Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sudah beberapa hari ini, saya marhing atau meriang. Atas rekomendasi dokter, badan harus istirahat, termasuk istirahat berfikir. Namun apadaya, untuk yang terakhir tadi sulit sekali dilakukan. Apalagi begitu membaca berita Helo Indonesia secara konsisten mengikuti terpuruknya nasib petani singkong.
Terakhir, ribuan petani singkong dari tujuh kabupaten terpaksa demo besar-besaran di Lapangan Korpri depan Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Lampung. Sementara nu jauh di sana pemilik pabrik “sewot” dengan tidak mau membeli singkong. Ratusan truk antre entah sampai kapan.
Kondisi ini seperti halnya buah simalakama “dimakan mati bapak, dibuang mati emak”.
Sebenarnya, persoalan singkong memiliki riwayat yang panjang hingga tidak jarang memilukan. Kilas balik, Gubernur Pudjono Pranyoto (1988-1997) sudah mengingatkan kala itu agar petani tak gegabah diversifikasi pertanian dengan mengorbankan kebun lada dan kopi saat tidak baik-baik saja.
Bahkan, Ketua Bappeda Siti Nurbaya saat itu — terakhir menteri Kehutanan RI — sudah menyusun sejumlah kebijakkan tentang tata ruang, termasuk pola tanam pohon umbi-umbian yang nama latinnya Manihot esculenta.
Tetap saja, para petani tergoda harga singkong kala itu. Mereka kemudian eksodus menganti kebunnya dengan tanaman bahan baku tepung tapioka yang berjangka pendek dan lebih menguntungkan secara finansial.
Gubernur Oemarsono (1998—2003) dengan Ketua Bappeda Haris Hasyim (Mantan Wakil Rektor Bidang Akademik Unila) melangkah lebih maju dengan Program Desa Ku Maju Sakai Sambayan yang disingkat DMSS. Ada yang kemudian memplesetnya upaya membantu petani itu jadi dang mengan saean saean..
Program ini menggandeng para pemikir peguruan tinggi, Unila khususnya, untuk mencari jalan keluar dari persoalan petani singkong yang kerap harus menghadapi remuknya harga jual.
Lewat Program Industri Tapioka Rakyat atau disingkat ITARA, Pemprov Lampung membantu petani lewat koperasi mesin mini penggiling singkong agar menjadi tepung karya Ir. Sarnadi. M.S (maaf kalau salah menuliskan nama).
Tak sampai di mekanisasi, Pemprov Lampung juga menurunkan para pakar, yakni Irwan Efendi sebagai komandan Tim Sosial Ekonomi Pertanian; Armen Yasir soal hukumnya, Ambyah yang memikirkan pemasarannya, Mohammad Kamal dan Hassanudin urusan penelitian dan pengembangan, dan masih banyak lagi.
Mereka kemudian menjadi guru besar, ada yang saat ini sudah lensiun dan juga sudah ada yang wafat.
Begitu kepala daerah beralih ke Syachruddin ZP (2004—2008 dan 2009—2014) urusan singkong meredup. Sebagai jenderal purnawirawan, putra Gubernur ke-2 Lampung Zainal Abidin Pagaralam ini lebih fokus mengatasi persoalan-persoalan penyerobotan tanah yang marak pada waktu itu.
Namun persoalan petani agak sedikit terpinggirkan dan akhirnya hilang ditelan waktu. Sementara gubernur-gubernur selanjutnya walau janji politiknya selalu demi kesejahteraan rakyat nyatanya lebih repot mengurus infrastruktur. Walau akhirnya, ada yang tak tuntas juga.
Sebagai contoh bisa dibayangkan jalan provinsi yang ada pada sabuk wilayah seperti Banjit, Kasui, Bahuga dan masih banyak lagi; sampai hari ini kita tidak bisa membedakan antara jalan dengan kubangan.
Oleh sebab itu, kita harus berani jujur mengatakan jika gubernur hanya dijabat oleh selevel “penjabat” jangan harap untuk dapat menuntaskan persoalan yang memang sudah menahun.
Sebagai orang yang mengamati perjalanan singkong dari gubernur ke gubernur, saya mencoba menarik benang merah yang dapat membela rakyat kecil dari “bulanan-bulanan” para kaum kapitalis.
Mudah-mudahan, empat solusi ini dapat mengubah singkong jadi semanis madu bukan hanya untuk pengusaha dan pejabat saja, tetapi juga rakyat Lampung yang harus menanam dan merawat tanamannya berbulan-bulan di bawah terik dan hujan.
PERTAMA
Gubernur terpilih segera membentuk tim penyelaras untuk masalah petani singkong yang isinya para praktisi, akademisi, dan pengusaha guna melakukan inventarisasi persoalan bersama dan merancang keputusan bersama.
KEDUA
Gubernur terpilih melakukan kerjasama teknis dengan perguruan tinggi yang memiliki sumberdaya keahlian bidang persingkongan guna menyusun skema hulu sampai hilir persoalan singkong. Bukan hanya teori atau di atas kertas, tetapi aksi nyata terukur dan dapat dievaluasi kapanpun. Leading sektornya adalah Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan.
KETIGA
Gubernur terpilih harus tegas bernegosiasi dengan kementerian agar impor tapioca pembicaraan berkaitan dengan jumlah kuota nasional, harus melihatkan Lampung sebagai produsen tapioka terbesar.
KEEMPAT
Gubernur terpilih bersama DPRD membentuk satgas indipenden yang terdiri dari unsur masyarakat, LSM, Jurnalis dan pihak terkait untuk mengawasi semua regulasi yang ada dan dilaporkan secara terbuka jika ada penyimpangan.
Tentu semua itu bukan obat mujarab segala macam penyakit, akan tetapi paling tidak kita harus berani memulai berbenah diiri guna membela rakyat kecil, tak hanya terus-menerus bikin buncit pengusaha.
Terima kasih, istirahat pay, semoga tidur siang nanti bermimpi pemimpin Lampung yang akan datang, Rahmad Mirzani Djausal (2025-2030) sukses mengatasi penyakit kronis persingkongan agar rakyat sejahtera dan Lampung Maju.. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Dr. Tessa Syahrini Raih SK PAK Lektor Kepala, Langkah Baru Menuju Kemajuan Universitas Malahayati
Acara serah terima SK dihadiri oleh sejumlah pejabat penting dari Universitas Malahayati, diantaranya Wakil Rektor 1 Universitas Malahayati, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., yang turut memberikan ucapan selamat atas pencapaian luar biasa ini. Turut hadir pula Kepala Bagian Humas dan Protokol Emil Tanhar, S.Kom, yang mendampingi dalam momen bersejarah tersebut.
Wakil Rektor I Universitas Malahayati, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes., yang dalam kesempatan ini memberikan apresiasi yang tinggi atas pencapaian luar biasa Dr. Tessa. “Saya merasa sangat senang dan bangga atas pencapaian yang diraih oleh Dr. Tessa”.
“Ini adalah bukti dari dedikasi, kerja keras, dan komitmennya dalam dunia akademik, dan semoga pencapaian ini tidak hanya membawa keberkahan bagi beliau pribadi, tetapi juga dapat memberikan dampak positif yang luas bagi kemajuan Universitas Malahayati,” lanjutnya.
Prof. Dr. Dessy pencapaian ini dapat menjadi inspirasi bagi rekan-rekan dosen lainnya di Universitas Malahayati untuk terus berkembang, meningkatkan kompetensi, serta mengejar jabatan akademik yang lebih tinggi, bahkan mencapai Guru Besar.
“Begitu juga kepada LLDIKTI Wilayah II, yang telah memberikan kepercayaan dan pengakuan atas kerja keras saya, semoga pencapaian ini tidak hanya membawa keberkahan bagi saya pribadi, tetapi juga memberikan dampak positif bagi teman-teman dan seluruh keluarga besar Universitas Malahayati,” tambahnya.
“Saya berharap pencapaian ini dapat menjadi inspirasi bagi rekan-rekan dosen di Universitas Malahayati untuk terus mengembangkan diri, meningkatkan kualitas pengajaran dan penelitian, serta berusaha untuk mencapai jabatan akademik yang lebih tinggi, bahkan mencapai Guru Besar,” ujar Dr. Tessa dengan penuh harap.
Pencapaian Dr. Tessa Syahrini ini juga menjadi simbol dari komitmen Universitas Malahayati dalam meningkatkan kualitas pendidikan dan pengajaran di tingkat universitas. Dengan langkah ini, Universitas Malahayati berharap dapat terus melahirkan generasi unggul yang memiliki kompetensi akademik tinggi dan memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan ilmu pengetahuan, kesehatan, dan masyarakat.
Pencapaian Dr. Tessa Syahrini dalam meraih SK PAK Lektor Kepala ini menjadi salah satu tonggak penting dalam perjalanan akademik Universitas Malahayati. Dengan semangat dan komitmen yang tinggi, Universitas Malahayati terus berupaya mencetak lulusan terbaik dan berperan aktif dalam pengembangan ilmu pengetahuan serta peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Dwi Marlina Syukri, Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Tampil Menginspirasi di 6th International Conference on Traditional Medicine di India
Sehat atau Lewat
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari ini badan baru merasa agak pulih kembali sebab beberapa hari lalu Tuhan menunjukkan sayangNYA dengan memberi hadiah sakit. Karena rasa sakit yang tidak terkira terpaksa hari itu dipapah oleh panglima perang tertua mendatangi satu rumah sakit ternama di daerah ini, dengan megabaikan procedure asuransi jaminan sosial yang ada. Mengambil nomor antrian sampai dengan duduk dikursi tunggu pasien prosesnya dibantu oleh cucu kemenakan yang kebetulan bertugas di sana.
Saat duduk bersama barisan panjang orang tidak sehat kecuali pengantar dan petugas itu, dipertontonkan Tuhan bagaimana kita sakit menjadi rakyat tanpa pembeda menunggu panggilan “pengadilan kesehatan” yang terepresentasi pada manusia yang berprofesi dokter. Beliau “penentu” yang membaca atas dasar data yang disinyalkan oleh tubuh kepadanya, kemudian diberi nama, dan ditetapkan sebabmusabab, kemudian diminta menuju apotik untuk mengambil obat sebagai media penyembuh, sebab sembuh atau sakit bukan kewenangan dokter tetapi milik Sang Maha Pencipta.
Dibarisan itu tidak peduli muda tua, anak-anak atau dewasa, pejabat tinggi berkursi roda atau jelata bertongkat; semua sama menuju satu meja penentu keputusan apa dan bagaimana. Dan, semua yang duduk berderet tadi permintaannya sama yaitu “sembuh”, tidak satupun diantara mereka meminta “teruskan saja sakitnya”.
Sambil menahan “mriang”nya badan, mata dipejamkan; namun telinga tidak bisa berhenti untuk mendengar semua yang ada disekitar. Sayup-sayup terdengar obrolan teman sebelah yang juga sedang antri adalah pensiunan pejabat teras di daerah ini yang duduk dikursi roda karena struk; sedang berbicara dengan entah apa profesi bapak lawan bicara tadi tidak begitu jelas, yang jelas justru keluhannya yaitu terkena penyumbatan saluran jantung. Mendengar mereka mengobrol pikiran menjadi menerawang, dan ada rasa ngeri-ngeri sedap karena menyebutkan angka biaya yang dikeluarkan karena mereka pernah tidak menggunakan asuransi. Bagaimana tidak berdiri bulu roma angkanya ada dikisaran minimal enam digit, bahkan salah satu diantara mereka sudah mengeluarkan sampai pada angka 12 digit.
Pertanyaan yang menggantung diotak pensiunan professor ini sekarang adalah pada digit berapa nanti harus dikeluarkan. Akhirnya rasa sakit yang taktertahankan selama ini dirasa menjadi hilang, justru yang ada tekanan darah menjadi terasa naik, dan pusingnya kepala menjadi bertambah, detak jantung makin cepat.
Pemanggilan pasien sudah dimulai dengan suara keras tapi sopan petugas memanggil satu persatu yang duduk untuk masuk ke bilik dokter mana. Giliran disebut nomor antrian diri, arahan ditujukan kepada dokter Spesialis Dalam yang beberapa tahun lalu pernah merawat penyakit yang diderita ini. Dokter yang ramah tetapi tegas, tidak tampak wajahnya karena peralatan APD melindungi wajahnya. Beliau meminta melakukan cek darah kelabolatorium dan hasilnya ditunggu. Tentu saja jantung tambah dag-dig-dug karena apa gerangan yang ada dalam diri ini. Setelah cukup lama hasil diperoleh dan kembali masuk keruang dokter; beliau menjelaskan ada infeksi bagian dalam. Maka resep obat harus diambil diapotik yang lumayan banyaknya.
Sampai pada titik itu tidak ada persoalan berarti; namun saat penebusan obat juga harus melunasi semua pembiayaan pengobatan mandiri tadi yang memakan waktu sekitar dua jam itu, ternyata jumlahnya cukup mengeluarkan separo biji mata melihat angka rupiah yang tertera. Ternyata hampir separo gaji pangsiunan profesor dengan pangkat golongan tertinggi dilibas oleh biaya menemukenali penyakit dan mengobatinya. Terbayang bagaimana jika jenis penyakit ini menimpa pada mereka yang tidak tercaver oleh asuransi kesehatan karena sesuatu dan lain hal, atau mereka yang secara ekonomi tidak beruntung, maka slogan “sehat atau lewat” berlaku sempurna. Semua itu yang tersisa hanya doa kepada Sang Maha Pemberi “terimakasih Tuhan yang telah memberiku penyakit karena dengan ini hamba sadar betapa Agung MU dalam segala hal”.
Pembelajaran dari Tuhan kepada mahluknya bisa berlangsung dimana saja, kapan saja, dalam situasi apa saja. Hanya mampukah kita menangkap apa yang diberikan tadi sebagai pembelajaran, bukan dipersepsikan sebagai penyiksaan. Oleh sebab itu Sakit dan Sehat dapat diibaratkan sebagai dua muka mata uang yang sama. Satu sama lain saling meneguhkan keberadaannya masing-masing. Bisa jadi saat ini kita sehatwalafiat, namun beberapa saat kemudian kita sakit parah, bahkan bisa langsung menuju wafat.
Oleh karena sakit itu mahal biayanya; maka mari kita jaga sehat kita dengan cara kita, dan dalam batas kemampuan kita. Hidup dan wafat adalah pasangan abadi yang diciptakan Tuhan untuk kita; mari bersyukur terhadap apapun yang kita terima dari NYA. Orang bijak mengatakan bahwa sehat dan wafat itu kuasa mutlak dari dari pemilik jagad; kita hanya diminta melakoni skenarionya tanpa harus “sambat”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Prodi S1 Kesehatan Masyarakat UNMAL Gelar Diseminasi Hasil Pembelajaran Berbasis Kurikulum OBE
Katalog Pengantar Ilmu Ekonomi Konsep Dan Teori Ditinjau Dari Ekonomi Pasar
Judul buku :Pengantar Ilmu Ekonomi Konsep Dan Teori Ditinjau Dari Ekonomi Pasar
Penulis :Apip Alansori , R.A Mulyadi, Rina Agustina
Isbn: Proses
Penerbit : Universitas Malahayati
Sinopsis:
Ilmu ekonomi merupakan disiplin ilmu yang sangat penting dalam memahami bagaimana sumber daya dialokasikan, bagaimana keputusan ekonomi dibuat, dan bagaimana kebijakan ekonomi dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Dalam konteks globalisasi dan perkembangan teknologi yang pesat, pemahaman tentang ekonomi semakin krusial. Buku ini diharapkan dapat menjadi panduan yang komprehensif dan mudah dipahami, sehingga pembaca dapat memiliki fondasi yang kuat dalam mempelajari ilmu ekonomi lebih lanjut.
Selain itu, pembahasan tentang struktur pasar, termasuk persaingan sempurna, monopoli, persaingan tidak sempurna, monopolistik, dan oligopoli, memberikan pemahaman yang mendalam tentang berbagai model pasar dan implikasinya. Dengan demikian, buku ini menjadi sumber penting bagi mahasiswa dan pengajar untuk memahami konsep-konsep ekonomi secara komprehensif. Buku ajar ini disusun secara sistematis, ditulis dengan bahasa yang jelas dan mudah dipahami, dan dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran
Mahasiswa Farmasi Universitas Malahayati, Dini Maharani, Raih Juara 1 dan 3 di Kejuaraan Karate Nasional
Prestasi ini merupakan bukti dedikasi dan kerja keras Dini dalam mengasah kemampuan karate-nya. Dini mengungkapkan, “Suatu kebanggaan dapat menunjukkan dan meraih prestasi yang dapat dibanggakan. Semua ini tidak terlepas dari latihan keras dan dukungan dari semua pihak yang selalu mendukung saya.”
Dini juga berbagi pesan inspiratif, hasil tidak akan menghianati proses. “Semua yang saya capai adalah hasil dari proses panjang dan kerja keras. Saya ingin menginspirasi teman-teman mahasiswa lainnya bahwa dengan usaha yang maksimal, kita pasti bisa meraih apa yang kita impikan,” ujarnya.
Universitas Malahayati merasa bangga atas prestasi yang diraih oleh Dini. Ini menjadi salah satu bukti bahwa mahasiswa Malahayati tidak hanya unggul di bidang akademik, tetapi juga di bidang olahraga. Harapannya, Dini dapat terus mengukir prestasi di tingkat yang lebih tinggi dan menjadi inspirasi bagi generasi muda, khususnya bagi mahasiswa Universitas Malahayati.
Keberhasilan Dini Maharani ini sekaligus menunjukkan pentingnya keseimbangan antara akademik dan pengembangan bakat di luar kelas, yang dapat mendukung kemajuan pribadi dan membawa kebanggaan bagi universitas. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Abu Nawas Dengan Si Tidak Tahu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada artikel yang lalu ada seorang guru besar mengomentari bahwa dirinya pernah diajari untuk menjawab “tidak tahu” oleh promotornya saat mengambil gelar akademik tertinggi di salah satu perguruan tinggi terkenal kelas dunia, tentu saja dengan moment kapan harus menjawab “tahu” dan kapan harus menjawab “tidak tahu”. Komentar dari Sang Profesor tadi menggelitik semakin semangat untuk membaca naskah-naskah tentang Abu Nawas, baik secara digital maupun konvensional. Ternyata perburuan itu berhasil. Lengkap naskahnya sebagai berikut, tentu saja setelah diedit di sana-sini.
Suatu hari, Abu Nawas bertemu dengan seorang pria yang terkenal karena kebiasaannya selalu menjawab, “Saya tidak tahu,” untuk segala pertanyaan. Orang ini berpikir bahwa dengan selalu menjawab seperti itu, ia terlihat rendah hati dan bijaksana. Namun, sikapnya sering membuat orang lain kesal. Abu Nawas, penasaran dengan sikap pria itu, memutuskan untuk mengajarinya suatu pelajaran yang lucu, tapi bermakna. Ia mendatangi pria tersebut dan memulai percakapan.
Abu Nawas: “Wahai sahabatku, apakah benar kau selalu menjawab ‘tidak tahu’ untuk semua pertanyaan?”. Pria itu menjawab: “Ya, benar.”
Abu Nawas melanjutkan pembicaraannya: “Oh, jadi kau tahu bahwa kau selalu menjawab ‘tidak tahu’?”. Jawab Pria tadi: “Tentu saja.”.
Abu Nawas mulai mengeluarkan jurusnya: “Tunggu sebentar, kau tahu kau selalu menjawab ‘tidak tahu,’ tapi kau tetap menjawabnya? Apakah kau benar-benar tahu atau tidak tahu?”
Pria itu bingung mendengar logika Abu Nawas. Ia mencoba menjawab, tetapi terjebak dalam kebingungannya sendiri. Melihat pria itu diam dan tampak kebingungan, Abu Nawas tersenyum dan melanjutkan, “Sahabatku, mengetahui kapan kita tahu dan kapan kita tidak tahu adalah tanda kebijaksanaan. Jika kau terus-menerus menjawab ‘tidak tahu,’ bagaimana kau belajar untuk tahu? Sebaliknya jika kamu menjawab selalu tahu sekalipun kamu tidak tahu, itu menunjukkan kebodohanmu sendiri.”
Pria itu akhirnya menyadari bahwa kebiasaannya hanya membuatnya terlihat bodoh, bukan rendah hati atau bijaksana. Ia berterima kasih kepada Abu Nawas atas pelajaran yang diberikan dan mulai mengubah cara berpikirnya, yaitu dia akan bersikap kapan menjawab tidak tahu dan kapan harus menjawab tahu. Karena kedua-duanya jawaban tadi benar dan baik jika kita pandai menempatkannya, dan itulah disebut dengan bijaksana.
Hikmah Cerita Kisah Abu Nawas pada bab ini mengajarkan bahwa kebijaksanaan bukan hanya tentang rendah hati, tetapi juga tentang keberanian untuk belajar dan menerima pengetahuan. Menjawab “tidak tahu” itu baik jika kita sungguh-sungguh tidak tahu, tetapi jangan sampai itu menjadi penghalang untuk berpikir atau mencari tahu.
Filosofi jawaban “tahu” dan “tidak tahu” berkaitan dengan kesadaran atas batas pengetahuan seseorang dan kebijaksanaan dalam merespons. Filosofi ini sering dijadikan pedoman untuk menghindari sikap arogan dan mengembangkan kerendahan hati serta keterbukaan terhadap pembelajaran.
Hasil penelusuran referensi digital ditemukan pemahaman lebih dalam
hakikat jawaban “tahu” adalah : Pertama, kesadaran akan pengetahuan. Mengakui bahwa kita mengetahui sesuatu bukan hanya tentang menyampaikan informasi, tetapi juga memahami sejauh mana pengetahuan kita relevan dan bermanfaat.
Kedua, tanggung jawab dalam pengetahuan. Ketika menjawab “tahu,” kita harus memastikan bahwa informasi tersebut benar, dapat dipercaya, dan tidak menyesatkan.
Ketiga, keberanian memberi jawaban. Menjawab “tahu” membutuhkan kepercayaan diri, terutama jika konteksnya menantang atau rumit.
Hakikat jawaban “tidak tahu” adalah : Pertama, kerendahan hati. Mengakui bahwa kita tidak tahu adalah tanda kebijaksanaan, bukan kelemahan. Ini menunjukkan kejujuran atas keterbatasan kita.
Kedua, pintu untuk belajar. Dengan mengatakan “tidak tahu,” kita membuka ruang untuk mencari tahu dan memperdalam pemahaman kita.
Ketiga, menghindari kesalahan. Daripada memberikan jawaban yang salah, lebih baik mengakui ketidaktahuan untuk menghindari konsekuensi negatif.
Dalam tradisi filsafat, seperti yang diajarkan oleh Socrates, “Saya tahu bahwa saya tidak tahu” adalah dasar dari kebijaksanaan. Kesadaran akan keterbatasan pengetahuan mendorong kita untuk terus belajar dan mencari kebenaran. Ini juga relevan dalam konsep Sandi Tomo Kawedar yang pernah diuraikan oleh penulis pada tahun lalu, dimana kearifan lokal mengajarkan pentingnya kebijaksanaan dalam berbicara dan bertindak. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
60 Dokter Baru Disumpah dalam Prosesi Sumpah Dokter Periode 71 Universitas Malahayati, Siap Mengabdi untuk Indonesia
Yudisium Profesi Dokter Periode ke-71 Universitas Malahayati, Langkah Awal Para Dokter Baru Menuju Dunia Profesional
Turut hadir dalam acara tersebut Wakil Rektor 1 Universitas Malahayati, Prof. Dr. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, Dr. Toni Prasetia, dr., Sp.PD., FINASIM, serta jajaran pengurus Fakultas Kedokteran, seperti Kepala Program Studi Profesi Dokter, Muhamad Ibnu Sina, dr., M.Ked (Neu)., Sp.N., Sekretaris Prodi, serta para dosen Prodi Profesi dan Pendidikan Dokter.
Hari ini menandai awal perjalanan para dokter muda untuk terjun ke dunia profesional. Para peserta yudisium diharapkan untuk terus mengembangkan kompetensinya melalui berbagai kegiatan ilmiah seperti seminar, workshop, dan simposium, guna menjadi dokter yang semakin berkualitas.
Yudisium ini bukan hanya menjadi momen perayaan, tetapi juga pengingat akan tanggung jawab besar yang kini diemban oleh para lulusan. Dengan bekal ilmu yang telah diperoleh, mereka siap melangkah menuju dunia profesi dokter yang penuh tantangan dan harapan. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Soal Singkong, Belajar dari Gubernur Lalu, 4 Pesan Buat Gubernur Nanti
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Sudah beberapa hari ini, saya marhing atau meriang. Atas rekomendasi dokter, badan harus istirahat, termasuk istirahat berfikir. Namun apadaya, untuk yang terakhir tadi sulit sekali dilakukan. Apalagi begitu membaca berita Helo Indonesia secara konsisten mengikuti terpuruknya nasib petani singkong.
Terakhir, ribuan petani singkong dari tujuh kabupaten terpaksa demo besar-besaran di Lapangan Korpri depan Kantor Gubernur dan DPRD Provinsi Lampung. Sementara nu jauh di sana pemilik pabrik “sewot” dengan tidak mau membeli singkong. Ratusan truk antre entah sampai kapan.
Kondisi ini seperti halnya buah simalakama “dimakan mati bapak, dibuang mati emak”.
Sebenarnya, persoalan singkong memiliki riwayat yang panjang hingga tidak jarang memilukan. Kilas balik, Gubernur Pudjono Pranyoto (1988-1997) sudah mengingatkan kala itu agar petani tak gegabah diversifikasi pertanian dengan mengorbankan kebun lada dan kopi saat tidak baik-baik saja.
Bahkan, Ketua Bappeda Siti Nurbaya saat itu — terakhir menteri Kehutanan RI — sudah menyusun sejumlah kebijakkan tentang tata ruang, termasuk pola tanam pohon umbi-umbian yang nama latinnya Manihot esculenta.
Tetap saja, para petani tergoda harga singkong kala itu. Mereka kemudian eksodus menganti kebunnya dengan tanaman bahan baku tepung tapioka yang berjangka pendek dan lebih menguntungkan secara finansial.
Gubernur Oemarsono (1998—2003) dengan Ketua Bappeda Haris Hasyim (Mantan Wakil Rektor Bidang Akademik Unila) melangkah lebih maju dengan Program Desa Ku Maju Sakai Sambayan yang disingkat DMSS. Ada yang kemudian memplesetnya upaya membantu petani itu jadi dang mengan saean saean..
Program ini menggandeng para pemikir peguruan tinggi, Unila khususnya, untuk mencari jalan keluar dari persoalan petani singkong yang kerap harus menghadapi remuknya harga jual.
Lewat Program Industri Tapioka Rakyat atau disingkat ITARA, Pemprov Lampung membantu petani lewat koperasi mesin mini penggiling singkong agar menjadi tepung karya Ir. Sarnadi. M.S (maaf kalau salah menuliskan nama).
Tak sampai di mekanisasi, Pemprov Lampung juga menurunkan para pakar, yakni Irwan Efendi sebagai komandan Tim Sosial Ekonomi Pertanian; Armen Yasir soal hukumnya, Ambyah yang memikirkan pemasarannya, Mohammad Kamal dan Hassanudin urusan penelitian dan pengembangan, dan masih banyak lagi.
Mereka kemudian menjadi guru besar, ada yang saat ini sudah lensiun dan juga sudah ada yang wafat.
Begitu kepala daerah beralih ke Syachruddin ZP (2004—2008 dan 2009—2014) urusan singkong meredup. Sebagai jenderal purnawirawan, putra Gubernur ke-2 Lampung Zainal Abidin Pagaralam ini lebih fokus mengatasi persoalan-persoalan penyerobotan tanah yang marak pada waktu itu.
Namun persoalan petani agak sedikit terpinggirkan dan akhirnya hilang ditelan waktu. Sementara gubernur-gubernur selanjutnya walau janji politiknya selalu demi kesejahteraan rakyat nyatanya lebih repot mengurus infrastruktur. Walau akhirnya, ada yang tak tuntas juga.
Sebagai contoh bisa dibayangkan jalan provinsi yang ada pada sabuk wilayah seperti Banjit, Kasui, Bahuga dan masih banyak lagi; sampai hari ini kita tidak bisa membedakan antara jalan dengan kubangan.
Oleh sebab itu, kita harus berani jujur mengatakan jika gubernur hanya dijabat oleh selevel “penjabat” jangan harap untuk dapat menuntaskan persoalan yang memang sudah menahun.
Sebagai orang yang mengamati perjalanan singkong dari gubernur ke gubernur, saya mencoba menarik benang merah yang dapat membela rakyat kecil dari “bulanan-bulanan” para kaum kapitalis.
Mudah-mudahan, empat solusi ini dapat mengubah singkong jadi semanis madu bukan hanya untuk pengusaha dan pejabat saja, tetapi juga rakyat Lampung yang harus menanam dan merawat tanamannya berbulan-bulan di bawah terik dan hujan.
PERTAMA
Gubernur terpilih segera membentuk tim penyelaras untuk masalah petani singkong yang isinya para praktisi, akademisi, dan pengusaha guna melakukan inventarisasi persoalan bersama dan merancang keputusan bersama.
KEDUA
Gubernur terpilih melakukan kerjasama teknis dengan perguruan tinggi yang memiliki sumberdaya keahlian bidang persingkongan guna menyusun skema hulu sampai hilir persoalan singkong. Bukan hanya teori atau di atas kertas, tetapi aksi nyata terukur dan dapat dievaluasi kapanpun. Leading sektornya adalah Dinas Pertanian dan Dinas Perdagangan.
KETIGA
Gubernur terpilih harus tegas bernegosiasi dengan kementerian agar impor tapioca pembicaraan berkaitan dengan jumlah kuota nasional, harus melihatkan Lampung sebagai produsen tapioka terbesar.
KEEMPAT
Gubernur terpilih bersama DPRD membentuk satgas indipenden yang terdiri dari unsur masyarakat, LSM, Jurnalis dan pihak terkait untuk mengawasi semua regulasi yang ada dan dilaporkan secara terbuka jika ada penyimpangan.
Tentu semua itu bukan obat mujarab segala macam penyakit, akan tetapi paling tidak kita harus berani memulai berbenah diiri guna membela rakyat kecil, tak hanya terus-menerus bikin buncit pengusaha.
Terima kasih, istirahat pay, semoga tidur siang nanti bermimpi pemimpin Lampung yang akan datang, Rahmad Mirzani Djausal (2025-2030) sukses mengatasi penyakit kronis persingkongan agar rakyat sejahtera dan Lampung Maju.. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman