Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Pekenalkan Ovitrap, Perangkap Telur Nyamuk DBD, Sehatkan Desa Hajimena

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Warga Desa Hajimena, Kabupaten Lampung Selatan, menunjukkan kepedulian tinggi terhadap kesehatan lingkungan dengan langkah nyata dalam mencegah penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Melalui program Ovitrap—perangkap sederhana untuk telur nyamuk Aedes aegypti—desa ini menjadi salah satu contoh komitmen masyarakat dalam memerangi wabah DBD sejak dini.

Kegiatan ini merupakan bagian dari Program Pengabdian Berbasis Masyarakat (PBM) yang digagas oleh tim dosen dan mahasiswa Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati, bekerja sama dengan Universitas Teknokrat Indonesia. Program ini mendapat dukungan penuh dari Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DRTPM) Kemendiktisaintek.

Bertempat di balai desa, kegiatan diikuti oleh perangkat desa, kader kesehatan, mahasiswa, dan masyarakat setempat. Warga diberi pelatihan cara membuat Ovitrap dari bahan sederhana seperti botol plastik bekas, kertas saring, dan air yang diberi larutan abate. Mereka juga mempraktikkan langsung cara penempatan Ovitrap di rumah masing-masing agar efektif menjebak telur nyamuk.

Tidak hanya pelatihan teknis, kegiatan ini juga dibarengi dengan sosialisasi tentang pentingnya menjaga kebersihan lingkungan. Pesan utamanya jelas: mencegah DBD tidak cukup hanya dengan obat atau fogging, melainkan juga dengan mengurangi habitat nyamuk penyebabnya.

Kepala Desa Hajimena, Suhaimi Abu Bakar, menyampaikan apresiasi atas kegiatan ini.

“Program ini sangat bermanfaat bagi warga karena memberi solusi praktis dan murah dalam mencegah DBD. Kami akan mendukung penuh keberlanjutan kegiatan ini di desa kami,” ujarnya.

Hal senada disampaikan oleh Agung Aji Perdana, S.KM., M.Epid., selaku perwakilan tim dosen Universitas Malahayati.

“Ovitrap terbukti menjadi solusi sederhana namun efektif untuk menekan populasi nyamuk penyebab DBD. Dengan partisipasi semua pihak—pemerintah desa, puskesmas, kader kesehatan, dan masyarakat—kami berharap kewaspadaan dini terhadap DBD semakin meningkat dan kasusnya bisa dicegah sejak awal,” jelasnya.

Kegiatan pelatihan ini ditutup dengan penyerahan Ovitrap kepada Ketua PKK Desa Hajimena sebagai simbol dukungan dan keberlanjutan program. Warga pun tampak antusias membawa pulang Ovitrap hasil karya mereka untuk dipasang di rumah masing-masing.

Dengan adanya program ini, Desa Hajimena diharapkan mampu menjadi percontohan dalam penerapan inovasi sederhana namun berdampak besar untuk kesehatan masyarakat. Upaya kecil dari setiap rumah, bila dilakukan bersama-sama, diyakini mampu membangun benteng kuat dalam mencegah DBD. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Dialektika Kepalsuan di Ruang Kekuasaan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Apa hikmah dari peristiwa yang terjadi pada 28 Agustus lalu ?. Pertanyaan ini menggema di ruang kuliah pascasarjana, di ruang diskusi para professor, dan di sudut-sudut pertemuan informal para pendekar disiplin ilmu. Bahkan ada seorang doktor dari Bumi Sriwijaya meminta pendapat melalui piranti sosial tentang peristiwa itu. Tentu jawabannya sangat beragam, sesuai keberagaman sudut pandang dan disiplin ilmu yang dijadikan pijakan.

Tulisan ini mencoba memposisikan diri pada sudut pandang filsafat kontemporer. Tentu dengan perspektif akademik. Tulisan ini bukan mencari kebenaran, akan tetapi mendeskripsikan suatu penalaran filsafat terhadap peristiwa yang terjadi.

Kondisi saat ini tidak lagi berdiri di atas garis terang antara yang sahabat dan yang lawan. Dalam tatanan sosial yang konon demokratis, pembedaan semacam itu seharusnya bisa dikenali dengan jelas melalui prinsip, platform, dan agenda. Namun, di medan kekuasaan yang kini kita hadapi, garis itu telah cair; mengabur oleh retorika, terlarut dalam manuver, dan dibungkus oleh pencitraan. Figur-figur yang tampil di depan begitu bersahabat, saling sanjung, saling memeluk dalam forum-forum publik, tetapi apa yang terjadi di balik layar sering kali adalah permainan tikam-menikam, jebakan loyalitas palsu, dan perebutan
kekuasaan yang sunyi namun ganas. Dalam istilah yang berkembang di ruang sosial: di depan
tampak friendly,  di belakang seperti “sengkuni”.

Filsafat kontemporer melihat kondisi ini bukan sekadar sebagai penyimpangan etis, tetapi sebagai bentuk krisis makna dalam praksis sosial-politik. Kita tidak sedang menyaksikan sekadar drama kekuasaan, tetapi pembusukan simbol dalam jagat representasi politik. Relasi sosial dan institusional telah menjadi medan di mana kejujuran dibungkam oleh performa, kebenaran dikalahkan oleh persepsi, dan prinsip diperdagangkan demi aliansi sesaat.

Dalam perspektif fenomenologi kontemporer, realitas tidak lagi dibangun berdasarkan apa yang benar-benar dihayati, tetapi apa yang tampak. Penampilan menjadi realitas itu sendiri. Sosok-sosok di depan kamera menampilkan gestur harmoni, bersalaman, tersenyum, dan menyatakan komitmen terhadap bangsa dan rakyat. Tapi kesadaran yang dibentuk bukan lagi kesadaran akan substansi, melainkan kesadaran akan tampilan. Apa yang tak tampak; niat tersembunyi, strategi culas, atau agenda personal, dibuang dari medan wacana. Kita menjadi saksi atas “fenomenologi kekosongan”. Setiap gestur politik menjadi simulakra: bayangan tanpa wujud asli, gambar tanpa makna yang hidup.

Lebih jauh lagi, teori pascamodernisme, melalui pemikiran tentang dekonstruksi dan permainan
tanda, menunjukkan bahwa dalam ruang semacam ini, tidak ada lagi signifikansi tetap. “Kawan” dan “lawan”  adalah tanda-tanda yang tak memiliki rujukan tetap, melainkan terus igeser sesuai kepentingan. Seseorang bisa menjadi kawan hari ini dan lawan besok, tergantung siapa yang berkuasa. Tanda kehilangan landasan. Retorika kerakyatan, nasionalisme, kesetiaan pada konstitusi; semuanya bisa digunakan oleh siapa saja, bahkan oleh mereka yang diam-diam merancang kudeta lembut terhadap etika demokrasi.

Filsafat kontemporer menggarisbawahi bahwa kekuasaan modern bukan lagi kekuasaan yang brutal secara fisik, melainkan kekuasaan yang halus, tersembunyi, dan bekerja melalui kontrol simbolik. Sosok yang tampak ramah bisa saja adalah arsitek kekacauan, selama publik tidak mampu melihat di balik jubah keramahan itu. Kekuasaan hari ini bekerja melalui fabrikasi narasi, manajemen persepsi, dan pertukaran simbol. Seorang yang terlihat “merangkul” belum tentu berniat menyatukan. Bisa jadi ia hanya sedang menyiapkan panggung untuk menusuk saat panggung berganti.

Situasi ini menjelaskan mengapa hari ini, loyalitas menjadi barang yang cair. Tidak ada lagi garis ideologis yang kokoh. Yang ada hanyalah oportunisme dalam bentuk yang dibungkus seolah-olah demi rakyat, demi stabilitas, atau demi persatuan. Persahabatan politik menjadi semacam transaksi sesaat, dan ketika transaksi itu selesai, pengkhianatan bukan lagi dianggap dosa, tetapi taktik.

Dalam pandangan kerangka teori kritis, keadaan ini disebut sebagai distorsi komunikasi: dialog tidak lagi berangkat dari kehendak rasional yang tulus, tetapi dari kalkulasi kepentingan tersembunyi. Saling dukung hanya terjadi jika ada kompensasi kekuasaan. Koalisi dibentuk bukan berdasarkan visi jangka panjang, melainkan pembagian kursi. Bahkan oposisi pun tak lagi murni sebagai pengawas kekuasaan, tetapi sekadar posisi tawar agar dapat masuk ke lingkar kekuasaan yang lebih besar. Maka, narasi “bersatu demi bangsa”
menjadi retorika kosong, dan rakyat hanya menjadi penonton dalam sandiwara elite.

Filsafat etika kontemporer menyadarkan kita bahwa krisis ini adalah krisis tanggung jawab. Penguasa kehilangan watak etikanya ketika keputusan diambil tanpa pertimbangan terhadap keadilan, kebenaran, atau kesejahteraan kolektif. Tindakan penguasa, dalam etika tanggung jawab, seharusnya mempertimbangkan dampak jangka panjang bagi kehidupan bersama. Namun dalam praksis kita hari ini, tindakan penguasa justru didesain untuk keuntungan jangka pendek: mempertahankan kekuasaan, meredam kritik, dan menciptakan ilusi keberhasilan. Semua dilakukan dengan wajah ramah, dan senyum palsu yang disiarkan di
media.

Dalam refleksi eksistensial, kita menemukan bahwa manusia kontemporer tengah berada dalam krisis keaslian. Ia tak lagi hidup sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai aktor dalam panggung yang menuntut peran tertentu. Keberanian untuk menjadi autentik, untuk menyatakan perbedaan, menolak kooptasi, atau mempertahankan prinsip; menjadi langka. Yang ada justru adalah konformitas yang dibungkus narasi kesatuan. Sosok-sosok yang berani berbeda segera dibungkam dengan dalih tidak sejalan, tidak kooperatif, atau tidak dewasa.

Maka, ketulusan dalam situasi seperti ini menjadi subversif; kejujuran menjadi anomali. Semua ini menunjukkan bahwa kita sedang hidup dalam kondisi krisis episteme: kebingungan mendasar dalam membedakan antara yang asli dan yang palsu, antara yang jujur dan yang manipulatif. Relasi sosial berada dalam medan yang kabur. Kita tak lagi tahu siapa benar-benar kawan, siapa sungguh lawan. Dalam iklim seperti ini, rakyat yang menjadi korban utama: karena mereka tidak memiliki akses terhadap ruang-ruang tersembunyi tempat keputusan strategis diambil. Mereka hanya menerima produk akhir dari manuver elite:
kenaikan harga, pembatasan kebebasan, atau kebijakan-kebijakan yang dibuat atas nama rakyat, tetapi tidak pernah bersama rakyat.

Filsafat kontemporer tidak memberikan solusi sederhana. Ia tidak menawarkan resep revolusi instan atau kepastian moral. Tapi ia menawarkan lensa untuk memahami kompleksitas: bahwa dalam situasi seperti ini, kewaspadaan intelektual menjadi bentuk resistensi. Kita perlu mencurigai keramahan yang terlalu manis, mempertanyakan narasi yang terlalu rapi, dan membongkar keakraban relasi yang tidak dibangun dari nilai.

Kita tidak bisa lagi puas dengan kata-kata indah; karena sering kali, yang paling mematikan justru dibungkus dengan senyum paling hangat. Di titik ini, filsafat kembali menemukan relevansinya. Ia mengajarkan kita untuk berpikir, meragukan, dan tidak terjebak pada permukaan. Bahwa dalam dunia di mana yang tampak
bersahabat bisa jadi adalah yang paling berbahaya, maka satu-satunya jalan adalah menjadi manusia yang berani berpikir secara radikal sampai ke akar. (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Mahasiswa Manajemen Universitas Malahayati Siap Berdampak Melalui Magang 2025

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Manajemen Universitas Malahayati terus berkomitmen mempersiapkan mahasiswanya menjadi lulusan yang adaptif dan siap bersaing di dunia kerja. Sebagai wujud nyata dari komitmen tersebut, Prodi Manajemen menggelar kegiatan “Pembekalan Magang 2025” pada Kamis (4/9/2025) di ruang MCC Bawah Universitas Malahayati, Bandar Lampung.

Acara ini diikuti oleh 320 mahasiswa angkatan 2022, yang akan menjalani program magang sebagai bagian dari kurikulum universitas. Program magang tidak hanya dikonversi ke dalam Satuan Kredit Semester (SKS), tetapi juga bertujuan menjembatani kesenjangan antara teori perkuliahan dengan kebutuhan industri. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan memiliki kompetensi yang memadai, kemandirian, serta peluang kerja yang lebih besar di masa depan.

Kegiatan dibuka langsung oleh Kaprodi Manajemen, Dr. Febrianty, S.E., M.Si., yang dalam sambutannya menyampaikan bahwa magang merupakan kesempatan emas bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan ilmu manajemen di lembaga, perusahaan, atau organisasi dalam jangka waktu tertentu.

“Harapan kami, melalui program ini mahasiswa dapat menumbuhkan dan mengembangkan etos kerja sekaligus mendukung visi Universitas Malahayati sebagai kampus yang berdampak, tidak hanya bagi civitas akademika, tetapi juga masyarakat luas,” ujarnya.

Pembekalan magang menghadirkan tiga pemateri utama dengan topik yang relevan dan aplikatif:
1. Ayu Nursari, S.E., M.E. menyampaikan materi tentang Etika Magang. Ia menekankan pentingnya mahasiswa untuk mengikuti aturan yang berlaku, memperluas jejaring, menjaga nama baik universitas, serta menunjukkan keterampilan dan keterlibatan aktif di tempat magang.
2. Lestari Wuryanti, S.E., M.M. membahas tentang Sidang Magang yang akan menjadi tahap evaluasi setelah program selesai. Menurutnya, sidang magang bukan hanya formalitas, melainkan wadah mahasiswa untuk memaparkan pengalaman, memberikan kontribusi solusi, serta menganalisis permasalahan yang dihadapi mitra tempat magang.
3. Euis Mufahamah, S.E., M.Ak. memaparkan tentang Alur Bimbingan dan Administrasi Magang. Ia menjelaskan kelengkapan dokumen, timeline penyelesaian, hingga pentingnya koordinasi dengan Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) agar proses pelaporan magang berjalan efektif dan berkesinambungan.

Dengan bekal ini, mahasiswa diharapkan tidak hanya mampu melaksanakan tugas-tugas bisnis yang sesuai bidang manajemen, tetapi juga mengembangkan kemandirian, kedisiplinan, serta kemampuan berinteraksi di lingkungan kerja profesional.

Program magang juga menjadi momentum bagi mahasiswa untuk menyalurkan energi muda, kreativitas, dan gagasan inovatif yang dapat memberikan dampak positif bagi mitra tempat magang.

“Melalui pembekalan ini, kami ingin mahasiswa memahami bahwa magang bukan sekadar kewajiban akademik, tetapi kesempatan membangun jati diri profesional yang akan bermanfaat dalam karier mereka ke depan,” pungkas panitia. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Menyiasati Politik Saat Ini, Berlumpur Tak Harus Berkubang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Tulisan ini diilhami oleh diskusi “tanpa bentuk” dengan Herman Batin Mangku (HBM) dalam melihat dan merasakan keadaan negeri yang sedang tidak baik-baik saja: terutama tentang perputaran roda perpolitikan. Tentu hanya melalui medsos kami berdua.

Kami bersepakat bahwa dunia perpolitikan negeri ini sedang menunjukkan wajahnya dari sisi lain. Biasanya dipertontonkan kekuasaan dan keglamoran; -walaupun tidak semua -, namun karena intensitas dan kwantitasnya; maka tampilannya menjadi “menyala”.

Akan tetapi kini, banyak “tendangan sudut” bereliweran; sehingga tidak jarang meminta korban. Ada yang selesai berjoged langsung di jarah, ada yang sedang ngomel berargumentasi menegakkan pembenaran, kena pusaran.

Tampaknya pemilik kedaulatan negeri ini menunjukkan kekuasaanya, walaupun tidak jarang sekaligus “keliarannya” sehingga timbul penjarahan. Tulisan ini mencoba “menghanyutkan diri” pada gelombang itu untuk menyelami, guna mengetahui kemudian memahami apa sebenarnya yang terjadi. karena keterbatasan pengetahuan, maka tulisan ini hanya melihat dari sudut pandang Filsafat kontemporer.

Politik adalah salah satu medan paling nyata dalam kehidupan manusia di mana moral, kekuasaan, kepentingan, dan nilai-nilai saling bersinggungan secara intens. Dalam dunia politik, tidak ada medan yang sepenuhnya bersih.
.
Lumpur menjadi metafora yang tepat untuk menggambarkan kenyataan bahwa dalam perjuangan membentuk, mempertahankan, atau merebut kekuasaan, seseorang hampir tidak bisa menghindari kotornya realitas: kompromi yang melelahkan, manuver taktis yang sering menabrak batas idealisme, dan pilihan-pilihan sulit yang berisiko menodai prinsip.

Akan tetapi, dalam situasi apa pun, keterlibatan dengan lumpur tidak secara otomatis harus menjelma menjadi kubangan. Berlumpur adalah kondisi; berkubang adalah keputusan. Di sinilah letak garis batas moral yang paling fundamental dalam praktik politik: seseorang boleh bersentuhan dengan kotoran, tetapi ia tidak boleh menjadikannya rumah.

Filsafat kontemporer, yang banyak mengangkat isu tentang ambiguitas, krisis makna, dekonstruksi nilai, dan tanggung jawab etis, memberi kita cara pandang yang lebih jujur dalam menilai realitas politik. Politik tidak pernah berjalan dalam ruang steril.Tidak ada keputusan yang benar-benar bersih dari kepentingan, tidak ada sistem yang sepenuhnya netral.

Namun, filsafat juga mengajarkan bahwa keterbatasan bukanlah justifikasi untuk menyerah pada kekotoran. Justru dalam kesadaran akan ambiguitas itulah, manusia politik dituntut untuk mempertahankan kompas moralnya.

Manusia sebagai subjek politik selalu berdiri dalam relasi kuasa: ia adalah makhluk sosial, tetapi juga makhluk strategis. Ia mampu mencintai, tetapi juga mampu memanipulasi. Ia memiliki kesadaran moral, tetapi juga memiliki dorongan egoistik..

Lumpurnya dunia politik adalah cermin dari kompleksitas manusia itu sendiri. Namun, filsafat kontemporer menunjukkan bahwa tindakan etis tidak harus muncul dari kepastian, tetapi bisa lahir dari keterbukaan terhadap kemungkinan.

Artinya, dalam kondisi yang serba tidak pasti sekalipun, manusia tetap memiliki pilihan. Dan pilihan untuk tidak berkubang adalah ekspresi paling dasar dari keberanian moral.

Berkubang berarti menyerah. Bukan hanya menyerah pada sistem, tetapi menyerah pada kehendak untuk menjadi manusia yang bermakna. Ketika seseorang berkubang, ia tidak lagi sekadar menjalani peran dalam sistem; ia telah menyatu dengan sistem yang korup itu, menjadikannya identitas, bahkan membelanya dengan penuh semangat.

Inilah yang disebut kehilangan jarak kritis: saat seseorang tidak lagi mampu membedakan dirinya dari sistem yang ia kritik dahulu. Ketika lumpur sudah dianggap air, dan busuk dianggap biasa, maka kehancuran etis sudah terjadi.

Orang yang berkubang tidak lagi merasa bersalah, karena rasa bersalah dianggap kelemahan. Ia tidak lagi merasa malu, karena malu dianggap hambatan. Ia tidak lagi merasa salah, karena sistem telah mengatur pembenaran untuk segalanya.

Sementara itu, berlumpur adalah kondisi yang disadari. Ia adalah bentuk partisipasi dalam realitas dengan tetap membawa kesadaran kritis. Orang yang berlumpur tahu bahwa langkahnya mungkin tidak selalu bersih, tetapi ia tetap menjaga agar lumpur itu tidak menyentuh inti dirinya.

Ia tetap menjaga ruang batin tempat nilai, penyesalan, empati, dan kejujuran bisa tumbuh. Ia melakukan kompromi, tetapi tidak menyerahkan prinsip. Ia memahami urgensi taktis, tetapi tidak menjadikan taktik sebagai satu-satunya nilai ukur.

Dalam filsafat kontemporer, kesadaran akan keterbatasan bukanlah titik akhir moralitas, tetapi titik tolak etika reflektif. Artinya, tindakan etis justru dimulai ketika seseorang tahu bahwa ia tidak bisa bersih, tapi tetap berusaha tidak kotor lebih dari yang perlu.

Namun demikian, tidak semua orang yang masuk ke dunia politik harus terjerumus. Berlumpur tidak harus berkubang, karena manusia memiliki kapasitas reflektif untuk menolak penyeragaman sistem. Ia bisa bersikap. Ia bisa memilih untuk tidak memanfaatkan kelemahan sistem demi keuntungan pribadi.

Ia bisa menolak untuk menjilat demi jabatan. Ia bisa memilih untuk mundur ketika prinsip-prinsip tidak bisa lagi dipertahankan. Semua ini membutuhkan keberanian eksistensial: keberanian untuk menjadi berbeda, untuk tidak ikut arus, untuk mengambil resiko kehilangan demi mempertahankan nilai.

Berlumpur juga bisa menjadi pengalaman transformasional. Seseorang yang menyadari bahwa politik itu penuh tantangan etis, bisa menjadi pribadi yang lebih bijak. Ia tidak naïf, tetapi juga tidak sinis. Ia tahu bahwa dunia tidak sempurna, tetapi ia tidak membiarkan ketidaksempurnaan itu menjadi alasan untuk apatis.

Dalam filsafat kontemporer, ini disebut sebagai harapan tragis: harapan yang tidak dibangun di atas ilusi, tetapi di atas kenyataan pahit. Harapan ini adalah bentuk perlawanan terhadap nihilisme, terhadap kekosongan moral yang tumbuh dalam sistem yang membusuk.

Kita juga tidak boleh menutup mata terhadap fakta bahwa sistem sering kali mendorong orang untuk berkubang. Struktur kekuasaan, loyalitas buta, tekanan oligarki, media yang dikendalikan, serta budaya permisif membuat banyak orang terpaksa memilih diam atau ikut bermain.

Namun justru dalam tekanan itulah, ujian sesungguhnya muncul. Integritas bukan diuji ketika situasi mudah, tetapi justru ketika seluruh sistem mendorong seseorang untuk menyerah. Dalam tekanan itu, pilihan-pilihan kecil menjadi penting. Menolak suap, tidak berbohong dalam kampanye, tidak memperalat agama atau identitas, semua itu mungkin terlihat kecil, tapi itulah fondasi dari politik yang etis.

Berlumpur tidak harus berkubang, karena makna dari menjadi manusia politik adalah terus menjaga keseimbangan antara realitas dan nilai, antara pragmatisme dan idealisme, antara strategi dan nurani.

Politik bukan hanya soal kekuasaan, tetapi soal tanggung jawab. Dan tanggung jawab ini bukan hanya kepada rakyat, tetapi kepada hati nurani sendiri. Dalam filsafat kontemporer, tanggung jawab semacam ini disebut tanggung jawab yang tak bisa didelegasikan. Tidak bisa digantikan oleh partai, sistem, atau konsultan. Ia hanya bisa dijalani oleh individu yang sadar akan posisinya dalam sejarah.

Maka dalam dunia yang penuh lumpur, kita tidak diminta untuk berjalan tanpa kotor. Itu mustahil. Yang dituntut adalah agar kita tidak menjadikan lumpur sebagai tempat tinggal. Kita boleh berstrategi, tetapi jangan mengorbankan etika. Kita boleh mengalah untuk sementara, tetapi jangan menyerah pada nilai. Kita boleh berdamai dengan kenyataan, tapi jangan melupakan cita-cita. Kita boleh berlumpur, tetapi tidak boleh berkubang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Luka Kolektif Sang Guru

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu seorang pejabat tinggi berucap “Kalau mau kaya jangan jadi guru, jadi pedagang.” Kalimat ini mengalir deras ke ruang publik, mengguncang relung kesadaran banyak orang, terutama mereka yang memilih menjadi guru bukan karena tergiur kekayaan, melainkan karena cinta pada ilmu dan pengabdian. Di permukaan, kalimat ini tampak seperti nasihat praktis. Namun jika ditilik dari kacamata filsafat manusia, ucapan itu menyimpan muatan penghinaan yang jauh lebih dalam. Ia bukan hanya menyudutkan profesi, tetapi menohok martabat manusia sebagai makhluk pencari makna. Ia menihilkan nilai pengabdian dan mengagungkan kekayaan sebagai ukuran tunggal kesuksesan dan kebermaknaan hidup. Sekalipun pejabat ini kemudian meminta maaf, tetapi narasi itu sudah menjadi luka kolektif.

Hal ini terjadi “mungkin” maksud beliau baik bahkan mulia, hanya karena diucapkan pada waktu dan tempat yang tidak tepat; akhirnya beliau “dirujak” oleh netizen yang pada umumnya dari generasi milenial, bahkan generasi Z, atau juga Alfa; yang parameter dan value-nya sudah berbeda dengan era beliau.

Tulisan ini mencoba melihat dari sudut pandangan filsafat manusia atas perbedaan sudut pandang itu. Filsafat yang menyatakan bahwa manusia itu tidak sekadar makhluk biologis yang hidup untuk bertahan, berkembang biak, dan mencari makan. Manusia adalah makhluk pencari makna, makhluk yang bertanya, merenung, dan menciptakan nilai-nilai untuk menafsirkan eksistensinya di dunia.

Pekerjaan, dalam konteks ini, bukan hanya alat untuk memperoleh nafkah, tetapi juga medan di mana manusia mewujudkan dirinya. Ketika seseorang memilih menjadi guru, sering kali keputusan itu lahir dari hasrat eksistensial untuk terlibat dalam proses transformasi manusia. Guru bukan hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga membentuk kesadaran, menanamkan nilai, dan mendampingi tumbuhnya manusia menjadi pribadi utuh.

Bayangkan, guru yang harus mendampingi anak Taman Kanak-kanak yang sedang tumbuhkembang baik fisik maupun pribadinya, harus tekun dan sabar dalam segala hal, demi sang anak didik. Namun ketika seorang pemimpin berkata “jangan jadi guru, jadi pedagang kalau mau kaya,” ia sedang menyingkirkan seluruh dimensi eksistensial itu dan menggantinya dengan kalkulasi ekonomi. Ia sedang mengerdilkan makna profesi menjadi sekadar alat untuk mengumpulkan kekayaan. Ia sedang mereduksi manusia menjadi agen ekonomi belaka, seolah nilai tertinggi dalam hidup adalah kemampuan untuk memperbesar kapital.

Pandangan ini, jika diterima secara luas, akan menimbulkan kehancuran batin kolektif. Masyarakat akan bergerak ke arah di mana nilai dan martabat tidak lagi ditentukan oleh kontribusi terhadap kehidupan bersama, tetapi oleh jumlah materi yang berhasil dikuasai secara pribadi.

Ucapan tersebut menyakitkan, bukan hanya karena menyatakan kenyataan pahit, tetapi karena ia diucapkan dari posisi kuasa, dengan nada seolah wajar, tanpa rasa bersalah. Ketika pejabat tinggi negara melontarkan kalimat seperti itu, ia bukan sedang memberi nasihat, melainkan sedang menyampaikan pesan ideologis: bahwa negara tidak akan pernah benar-benar berpihak pada profesi guru, dan bahwa siapa pun yang memilih jalan pengabdian, harus siap menanggung konsekuensi ekonomi yang memiskinkan. Kalimat itu menjadi bentuk kekerasan simbolik yang mengoyak harga diri guru, membuat mereka seolah bersalah karena tidak memilih menjadi pedagang.

Dalam sejarah kemanusiaan, guru adalah simbol peradaban. Merekalah yang menjaga nyala api pengetahuan ketika zaman dilanda kegelapan. Mereka menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan, antara yang tidak tahu menjadi tahu, antara yang belum menjadi telah. Guru adalah penjaga nilai-nilai, penggerak kesadaran, penabur benih peradaban. Namun dalam masyarakat yang telah terkooptasi oleh nilai-nilai kapitalistik, peran mulia ini direduksi menjadi pekerjaan rendahan karena tidak menghasilkan kekayaan finansial. Di sinilah kita menyaksikan paradoks menyakitkan: mereka yang paling berjasa dalam membentuk manusia justru dianggap gagal sebagai manusia karena tidak kaya.

Jika manusia diukur dari kekayaannya, maka semua bentuk pengabdian akan dianggap sebagai kebodohan. Guru, relawan, pekerja sosial, aktivis, bahkan seniman, akan diletakkan di bawah hierarki masyarakat. Orang akan diajarkan sejak kecil bahwa yang penting bukan menjadi berarti, tetapi menjadi kaya. Bahwa yang penting bukan dampak sosial dari pekerjaanmu, tetapi seberapa besar kamu bisa menikmati hidup mewah. Dan dari situ, akan lahir generasi yang cerdas secara teknis tetapi kosong secara etis. Generasi yang berpikir cepat tapi tidak berpikir dalam. Generasi yang pandai mencari uang tapi miskin rasa tanggung jawab sosial.

Filsafat manusia menolak reduksi ini. Ia melihat manusia sebagai makhluk yang otonom, yang memiliki kehendak bebas dan tanggung jawab moral. Ketika seseorang memilih menjadi guru, ia sedang memilih jalan eksistensial untuk membaktikan dirinya bagi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri. Ia sedang mengatakan bahwa hidup bukan hanya tentang mengisi rekening, tetapi juga mengisi jiwa orang lain. Ia sedang menyatakan bahwa nilai hidupnya bukan ditentukan oleh jumlah harta, melainkan oleh seberapa besar dampaknya terhadap kehidupan orang lain.
Sehingga, ketika suara dari atas kekuasaan meremehkan pilihan eksistensial itu, maka yang terjadi bukan hanya kekeliruan logika, tetapi kekeliruan moral.

Ucapan itu melukai tidak hanya hati guru, tetapi juga melukai hati semua orang yang percaya bahwa hidup bermakna tidak harus identik dengan kaya. Ia merusak semangat orang-orang yang bekerja dalam kesunyian, yang tetap mengabdi meski upah tak sepadan, yang tetap mendidik dengan hati meski tubuh mereka lelah, dan perut mereka kosong. Mereka sadar betul bahwa rezeki itu sudah ditentukan oleh Sang Maha Pencipta dengan tidak atas dasar profesi; sementara bekal akhirat ditentukan oleh amal perbuatan saat di dunia. Selamat berjuang para guru, kami selalu membersamaimu, dan “di setiap orang hebat ada kontribusi guru untuk menumbuhkembangkan kehebatan itu”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Magister Akuntansi Universitas Malahayati Gelar Workshop Revisi Kurikulum

BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Program Studi Magister Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Manajemen Universitas Malahayati menggelar Workshop Revisi Kurikulum di Ruang Rapat Gedung Rektorat Universitas Malahayati, Kamis (4/9/2025). Kegiatan ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat mutu pendidikan dan menyesuaikan kurikulum dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, serta kebutuhan dunia kerja dan profesi akuntansi.

Acara dibuka secara resmi oleh Kepala Lembaga Penjaminan Mutu Internal (LPMI) Universitas Malahayati, Dr. M. Arifki Zainaro, S.Kep., Ns., M.Kep., yang dalam sambutannya menegaskan pentingnya peran kurikulum sebagai fondasi utama dalam mencetak lulusan yang tidak hanya berkompeten secara akademik, tetapi juga mampu beradaptasi dengan perubahan global.

Hadir sebagai narasumber dalam workshop ini, Dr. Agriyanti Komalasari dan Dr. Fajar Gustiawaty, yang memberikan pemaparan mengenai arah pengembangan kurikulum sesuai standar nasional pendidikan tinggi, tren internasional, serta tuntutan dunia profesional akuntansi yang semakin kompleks.

Ketua Program Studi Magister Akuntansi, Dr. E. Azli Fahrizal, SE., M.Si., yang berhalangan hadir, diwakili oleh Muhammad Lutfi, SE., M.Si., dosen Magister Akuntansi sekaligus Ketua Program Studi S1 Akuntansi. Dalam sambutannya, ia menegaskan bahwa revisi kurikulum ini merupakan bentuk komitmen Prodi S2 Akuntansi untuk menghadirkan pembelajaran yang relevan, visioner, dan mampu menjawab tantangan zaman.

“Workshop ini dilaksanakan sebagai upaya untuk menyesuaikan kurikulum dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, regulasi, serta kebutuhan dunia kerja dan profesi akuntansi yang terus berubah. Dengan adanya revisi kurikulum, kami berharap Program Studi Magister Akuntansi mampu menghasilkan lulusan yang kompeten, adaptif, serta memiliki daya saing di tingkat nasional maupun internasional,” ujar Lutfi saat membacakan sambutan.

Ia juga menambahkan bahwa penyusunan kurikulum yang relevan dan berkualitas membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. “Forum ini menjadi wadah penting untuk berdiskusi, menyelaraskan pandangan, serta merumuskan kurikulum yang sesuai dengan visi dan misi program studi. Kami berterima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam kegiatan ini,” imbuhnya.

Workshop tersebut turut dihadiri oleh para dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, alumni, stakeholder, serta mitra eksternal. Kehadiran berbagai elemen ini menunjukkan sinergi yang kuat dalam mewujudkan pendidikan tinggi akuntansi yang lebih unggul, berdaya saing, dan berintegritas.

Dengan terselenggaranya workshop ini, Universitas Malahayati melalui Program Studi Magister Akuntansi berharap dapat melahirkan generasi profesional akuntansi yang siap menjawab tantangan global sekaligus memberikan kontribusi nyata bagi pembangunan bangsa. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 12 Rabiul Awal 1447 H, Meneladani Akhlak Rasulullah untuk Keberkahan Umat, Bangsa, dan Negara

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Umat Islam di seluruh penjuru dunia tengah merayakan hari penuh makna, yakni Maulid Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal 1447 Hijriah. Peringatan ini bukan sekadar momentum mengenang kelahiran Rasulullah SAW, tetapi juga menjadi saat yang tepat untuk menumbuhkan kembali kecintaan, menghidupkan teladan akhlak mulia, serta memperkuat ukhuwah dalam membangun umat, bangsa, dan negara.

Maulid Nabi Muhammad SAW senantiasa menghadirkan pesan spiritual yang mendalam. Kelahiran beliau membawa cahaya bagi peradaban, menjadi rahmat bagi semesta alam, dan menjadi sumber inspirasi bagi umat manusia dalam meniti jalan kebenaran. Nilai-nilai luhur seperti kejujuran, amanah, kasih sayang, serta kepedulian sosial adalah warisan agung Rasulullah SAW yang senantiasa relevan dalam kehidupan modern saat ini.

Universitas Malahayati mengucapkan selamat memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW 12 Rabiul Awal 1447 Hijriah kepada seluruh umat Islam, baik sivitas akademika maupun masyarakat luas. Momen penuh makna ini menjadi pengingat akan kelahiran junjungan besar Nabi Muhammad SAW, yang hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam dan teladan utama bagi umat manusia.

Semoga peringatan Maulid ini semakin menumbuhkan rasa cinta kepada Rasulullah SAW, menginspirasi kita untuk meneladani akhlak beliau dalam kehidupan sehari-hari, serta meneguhkan semangat kebersamaan dalam membangun masyarakat yang penuh dengan nilai keadilan, persaudaraan, dan kasih sayang.

Selain itu, momentum Maulid Nabi Muhammad SAW juga diharapkan mampu menjadi energi spiritual yang menggerakkan umat untuk lebih berkontribusi dalam pembangunan bangsa. Dengan semangat kebersamaan dan persatuan, umat Islam dapat berperan aktif dalam mewujudkan negara yang penuh keberkahan, maju, serta berdaya saing di kancah global.

Mari jadikan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW tahun ini sebagai pengingat sekaligus pendorong untuk memperbaiki diri, mempererat ukhuwah, dan memperkokoh komitmen kita dalam menebar manfaat bagi sesama. Dengan meneladani ajaran dan akhlak Rasulullah SAW, insyaAllah kita akan meraih keberkahan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Program Studi Kebidanan Dan Farmasi Universitas Malahayati Perkenalkan Jahe Merah Dalam Sediaan Dried Ginger Sebagai Analgesik Kewanitaan

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Dosen dan mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) Universitas Malahayati kembali menunjukkan komitmennya dalam mendukung kesehatan masyarakat melalui program pengabdian kepada masyarakat (PkM). Kali ini, tim dosen dan mahasiswa berfokus pada optimalisasi penggunaan jahe merah sebagai analgesik kewanitaan dalam bentuk dried ginger. Kegiatan ini berlangsung di Kelurahan Kebon Jeruk, Kota Bandar Lampung, Kamis (24/7/2025).

Program PkM ini merupakan bagian dari hibah yang didanai oleh Direktorat Riset dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi melalui Program Pemberdayaan Berbasis Masyarakat. Hibah tersebut didasarkan pada pengumuman pendanaan kegiatan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Tahun Anggaran 2025 dengan nomor 0070/C3/AL.04/2025.

Tim pelaksana kegiatan berasal dari dua program studi, yaitu Kebidanan dan Farmasi. Dari Prodi Kebidanan hadir dosen Ana Mariza, S.ST., M.Kes., dan Sunarsih, S.SiT., Bdn., M.Kes., sementara dari Prodi Farmasi hadir apt. Annisa Primadianti, S.Farm., M.Sc. Kegiatan ini juga didukung oleh mahasiswa, yakni Arin Anida (Prodi Kebidanan) dan Anissa Fitriani (Prodi Farmasi).

Kegiatan diikuti oleh 22 peserta yang terdiri dari ibu-ibu PKK Kelurahan Kebon Jeruk. Ketua pelaksana, Ana Mariza, dalam sambutannya menjelaskan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk menurunkan angka dismenorea yang cukup tinggi di wilayah tersebut. Data menunjukkan, terdapat 198 perempuan usia subur atau sekitar 54% dari jumlah populasi yang mengalami dismenorea.

“Padahal, 50% masyarakat sudah menanam jahe merah, namun pemanfaatannya sebagai terapi nonfarmakologi masih sangat minim. Melalui kegiatan ini, kami ingin mengenalkan alternatif pengobatan alami sekaligus meningkatkan keterampilan masyarakat dalam mengolah jahe merah menjadi produk bernilai guna,” jelas Ana.

Dalam kegiatan ini, Prodi Kebidanan memberikan sosialisasi mengenai dismenorea, disertai pengukuran tingkat nyeri menggunakan kuesioner NRS (Numeric Rating Scale). Sementara itu, tim dari Prodi Farmasi yang dipimpin apt. Annisa Primadianti, menyampaikan materi tentang kandungan dan manfaat jahe merah sebagai terapi nonfarmakologi dismenorea.

Selain itu, masyarakat juga diberikan pelatihan inovatif berupa pengolahan jahe merah menjadi dried ginger menggunakan teknologi sederhana. Proses ini melibatkan mesin pencuci dan pengupas jahe, mesin pengiris, serta Food Dehydrator Machine. Dengan cara ini, jahe merah dapat diolah menjadi bentuk kering yang praktis, tahan lama, dan bisa dikonsumsi kapan saja saat dibutuhkan.

“Pemanfaatan dried ginger ini diharapkan mampu mengurangi ketergantungan masyarakat pada obat-obatan kimia dalam jangka panjang, yang berisiko menimbulkan efek samping,” ungkap Annisa.

Lurah Kebon Jeruk dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas inisiatif Universitas Malahayati yang menghadirkan solusi praktis dan edukatif bagi masyarakat. “Selama ini, belum pernah ada sosialisasi tentang pemanfaatan jahe merah secara tepat. Kami berharap kegiatan ini dapat terus berkelanjutan dan memberi dampak nyata bagi kesehatan perempuan di wilayah kami,” ujarnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua PKK Kelurahan Kebon Jeruk. Menurutnya, dengan adanya pelatihan ini, masyarakat tidak hanya mendapatkan pengetahuan tetapi juga keterampilan untuk memanfaatkan tanaman obat keluarga. “Kami berharap ibu-ibu PKK dapat mengaplikasikan ilmu ini dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pengobatan dismenorea bisa dilakukan dengan cara yang lebih aman, murah, dan mudah,” ucapnya.

Atas terselenggaranya kegiatan ini, tim pengabdian mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Direktorat Riset dan Pengembangan melalui kontrak nomor 198/LL2/DT.05.00/PM/2025, LPPM Universitas Malahayati, serta Kelompok PKK Kelurahan Kebon Jeruk, Kota Bandar Lampung yang telah mendukung penuh keberhasilan program. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Program Studi S1 Akuntansi Universitas Malahayati Raih Akreditasi “Baik Sekali” dari LAMEMBA

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Rektor beserta seluruh sivitas akademika Universitas Malahayati menyampaikan ucapan selamat dan apresiasi setinggi-tingginya kepada Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malahayati atas pencapaian prestisius berupa Akreditasi “Baik Sekali”. Pengakuan ini resmi diberikan melalui Surat Keputusan LAMEMBA No. 2653/DE/A.5/AR.10/VIII/2025.

Capaian ini menjadi bukti nyata komitmen Universitas Malahayati, khususnya Program Studi Akuntansi, dalam menjaga serta meningkatkan mutu pendidikan tinggi. Proses panjang yang dilalui merupakan hasil kerja keras dan kolaborasi antara dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, alumni, serta dukungan penuh dari berbagai pihak yang senantiasa berperan aktif dalam pengembangan kualitas akademik.

Rektor Universitas Malahayati, Dr. Muhammad Kadafi, SH., MH mengungkapkan rasa bangga dan syukur atas pencapaian ini. “Akreditasi Baik Sekali ini adalah hasil dari dedikasi, kerja keras, dan komitmen seluruh keluarga besar Universitas Malahayati. Semoga keberhasilan ini semakin memacu semangat kita semua untuk melahirkan lulusan yang unggul, berintegritas, dan berdaya saing global,” ujar Rektor.

Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malahayati sendiri terus berupaya mengembangkan kurikulum, meningkatkan kualitas pengajaran, memperkuat penelitian, serta memperluas jejaring kerja sama dengan berbagai institusi, baik di dalam maupun luar negeri. Langkah-langkah strategis tersebut dilakukan sebagai wujud nyata dalam mencetak sumber daya manusia yang tidak hanya kompeten di bidangnya, tetapi juga siap menghadapi tantangan global.

Pencapaian akreditasi ini diharapkan menjadi motivasi baru untuk semakin memperkuat kontribusi Universitas Malahayati dalam mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan tinggi yang berkualitas.

Selamat dan sukses untuk Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Malahayati! (gil)

Editor: Gilang Agusman

Orang Lapar Jangan Suruh Sabar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada satu kanal media sosial seorang tokoh agama yang sangat terkenal di negeri ini, memberi ungkapan dalam ceramahnya “Orang Lapar Jangan Suruh Sabar”. Ungkapan ini sekilas terdengar seperti amarah spontan, keluhan keras dari mereka yang terjepit dalam himpitan hidup.

Jika ditelisik lebih dalam, kalimat ini menyimpan muatan filosofis yang kuat berkaitan dengan martabat manusia, tentang hak dasar untuk hidup layak, dan tentang relasi kuasa antara yang kenyang dan yang lapar, antara yang berada dan yang tertindas. Dalam realitas sosial Indonesia hari ini, ungkapan ini terasa seperti tamparan bagi narasi besar yang kerap dikumandangkan dari mimbar-mimbar kekuasaan: ajakan bersabar, menahan diri, tawakal, atau menerima nasib. Tapi adakah makna moral dari sabar ketika perut tak terisi.

Manusia adalah makhluk yang mengalami dunia melalui tubuhnya. Filsuf eksistensial seperti Merleau-Ponty mengingatkan kita bahwa tubuh bukan sekadar alat, melainkan pusat pengalaman eksistensial. Rasa lapar, dalam konteks ini, bukan hanya masalah perut kosong. Ia adalah sinyal keterbatasan, penderitaan, dan pernyataan keras bahwa ada sesuatu yang tidak berjalan semestinya dalam tatanan hidup kita. Dalam masyarakat modern yang kerap menjadikan angka statistik sebagai dasar kebijakan, rasa lapar seseorang sering tenggelam dalam rata-rata pendapatan nasional. Di balik jargon pertumbuhan ekonomi, inflasi terkendali, atau surplus APBN, ada jutaan wajah yang terpaksa tidur tanpa makan, anak-anak yang gagal tumbuh karena gizi buruk, dan orang tua yang menjual apa saja demi menyambung hidup.

Ketika seseorang dalam keadaan lapar diberi nasihat untuk bersabar, sering kali nasihat itu bukan datang dari sesama penderita, melainkan dari mereka yang tidak merasakan lapar itu. Dari podium kekuasaan atau layar media, mereka yang hidup berkecukupan berbicara tentang pentingnya menahan diri, tentang rezeki yang sudah diatur Tuhan, tentang ujian hidup yang harus dilalui dengan ikhlas. Di sinilah kita melihat jurang empati yang dalam. Kesabaran yang diajarkan menjadi senjata moral yang membungkam, bukan membebaskan. Ia menjadi dalih untuk menunda keadilan, menahan amarah kolektif, dan mempertahankan status quo yang timpang. Dan, ini seolah menjadi senjata ampuh untuk menekan mereka yang lapar.

Dalam kerangka etika filsafat, respons terhadap penderitaan orang lain seharusnya bukan berupa ceramah, melainkan tindakan. Emanuel Levinas, seorang filsuf Prancis, berbicara tentang bagaimana wajah orang lain adalah panggilan etis. Wajah orang lapar bukan hanya permintaan bantuan, tapi tuntutan moral yang tak bisa ditolak. Kita tidak hanya dihadapkan pada rasa iba, tapi pada tanggung jawab untuk bertindak.

Kesabaran, dalam konteks ini, bukan lagi kebajikan ketika ia digunakan untuk menutup mata dari panggilan kemanusiaan yang mendesak. Dan, bukan menjadi pelarian dari tanggung jawab. Apalagi jika kita melihat kondisi negeri kita hari ini. Ketimpangan ekonomi masih tinggi, akses terhadap pangan dan pekerjaan layak masih menjadi kemewahan bagi banyak orang. Petani kian terpinggirkan, nelayan bergantung pada cuaca dan harga pasar yang tak adil, pekerja informal kehilangan penghasilan karena kebijakan yang tidak berpihak. Ketika suara mereka muncul dalam bentuk demonstrasi, kritik, atau bahkan sekadar permintaan agar harga sembako tidak naik, jawaban yang diberikan kerap berupa retorika: “Bersabarlah, ini ujian,” atau lebih menyakitkan lagi, “Kalian harus bersyukur masih hidup.” Lebih menyakitkan lagi “kita beda level, kalian rakyat jelata sedang kami pejabat”. Dalam masyarakat seperti ini, penderitaan tidak hanya menjadi beban ekonomi, tapi juga menjadi beban moral yang disangkal dan diseret ke dalam ranah keagamaan atau spiritual, agar tidak terlalu membebani negara atau mereka yang diuntungkan oleh sistem. Termasuk penjelasan yang menyakitkan dengan berkedok penyamaan ajaran agama dengan produk kekuasaan. Padahal, teori keadilan modern seperti yang dikemukakan John Rawls menegaskan bahwa masyarakat yang adil adalah masyarakat yang paling berpihak pada mereka yang paling lemah.

Ketika negara atau sistem gagal memberikan pangan dan pekerjaan, maka yang gagal bukan rakyat, tetapi negara itu sendiri. Maka menjadi paradok ketika yang lapar malah diminta lebih sabar, seolah sabar itu adalah solusi utama dalam menghadapi struktur sosial yang timpang dan menindas.

Lebih dalam lagi, kita bisa melihat bagaimana narasi kesabaran ini sebenarnya adalah bentuk kekerasan simbolik yang dijelaskan oleh Pierre Bourdieu. Kekerasan simbolik adalah bentuk dominasi yang tidak tampak kasar, tapi bekerja secara halus melalui bahasa, nilai, dan budaya. Ia menanamkan dalam benak rakyat bahwa nasib mereka adalah hasil dari kurangnya doa, kurangnya kerja keras, atau kurangnya iman; padahal seringkali yang terjadi adalah ketidakadilan struktural yang dibiarkan terus berlangsung, bahkan cenderung masif.

Menjadi ironi lagi adalah bagaimana agama, yang sejatinya berpihak kepada kaum tertindas, justru sering dijadikan alat untuk menjustifikasi ketimpangan. Nabi Muhammad dalam banyak hadits menekankan pentingnya solidaritas sosial, bahkan menyebut bahwa orang yang tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan tidak benar-benar beriman. Namun, dalam praktik sosial hari ini, ajaran-ajaran ini sering diredam oleh tafsir-tafsir yang lebih nyaman bagi kekuasaan. Orang miskin didorong untuk tetap sabar dan tidak iri, tapi lupa bahwa keadilan sosial juga merupakan perintah agama.

Dalam titik ini, kita harus bertanya: apa sebenarnya makna sabar dalam konteks sosial politik. Apakah sabar berarti menerima apa adanya, atau sabar adalah ketekunan dalam memperjuangkan keadilan. Mungkin sudah waktunya kita harus mulai melihat sabar sebagai sikap aktif, bukan pasif. Sabar bukan berarti diam, tapi terus bertahan dan bergerak dalam perjuangan. Orang lapar tidak seharusnya disuruh sabar untuk menunggu bantuan yang entah kapan datangnya, tetapi didukung agar mereka bisa hidup layak, bekerja dengan adil, dan berdaya secara ekonomi.

Kesabaran bukan kebajikan ketika ia hanya dituntut dari mereka yang tertindas, sementara mereka yang berkuasa menikmati hasil sistem yang timpang. Kesabaran bukan keutamaan ketika ia digunakan untuk membungkam kritik dan protes yang sah. Sebaliknya, kesabaran harus menjadi milik mereka yang memiliki kekuasaan: sabar untuk mendengarkan rakyat, sabar dalam menahan nafsu korupsi, sabar dalam mengabdi pada keadilan, sabar untuk tidak asal bicara, apalagi sampai menyakitkan nurani masyarakat.

Realitas hari ini menuntut kita untuk mengubah narasi. Kita tidak bisa terus-menerus memintakan kesabaran dari mereka yang kelaparan. Kita harus mulai membicarakan hak atas pangan, hak atas pekerjaan, hak atas kehidupan yang lebih layak sebagai bagian dari martabat manusia. Kita harus menyadari bahwa setiap orang yang lapar adalah pengingat akan kegagalan kita sebagai masyarakat.

Dan, kita harus mengubah arah spiritualitas dan moralitas kita. Bukan moralitas yang mengajar rakyat untuk pasrah, tetapi moralitas yang mendorong solidaritas dan keberpihakan. Bukan spiritualitas yang membuat orang miskin merasa berdosa karena lapar, tetapi spiritualitas yang membuat orang kenyang merasa bersalah karena membiarkan orang lain kelaparan. Maka, ketika seseorang berkata, “Orang lapar jangan suruh bersabar,” itu bukan sekadar luapan emosi. Itu adalah protes filosofis, sebuah gugatan terhadap sistem yang membiarkan kesenjangan terus melebar. Itu adalah seruan agar kita semua berhenti mencuci tangan dari tanggung jawab sosial.

Kesabaran tidak boleh menjadi topeng bagi ketidakpedulian. Kesabaran yang sejati adalah yang mengakar pada rasa cinta dan tanggung jawab, yang menolak melihat penderitaan sebagai kewajaran. Kesabaran yang sejati adalah kesabaran yang melahirkan gerakan, bukan kebungkaman. Dan sampai yang lapar bisa makan, yang miskin bisa hidup layak, dan yang tertindas mendapat keadilan; mungkin sudah waktunya kita berhenti menyuruh mereka bersabar, dan mulai bertindak. Semoga peristiwa yang baru berlalu di negeri ini menjadi pembelajaran bagi kita semua bahwa, ada kuwajiban moral dan sosial yang selama ini terabaikan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman