Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Apakah karena kebanyakan tidur, atau susah tidur, malam kedua taun baru Hijriyah ini terbangun dini hari. Dan, karena mata tidak lagi mau dipejamkan, maka diputuskan untuk bangun dan merenung bersama secangkir kopi yang dibuat sendiri. Sambil menikmati antara pahit dan manisnya kopi, perjalanan angan dimulai sebagai refleksi, kontemplasi, sekaligus “mesu budi” (bahasa Jawa yang arti harfiahnya: mengendalikan diri secara fisik dan mental untuk menjaga kesehatan, budi pekerti, dan keseimbangan spiritual), kepada Yang Maha Tinggi. Karena itu adalah satu momen yang bagi penulis tetap sakral, tetap jujur, dan tetap manusiawi: “secangkir kopi di dini hari”.
Barangkali bagi sebagian orang, kopi dini hari hanyalah kebiasaan atau kebutuhan akan kafein. Tetapi bagi penulis itu lebih dari sekadar minuman; tetapi itu adalah ritual. Momen hening yang membuka ruang batin untuk berbicara dengan diri sendiri. Dalam sunyi yang tidak diisi oleh suara manusia lain atau tekanan sosial, secangkir kopi menjadi simbol kesadaran eksistensial. Ia adalah jeda di antara hari kemarin dan hari yang akan datang, disitulah saat kita bisa melihat ke dalam diri, melihat siapa kita di balik segala label, dan bertanya kembali kepada diri: apa arti menjadi manusia ini ?
Aliran filsafat eksistensial, terutama yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, hingga Jean-Paul Sartre, manusia adalah makhluk yang ditakdirkan untuk terus bertanya tentang makna dirinya. Kita hidup di dunia yang tidak menawarkan jawaban pasti, dan justru karena itulah kita bebas, namun sekaligus cemas. Eksistensi mendahului esensi, kata Sartre. Artinya, manusia tidak dilahirkan dengan makna bawaan; kita harus menciptakan makna itu sendiri melalui pilihan, tindakan, dan kesadaran akan keberadaan kita.
Kopi dini hari menjadi medium reflektif untuk menyadari kebebasan dan tanggung jawab pribadi. Tidak ada yang memaksa untuk bangun pukul dua dini hari untuk menjerang air. Tetapi saat kita memilih untuk melakukannya, memilih untuk hadir dalam ruang sunyi, dan mulai menyusun ulang serpihan-serpihan diri yang tercecer dalam keseharian. Di saat seperti ini, kita tidak sedang menjadi “seseorang” dalam arti ; bukan pekerja, bukan kakek dari cucu-cucu, bukan pasangan, bukan warga negara. Tetapi hanya manusia, yang hidup, yang merasa, dan yang berpikir. Persis seperti yang dikatakan oleh René Descartes, “Cogito, ergo sum”—“Aku berpikir, maka aku ada.” Didalam kesadaran akan pikiran sendiri-lah, keberadaan diri itu ditegaskan.
Kopi, bagi sebagian orang, adalah simbol produktivitas. Tapi dalam momen dini hari, kopi lebih menyerupai simbol kesementaraan. Ia hangat, aromatik, dan nikmat. Namun itu hanya sesaat. Dalam beberapa menit kemudian, panasnya memudar, aromanya hilang, dan cairan hitam itu tinggal endapan di dasar cangkir. Hal itu mengingatkan kita pada hidup yang juga sementara. Kita dilahirkan, berkembang, bersinar sebentar, lalu meredup kembali, dan bersiap untuk “kembali”.
Martin Heidegger, filsuf Jerman, menyebut manusia sebagai Dasein, makhluk yang “ada di dunia” dan menyadari bahwa suatu hari ia akan tiada. Kesadaran akan kematian bukan untuk ditakuti, melainkan menjadi motivasi untuk hidup lebih otentik. Setiap kali menyeruput kopi dalam hening, kita merasa sedang menjalani hidup secara sadar. Kita tidak hanya hidup karena harus, tapi karena kita memilih untuk hadir, dan untuk menikmati, untuk merenung, serta untuk merasakan. Karena pada dini hari menawarkan sesuatu yang tak bisa ditiru oleh waktu lain: kesunyian. Dunia masih tidur, jalanan masih kosong, dan suara yang tersisa hanyalah detak jam dan hembusan napas sendiri. Dalam sunyi itu, kita berhadapan langsung dengan realitas batin, dengan pertanyaan yang tak terjawab, dengan luka yang belum sembuh, dan harapan yang belum terucap.
Sayangnya, kebanyakan manusia modern takut pada sunyi. Kita sibuk mencari distraksi: media sosial, musik, notifikasi, obrolan ringan. Tapi dalam sunyi, kita bertemu dengan hal yang paling penting: kejujuran diri. Oleh sebab itu dalam filsafat manusia sangat menekankan pentingnya diam. Dalam diam, kita bisa melihat dunia sebagaimana adanya, tanpa bias, tanpa ego. Menyecap kopi dalam sunyi bukan berarti melarikan diri, tapi justru menghadapi kehidupan dengan penuh keberanian dan kesadaran.
Kebebasan, dalam pemikiran Sartre, bukanlah kenyamanan. Ia adalah beban, karena dengan kebebasan, datanglah tanggung jawab. Kita tidak bisa menyalahkan Tuhan, takdir, atau orang lain atas hidup yang kita jalani. Dalam konteks ini, bahkan memilih untuk bangun dan menyeduh kopi adalah bentuk kebebasan eksistensial. Kita tidak melakukannya karena diperintah, tapi karena saya memilih untuk hadir, untuk memaknai waktu saya sendiri.
Kopi dini hari juga bisa menjadi metafora dari pilihan hidup yang tidak umum. Ketika dunia memilih tidur, kita memilih terjaga. Ketika orang lain mengejar produktivitas sejak matahari terbit, kita mengejar kesadaran sejak fajar. Ini bukan soal menjadi berbeda, tapi soal menjadi sejati. Kebebasan manusia bukan hanya soal memilih karier atau pasangan hidup, tapi juga tentang bagaimana ia mengisi waktunya, juga termasuk waktu sunyi yang tidak dianggap penting oleh kebanyakan orang.
Kita tidak sedang mengkultuskan kopi. Tetapi percaya bahwa manusia membutuhkan simbol dan ritual kecil dalam keseharian agar tetap waras. Kita terlalu sering mengejar hal besar, seperti jabatan, gelar, proyek besar; sehingga lupa bahwa keindahan hidup terletak pada hal kecil yang dijalani dengan penuh makna. Dan secangkir kopi yang diseduh perlahan di tengah sunyi adalah salah satunya. Didalam dunia yang makin bising dan cepat, kita butuh lebih banyak ruang untuk hening. Kita butuh lebih banyak pagi yang lambat, kopi yang diseduh perlahan, dan waktu untuk berpikir tanpa distraksi. Bukan karena kita malas, tapi karena kita manusia. Dan menjadi manusia berarti bukan hanya bergerak dan bekerja, tapi juga merasa, bertanya, dan menemukan makna. Maka dari itu; menulis opini ini bukan untuk mengajak semua orang minum kopi pagi-pagi. Tetapi untuk mengajak kita semua berhenti sejenak. Untuk menepi dari kejaran waktu, dan mulai mendengarkan kembali suara hati yang mungkin sudah lama kita abaikan. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati dan KPU Kota Bandar Lampung Jalin Kerja Sama Strategis, Perkuat Sinergi Pendidikan dan Demokrasi
Hadir dalam kegiatan ini Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, SH., MH, didampingi sejumlah dosen Fakultas Hukum serta Kepala Humas dan Protokol Universitas Malahayati, Emil Tanhar, S.Kom. Kedatangan rombongan disambut langsung oleh Ketua KPU Kota Bandar Lampung, Arie Oktara, S.I.P., M.A bersama jajaran staf dan komisioner KPU.
“Melalui perpanjangan kerja sama ini, kami berharap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Malahayati dapat memperoleh pengalaman langsung di lapangan, khususnya dalam proses kepemiluan dan tata kelola lembaga negara. Program magang dan kegiatan penelitian bersama menjadi pintu awal untuk mendekatkan dunia akademik dengan praktik demokrasi di Indonesia,” ujarnya.
“KPU Kota Bandar Lampung terbuka bagi dunia pendidikan, khususnya dalam membangun pemahaman kepemiluan yang kuat sejak dini. Kami sangat menyambut baik kontribusi dari mahasiswa dan akademisi untuk bersama-sama menciptakan pemilu yang partisipatif, inklusif, dan berkualitas,” jelasnya.
“Kolaborasi ini tidak hanya memberikan manfaat bagi mahasiswa dan institusi, tetapi juga mendukung upaya penguatan demokrasi dan partisipasi publik yang lebih luas. Kami berharap ke depan akan ada lebih banyak program konkret yang lahir dari kemitraan ini, seperti kuliah umum, pelatihan relawan demokrasi, hingga riset bersama,” paparnya.
Penandatanganan MoU dan MoA ini menandai awal dari sinergi yang lebih erat antara institusi pendidikan tinggi dan penyelenggara pemilu. Dengan semangat kolaboratif, Universitas Malahayati, Fakultas Hukum Universitas Malahayati dan KPU Kota Bandar Lampung berkomitmen untuk bersama-sama menciptakan generasi muda yang melek hukum, sadar demokrasi, dan aktif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (gil)
Editor: Gilang Agusman
“Candikolo” (Saat Senja Mejadi Cermin)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Senja itu tidak biasanya duduk di teras memandang ke arah matahari terbenam. Tampak semburat merah jingga. Dan, almarhumah Ibu dulu berkata “itulah namanya Candikolo”. Namun, sejatinya bagi masyarakat Jawa, candikolo bukan cuma soal langit merah di waktu senja. Ia adalah simbol, dan juga adalah pesan. Candikolo adalah momen hening yang diam-diam berbicara tentang hidup, batas, dan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu sebenarnya di dalam candikolo, kita tidak hanya melihat keindahan langit, tetapi kita dihadapkan pada diri kita sendiri.
Secara sederhana, candikolo adalah istilah Jawa, yang merujuk pada waktu senja, saat matahari mulai turun, langit mulai memerah, dan bayang-bayang malam mulai datang. Tapi bagi banyak orang tua zaman dulu, candikolo bukan sekadar waktu. Ia adalah waktu rawan; waktu di mana anak-anak harus segera masuk rumah. Waktu di mana “hal-hal yang tak terlihat” mulai berkeliaran.
Berdasarkan telusuran digital ditemukan informasi dalam bahasa Jawa, candikolo berasal dari kata “sandya kala”; yang berarti waktu peralihan, waktu antara siang dan malam. Dalam filsafat Timur, momen-momen seperti ini sering dipandang sebagai waktu sakral: ketika batas dunia manusia dan dunia gaib menjadi tipis. Namun kalau kita melihatnya dari sudut pandang filsafat manusia, candikolo justru mengajak kita merenung: apa arti menjadi manusia dalam waktu yang terus bergerak.
Filsuf Jerman, Martin Heidegger, pernah berkata bahwa manusia itu unik karena sadar akan kematiannya. Kita hidup, tetapi tahu bahwa suatu hari akan mati. Itulah yang membedakan kita dari makhluk lain. Candikolo, dengan langitnya yang merah dan suasananya yang syahdu, seperti alarm alam yang mengingatkan kita bahwa setiap terang pasti akan gelap. Hari yang panjang pasti berakhir. Hidup yang sibuk pasti menua. Di balik pemandangan yang indah, ada bisikan: “waktu kita terbatas”. Itulah sebabnya banyak orang merasa melankolis saat melihat senja. Tanpa sadar, kita sedang “bertemu” dengan ke-fanaan. Dan itu bukan sesuatu yang menakutkan, akan tetapi justru yang membuat hidup terasa berarti. Sebab saat senja tiba, dunia seperti melambat. Aktivitas mulai reda, cahaya meredup, dan suara menjadi lebih pelan. Dalam momen ini, manusia seolah diajak untuk berhenti sejenak.
Carl Jung, tokoh psikologi yang juga banyak bicara tentang makna-makna simbolik dalam budaya, percaya bahwa manusia butuh waktu untuk melihat “bayangan”-nya sendiri terutama bagian-bagian diri yang selama ini ditutupi rutinitas. Candikolo bisa menjadi waktu untuk kita merenung: Sudahkah aku hidup dengan jujur? Sudahkah aku menjadi manusia yang baik? Atau justru aku bersembunyi di balik cahaya?
Di banyak daerah di Indonesia, candikolo bukan hanya waktu reflektif. Ia juga penuh cerita. Ada yang bilang jangan bersiul di waktu senja. Jangan duduk di depan pintu saat candikolo. Jangan keluar rumah. Bahkan agama mengajarkan saat seperti ini untuk segera menutup pintu dan jendela, serta melarang anak-anak bermain di luar rumah; Karena diyakini, saat candikolo adalah saat “makhluk lain” berkeliaran.
Hal serupa ini bukan sekadar cerita kosong. Ia adalah bahasa simbolik untuk menyampaikan nilai. Dan nilai di balik candikolo adalah: kehati-hatian, kewaspadaan, dan kesadaran.
Candikolo itu “antara.” Bukan siang, bukan malam. Bukan terang, bukan gelap. Dalam filsafat, momen seperti ini disebut “liminal space”, yaitu ruang antara dua keadaan. Dan ruang seperti ini selalu menarik, karena disanalah identitas kita diuji. Fase ini disebut sebagai fase peralihan yang tidak nyaman, tapi justru membentuk kita menjadi lebih kuat. Filsafat manusia mengajarkan: dalam ketidakpastian itulah kita bertumbuh. Dalam candikolo-lah kita belajar tentang arah.
Hari ini, candikolo tak lagi disambut hening. Banyak dari kita justru melewatkan senja sambil scroll TikTok atau buru-buru pulang kerja. Senja kini sering tampil hanya sebagai latar belakang foto; bukan lagi sebagai ruang hening untuk merenung. Padahal, justru di zaman yang serba cepat ini, kita makin butuh candikolo. Bukan candikolo sebagai jam, tapi candikolo sebagai sikap hidup untuk berhenti sejenak. Untuk menyadari bahwa kita tak akan selalu muda, sehat, sibuk. Untuk menyadari bahwa diam juga bagian dari hidup. Jadi, jika suatu hari saat kita pulang di waktu senja, dan langit terlihat merah membara, coba berhentilah sejenak. Mungkin, di sana, kita akan bertemu dengan diri kita yang sebenarnya. Bahkan ada Guru Bijak berpesan “Guru sejatimu ada dalam dirimu, temuilah dia dalam hening. Maka dia akan mampu memberi pemahaman tentang rahasia Tuhanmu”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Dosen Universitas Malahayati Berkontribusi dalam Buku Internasional Bergengsi, Kupas Tuntas Manfaat Eucalyptus camaldulensis untuk Kesehatan
Chapter ini termuat dalam buku Medicinal Plants and their Bioactive Compounds in Human Health: Volume 1, yang merupakan bagian dari seri Biomedical and Life Sciences dan disunting oleh Dr. Mohammad Azam Ansari, Dr. Shariq Shoaib, serta Dr. Naved Islam. Buku tersebut telah resmi diterbitkan pada 19 Oktober 2024 oleh Springer, Singapura, dan menjadi rujukan penting di bidang biomedis dan ilmu kesehatan.
Dalam tulisannya, Dwi Marlina dan tim membahas secara mendalam potensi tanaman Eucalyptus camaldulensis, spesies eucalyptus yang banyak ditemukan di wilayah tropis seperti Indonesia dan Australia. Penelitian ini menyoroti senyawa bioaktif yang terkandung dalam tanaman tersebut—termasuk flavonoid, tanin, dan minyak atsiri—yang memiliki sifat antiinflamasi, antibakteri, serta antioksidan. Potensi luar biasa ini membuka peluang besar untuk pengembangan obat herbal dan suplemen kesehatan berbasis bahan alam.
Kontribusi ilmiah ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia dalam peta riset global, tetapi juga menjadi wujud nyata dari kolaborasi akademik lintas negara yang saling menguatkan dalam pencarian solusi kesehatan yang berkelanjutan dan berbasis kearifan lokal. Dwi Marlina menyatakan bahwa keikutsertaannya dalam publikasi ini merupakan bagian dari komitmennya untuk mengangkat kekayaan hayati Indonesia ke panggung dunia ilmiah.
“Indonesia memiliki kekayaan tanaman obat yang luar biasa. Melalui publikasi ini, kami ingin memperkenalkan potensi Eucalyptus camaldulensis sebagai bahan alami yang tidak hanya bermanfaat, tetapi juga aman dan relevan dengan kebutuhan kesehatan modern,” ujar Dwi Marlina.
Chapter ini telah tersedia secara daring dan dapat diakses melalui DOI resmi: https://doi.org/10.1007/978-981-97-6895-0_10
Informasi Buku:
Judul Buku: Medicinal Plants and their Bioactive Compounds in Human Health: Volume 1
Editor: M.A. Ansari, S. Shoaib, N. Islam
Chapter: Medicinal and Nutritional Importance of Eucalyptus camaldulensis in Human Health
Penulis Chapter: Dwi Marlina Syukri, Sudarshan Singh
Penerbit: Springer, Singapore
Tanggal Terbit: 19 Oktober 2024
ISBN Cetak: 978-981-97-6894-3
ISBN Online: 978-981-97-6895-0
Dengan pencapaian ini, Universitas Malahayati kembali menunjukkan peran aktifnya dalam dunia riset dan pengembangan ilmu pengetahuan di tingkat internasional. Semoga prestasi ini menginspirasi lebih banyak akademisi Indonesia untuk terus berkarya dan membawa harum nama bangsa di kancah global. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Secangkir Kopi Dini Hari
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Apakah karena kebanyakan tidur, atau susah tidur, malam kedua taun baru Hijriyah ini terbangun dini hari. Dan, karena mata tidak lagi mau dipejamkan, maka diputuskan untuk bangun dan merenung bersama secangkir kopi yang dibuat sendiri. Sambil menikmati antara pahit dan manisnya kopi, perjalanan angan dimulai sebagai refleksi, kontemplasi, sekaligus “mesu budi” (bahasa Jawa yang arti harfiahnya: mengendalikan diri secara fisik dan mental untuk menjaga kesehatan, budi pekerti, dan keseimbangan spiritual), kepada Yang Maha Tinggi. Karena itu adalah satu momen yang bagi penulis tetap sakral, tetap jujur, dan tetap manusiawi: “secangkir kopi di dini hari”.
Barangkali bagi sebagian orang, kopi dini hari hanyalah kebiasaan atau kebutuhan akan kafein. Tetapi bagi penulis itu lebih dari sekadar minuman; tetapi itu adalah ritual. Momen hening yang membuka ruang batin untuk berbicara dengan diri sendiri. Dalam sunyi yang tidak diisi oleh suara manusia lain atau tekanan sosial, secangkir kopi menjadi simbol kesadaran eksistensial. Ia adalah jeda di antara hari kemarin dan hari yang akan datang, disitulah saat kita bisa melihat ke dalam diri, melihat siapa kita di balik segala label, dan bertanya kembali kepada diri: apa arti menjadi manusia ini ?
Aliran filsafat eksistensial, terutama yang dikembangkan oleh tokoh-tokoh seperti Søren Kierkegaard, Friedrich Nietzsche, hingga Jean-Paul Sartre, manusia adalah makhluk yang ditakdirkan untuk terus bertanya tentang makna dirinya. Kita hidup di dunia yang tidak menawarkan jawaban pasti, dan justru karena itulah kita bebas, namun sekaligus cemas. Eksistensi mendahului esensi, kata Sartre. Artinya, manusia tidak dilahirkan dengan makna bawaan; kita harus menciptakan makna itu sendiri melalui pilihan, tindakan, dan kesadaran akan keberadaan kita.
Kopi dini hari menjadi medium reflektif untuk menyadari kebebasan dan tanggung jawab pribadi. Tidak ada yang memaksa untuk bangun pukul dua dini hari untuk menjerang air. Tetapi saat kita memilih untuk melakukannya, memilih untuk hadir dalam ruang sunyi, dan mulai menyusun ulang serpihan-serpihan diri yang tercecer dalam keseharian. Di saat seperti ini, kita tidak sedang menjadi “seseorang” dalam arti ; bukan pekerja, bukan kakek dari cucu-cucu, bukan pasangan, bukan warga negara. Tetapi hanya manusia, yang hidup, yang merasa, dan yang berpikir. Persis seperti yang dikatakan oleh René Descartes, “Cogito, ergo sum”—“Aku berpikir, maka aku ada.” Didalam kesadaran akan pikiran sendiri-lah, keberadaan diri itu ditegaskan.
Kopi, bagi sebagian orang, adalah simbol produktivitas. Tapi dalam momen dini hari, kopi lebih menyerupai simbol kesementaraan. Ia hangat, aromatik, dan nikmat. Namun itu hanya sesaat. Dalam beberapa menit kemudian, panasnya memudar, aromanya hilang, dan cairan hitam itu tinggal endapan di dasar cangkir. Hal itu mengingatkan kita pada hidup yang juga sementara. Kita dilahirkan, berkembang, bersinar sebentar, lalu meredup kembali, dan bersiap untuk “kembali”.
Martin Heidegger, filsuf Jerman, menyebut manusia sebagai Dasein, makhluk yang “ada di dunia” dan menyadari bahwa suatu hari ia akan tiada. Kesadaran akan kematian bukan untuk ditakuti, melainkan menjadi motivasi untuk hidup lebih otentik. Setiap kali menyeruput kopi dalam hening, kita merasa sedang menjalani hidup secara sadar. Kita tidak hanya hidup karena harus, tapi karena kita memilih untuk hadir, dan untuk menikmati, untuk merenung, serta untuk merasakan. Karena pada dini hari menawarkan sesuatu yang tak bisa ditiru oleh waktu lain: kesunyian. Dunia masih tidur, jalanan masih kosong, dan suara yang tersisa hanyalah detak jam dan hembusan napas sendiri. Dalam sunyi itu, kita berhadapan langsung dengan realitas batin, dengan pertanyaan yang tak terjawab, dengan luka yang belum sembuh, dan harapan yang belum terucap.
Sayangnya, kebanyakan manusia modern takut pada sunyi. Kita sibuk mencari distraksi: media sosial, musik, notifikasi, obrolan ringan. Tapi dalam sunyi, kita bertemu dengan hal yang paling penting: kejujuran diri. Oleh sebab itu dalam filsafat manusia sangat menekankan pentingnya diam. Dalam diam, kita bisa melihat dunia sebagaimana adanya, tanpa bias, tanpa ego. Menyecap kopi dalam sunyi bukan berarti melarikan diri, tapi justru menghadapi kehidupan dengan penuh keberanian dan kesadaran.
Kebebasan, dalam pemikiran Sartre, bukanlah kenyamanan. Ia adalah beban, karena dengan kebebasan, datanglah tanggung jawab. Kita tidak bisa menyalahkan Tuhan, takdir, atau orang lain atas hidup yang kita jalani. Dalam konteks ini, bahkan memilih untuk bangun dan menyeduh kopi adalah bentuk kebebasan eksistensial. Kita tidak melakukannya karena diperintah, tapi karena saya memilih untuk hadir, untuk memaknai waktu saya sendiri.
Kopi dini hari juga bisa menjadi metafora dari pilihan hidup yang tidak umum. Ketika dunia memilih tidur, kita memilih terjaga. Ketika orang lain mengejar produktivitas sejak matahari terbit, kita mengejar kesadaran sejak fajar. Ini bukan soal menjadi berbeda, tapi soal menjadi sejati. Kebebasan manusia bukan hanya soal memilih karier atau pasangan hidup, tapi juga tentang bagaimana ia mengisi waktunya, juga termasuk waktu sunyi yang tidak dianggap penting oleh kebanyakan orang.
Kita tidak sedang mengkultuskan kopi. Tetapi percaya bahwa manusia membutuhkan simbol dan ritual kecil dalam keseharian agar tetap waras. Kita terlalu sering mengejar hal besar, seperti jabatan, gelar, proyek besar; sehingga lupa bahwa keindahan hidup terletak pada hal kecil yang dijalani dengan penuh makna. Dan secangkir kopi yang diseduh perlahan di tengah sunyi adalah salah satunya. Didalam dunia yang makin bising dan cepat, kita butuh lebih banyak ruang untuk hening. Kita butuh lebih banyak pagi yang lambat, kopi yang diseduh perlahan, dan waktu untuk berpikir tanpa distraksi. Bukan karena kita malas, tapi karena kita manusia. Dan menjadi manusia berarti bukan hanya bergerak dan bekerja, tapi juga merasa, bertanya, dan menemukan makna. Maka dari itu; menulis opini ini bukan untuk mengajak semua orang minum kopi pagi-pagi. Tetapi untuk mengajak kita semua berhenti sejenak. Untuk menepi dari kejaran waktu, dan mulai mendengarkan kembali suara hati yang mungkin sudah lama kita abaikan. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Menemukan Damai, Menyongsong Fajar
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Malam tahun baru Hijriah ini terbangun tengah malam. Mata sudah tidak mau lagi dipejamkan, entah apa penyebabnya. Dari pada tergolek ditempat tidur bagai bangkai bernyawa, lebih baik bangun berkontemplasi diri. Ditengah keheningan malam tahun baru itu terbersit rasa damai menyongsong fajar, bagai menyongsong kehidupan baru. Dalam kehidupan yang dipenuhi tuntutan, kompetisi, dan keramaian, manusia kerap kehilangan sesuatu yang mendasar: kedamaian. Banyak yang mengejar kekayaan, kekuasaan, atau popularitas, tetapi tetap merasa gelisah. Bahkan ketika usia merambat senja dan dunia mulai memudar, pertanyaan itu tetap datang. Diantara pertanyaan ituadalah; Apa makna semua ini? Ke mana kita menuju?. Tampaknya tanpa kita sadari semua mahluk itu berjalan menuju ufuk kehidupan dan menyongsong datangnya fajar kematian.
Dibantu oleh referensi digital dan konvensional ditemukan makna Menemukan Damai, Menyongsong Fajar; adalah merupakan renungan filosofis dan spiritual yang mengajak kita melihat kehidupan sebagai perjalanan. Dalam perjalanan itu, damai bukan ditemukan di akhir, tetapi dibangun sejak langkah pertama. Dan, fajar bukan sekadar simbol awal hari, melainkan kebangkitan menuju kehidupan yang lebih hakiki, yaitu kehidupan setelah dunia ini. Dari perspektif filsafat manusia dan sudut pandang ajaran Islam, kita akan menelusuri bagaimana manusia bisa menemukan kedamaian sejati, dan bagaimana ia dapat bersiap menyambut “fajar abadi”.
Dalam tradisi filsafat, manusia dikenal sebagai makhluk yang bertanya. Pertanyaan seperti “siapa aku?”, “untuk apa aku hidup?”, dan “apa yang terjadi setelah mati?” adalah bagian dari pencarian eksistensial. Filsuf eksistensialis seperti Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein, yaitu makhluk yang sadar bahwa ia berada dalam waktu dan menuju kematian. Kematian, bagi Heidegger, bukan sekadar peristiwa biologis, melainkan momen eksistensial yang paling jujur. Ia membangunkan manusia dari kehidupan yang “tertidur” dalam rutinitas, lalu menyodorkan pertanyaan besar, yaitu: Apakah kamu hidup dengan makna?
Damai, menurut pandangan filosofis, bukan keadaan tanpa gangguan, tapi kemampuan untuk hidup selaras dengan kebenaran diri. Dalam pemikiran Stoikisme, damai disebut ataraxia yaitu, “ketenangan batin yang datang dari menerima apa yang tak bisa diubah dan bertindak bijak atas yang bisa dikendalikan”. Oleh sebab itu, jika seseorang hidup dalam kepalsuan dengan mengikuti harapan orang lain, mengejar ambisi semu, maka jiwanya tidak pernah damai. Namun jika ia menerima keterbatasan, bersyukur atas apa yang dimiliki, dan berdamai dengan masa lalu, maka ia mulai merasakan kedamaian sebagai kondisi batin yang merdeka.
Oleh sebab itu tujuan dari perjalanan hidup dalam Islam adalah mencapai nafs muthmainnah, yakni jiwa yang damai dan tenteram karena telah bersatu dengan kehendak Ilahi. Dan, Inilah fajar abadi: kebangkitan dalam cinta dan ridha Allah, setelah hidup dijalani dengan jujur, ikhlas, dan penuh keimanan.
Di sini letak perbedaan dengan pendekatan materialis yang menganggap kematian sebagai akhir segalanya. Islam justru melihatnya sebagai awal dari kehidupan yang sesungguhnya. Kematian adalah gerbang menuju alam barzakh dan kelak hari kebangkitan. Karena itu, orang yang bijak bukan yang takut mati, tapi yang mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian. Caranya dengan menabur amal sejak dini; dalam bentuk ilmu, kebaikan, dan cinta kasih kepada sesama mahluk, sehingga manusia dapat menanti fajar abadi dengan tenang. Ia tahu bahwa hidupnya telah berdampak, dan kematiannya bukan kehilangan, melainkan kepulangan. Oleh sebab itu kedamaian tidak bisa hadir dalam hati yang penuh dendam atau iri. Orang bijak mengatakan “Orang yang hidup dengan syukur dan memaafkan, akan mudah menemukan damai. Dan orang yang damai dalam hidup, akan lebih siap menghadapi kematian dengan senyum dan lapang dada”.
Meskipun filsafat manusia sekuler tidak selalu membicarakan akhirat, namun banyak tokohnya yang akhirnya percaya bahwa harapan adalah bagian penting dari hidup. Viktor Frankl, seorang psikolog dan filsuf, menulis: “Manusia bisa bertahan hidup dalam situasi paling berat, selama ia masih memiliki alasan untuk berharap.” Sedangkan Islam memberi harapan paling besar: “bahwa setelah malam yang panjang, akan ada fajar. Setelah hidup yang berat, akan ada keabadian dalam rahmat Allah”.
Kehidupan adalah perjalanan. Setiap kita berjalan dengan beban, luka, dan pertanyaan. Tapi jika selama hidup kita terus mencari makna, mencintai Tuhan, dan berbuat baik pada sesama, maka kita telah menapaki jalan damai. Menemukan damai bukan berarti hidup tanpa tantangan. Ia berarti menerima setiap fase hidup, termasuk senja, sebagai bagian dari rencana ilahi. Dan menyongsong fajar bukan berarti takut pada kematian, tetapi menyambutnya dengan harapan, bahwa di seberang sana, ada cahaya yang lebih terang. “Kembalilah, wahai jiwa yang tenang. Masuklah ke dalam surga-Ku.”
Selamat Tahun Baru Hijriah, semoga dimudahkan semua urusan, dan dikabulkan semua doa. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Republik Pengikut dan Penyuka
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu, melalui media digital, saya berdua dengan salah seorang jurnalis senior di negeri ini; berdiskusi hebat tentang bagaimana perkembangan digital, sampai tentang genetik kemiskinan yang sengaja ”ditanam” agar setiap saat ada; sehingga atas nama proyek kemanusiaan terus dianggarkan, terlepas anggaran itu sampai atau tidak.
Terakhir beliau mengemukakan, dengan merujuk pada “Republik Digital”; maka sempurnalah diskusi itu dengan meninggalkan sejumlah tanya; salah satu diantaranya adalah adanya “Republik Pengikut dan Penyuka”. Konsep republik di sini bukan yang konvensional dalam literatur, akan tetapi lebih kepada tatanan baru yang muncul akibat penggunaan media sosial yang masif.
Tulisan ini mencoba melihat dari sudut pandang filsafat, dengan harapan diskusi itu tidak berhenti dan terus berjalan bagai alir mengalir menuju lautan ilmu.
Berdasarkan studi digital ditemukan informasi bahwa; Plato menggambarkan manusia seperti tahanan dalam gua yang hanya melihat bayangan di dinding, dan menganggap bayangan itulah realitas. Analogi ini, yang dikenal sebagai “Allegory of the Cave”, menjadi titik berangkat yang relevan untuk menafsirkan zaman kita hari ini. Kita hidup dalam dunia digital yang penuh “bayangan”.
Media sosial membentuk dunia baru: Republik Digital yang didasarkan bukan pada pertukaran ide sejati, melainkan pada jumlah pengikut dan penyuka. Di dalamnya, manusia tidak lagi mencari kebenaran, tetapi pengakuan digital. Apa yang viral dianggap benar, yang populer, dianggap bernilai, dan itu menjadi sistem sosial baru dalam masyarakat manusia saat ini. Oleh sebab itu, apapun peristiwanya, jika ingin mendapat perhatian, maka harus di viralkan. Itu adalah algoritma berfikir baru yang hidup saat ini di alam ide manusia.
Dalam dunia media sosial, individu mengejar popularitas sebagai tujuan. Namun menurut Plato, pengejaran akan doxa (opini) tanpa episteme (pengetahuan sejati) adalah bentuk pembodohan. Platform digital menciptakan ilusi interaksi dan pengetahuan, padahal yang ada hanyalah refleksi dari refleksi: potret selfie, narasi buatan, dan persona yang dikurasi (dipilih dan diatur) algoritma.
Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein, yaitu makhluk yang “ada di dunia” dan menyadari keberadaannya. Namun di dunia digital, Dasein menjadi Das-Man: manusia berupa massa yang tunduk pada opini umum. Kita mengikuti bukan karena berpikir, melainkan karena takut tertinggal. Budaya mengikuti tren, menyukai konten populer, menjadi bagian dari keramaian digital adalah bentuk keterasingan eksistensial. Heidegger menyebut ini sebagai bentuk kejatuhan dalam keberadaan yang tidak otentik (inauthentic being).
Jean Baudrillard berpendapat bahwa dalam masyarakat postmodern, tanda (simbol) telah menggantikan realitas. Di media sosial, yang penting bukan siapa Anda, akan tetapi bagaimana Anda tampil. Kita menyukai sesuatu bukan karena ia benar atau baik, tetapi karena ia tampil seolah-olah penting. Disini popularitas menjelma menjadi hiper-realitas. Dalam Republik Pengikut dan Penyuka ini, pengikut bukan lagi relasi sosial; ia adalah mata uang nilai. Penyuka bukan penilaian; ia adalah validasi eksistensial. Ini adalah dunia simulasi, bukan substansi.
Aristoteles mengajarkan bahwa tujuan hidup manusia adalah mencapai eudaimonia, yaitu kebahagiaan sejati yang diperoleh melalui kebajikan. Dalam budaya digital, manusia mengejar kebahagiaan yang ditentukan secara eksternal: jumlah pengikut, “like”, komentar positif. Apakah mengejar validasi eksternal ini membuat manusia lebih baik? Jawabannya, tidak. Karena yang lahir adalah kehidupan hedonis yang tidak berakar pada karakter dan kebajikan moral, melainkan pada pujian publik sesaat.
Kierkegaard mengingatkan akan bahaya massifikasi individu. Dalam masyarakat massa, individu tidak berani mengambil sikap. Ia larut dalam kerumunan. Di media sosial, keberanian moral digantikan dengan kalkulasi algoritma. Kita memposting apa yang “aman”, yang tidak kontroversial, atau yang sedang viral. Dan, Kierkegaard menyebut ini sebagai bentuk keputusasaan diam-diam, sebab individu kehilangan dirinya dalam apa yang disukai publik. Di tengah banjir konten, siapa saya yang sejati? menjadi pertanyaan yang tertelan oleh notifikasi.
Michel Foucault membahas bagaimana kekuasaan membentuk moral melalui wacana. Dalam Republik Pengikut dan Penyuka, algoritma menjadi bentuk baru kekuasaan yang tidak terlihat. Ia mengatur apa yang boleh dilihat, disukai, dan diikuti. Etika bukan lagi soal refleksi, tetapi soal norma algoritmis: apa yang sesuai tren, itulah yang baik. Ini melahirkan etika yang terkooptasi sistem teknologis. Moralitas menjadi kuasa “platform”, bukan kuasa hati nurani. Dan, konten Masjid Jogokariya adalah korban dari ini, bahkan ramai-ramai sumber media sosial yang berbasis algoritma mem-banned seolah-olah “keroyokan” model baru; dengan berlindung pada satu etika moral digital yang tidak terverifikasi.
Jean-Jacques Rousseau menyatakan bahwa demokrasi sejati lahir dari volonté générale, yaitu kehendak umum yang rasional. Akan tetapi dalam media sosial, yang tampil bukanlah kehendak umum, melainkan kehendak mayoritas algoritmik. Siapa yang punya buzzer, siapa yang bisa viral, dia yang seolah-olah “mewakili rakyat”. sejumlah pertanyaan yang menjadi pekerjaan rumah adalah: Apakah demokrasi digital masih demokratis, ketika kekuasaan opini dapat dibeli, dan distribusi informasi dikontrol oleh logika profit? Ini pekerjaan rumah baru bagi para ilmuwan sosial. Sebab, Republik Pengikut dan Penyuka mengaburkan batas antara warga dan penonton, antara aktor dan konsumen. Ruang publik digantikan oleh “timeline”, dan debat digantikan oleh komentar viral. Pertanyaan terakhir adalah; bagaimana kita mengubah Republik Pengikut dan Penyuka menjadi Republik Pemikir dan Pencari Kebenaran. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
Fakultas Hukum Universitas Malahayati dan Polda Lampung Gelar Audiensi Perjanjian Kerja Sama (MoA)
Kegiatan audiensi ini dihadiri langsung oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, S.H., M.H, yang turut didampingi oleh dua dosen Fakultas Hukum. Kedatangan tim dari Universitas Malahayati disambut antusias oleh jajaran pejabat tinggi Polda Lampung, yaitu:
1. Karo SDM Polda Lampung, Kombes Pol Adi Ferdian Saputra, S.I.K., M.H.
2. Dir Intelkam Polda Lampung, Kombes Pol Efrizal, S.I.K., M.M.
3. Dir Krimum Polda Lampung, Kombes Pol Pahala Simanjuntak, S.I.K.
Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak membahas berbagai peluang kerja sama yang menguntungkan, terutama dalam bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat sejalan dengan amanat Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Malahayati, Aditia Arief Firmanto, S.H., M.H., mengungkapkan bahwa MoA ini merupakan wujud nyata dari sinergi antara dunia akademik dan institusi penegak hukum.
“Kerja sama ini menjadi pintu pembuka bagi mahasiswa Fakultas Hukum untuk bisa langsung belajar dari dunia praktis. Salah satu bentuk implementasi MoA ini adalah program magang mahasiswa di Polda Lampung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap praktik hukum di lapangan serta membangun karakter dan integritas sebagai calon profesional di bidang hukum,” ujar Aditia.
Lebih lanjut, kerja sama ini juga akan mencakup kolaborasi dalam kegiatan seminar, pelatihan hukum, penyuluhan hukum kepada masyarakat, dan riset hukum yang relevan dengan kebutuhan dan tantangan aktual di tengah masyarakat.
Pihak Polda Lampung menyambut baik inisiatif dari Universitas Malahayati ini. Kombes Pol Efrizal, S.I.K., M.M menyampaikan bahwa Polda Lampung siap mendukung program-program yang berkaitan dengan pengembangan sumber daya manusia, khususnya di kalangan mahasiswa hukum.
“Kami sangat terbuka untuk menjadi mitra strategis bagi dunia pendidikan. Melalui kerja sama ini, kami berharap dapat berkontribusi dalam mencetak generasi muda yang cerdas, tangguh, dan berintegritas tinggi di bidang hukum,” ucapnya.
Dengan terlaksananya audiensi dan penandatanganan MoA ini, Fakultas Hukum Universitas Malahayati menegaskan komitmennya dalam menciptakan lulusan yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga siap menghadapi tantangan dunia kerja melalui pengalaman langsung di institusi strategis seperti Kepolisian Daerah Lampung.
Kerja sama ini diharapkan menjadi awal dari kolaborasi jangka panjang yang produktif, demi menciptakan sistem hukum yang lebih baik melalui kontribusi nyata dari kalangan akademik dan institusi penegak hukum. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Pendaftaran Mahasiswa Baru Universitas Malahayati Tahun 2025 Resmi Dibuka!
Dengan lingkungan kampus yang asri, fasilitas modern, tenaga pengajar profesional, dan berbagai program studi unggulan, Universitas Malahayati siap menjadi tempat terbaik bagi kamu yang ingin berkembang secara akademik maupun non-akademik.
Jalur Pendaftaran yang Tersedia:
1. Jalur Nilai Rapor
2. Jalur Reguler
3. Jalur Pindahan/Konversi
4. Jalur RPL (Rekognisi Pembelajaran Lampau)
Kenapa Harus di Universitas Malahayati?
• Lingkungan kampus yang hijau, nyaman, dan mendukung proses belajar.
• Beragam program studi terakreditasi dan sesuai kebutuhan dunia kerja.
• Kesempatan magang dan kerja sama dengan institusi nasional maupun internasional.
• Fasilitas lengkap: laboratorium modern, rumah sakit pendidikan, perpustakaan digital, serta asrama mahasiswa.
Segera Daftar, Kuota Terbatas!
Jangan lewatkan kesempatan emas ini! Pendaftaran sudah dibuka dan kuota terbatas.
Untuk informasi lengkap dan proses pendaftaran, kamu bisa langsung menghubungi:
Bpk. Nizar Arifin – 0813-6945-7605
Atau scan QR Code yang tersedia pada brosur resmi Universitas Malahayati.
Program Studi Magister Kesehatan Masyarakat Universitas Malahayati Laksanakan Pengabdian Masyarakat di MAN 1 Pringsewu, Angkat Isu Pernikahan Dini pada Remaja
Kegiatan yang berlangsung di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Pringsewu ini mengusung tema yang sangat relevan: “Pengetahuan dan Sikap Anak Remaja terhadap Pernikahan Dini”. Bertempat di aula utama madrasah, penyuluhan diikuti oleh puluhan siswa kelas XI dan XII yang antusias mengikuti rangkaian acara hingga selesai.
“Kami ingin para remaja dapat berpikir lebih kritis dan bijak sebelum membuat keputusan besar dalam hidupnya. Salah satunya adalah soal pernikahan. Pernikahan dini bukan hanya soal usia, tetapi juga kesiapan mental, ekonomi, dan sosial,” ungkap Dr. Wayan.
Dalam penyampaiannya, Dr. Wayan juga mengungkapkan bahwa berdasarkan data terbaru, sebanyak 11,1% remaja di Indonesia masih belum memiliki pemahaman yang cukup mengenai pernikahan dini, dan tren pernikahan di bawah usia 18 tahun masih cukup tinggi.
Ia menambahkan bahwa mudahnya akses terhadap media sosial dan internet turut menjadi faktor pendorong tingginya risiko pernikahan dini, karena remaja terpapar berbagai konten yang belum tentu sesuai dengan usia dan tingkat kematangan mereka.
“Internet kini sudah masuk hingga ke pelosok desa. Ini baik dari sisi edukasi dan literasi, tapi juga berisiko jika tidak diimbangi dengan bimbingan dan pengawasan. Pemerintah bahkan sudah meminta pembatasan akses terhadap konten pornografi karena efeknya yang sangat berbahaya bagi remaja,” tegasnya.
Kegiatan ini juga merupakan bagian dari riset mahasiswa yang akan dipublikasikan di jurnal ilmiah Universitas Malahayati sebagai bentuk kontribusi akademik dalam mengatasi permasalahan kesehatan masyarakat.
Sementara itu, Kepala MAN 1 Pringsewu, Fathul Bahri, S.Pd., M.Pd.I, memberikan apresiasi dan ucapan terima kasih kepada tim dari Universitas Malahayati. Ia menilai kegiatan semacam ini sangat dibutuhkan oleh siswa untuk membuka wawasan dan memperkuat nilai-nilai kehidupan sejak usia dini.
“Kami merasa sangat terbantu dengan adanya penyuluhan ini. Topik yang diangkat sangat kontekstual dengan kondisi sosial saat ini. Semoga melalui materi ini, siswa-siswi MAN 1 Pringsewu bisa lebih memahami pentingnya menunda pernikahan hingga usia yang matang, demi masa depan yang lebih baik,” ungkapnya.
Melalui kegiatan ini, diharapkan sinergi antara perguruan tinggi dan sekolah dapat terus terjalin, khususnya dalam memberikan edukasi yang menyentuh langsung kebutuhan dan persoalan remaja masa kini. (gil)
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati Umumkan Jadwal dan Ketentuan Pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS) Genap Tahun Akademik 2024/2025
Syarat Wajib Mengikuti UAS:
Untuk dapat mengikuti UAS, mahasiswa diwajibkan memenuhi beberapa persyaratan administratif sebagai berikut:
1. Pelunasan SPP Genap TA 2024/2025 hingga bulan Juni 2025.
Mahasiswa wajib memastikan bahwa seluruh kewajiban pembayaran SPP telah diselesaikan hingga bulan Juni agar dapat mengikuti ujian.
2. Pembayaran Biaya UAS Genap sebesar Rp50.000
Biaya UAS ini berlaku untuk mahasiswa reguler dan harus dibayarkan melalui Loket Keuangan Rektorat Lantai 5 mulai 23 Juni sampai 04 Juli 2025.
Pembayaran harus dilakukan sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh bagian keuangan.
Sementara itu, mahasiswa konversi dapat langsung melakukan konfirmasi pembayaran ke Loket Keuangan Rektorat.
3. Wajib Membawa Dokumen Saat Ujian:
• Slip Pembayaran UAS
• SK KIP (bagi penerima Kartu Indonesia Pintar)
• SK Beasiswa (jika menerima beasiswa tertentu)
Seluruh dokumen tersebut wajib dibawa dan ditunjukkan pada saat pelaksanaan ujian.
Pelayanan Pembayaran dan Jam Operasional Loket Keuangan
Untuk mendukung kelancaran proses administrasi, pelayanan di Loket Keuangan (1–4) Rektorat Lantai 5 dilakukan pada:
• Hari Senin – Jumat: Pukul 08.30 – 15.00 WIB
• Waktu Istirahat:
• Senin – Kamis: 12.00 – 13.00 WIB
• Jumat: 11.30 – 13.30 WIB
Mahasiswa diharapkan tidak menunda pembayaran dan mengikuti jadwal pembayaran Kartu Ujian sesuai ketentuan agar tidak mengganggu proses akademik.
Pihak universitas menegaskan pentingnya kedisiplinan mahasiswa dalam menyelesaikan kewajiban administrasi sebagai bagian dari tanggung jawab akademik. Mahasiswa diimbau untuk:
• Membayar tepat waktu
• Menyimpan dengan baik bukti pembayaran
• Membawa dokumen yang diperlukan saat ujian
Ketertiban dan kepatuhan terhadap jadwal yang ditentukan akan mendukung pelaksanaan UAS yang tertib, lancar, dan sukses bagi seluruh sivitas akademika.
Universitas Malahayati mencetak lulusan yang unggul, profesional, dan berintegritas. (gil)
Editor: Gilang Agusman