Kami sangat mengapresiasi antusiasme masyarakat dalam menyambut kegiatan PBL ini. Program ini merupakan bagian dari komitmen Universitas Malahayati untuk mengedukasi dan memberdayakan masyarakat dalam mengatasi isu-isu kesehatan yang ada. Kami berharap selama kegiatan ini, para mahasiswa dapat memberikan solusi praktis yang dapat langsung diterapkan di desa ini,” jelas Dr. Lolita.

Kegiatan PBL ini akan berlangsung hingga 16 Februari 2025, di mana mahasiswa Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati akan bekerja langsung dengan masyarakat Desa Sukajaya Lempasing dalam menganalisis masalah kesehatan yang ada dan merancang solusi berbasis komunitas. Program ini tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan keterampilan akademik mahasiswa, tetapi juga untuk mempererat hubungan antara universitas dan masyarakat setempat.

Kegiatan ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam peningkatan kualitas hidup masyarakat, serta menjadi model dalam implementasi pendidikan kesehatan yang berbasis pada kebutuhan lokal. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Kekuasaan, Mitos atau Fakta

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kekuasaan adalah elemen penting dalam kehidupan sosial dan politik yang mepengaruhi hubungan antarindividu maupun kelompok. Penggunaan kekuasaan yang bijak dan etis dapat membawa manfaat besar, sementara penyalahgunaannya dapat menyebabkan ketidakadilan dan konflik. Batasan atau definisi kekuasaan sendiri banyak sekali; salah satu ringkasannya adalah, kemampuan atau kapasitas seseorang, kelompok, atau institusi untuk memengaruhi, mengendalikan, atau mengarahkan perilaku, keputusan, atau tindakan orang lain. Kekuasaan merupakan salah satu elemen penting dalam hubungan sosial, politik, ekonomi, dan organisasi.

Seiring perjalanan waktu kekuasaan itu dipertahankan dengan membangun mitos; meskipun kekuasaan itu nyata, dalam beberapa kasus, kekuasaan bisa menjadi mitos jika dianggap sebagai sesuatu yang absolut, suci, atau tak terbantahkan. Legitimasi kekuasaan sering dibangun melalui mitos; sementara itu penguasa sering menggunakan cerita, simbol, atau ideologi untuk memperkuat kekuasaan mereka. Di negeri ini pernah seorang Presiden diangkat untuk seumur hidup, karena oleh orang sekitarnya dimembangunkan mitos untuk yang bersangkutan, dengan tujuan mereka yang ada disekitar tadi untuk mendapatkan manfaat akan hal tadi.

Di negeri ini berkelindannya antara kekuasaan, mitos dan fakta sudah lama terjadi; salah satu diantaranya adalah Kisah Pangeran Pekik dari Surabaya yang menjadi menantu Sultan Agung Raja Mataram Islam. Dari berbagai sumber jika dirangkum kita temukan kisah singkat sebagai berikut: Pangeran Pekik adalah seorang bangsawan dari Surabaya, wilayah yang ditaklukkan oleh Sultan Agung. Sebagai bagian dari upaya menyatukan kekuasaan, Sultan Agung menikahkan putrinya dengan Pangeran Pekik, menjadikannya menantu. Hubungan antara menantu dan mertua ini awalnya terlihat harmonis, namun legenda menyebutkan bahwa ada perasaan saling curiga di antara keduanya, terutama karena Pangeran Pekik dianggap berpotensi menjadi ancaman terhadap kekuasaan Sultan Agung.

Dalam beberapa versi cerita, disebutkan bahwa Pangeran Pekik dieksekusi atas perintah Sultan Agung karena tuduhan konspirasi atau pengkhianatan. Pemenggalan kepala menjadi hukuman berat yang diterapkan untuk menjaga kehormatan dan wibawa raja, sekaligus sebagai peringatan kepada pihak lain yang mungkin berniat melawan kekuasaan Mataram. Mitos yang berkembang bahwa kepala Pangeran Pekik di tanam dibawah Dampar atau Singga Sana Raja, sedangkan badannya dimakamkan di luar. Mitos ini dibangun bertujuan untuk meneguhkan kekuasaan raja itu mutlak.

Di Negeri Konoha juga pernah terjadi seorang Kepala Negara konon memaksa anak putrinya menceraikan suami hanya karena diduga menantu itu berkonspirasi ingin menjatuhkanya sebagai kepala negara. Namun duapuluh lima tahun kemudian, sang mantan menantu tadi justru menjadi Kepala Negara ditempat mantan mertua menjadi kepala negara.

Berbeda lagi perkembangan masa kini, di era modern yang menjunjung tinggi demokrasi; ternyata mitos bisa menjadi fakta dengan mudah. Hari ini yang menjadi pimpinan adalah suaminya, dilanjutkan kemudian oleh istrinya, dan digantikan anaknya. Hal seperti ini sah-sah saja karena tidak ada perundang-undangan formal yang dilanggar.

Ada juga orang tua dan anak berseteru hanya karena perebutan kekuasaan atas sesuatu sumber daya ekonomi. Hal seperti ini bisa saja terjadi; sekalipun mitos sudah dibangun bahwa “anak harus mengikuti kehendak orang tua”. Namun pada persoalan ini faktanya berbeda dikarenakan persoalan yang melatarbelaknginya juga berbeda. Bisa dibayangkan perusahaan armada transportasi yang selama ini dikelola oleh anaknya; terpaksa harus dicabut oleh sang-ayah karena menurut beliau penyelenggaraan manajemennya tidak sesuai khitah perusahaan yang dibangunnya.

Merujuk pada sejumlah peristiwa di atas ternyata kekuasaan pada sisi lain bisa berupa mitos, namun pada sisi yang berbeda bisa berubah menjadi fakta. Sebaliknya kekuasaan yang merupakan fakta, namun untuk meneruslajukan syahwat berkuasa, bisa saja dipertahankan dengan menggunakan mitos. Akan tetapi jika kita pahami dari sisi yang berbeda bisa jadi kekuasaan itu adalah anugerah, atau bisa juga merupakan cobaan dari

Yang Maha Kuasa. Berarti kekuasaan itu saat ada pada wilayah ontology, dia bebas nilai; namun manakala dia sudah berada pada wilayan empistemologi, apalagi axiology; maka saat itulah menjadikan kekuasaan tergantung kepada yang menerima mandat atas kekuasaan itu. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Google Bisa Telat Mikir

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu melalui media ini mengirimkan naskah untuk diterbitkan, entah naskah yang keberapa tidak tercatat. Karena apa arti catatan jika dia tidak memberi pesan apa-apa kepada kita sebagai pembaca. Ada pengalaman unik, nyata fakta, sekaligus mustahil; karena seluruh kita di dunia ini hampir semua menggunakan Google dalam bermedia masa, atau mencari informasi apapun. Banyak diantara kita ternyata sangat percaya dengan google dalam berbagai hal. Namun pengalaman menunjukkan tidak selamanya demikian, google adalah program buatan manusia yang tidak mungkin mampu melampaui kemampuan manusia sebagai pembuatnya. Hal ini terbukti dari pengalaman yang dijumpai oleh penulis dalam mengirimkan tulisan, yang bertautan dengan google.

Kasus pertama, tulisan bisa muncul tetapi tidak bisa dibuka; ternyata setelah judulnya diganti tulisan baru bisa dibuka. Peristiwa seperti itu berulang sampai tiga kali atau tiga naskah, dan ini menunjukkan bahwa google tidak paham akan arti kata judul, sehingga menengarai melanggaran aturan mereka. Padahal judul itu tidak berbau rasis, deskriminatif, dan kekerasan; semata-mata hanya kata serapan dari bahasa daerah. Disini tampak sekali keterbatasan kemampuan google dalam “membaca” data. Hal ini menunjukkan bahwa yang mampu mensifati hasil produk itu ya produk itu sendiri, tidak otomatis “kecerdasan buatan” adalah produk berkemampuan tanpa batas.

Kasus yang kedua lebih seru lagi. Semula dengan alasan “pemeliharaan jaringan” media online tidak bisa dibuka. Beberapa jam kemudian baru normal, namun ditengah kenormalan tadi naskah tulisan tidak bisa dibuka. Atas usul penulis oleh redaktur diganti judul, ternyata tetap saja tidak bisa, sampai-sampai hal itu dilakukan berkali-kali. Namun tetap saja google tidak merespon; akhirnya diputuskan untuk dibiarkan. Namun dengan seijin redaksi tulisan tadi dikirimkan kepada media lain. ternyata tidak ada kendala apa-apa; semua lancar seperti tiada peristiwa apapun, dan tulisannya terbit begitu saja . Sebaliknya tulisan yang ada di media ini beberapa puluh jam kemudian mendadak bisa di buka. Di sini menunjukkan bahwa google memang hanya sekedar barang hasil. Tidak bisa diandalkan atau dideklarasikan sebagai program terbaik; dia tetap ciptaan manusia yang memiliki keterbatasan sekaligus kebodohan.

Tulisan ini sengaja dibuat apakah google mampu menditeksi akan koreksian ini melalui sistemnya, atau operator dibelakangnya. Jika sistemnya mampu atau operatornya mampu, itu juga menunjukkan kelemahannya, karena koreksian ini menyangkut emosi, sementara sistem termasuk operator dibelakangnya harus terbebas dari emosi. Sebaliknya jika tidak mampu menditeksi koreksian ini, maka sempurnalah kebodohan yang dimilikinya, dan semakin meneguhkan bahwa dia tidak lebih hanya sistem.

Oleh karena itu melalui tulisan ini penulis mengingatkan kita semua bahwa ketidaksempurnaan itu adalah sunatullah sejauh itu ciptaan manusia; hanya ciptaan Sang Maha Penciptalah yang berhak menyandang predikat kesempurnaan. Itupun masih diberi keterbatasan dalam hal penggunaan, yang harus memenuhi dan mematuhi hukum-hukumNYA.

Kita semua diharapkan tidak terlalu terbuai dengan produk yang bisa mengkooptasi pemikiran, perilaku, bahkan cara pandang kita. Karena yang namanya sistem itu dapat dipastikan jalannya mengikuti pola algoritma; oleh sebab itu pemahaman akan esensi sangat diperlukan, terutama jika sudah berkaitan dengan “tujuan” dan “kegunaan”.

Kita tidak perlu terpropokasi oleh iklan dari suatu produk sistem, atau mempercayai sepenuhnya dari suatu sistem yang dibangun oleh keahlian. Sebab setiap produk sudah dapat dipastikan adanya tingkat error yang ditoleransi. Oleh sebab itu kita harus tetap waspada akan penggunaannya; bisa jadi saat itu kita berada pada wilayah error dari sistem itu. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Dies Natalis ke-31 Universitas Malahayati, Momen Penuh Makna dan Harapan untuk Masa Depan yang Lebih Gemilang

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati merayakan Dies Natalis ke-31 dengan penuh semangat dan kebanggaan. Acara yang digelar pada Jumat, 31 Januari 2025 di Ruang Rapat Lantai 5 Gedung Rektorat. Acara ini berlangsung dengan khidmat dan dihadiri oleh sivitas akademika, jajaran pimpinan universitas, serta perwakilan mahasiswa.

Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH., menyampaikan sambutannya via zoom dengan penuh rasa bangga mengungkapkan bahwa universitas yang dipimpinnya kini sudah memasuki usia 31 tahun. Menurutnya, Universitas Malahayati bukan lagi kampus baru, tetapi sudah menjadi salah satu perguruan tinggi yang memiliki sejarah panjang dan kontribusi signifikan untuk Provinsi Lampung.

Dalam momen yang penuh haru itu, Dr. Kadafi juga menceritakan perjalanan panjang Yayasan Alih Teknologi dan Universitas Malahayati sejak awal berdiri hingga berkembang pesat seperti sekarang ini.

“Perjalanan kami bukan tanpa tantangan, namun berkat dedikasi dan kerja keras seluruh sivitas akademika, Universitas Malahayati kini menjadi kebanggaan bagi seluruh masyarakat Lampung,” ujarnya.

Tak lupa, beliau mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada seluruh pihak yang telah mendukung kemajuan universitas, serta menyampaikan harapan agar Dies Natalis kali ini menjadi momentum untuk evaluasi diri. “Semoga dari usia ke-31 ini, kita bisa bersama-sama melihat apa yang perlu diperbaiki, dikembangkan, dan ditingkatkan”.

Rektor berpesan, semoga dari perayaan ulang tahun ini, kita dapat bersama-sama menilai dan merenungkan segala kekurangan yang masih ada, agar bisa kita perbaiki, kembangkan, dan tingkatkan. “Kami berkomitmen untuk terus mendorong kemajuan di setiap lini Universitas Malahayati, dengan tekad untuk menjadikannya sebagai World Class University yang tidak hanya menjadi kebanggaan Lampung, tetapi juga Indonesia”.

Harapan kami, prestasi-prestasi yang telah diraih selama ini terus berkembang, sehingga kita mampu mencapai puncak yang lebih tinggi dan memberikan kontribusi lebih besar bagi bangsa dan negara,” tambahnya.

Dalam kesempatan yang sama, hadir pula Rektor Universitas Abulyatama, R. Agung Efriyo Hadi, M.Sc., Ph.D., serta jajaran pimpinan Universitas Malahayati, termasuk Wakil Rektor, Dekan, Kepala Program Studi, Kepala Biro, Kepala Bagian, dan perwakilan mahasiswa. Suasana penuh kekeluargaan dan kebersamaan mewarnai jalannya acara.

Dies Natalis ke-31 Universitas Malahayati ini bukan hanya sekadar perayaan, tetapi juga refleksi atas perjalanan panjang dan pencapaian yang telah diraih. Dengan usia yang semakin matang, Rektor berharap Universitas Malahayati terus berbenah dan memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa dan negara.

“31 tahun ini adalah usia yang sudah sangat matang, saatnya bagi kita untuk memperbaiki dan terus memberikan yang terbaik untuk Indonesia,” tutupnya dengan penuh keyakinan. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Hikayat Romo Tambak versus Tambak Laut

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Satu episode cerita Ramayana versi pedalangan Jawa berjudul “Romo Tambak” bisa diaktualkan secara kontradiktif saat ini. Kisah ini sesungguhnya bersumbu kepada kekuatan cinta Rama kepada Sinta. Terkesan sepele, tetapi dalam perjalanan dan perjuangannya begitu sarat makna.
Judul pada tulisan ini sengaja dibuat konfrontatif karena ada peristiwa aktual yang mungkin saja terinspirasi dari dongeng Ramayana ini. Judulnya Pagar Laut. Saya yakin, awal kisah ini juga bersumbu dari cinta, lebih tepatnya cinta kepada dunia.

Romo Tambak mengangkat perjuangan Prabu Ramawijaya (Rama) bersama para sekutunya dari bangsa Wanara (kera), dalam membangun jalur menuju Alengka untuk menyelamatkan Dewi Sinta. Di tangan para pujangga Jawa, cerita ini diperkaya dengan narasi dan tambahan tokoh dan nuansa kearifan lokal.

Alur kisah diawali dengan kabar baik yang datang dari Anoman kepada Rama. Kethek (kera) putih ini membawa berita bahwa Dewi Sinta, kekasih Rama berada di Taman Argasoka di Kerajaan Alengka. Kabar ini A-1, kata Anoman. Mendengar itu, rasa rindu Rama yang amat dalam kepada kekasih hatinya tak terbendung. Rama memutuskan untuk menjemput Dewi Sinta yang saat itu dalam penguasaan Rahwana. Ia mengatur siasat, menggalang dukungan, dan mempersiapkan penyerangan.

Pasukan sudah siap, perjalanan dimulai, dan satu dua rintangan diatasi. Namun, pada suatu titik, mereka dihadapkan pada kendala besar, yakni lautan luas yang memisahkan wilayah tempat Rama berada (biasanya digambarkan di kawasan India Selatan) dengan Pulau Alengka.

Rama bersemedi di tepi laut, memohon restu kepada Bethara Baruna (dewa penguasa lautan) agar memberikan jalan bagi pasukannya untuk menyeberang. Pada awalnya, Samodra Raja tidak memberikan tanggapan. Rama, dalam kemarahannya, berniat menembakkan panah pusaka untuk mengeringkan lautan. Ketegangan ini membuat Bethara Baruna akhirnya muncul dan memberikan saran kepada Rama agar membangun tambak (bendungan) dengan bantuan para monyet.

Dengan perintah Rama, para wanara mulai membangun tambak menggunakan batu-batu besar yang diambil dari gunung dan hutan. Dalam versi Jawa, proses ini dipenuhi dengan adegan heroik dan humor, karena para kera sering digambarkan memiliki karakter unik. Mereka dibagi tugas spesifik. Anoman menjadi pemimpin utama, ia mengatur pembagian tugas dengan sigap. Sugriwa dan Subali diberi mandat memimpin pasukan dengan kekuatan besar untuk membawa batu. Anggada, Jembawan, dan para wanara lainnya memiliki peran mempercepat pembangunan tambak.

Dalam beberapa versi pedalangan, Rahwana mencoba menggagalkan pembangunan tambak dengan mengirimkan pasukan raksasa atau menciptakan badai. Namun, para munyuk berhasil menghalau gangguan tersebut dengan bantuan Hanoman dan Rama yang melindungi pekerjaan mereka.
Setelah usaha keras, tambak akhirnya selesai dan jalur menuju Alengka terbuka.

Tambak ini sering disebut sebagai Romo Tambak. Romo bermakna ayah atau pemimpin, merujuk pada Rama sebagai pelindung dan pembimbing dalam perjuangan ini. Untuk kata “Romo” sampai hari ini melekat pada keluarga Jawa panggilan kepada ayah atau orang yang dituakan dan sangat dihormati.
Seperti potongan video, cerita Romo Tambak ini dipotong sampai di sini dulu. Sebab, pesan yang ingin disampaikan dalam konteks ini adalah makna moral tentang bagaimana sesuatu yang semula dianggap mustahil bisa terwujud dengan kerja keras dan kebersamaan. Dan nilai-nilai itu sangat melekat dalam budaya Jawa.

Nilai-nilai itu adalah, pertama, semangat gotong royong. Kesuksesan pembangunan tanggul tambak yang membelah laut menuju Alengka adalah simbol kerja sama yang sangat kuat. Para wanara yang bekerja tanpa pamrih mencerminkan nilai gotong royong yang sangat dijunjung tinggi dalam budaya Jawa.

Kedua, keimanan pada kekuatan Ilahi. Keajaiban batu yang mengapung karena nama Rama menggambarkan kekuatan doa dan keimanan. Nama Rama sebagai lambang kebaikan dan keadilan menjadi kekuatan spiritual yang mengatasi batas-batas fisik.

Ketiga, keseimbangan alam dan manusia. Hubungan antara manusia, alam, dan dewa (Samodra Raja) mencerminkan pandangan kosmologis Jawa yang menekankan harmoni.

Kita tinggalkan dulu cerita Romo Tambak yang memang berbasis dongeng. Namun, tampaknya ada yang mengadopsi dongeng ini ke dalam realita kita berbangsa. Bukan Romo Tambak, tetapi Tambak Laut atau lebih dikenal dengan sebutan pagar laut. Celakanya, kisah nyata ini memiliki makna yang kontradiksi dengan nilai yang disampaikan melalui kisah Ramayana.
Bisa dibayangkan ternyata “menambak Laut” yang semula ditafsir sebagai tindakan kepahlawanan, ternyata di alam nyata justru sebaliknya. Bahkan menjadi perusak ekosistem yang ada, dengan berkedok untuk kepentingan yang lebih besar.

Selama sepuluh tahun kita ternina bobok dengan tampilan yang sederhana seolah tanpa dosa, ternyata lautpun bisa dipagar sampai tiga puluh kilometer; bahkan itu tidak hanya di satu tempat. Di beberapa tempat di negeri ini laut sudah berpagar, dan tanpa ada protes dari manapun.

Lembaga Swadaya Masyarakat yang selama ini dikenal garang, ternyata bisa abai dengan pagar laut yang terus bertambah dan merebak di mana-mana.
Atas nama reklamasi, pengamanan wilayah, dan entah apalagi; semua bisa dilakukan; bahkan surat resmi dari negarapun ada. Setelah terbuka dan diambil tindakan; tidak satupun pejabat yang mau bertanggungjawab. Padahal mereka sudah terima “cuan” saat itu entah dengan atas nama “uang apa”. Dan, anehnya ada pejabat tinggi saat menjabat mengeluarkan surat izin resmi, begitu di tanya, jawabannya ringan bagai kapas “saya tidak tahu”. Seolah berlaku hukum sosial kalau tanggung jawab sifatnya ke bawah, kalau uang sifat ke atas.

Kita tinggal tunggu apakah “langit” di negeri ini sudah juga disertifikatkan, karena bisa jadi nantinya orang memiliki lahan tidak berikut langitnya. Atau menjual langitnya saja, tidak berikut lahan atau bangunan dibawahnya; karena negeri ini sudah mendekati menjadi “negeri dongeng”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Kekuasaan yang Menguasai

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu ada seorang sohib mengomentari tulisan yang terbit di salah satu media dengan sangat filosofis dan mendasar. Menurutnya, sekarang telah terjadi pergeseran maknawi tentang kekuasaan. Kekuasaan yang semula secara ontologis bermakna amanah yang diemban untuk menyejahterakan yang memberi kuasa melalui proses penghimpunan dukungan berupa pemilihan, sekarang berubah bahwa kekuasaan yang diperoleh itu adalah “milik pribadi”. Karena milik pribadi, mau digunakan untuk apa, dengan cara apa, suka-suka yang berkuasa.

Komentar seperti itu sangat menohok, karena hanya mereka yang terus berfikir kritis methodologis yang mampu menganalisis pergeseran seperti itu.

Memang, kekuasaan tidak hanya bersifat fisik atau koersif. Kekuasaan juga ideologis, spiritual, dan struktural. Kekuasaan yang “menguasai” cenderung melibatkan permainan kompleks antara kendali, pengaruh, dan legitimasi. Berkelindannya ketiga hal tadi, itulah seni berkuasa.

Ketika kekuasaan dianggap sebagai milik pribadi, ia sering menimbulkan ketimpangan, korupsi, dan penyalahgunaan. Namun, filsafat kekuasaan modern menekankan pentingnya memandang kekuasaan sebagai tanggung jawab bersama yang bertujuan melayani kepentingan umum, bukan kepentingan individu semata.

Mengapa di negeri ini sering timbul “rasa diri” bahwa kekuasaan itu adalah “milik pribadi”? Ternyata salah satu di antaranya karena peninggalan pemikiran feodal. Kekuasaan dalam perspektif tradisional masih begitu melekat pada sebagian otak pejabat, sehingga berwujud dalam bentuk sistem monarki tradisional bentuk baru, dan oleh karenanya kekuasaan dianggap sebagai hak pribadi pemimpin atau penguasa. Kekuasaan diwariskan melalui garis keturunan, dan penguasa dianggap memiliki hak ilahi (divine right of kings).

Seiring itu juga muncul kekuasaan pribadi dalam wujud neo-feodalisme: Dalam feodalisme, kekuasaan pribadi ditentukan oleh hubungan hierarkis antara tuan tanah dan bawahannya. Kekuasaan atas wilayah dan rakyat menjadi “milik pribadi” tuan tanah. Sedangkan dalam neo-feodalisme kekuasaan pribadi akan sumber ekonomi rakyat menjadi kekuatan besar untuk “berbuat apa saja” agar syahwat untuk terus berkuasa terpenuhi.

Kekuasaan lahan berganti akan penguasaan pasar dan sumber produksi; sempurnalah jadinya harga ditentukan oleh pribadi yang dimanisfestasikan oleh koorporasinya.

Kekuasaan yang dipersonifikasi sebagai milik pribadi ini dimuluskan jalannya manakala kekuasaan untuk membuat aturanpun dikuasai dengan pola pikir koorporasi. Sehingga hari ini suaminya jadi pemimpin, besok bisa istrinya, dan lusa bisa jadi anaknya. Secara perundangan tidak ada yang dilanggar, hanya kepatutan saja seolah kurang tepat. Namun kepatutan sendiri adalah produk budaya, manakala budayanya sudah direkayasa agar sesuatu yang semula tidak patut, bisa saja diubah menjadi “patut”; maka semua akan tampak “mulus” tanpa cacat; maka sempurnalah kekuasaan yang menguasai sehingga bisa menjadikan kekuasaan adalah sama dan sebangun dengan milik pribadi.

Tampaknya kesalahan silogisme di atas saat ini sedang berlangsung dinegeri yang kita cintai ini. Sehingga analogi yang dikemukakan oleh sahabat pemberi ide ini yang mengatakan banyak diantara kita salah memaknai saat Syaidina Umar sedih melihat rakyatnya ada yang merebus batu agar anak-anaknya bisa melupakan kemiskinan dan tertidur; menjadi “biarkan mereka merebus batu sampai kapan pun yang penting saya bisa tidur”. Kalau syaidina Umar mendatangi sendiri rakyatnya tanpa pengawalan sehingga tidak perlu biaya; sementara sekarang jika pemimpinnya datang, lebih besar ongkos dia datang dibandingkan dengan yang dia sumbangkan.

Kehadiran pemerintah dimaknai berbeda dengan konsep dasarnya; namun karena itu menjadi semacam kelaziman, maka tampaknya semakin sempurna kesalahan silogisme dibangun. Bisa dibayangkan kehadiran pemimpin yang dirancang, ternyata settingannya harus memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Semua ini mengakibatkan “pemerintahan biaya tinggi” yang ujungnya hanya membangun pencitraan semata. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Memberatkan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Secara umum, konsep “memberatkan” dalam ilmu sosial sering kali digunakan untuk mengeksplorasi hubungan kekuasaan, ketimpangan, dan ketidakadilan yang menciptakan beban tambahan dalam kehidupan individu atau kelompok. Sementara itu dalam Sosiologi kita kenal konsep beban struktural, yaitu: ketidakadilan sistemik atau ketimpangan sosial-ekonomi yang dapat memberatkan kelompok rentan, seperti buruh, perempuan, atau kaum miskin.

Bencana alam yang berakibat menjadikannya bencana sosial karena dampak langsung ada pada yang disebut di atas. Oleh karena itu bencana alam bisa saja terjadi hanya sekejap, tetapi akibat yang ditimbulkan menjadi munculnya bencana sosial yang berlangsung bisa memakan waktu yang lama dan melelahkan. Oleh karena itu kehadiran pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan serta sumberdaya adalah sesuatu keharusan; terutama untuk jangka panjang.

Hanya mendatangi, tidak untuk menindaklanjuti kunjungan kepada para korban bencana, adalah pekerjaan pencitraan belaka. Mereka tidak memerlukan ucapan “kasihan”, akan tetapi lebih kepada tindakan nyata; akan diberi apa, dan kelak akan bagaimana. Mereka lebih butuh kepastian akan nasib diri dan keluarganya pascabencana; yang semua ini pada umumnya jika ditanyakan kepada pejabat yang berwenang, akan menjawab kompak “sedang kami pikirkan”.

Lebih menyedihkan lagi jika “mereka ditinggal” oleh pemimpin yang dipilihnya, hanya karena alasan “jadwal tidak bisa diubah”. Kemustahilan seperti ini menjadikan masyarakat makin menjauh; sehingga bisa jadi mereka akan apatis serta tidak peduli lagi dengan apa yang mereka yakini selama ini baik. Bisa dibayangkan sampai waktu cukup lama yang hadir hanya bantuan, tidak muncul orang yang selama ini di gadang-gadang. Pada hal kehadiran fisik adalah pengobat luka relasi sosial yang bisa saja terjadi karena kelalaian selama ini.
Namun kelihatannya posisi rakyat tetap sebagai sub-ordinat yang memang menjadi obyek untuk “dikerjain”; oleh karena itu cara kooptasi yang dilakukan penguasa semakin sempurna manakala informasi dapat dikuasai atau paling tidak diminimalisir.

Posisi sub-ordinat ini semakin terasa manakala terkait dengan masalah ekonomi; bisa dibayangkan pengusaha besar yang tentu punya modal besar, bisa seenaknya menentukan harga produk hasil pertanian. Hal ini dikarenakan mereka memiliki alat produksi di luar negeri, yang nasilnya dapat untuk mengatur harga, dengan cara “memasukkan” barang milik perusahaan sendiri dengan berbaju “import”. Kondisi ini menjadi subur makmur karena pejabat yang menangani hal ini mendapat upeti.
Rakyat menjadi tersakiti, pejabat membela setengah hati; akhirnya mereka bertindak sendiri dengan terkadang terkesan “anarkhi”. Pada hal sebenarnya mereka menuntut haknya sebagai warga negara, dan meminta negara hadir ditengah mereka.

Pembenaran yang tidak benar terus terjadi; terakhir dengan pongah pengusaha menutup pabriknya untuk tidak menerima hasil pertanian dengan waktu yang tak terbatas. Tentu saja kemarahan rakyat memuncak sampai keubun-ubun mereka. Yang ada hanya dua pilihan, menyelamatkan keluarga atau perang melawan pengusaha.

Semua kita harus memahami bahwa beban berat masyarakat semakin hari semakin memberatkan dalam ukuran skala mereka. Harga yang berkaitan dengan hajat hidup semakin membumbung harganya, sementara harga hasil produk mereka dihargai rendah di pasar karena adanya sistem yang tidak memihak mereka. Untuk itu sudah waktunya untuk memperbaiki seluruh sitem distribusi ekonomi yang membela rakyat, salah satu diantaranya adalah “hadirnya negara” melalui instrument yang dibangun untuk menyelamatkan rakyat.

Tidak berarti selama ini tidak hadir, namun kehadiran yang terbungkus “pencitraan” dan “seolah-olah”; sudah bukan jamannya lagi. Tindakan nyata sangat diperlukan agar mengurangi beban sosial yang memberatkan rakyat kecil, atau paling tidak menguranginya. Sehingga capaian akan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar melalui falsafah hidup bangsa, bukan sekedar bahan hafalan di sekolah. Namun betul-betul dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat negeri ini tanpa melihat siapa dan apa latar belakang mereka. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Memeperingati Hari Raya Imlek 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Rektor dan segenap Civitas Akademika Universitas Malahayati mengucapkan “Selamat Memeperingati Hari Raya Imlek 2025”. Hari Raya Imlek, atau yang dikenal juga sebagai Tahun Baru Imlek, adalah salah satu perayaan paling penting dalam budaya Tionghoa yang diperingati oleh komunitas Tionghoa di seluruh dunia. Merayakan kedatangan Tahun Baru menurut kalender lunar, perayaan ini kaya akan tradisi, makna simbolis, dan nilai-nilai yang mendalam.

Hari Raya Imlek memiliki akar yang dalam dalam sejarah dan tradisi Tionghoa. Merujuk pada kalender lunar, perayaan ini didasarkan pada siklus alamiah bulan, yang berbeda dengan kalender Gregorian yang digunakan secara internasional. Imlek dirayakan selama 15 hari, dimulai pada hari pertama bulan baru dan berakhir dengan Festival Lentera.

Hari Raya Imlek tidak hanya merayakan pergantian tahun dalam budaya Tionghoa, tetapi juga menghormati tradisi kuno yang diwariskan dari generasi ke generasi. Dengan berbagai kegiatan, tradisi, dan simbolisme yang terkait, Imlek menjadi perayaan yang memperkaya budaya Tionghoa dan menyatukan komunitas dalam semangat sukacita dan harapan akan masa depan yang cerah. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Selamat Memperingati Isra Miraj 1446 Hijriah

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati mengucapkan selamat memperingati peristiwa Isra Mi’raj 1446 H. Peringatan Isra Mi’raj yang jatuh pada tanggal 27 Januari 2025 ini menjadi momen penting untuk merefleksikan makna spiritual dan meningkatkan kualitas iman serta takwa dalam kehidupan sehari-hari.

Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH., dalam ucapan yang disampaikan melalui pesan resmi, mengajak seluruh keluarga besar Universitas Malahayati untuk mengambil hikmah dari perjalanan agung Nabi Muhammad SAW, baik Isra (perjalanan malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa) maupun Mi’raj (kenaikan ke langit untuk menerima wahyu).

“Isra Mi’raj adalah momen penting dalam sejarah Islam yang penuh dengan makna. Peristiwa ini mengajarkan kita tentang keteguhan iman, pentingnya ibadah, dan kesabaran dalam menghadapi segala ujian. Kami berharap, semangat dan hikmah dari Isra Mi’raj dapat menginspirasi kita semua untuk terus memperbaiki diri, memperkuat ibadah, serta menjaga akhlak yang mulia dalam setiap langkah kehidupan,” ujar Dr. Muhammad Kadafi.

Rektor juga mengingatkan pentingnya menjaga kedamaian, toleransi, dan kebersamaan dalam kehidupan kampus, sebagai cerminan dari nilai-nilai yang diajarkan dalam peristiwa Isra Mi’raj. “Semoga peringatan Isra Mi’raj ini semakin mempererat ukhuwah Islamiyah dan membawa keberkahan bagi seluruh keluarga besar Universitas Malahayati. Mari kita jadikan momentum ini untuk meningkatkan kualitas spiritualitas dan menjadi insan yang lebih baik,” tambahnya.

Selain itu, Universitas Malahayati juga mengajak seluruh civitas akademika dan keluarga besar untuk terus menumbuhkan rasa syukur atas segala nikmat dan karunia yang diberikan, serta menjadikan shalat sebagai sarana utama dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Peringatan Isra Mi’raj ini diharapkan dapat memperkuat semangat religius di kampus, serta menjadi pengingat bagi seluruh civitas akademika untuk selalu bersyukur, meningkatkan kualitas ibadah, dan menjaga integritas serta kebersamaan dalam menjalani kehidupan kampus dan masyarakat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Program Studi Manajemen Universitas Malahayati Gelar Seminar Kebudayaan “Membangun Citra Melalui Bahasa, Budaya, dan Kemampuan Berbicara”

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati kembali menggelar seminar kebudayaan yang menyuguhkan wawasan baru tentang pentingnya membangun citra diri. Bertajuk “Membangun Citra Melalui Bahasa, Budaya, dan Kemampuan Berbicara”, seminar ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Manajemen (HMM) di Gedung MCC Universitas Malahayati. Kamis (23/1/2025).

Seminar yang menarik ini bertujuan untuk membekali mahasiswa Program Studi Manajemen dengan keterampilan komunikasi yang efektif, wawasan budaya yang luas, dan strategi praktis dalam membangun citra positif di tengah globalisasi yang semakin pesat. HMM berhasil menghadirkan narasumber yang tidak hanya berkompeten tetapi juga inspiratif, yakni Muli Provinsi Lampung yang juga merupakan Duta Bahasa Provinsi Lampung, untuk membagikan ilmunya sebagai pemateri utama.

Bahasa dan Budaya: Pilar Utama dalam Membangun Citra Diri

Salah satu highlight dalam seminar ini adalah pembahasan tentang bagaimana bahasa dan budaya memiliki peran vital dalam membentuk citra diri yang kuat. Menurut para narasumber, bahasa lebih dari sekadar alat komunikasi; bahasa adalah cerminan dari budaya dan identitas seseorang. Dengan pemahaman yang mendalam terhadap bahasa dan budaya, kita tidak hanya dapat berkomunikasi dengan lebih baik, tetapi juga menjaga dan memperkenalkan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia ke dunia internasional.

Tidak hanya bahasa, budaya lokal juga menjadi tema yang sangat ditekankan. Mahasiswa diajak untuk menyadari pentingnya pelestarian budaya sebagai bagian dari upaya memperkaya citra Indonesia di mata dunia. Para pembicara menekankan bahwa sebagai generasi muda, mahasiswa harus mampu mengintegrasikan nilai-nilai budaya dengan perkembangan zaman tanpa kehilangan akar tradisi.

Public Speaking: Kunci Sukses di Dunia Kerja

Sesi berikutnya yang tak kalah menarik adalah tentang kemampuan berbicara di depan umum. Para narasumber berbagi tips praktis tentang cara berbicara dengan percaya diri, mengatasi rasa gugup, dan cara membangun koneksi emosional dengan audiens. Mereka menjelaskan bahwa kemampuan berbicara yang baik bukan hanya meningkatkan performa pribadi, tetapi juga membuka peluang besar dalam dunia kerja yang semakin kompetitif.

“Public speaking itu sangat penting untuk membangun relasi yang baik, apalagi di dunia profesional. Ini adalah keterampilan yang akan selalu dibutuhkan,” ujar Muli, yang mengungkapkan bahwa komunikasi yang efektif menjadi kunci untuk sukses di berbagai bidang.

Antusiasme Mahasiswa yang Menggembirakan

Antusiasme mahasiswa Program Studi Manajemen sangat terasa selama seminar ini. Mereka aktif berdiskusi dan berbagi pandangan tentang berbagai tantangan komunikasi di era digital. Andini, salah satu peserta, menyampaikan kesan positifnya, “Acara ini sangat relevan dengan kebutuhan kami sebagai mahasiswa manajemen. Kemampuan berbicara dan pemahaman budaya sangat penting dalam dunia kerja, terutama untuk membangun relasi dan reputasi.”

Rekomendasi dan Harapan untuk Mahasiswa

Di akhir seminar, para narasumber memberikan sejumlah rekomendasi berharga bagi mahasiswa yang ingin terus mengasah kemampuan komunikasi mereka. Salah satunya adalah dengan berlatih secara rutin dan memperluas wawasan tentang budaya, baik lokal maupun internasional. Ketua Program Studi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si, juga mengungkapkan harapannya agar seminar ini dapat memotivasi mahasiswa untuk menjadi individu yang unggul dan berkarakter.

“Bahasa, budaya, dan kemampuan berbicara adalah modal utama untuk membangun citra diri yang positif. Dengan bekal ini, mahasiswa Manajemen Universitas Malahayati diharapkan mampu menjadi pemimpin yang tidak hanya berkarakter tetapi juga mampu bersaing di tingkat nasional maupun internasional,” tegasnya.

Seminar yang penuh wawasan ini ditutup dengan penyerahan sertifikat kepada peserta dan sesi foto bersama, menandai berakhirnya acara yang inspiratif ini. Program Studi Manajemen Universitas Malahayati berkomitmen untuk terus menghadirkan kegiatan-kegiatan edukatif yang relevan dengan kebutuhan mahasiswa, sekaligus mendukung pengembangan potensi generasi muda.

Melalui seminar ini, mahasiswa Universitas Malahayati diharapkan dapat meraih kesuksesan dengan menguasai keterampilan komunikasi, memahami pentingnya budaya, dan membangun citra diri yang positif di dunia profesional. (gil)

Editor: Gilang Agusman