Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Membaca komentar umpan-balik dari seorang kemenakan pada saat membaca artikel tulisan dengan ucapan seperti judul di atas, membuat terkesiap membacanya; sebab yang komentar itu seorang dokter yang Doktor. Tentu saja membuat pemikiran melayang jauh betapa telah sangat memprihatinkan kondisi moral bangsa saat ini. Namun sebelum jauh melangkah sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu candu yang bermetafora menjadi kecanduan.
Berdasarkan hasil penelusuran digital ditemukan informasi sebagai berikut: Candu adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada sesuatu yang menyebabkan ketergantungan atau kecanduan. Secara harfiah, kata ini digunakan untuk menggambarkan obat-obatan yang memiliki sifat adiktif, seperti opium. Namun, dalam konteks yang lebih luas, “candu” dapat merujuk pada segala sesuatu yang membuat seseorang kecanduan atau sangat tergantung, baik itu aktivitas, kebiasaan, makanan, teknologi, atau hal lainnya.
Pada penggunaan sehari-hari, “candu” sering kali memiliki konotasi negatif karena menunjukkan ketergantungan yang berlebihan sehingga sulit untuk dihentikan atau dikendalikan. Misalnya, seseorang dapat dikatakan “kecanduan” permainan video, media sosial, atau bahkan pekerjaan, yang berarti mereka menghabiskan waktu dan energi secara berlebihan pada aktivitas tersebut hingga mengabaikan aspek lain dalam hidup mereka.
Ketergantungan atau kecanduan ini bisa berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental, hubungan sosial, dan produktivitas seseorang. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda kecanduan dan mengambil langkah-langkah untuk mengelolanya dengan baik. Kecanduan untuk berbuat menyimpang mengacu pada dorongan kuat yang terus-menerus untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma atau aturan sosial, hukum, atau moral. Tindakan menyimpang ini bisa bervariasi dari perilaku yang secara sosial dianggap tidak pantas hingga aktivitas yang secara hukum dianggap sebagai pelanggaran.
Salah satu bentuk perilaku lain kecanduan adalah “kecanduan korupsi” yaitu: kondisi di mana seseorang memiliki dorongan kuat dan berulang untuk melakukan tindakan korupsi meskipun menyadari dampak negatifnya bagi diri sendiri, organisasi, dan masyarakat. Korupsi sendiri mencakup berbagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, seperti suap, penggelapan dana, nepotisme, dan manipulasi kontrak.
Faktor-Faktor yang mendorong kecanduan korupsi diantaranya adalah: Pertama, kekuasaan dan kesempatan: Akses terhadap kekuasaan dan kurangnya mekanisme pengawasan yang efektif dapat mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Kedua, krisis moral dan etika: Kelemahan dalam nilai-nilai moral dan etika individu dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap korupsi. Ketiga, lingkungan sosial dan budaya: Budaya yang permisif terhadap korupsi dan tekanan dari lingkungan sosial untuk mencapai status atau kekayaan dapat mendorong perilaku korup. Keempat, kesenjangan ekonomi: Ketimpangan ekonomi dan kebutuhan finansial yang mendesak bisa menjadi pemicu tindakan korupsi. Kelima, psikologis dan kepribadian: Beberapa orang mungkin memiliki kepribadian yang lebih cenderung mengambil risiko dan kurang memiliki rasa bersalah atau empati, yang bisa membuat mereka lebih rentan terhadap kecanduan korupsi.
Rasa haus untuk menimbun harta sebanyak-banyaknya bagai meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Tipikal kerakusan seperti ini semakin menjadi-jadi manakala ditambah sikap hidup hedonis yang melekat pada diri dan keluarga.
Dalam penelitian Sulfakar yang dituangkan dalam disertasi menemukan bahwa; pendidikan antikorupsi untuk saat ini sudah sangat mendesak segera dilakukan oleh semua penyelenggara pendidikan. Bahkan lebih jauh direkomendasikan sebaiknya dimulai dari lingkungan pendidikan informal (keluarga). Tinggal bagaimana sekarang pemerintah untuk memotong penyebaran kecanduan korupsi ini untuk juga disertai tindakan represif bagi pelaku korupsi.
Jika selama ini mereka tetap mendapatkan perlakuan sebagaimana nara pidana kriminal biasa, maka efek jera tidak akan didapat. Tampaknya penegakkan hukum terhadap perilaku korupsi selama ini belum tegak secara benar, bahkan cenderung juga ikut dikorupsi dengan cara yang korup.
Bisa dibayangkan selevel Kejaksaan Agung yang mencoba menegakkan hukum untuk perilaku korupsi triliunan di bidang pertambangan, harus berhadapan dengan mafia; bahkan sedang makan malam-pun diikuti sehingga detasemen yang selama ini digunakan untuk melawan teorisme “dipakai” untuk menguntit. Celakanya pelaku dari perbuatan itu tertangkap dan viral di media sosial, akibatnya penghakiman oleh nitizen tidak dapat dihindari. Celakanya lagi yang bersangkutan sekarang dilaporkan ke lembaga antirasuah karena berbuat korupsi. Sejauh mana kebenaran laporan itu tulisan ini tidak memiliki kapasitas untuk menjelaskannya. Hanya menjadi tampak aneh, manakala ada sebab dibuatkan akibat, dan akibat tadi dibelokkan menjadi sebab kembali.
Tampaknya candu di Indonesia itu sudah bermetamorfose, di samping candu dalam pengertian nyata atau yang lebih popular disebut narkoba seperti di jelaskan di atas. Sekarang ada candu baru yaitu korupsi dengan kelas “mega uang”; bisa dibayangkan korupsi sampai mencapai angka triliun, dan dilakukan dengan berjamaah, sistemik, terstruktur masif. Nilai korupsi sampai melebihi anggaran belanja daerah tingkat kabupaten/kota, bahkan bisa jadi provinsi. Ini sudah fantastis dan keterlaluan.
Mafioso koruptor tampaknya sudah sangat menguasai semua lini kehidupan negeri ini, sehingga diperlukan satu tindakan tegas untuk memberantasnya. Hanya masalahnya siapa yang mampu dan mau, karena untuk mencari yang seperti ini sudah sangat sulit negeri yang sudah berkumbang dengan korupsi. Apakah kita akan terus bernafas dalam lumpur, mari kita tanya pada sutradara film yang pernah membuat judul itu. Bernafas dalam Lumpur adalah sebuah film Indonesia dirilis tahun 1970 yang disutradarai oleh Turino Junaidy serta dibintangi oleh Rachmat Kartolo dan Suzanna.
Salam Waras
Editor: Gilang Agusman
Universitas Malahayati dan BKKBN Lampung Jalin Kerja Sama Intensifikasi Kompetensi Pelayanan Kontrasepsi
BANDAR LAMPUNG (malahayati.ac.id): Universitas Malahayati Bandar Lampung dan Perwakilan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Lampung menyepakati kerja sama untuk meningkatkan kompetensi pelayanan kontrasepsi pada mahasiswa di Kantor BKKBN Perwakilan Lampung, Selasa (4/6/2024).
Kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi di Provinsi Lampung.
Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung Dr. Achmad Farich, dr., M.M., menyatakan bahwa kerja sama ini mencakup kegiatan konseling, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), serta promosi program keluarga berencana dan kesehatan reproduksi.
“Selain itu, kegiatan pendidikan sebelum mahasiswa terlibat sebagai sumber daya manusia kesehatan dalam pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi juga menjadi fokus,” terang rektor.
Agar kerja sama ini dapat berjalan lancar, kedua belah pihak sepakat untuk memenuhi hak dan kewajiban masing-masing.
Universitas Malahayati akan mendapatkan dukungan pelaksanaan kegiatan intensifikasi kompetensi pelayanan kontrasepsi pada mahasiswa profesi kedokteran/profesi kebidanan, serta fasilitasi sumber daya manusia dan sarana pendidikan yang dibutuhkan.
Kerja sama ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan serentak di seluruh Indonesia dalam rangka Hari Keluarga Nasional dengan Peluncuran Pelayanan KB Serentak Sejuta Aseptor tahun 2024.
Diharapkan, kerja sama ini dapat memberikan dampak positif dalam meningkatkan kualitas pelayanan keluarga berencana dan kesehatan reproduksi di Provinsi Lampung. (*)
Editor: Asyihin
Buntu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari itu tidak seperti biasanya. Setelah membuka laptop berjam-jam, tidak satu pun tulisan saya hasilkan. Otak serasa buntu tidak mau diajak berpikir.
Ada terlintas untuk menulis tentang sesuatu, namun terbayang tidak begitu relevan untuk ditulis. Akhirnya naskah yang sudah empat ratus kata lebih itu dihapus, diganti dengan judul lain dalam topik yang berbeda. Lagi-lagi atas dasar pertimbangan etika, tulisan itu tidak layak diteruskan. Akhirnya nasibnya sama dengan tulisan terdahulu, harus dihapus.
Halaman kosong itu hanya di tatap, dipelototi oleh mata, diterawang oleh pikiran dan diadili oleh hati. Saat itu betul-betul terjadi perang antara mata, hati, dan pikiran dalam melihat fenomena sosial yang sedang banyak bermunculan. Menetapkan skala prioritas atas dasar pertimbangan etika, kepatutan, akademik, dan kejurnalistikan; ternyata mengakibatkan benturan dahsyat didalam angan. Tentu saja akibatnya menjadi ambyar semua mana yang akan di tulis.
Ternyata membaca fenomena negeri ini menjadikan buntu pikir akibat dari terlalu banyaknya kita mengetahui banyak hal, dan keterkaitan antarhal. Benar apa kata filosof yang mengatakan bahwa puncak ilmu pengetahuan itu adalah ketidaktahuan. Ini terbukti dari saat banyak hal yang kita ketahui dan akan mencoba menulisnya, ternyata tulisan itu justru mewakili ketidaktahuan kita tentang banyak hal tadi.
Sebagai sedikit ilustrasi, kita memiliki pengetahuan berupa informasi bahwa pajak akan dinaikkan, BBM akan dinaikkan, tarif listrik sudah akan dinaikkan, akan ada tambahan baru pajak untuk bikin rumah dengan label Tambah Penderitaan Rakyat, harga kebutuhan pokok sudah mulai naik, bayar sekolah untuk anak-anak juga sudah akan naik. Sementara gaji sebagai pendapatan tetap tidak akan ada kenaikan, yang ada penambahan pajak. Kita berada ditengah-tengah pusaran semua itu; tentu saja semua ini mendorong kita akan duduk termenung sendirian karena “buntu pikir”.
Kebuntuan ini makin menjadi-jadi manakala membaca komentar teman-teman terhadap tulisan-tulisan yang pernah disajikan, terutama berkaitan dengan perilaku korup yang mewabah saat ini. Komentar-komentar tadi ada yang menghujat karena begitu banyaknya pengalaman sahabat tadi berhadapan dengan pejabat yang jahat. Ada yang memberi komentar sumpahserapah akibat dari begitu banyak ketidakadilan yang beliau terima saat berurusan dengan yang berpelat merah. Adalagi usulan dari seorang karib untuk menghilangkan itu semua pejabat yang tidak kompeten untuk diganti; hanya menjadi persoalan yang berkewenangan menggati-pun juga tidak kompeten.
Ada juga kemenakan yang menulis ”Pendidikan antikorupsi tidak akan mampu menyelesaikan persoalan ini…karena pendidikan sendiri sistemnya sendiri sudah korup.”
Itu contoh adanya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang hanya untuk menutupi kapitalisasi pendidikan saja. Terus beliau mengusulkan negeri ini harus dirombak total. Pertanyaannya pernah dilakukan tahun 1998, namun sekian tahun kemudian bukan tambah baik, ternyata makin parah. Karena saat peristiwa itu terjadi pemimpin yang ada sekarang masih ada di ketiak aman, jadi tidak ikut merasakan pahit getirnya perjuangan. Sementara pejuang yang tersisapun sudah tua-tua bahkan banyak yang sudah berpulang.
Dari sekian komentar ada satu yang menohok, beliau berkomentar padat singkat, pedas komentarnya: “Sampean dan saya hanya bisa berkeluh kesah, berdoa, dan paling menulis. Itu pun jangan harap akan mereka baca….”
Sahabat satu ini betul-betul ada pada jurang keputusasaan melihat fenomena saat ini. Sedikit ulasan tentang beliau yang juga pernah berkomentar,”Zaman dahulu korupsi sudah ada. Di era Daendels membangun jalan Trans-Jawa, uang upah untuk para pekerja tidak pernah sampai kepada para kuli. Uangnya dikorupsi para petinggi anak negeri sendiri. Namun zaman itu sendiri-sendiri korupsinya, seperti yang juga dilakukan Yusuf Muda Dalam di era Orde Lama. Sekarang korupsi dilakukan dengan berjamaah dan banyak berkali lipat berpangkat empat..apakah itu namanya bukan kejahatan kemanusiaan.”
Komentar beliau ini menjadi bahan perenungan yang semakin dalam dan semakin sulit untuk ditulis.
Pertanyaan demi pertanyaan begitu juga komentar masuk membuat semakin bingung mana yang harus ditulis. Semua kejadian itu nyata, semua peristiwa itu ada, dan banyak orang mengetahui. Namun, banyak orang berdiam diri. Keberdiamdirian ini bisa jadi akibat kefrustrasian yang berkepanjangan, akhirnya memunculkan sikap apatis. Memang posisi menjadi sangat sulit, berdiam diri dianggap apatis, banyak bicara dibilang nyinyir. Lebih menyakitkan lagi jika diberi label…”karena tidak kebagian” atau minimal ”kurang kerjaan”.
Buntu tidak punya uang itu dahsyat. Namun ternyata lebih dahsyat lagi jika buntu akal. Sebab, jika ini melanda semua warga negeri, tidak menutup kemungkinan akan berakibat pada ledakan sosial. Sesuai hukum sosial dalam filsafat Jawa, jika manusia mendapat tekanan sosial dia akan melakukan tiga hal. Tahap pertama dia akan ngalah (mengalah). Pada posisi ini mereka akan mendiamkan dengan tingkat kesabaran yang tinggi.
Jika tahap ini mereka sudah tidak kuat lagi maka akan ngalih (berpindah). Maksudnya adalah pindah atau hijrah ke tempat lain untuk menghindari benturan yang merugikan dirinya. Terakhir jika semua sudah maka yang tinggal nglawan. Maknanya ialah mereka akan melakukan perlawanan dengan cara mereka.
Nah, apakah semua ini akan berakhir seperti kata filsafat tadi? walahuallam bishawab.
Editor: Gilang Agusman
Humas Universitas Malahayati dan Ramil 410-02/TBS Tanam 50 Pohon di Area Kampus
Bandar Lampung (malahayati.ac.id) : Kepala Bagian Humas Universitas Malahayati, Emil Tanhar, S. Kom, bersama Batuud Ramil 410-02/TBS, Peltu Usep Sopwan melaksanakan kegiatan penanaman pohon di area Universitas Malahayati Bandar Lampung, Jumat (31/5/2024).
Emil Tanhar menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari upaya penghijauan di area kompleks kampus.
“Adapun pohon yang ditanam sebanyak 50 batang dengan jenis tanaman Akar Wangi, ada juga pohon Alpukat, Pete, dan Durian,” ujar Emi.
Emil Tanhar berharap kegiatan penanaman pohon ini dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi lingkungan kampus dan sekitarnya.
“Saat ini, pohon yang sudah kami tanam antara lain Manggis, Kelor, Durian, dan tanaman kayu lainnya. Semoga selain sebagai penghijauan, buahnya juga dapat memberikan manfaat,” ucapnya.
Acara ini turut dihadiri oleh staf Humas Universitas Malahayati, Babinsa Koramil 410-02/TBS, karyawan Universitas Malahayati, serta warga masyarakat sekitar kampus. (*)
Editor: Asyihin
26 Mahasiswa Kesmas Universitas Malahayati Ikuti Problem Based Learning 2
Bandar Lampung (malahayati.ac.id): Sebanyak 26 mahasiswa program studi Kesehatan Masyarakat semester 6 sedang menjalani mata kuliah Problem Based Learning (PBL) 2 secara mandiri yang berlangsung selama dua bulan, dari 20 Mei hingga 20 Juli 2024. Kegiatan ini dilaksanakan di enam instansi kesehatan yang tersebar di Provinsi Lampung, yaitu PKBI Lampung, RS Bintang Amin, Kelompok LPP, PT Japfa, Puskesmas Gadingrejo, dan Dinas Kesehatan Provinsi Lampung.
Kegiatan PBL 2 ini bertujuan untuk memberikan pengalaman belajar lapangan kepada mahasiswa, dengan target capaian pembelajaran yang meliputi analisis situasi hingga pelaksanaan intervensi kesehatan masyarakat. Dalam pelaksanaannya, mahasiswa dibimbing oleh dua dosen pembimbing akademik, Dr. Wayan Aryawati, M.Kes dan Syafik Arisandi, S.Si., M.Kes.
Dr. Wayan Aryawati, M.Kes menyampaikan harapannya bahwa melalui program ini, mahasiswa dapat mengembangkan kemampuan analitis dan praktis dalam bidang kesehatan masyarakat. “Mahasiswa mampu berperan dalam pemecahan masalah dalam bidang kesehatan masyarakat dan dapat memberikan intervensi sesuai dengan kemampuan mahasiswa,” ujarnya.
Selama kegiatan ini, mahasiswa melakukan berbagai aktivitas yang mencakup identifikasi masalah kesehatan di masyarakat, pengumpulan data, analisis situasi, serta merancang dan melaksanakan intervensi yang sesuai dengan kebutuhan di masing-masing instansi. Misalnya, di PKBI Lampung, mahasiswa fokus pada program kesehatan reproduksi dan pendidikan seksual. Sementara di RS Bintang Amin, mereka terlibat dalam manajemen pelayanan kesehatan dan program pencegahan infeksi nosokomial.
Di Puskesmas Gadingrejo, mahasiswa berpartisipasi dalam program promosi kesehatan dan pencegahan penyakit menular. Di Kelompok LPP dan PT Japfa, mereka melakukan evaluasi kesehatan kerja dan lingkungan, serta memberikan rekomendasi untuk peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja. Sedangkan di Dinas Kesehatan Provinsi Lampung, mahasiswa terlibat dalam penyusunan kebijakan dan program kesehatan masyarakat.
Kegiatan PBL 2 ini mendapatkan respons positif dari instansi yang terlibat. Mereka berharap kerjasama dengan mahasiswa dan universitas dapat terus berlanjut untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di masyarakat. Para mahasiswa juga mengaku mendapatkan banyak ilmu dan pengalaman berharga yang tidak hanya memperkaya pengetahuan mereka tetapi juga meningkatkan keterampilan praktis yang akan sangat berguna dalam karir mereka di masa depan. (*)
Editor: Asyihin
Rektor Universitas Malahayati Bandar Lampung Ucapkan Selamat Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2024
Pada momen ini, Dalam sambutannya, Dr. Achmad Farich menekankan pentingnya nilai-nilai Pancasila sebagai landasan moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Selamat Hari Lahir Pancasila! Pancasila adalah dasar negara kita, yang tidak hanya menjadi pedoman dalam bernegara, tetapi juga menjadi fondasi utama dalam membangun karakter dan integritas bangsa Indonesia,” ujar Dr. Achmad Farich.
Dr. Achmad Farich mengajak seluruh civitas akademika Universitas Malahayati untuk terus mengamalkan nilai-nilai Pancasila dalam setiap aspek kehidupan, baik di lingkungan kampus maupun dalam masyarakat luas.
“Mari kita jadikan Pancasila sebagai pijakan dalam berkarya dan berinovasi, serta membangun Indonesia yang lebih maju dan sejahtera,” tambahnya. (*)
Muhammad Putra Pratama Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih Juara 2 Creative Video Exhibition 2024
Creative Video Exhibition 2024 adalah sebuah kompetisi dalam bidang video kreatif yang diadakan secara nasional di Indonesia. Lomba ini memberikan kesempatan kepada pembuat video untuk mengekspresikan kreativitas mereka dalam bentuk karya audiovisual.
Kompetisi ini menetapkan tema tertentu yang harus diikuti oleh peserta, dan para peserta kemudian membuat video yang sesuai dengan tema tersebut. Video yang dikirimkan akan dinilai oleh juri yang kompeten, dan pemenangnya mungkin akan mendapatkan penghargaan dan pengakuan atas karya mereka
Putra mangucapkan rasa syukur dan bangga atas raihan ini.”Alhamdulilah ini menjadi suatu kebanggaan bagi saya bisa berkesempatan untuk menjadi Juara 22 diajang acara Creative Video Exhibition 2024,” ucapnya.
Dengan mengikuti ajang lomba ini adalah sesuatu yang menjadi tolak ukurnya dalam menilai hasil karya videonya. “Pengalaman ini memotivasi saya untuk terus mengasah dan mengembangkan skill editing video dan berfikir kreatitf,” katanya.
Tak lupa Putra mengucpkan terimakasih atas support dan dukungan dari kampus Universitas Malahayati, keluarga, dosen dan teman-teman. “Saya berharap agar kedepannya saya dapat menorehkan kembali prestasi diajang berikutnya dan dapat mengharumkan nama baik Universitas Malahayati,” ujarnya.
Penghargaan ini bukan hanya tentang prestasi, tetapi juga tentang dedikasi, kreativitas, dan semangat kolaborasi yang akan saya tanamkan. “Saya berkomitmen untuk terus menghasilkan karya-karya yang memotivasi dan mengisnpirasi,” tandasnya. (gil/humasmalahayatinews)
Editor: Gilang Agusman
Harum Tanpa Bunga, Terang Tanpa Lampu
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Judul di atas adalah terjemahan dari filosofi jawa “wangi tanpo kembang, padang tanpo dimar (lampu)” merupakan bagian dari filosofi Jawa yang mengandung makna mendalam dan penuh kearifan lokal. Filosofi ini mengajarkan bahwa keindahan sejati dan kebijaksanaan sejati tidak selalu membutuhkan penampilan atau sarana yang terlihat. Berikut adalah beberapa interpretasi dari ungkapan tersebut: Pertama: Kesederhanaan yang Memancarkan Kebaikan: Ungkapan ini mengajarkan bahwa seseorang dapat membawa keharuman atau kebaikan (wangi) dalam hidup orang lain tanpa harus memamerkan atau memperlihatkan sesuatu yang mewah atau indah (kembang). Begitu juga, seseorang bisa memberikan pencerahan atau kebijaksanaan (padang) tanpa perlu menunjukkan sesuatu yang mencolok atau terang (lampu). Kedua: Kekuatan dari Dalam: Filosofi ini juga menekankan pentingnya kekuatan dan keindahan yang datang dari dalam diri seseorang, bukan dari penampilan luar atau atribut fisik. Nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan ketulusan dianggap lebih penting daripada hiasan luar.
Ketiga: Keikhlasan dan Kebijaksanaan: “Wangi tanpo kembang” dan “padang tanpo lampu” juga menggambarkan keikhlasan dalam tindakan dan kebijaksanaan dalam berpikir. Ini berarti seseorang bisa berbuat baik dan memberi pengaruh positif tanpa mengharapkan pujian atau pengakuan dari pihak lain; tindakannya semata-mata hanya karena untuk beribadah kepada Sang Pencipta.
Keempat: Esensi di Atas Penampilan: Filosofi ini menekankan bahwa yang terpenting adalah esensi atau substansi dari seseorang atau sesuatu, bukan penampilannya. Hal ini selaras dengan ajaran moral tentang pentingnya budi pekerti dan moralitas di atas segala atribut fisik atau materi. Dengan kata lain, ungkapan ini mengajak kita untuk menghargai nilai-nilai yang lebih dalam dan esensial, serta untuk selalu berusaha menjadi pribadi yang memberikan manfaat dan pencerahan kepada orang lain tanpa harus bergantung pada hal-hal yang bersifat material atau penampilan luar.
Sayangnya filosofi yang sangat dalam maknanya ini sekarang sudah menjadi barang langka seturut dengan bergesernya pandangan hidup kebanyakan kita. Aspek materi atau kebendaan dan sikap hedonis yang menyeruak jauh dalam kehidupan ini, menjadi pemuja akan materi dan kepuasan duniawi dijadikan pilihan utama. Banyak orang beranggapan akan menjadi wangi karena hartanya dan jalannya akan terang karena uangnya.
Sesuatu disebut nyata manakala berwujud, padahal hampir semua kita mengetahui ada hal yang tidak nyata tetapi ada. Dan, banyak diantara kita juga mengetahui bahwa hati yang terang itu melampaui cahaya matahari seterik apapun. Kesesatan berfikir mulai tampak nyata dihadapan kita; contoh yang dapat kita jadikan tamsil: sebelum dapat kita mudah berjanji, namun setelah diperoleh semua dengan mudah untuk diingkari. Sehingga seolah hati menjadi gelap, dan wangi yang ditebar sejatinya bunga reflesia.
Pembenaran akan kesalahan seolah memudahkan kita untuk mengatakan bahwa harumnya bunga mawar itu tidak seindah warna aslinya. Namun pemutaran logika serupa ini menjadikan pembenaran seolah-olah sah dalam hakiki; walau banyak orang mencibir dalam hati. Pemutarbalikan bahkan menjadikan distorsi, akhir-akhir ini justru banyak dilakukan tanpa harus malu; sekalipun harus menjilat kembali ludah sendiri.
Tampaknya hukum “tabur tuai” dalam konteks ini menjadi begitu relevan dengan filosofi jawa “siro sing nandur, yo siro sing panen”; makna kongkritnya ialah siapa yang menanam ya dia yang patut untuk memanen. Pada umumnya filosofi ini diteruskan dengan ucapan ….“Gusti Alloh ora sare….” yang terjemahan bebasnya “Tuhan tidak tidur”; maksudnya ialah bahwa apapun yang kita perbuat Tuhan Maha Mengetahui. Kita bisa menghindar dari hukum dunia (manusia) namun tidak dapat menghindar sedikitpun dari hukum Tuhan. Kita bisa beralasan atau berargumentasi dengan dalih “meluruskan”, namun kita tidak dapat menghindar dari catatan hati yang telah ditulis dalam lembar amal. Dengan kata lain kita bisa menipu siapa saja di muka bumi ini, namun kita tidak bisa menipu diri sendiri, karena di dalam hati kita selalu ada wilayah keilahian yang selalu mengingatkan kita; hanya persoalannya maukah kita mendengar peringatan itu. Pada posisi ini sering kita buta hati, dalam arti tidak mengindahkan peringatan hati nurani akan jalan ketuhanan.
Mari kita luruskan niat untuk membangun negeri ini tanpa harus berharap untuk terkenal “harumnya nama dan berlimpahnya harta”; karena jika itu yang menjadi tujuan, maka bersiaplah untuk kecewa. Sebaliknya manakala kita melakukannya dengan ihlas, maka malaikat akan mencatatnya sebagai amal. Tinggal sekarang semua pilihan ada ditangan kita. Bisa jadi kita memilih menimbun harta diperoleh dengan cara apa saja, termasuk mengkorupsi triliunan rupiah, namun pertanyaan akhir…apakah itu akan kita bawa keliang kubur saat kita dimakamkan… Jawabannya kita tanyakan pada rumput yang bergoyang..kata Ebit G Ad.
Salam waras.
Editor: Gilang Agusman
Turut Berduka Cita…
Sintia Andela Mahasiswa Universitas Malahayati, Raih Juara 2 Baca Puisi Tingkat Nasional
Lomba Baca Puisi Nasional Art Competition (NAC) Polinela adalah kompetisi puisi yang diselenggarakan oleh Politeknik Negeri Lampung (Polinela) di Indonesia. Lomba ini memberikan kesempatan kepada para penyair untuk menampilkan karya-karya puisi mereka dan bersaing dalam berbagai kategori yang ditentukan.
Sintia mengucapkan rasa syukur dan bangga atas hasil yang telah diraih dalam ajang ini. “Alhamdulilah suatu kebanggan bagi saya bisa menjadi juara 2 di ajang perlombaan ini,” ucapnya.
Ia mengatakan bahwa perlombaan ini merupakan perlombaan yang pertama kali saya ikuti. “Selama menempuh kuliah di Universitas Malahayati, ini pertama kalinya saya mengikuti perlombaan tingkat nasional serta menjadi perwakilan dari Universitas Malahayati,” katanya.
Sintia bercerita bahwa ia menyukai puisi dari kecil dan bermula dari dirinya melihat youtube. “Saya mulai mencoba mengikuti lomba baca puisi saat saya masih di SD, dan Alhamdulilah saya memenangkan lomba tersebut,” serunya.
Lanjutnya, ia mengungkapkan bahawa ia tidak hanya membaca puisi, tetapi ia juga mencoba ke hal baru yaitu penulisan puisi. “Saya juga menyukai menggambar, kaligrafi, dan juga lattering,” ungkapnya.
“Alhamdulilah orang tua saya sangat mendukung dan selalu support dengan bakat dan keinginan saya,”tambahnya.
Harapan saya yaitu bisa meningkatkan bakat yang satya miliki. “Saya berharap untuk kedepannya dapat menorehkan prestasi dibanyak bidang tidak hanya puisi,” sambungnya.
Jangan pernah takut akan kegagagalan, kalau tidak dimulai dari sekarang lalu kapan kita mulai. “Kesempatan tidak datang dua kali, jadilah yang terbaik dari yang terbaik,” tandasnya. (gil/humasmalahayatinews)
Editor: Gilang Agusman
Kecanduan yang Tak Berujung
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Membaca komentar umpan-balik dari seorang kemenakan pada saat membaca artikel tulisan dengan ucapan seperti judul di atas, membuat terkesiap membacanya; sebab yang komentar itu seorang dokter yang Doktor. Tentu saja membuat pemikiran melayang jauh betapa telah sangat memprihatinkan kondisi moral bangsa saat ini. Namun sebelum jauh melangkah sebaiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu candu yang bermetafora menjadi kecanduan.
Berdasarkan hasil penelusuran digital ditemukan informasi sebagai berikut: Candu adalah istilah dalam bahasa Indonesia yang merujuk pada sesuatu yang menyebabkan ketergantungan atau kecanduan. Secara harfiah, kata ini digunakan untuk menggambarkan obat-obatan yang memiliki sifat adiktif, seperti opium. Namun, dalam konteks yang lebih luas, “candu” dapat merujuk pada segala sesuatu yang membuat seseorang kecanduan atau sangat tergantung, baik itu aktivitas, kebiasaan, makanan, teknologi, atau hal lainnya.
Pada penggunaan sehari-hari, “candu” sering kali memiliki konotasi negatif karena menunjukkan ketergantungan yang berlebihan sehingga sulit untuk dihentikan atau dikendalikan. Misalnya, seseorang dapat dikatakan “kecanduan” permainan video, media sosial, atau bahkan pekerjaan, yang berarti mereka menghabiskan waktu dan energi secara berlebihan pada aktivitas tersebut hingga mengabaikan aspek lain dalam hidup mereka.
Ketergantungan atau kecanduan ini bisa berdampak negatif pada kesehatan fisik dan mental, hubungan sosial, dan produktivitas seseorang. Oleh karena itu, penting untuk mengenali tanda-tanda kecanduan dan mengambil langkah-langkah untuk mengelolanya dengan baik. Kecanduan untuk berbuat menyimpang mengacu pada dorongan kuat yang terus-menerus untuk melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan norma atau aturan sosial, hukum, atau moral. Tindakan menyimpang ini bisa bervariasi dari perilaku yang secara sosial dianggap tidak pantas hingga aktivitas yang secara hukum dianggap sebagai pelanggaran.
Salah satu bentuk perilaku lain kecanduan adalah “kecanduan korupsi” yaitu: kondisi di mana seseorang memiliki dorongan kuat dan berulang untuk melakukan tindakan korupsi meskipun menyadari dampak negatifnya bagi diri sendiri, organisasi, dan masyarakat. Korupsi sendiri mencakup berbagai tindakan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, seperti suap, penggelapan dana, nepotisme, dan manipulasi kontrak.
Faktor-Faktor yang mendorong kecanduan korupsi diantaranya adalah: Pertama, kekuasaan dan kesempatan: Akses terhadap kekuasaan dan kurangnya mekanisme pengawasan yang efektif dapat mendorong seseorang untuk melakukan korupsi. Kedua, krisis moral dan etika: Kelemahan dalam nilai-nilai moral dan etika individu dapat membuat seseorang lebih rentan terhadap korupsi. Ketiga, lingkungan sosial dan budaya: Budaya yang permisif terhadap korupsi dan tekanan dari lingkungan sosial untuk mencapai status atau kekayaan dapat mendorong perilaku korup. Keempat, kesenjangan ekonomi: Ketimpangan ekonomi dan kebutuhan finansial yang mendesak bisa menjadi pemicu tindakan korupsi. Kelima, psikologis dan kepribadian: Beberapa orang mungkin memiliki kepribadian yang lebih cenderung mengambil risiko dan kurang memiliki rasa bersalah atau empati, yang bisa membuat mereka lebih rentan terhadap kecanduan korupsi.
Rasa haus untuk menimbun harta sebanyak-banyaknya bagai meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Tipikal kerakusan seperti ini semakin menjadi-jadi manakala ditambah sikap hidup hedonis yang melekat pada diri dan keluarga.
Dalam penelitian Sulfakar yang dituangkan dalam disertasi menemukan bahwa; pendidikan antikorupsi untuk saat ini sudah sangat mendesak segera dilakukan oleh semua penyelenggara pendidikan. Bahkan lebih jauh direkomendasikan sebaiknya dimulai dari lingkungan pendidikan informal (keluarga). Tinggal bagaimana sekarang pemerintah untuk memotong penyebaran kecanduan korupsi ini untuk juga disertai tindakan represif bagi pelaku korupsi.
Jika selama ini mereka tetap mendapatkan perlakuan sebagaimana nara pidana kriminal biasa, maka efek jera tidak akan didapat. Tampaknya penegakkan hukum terhadap perilaku korupsi selama ini belum tegak secara benar, bahkan cenderung juga ikut dikorupsi dengan cara yang korup.
Bisa dibayangkan selevel Kejaksaan Agung yang mencoba menegakkan hukum untuk perilaku korupsi triliunan di bidang pertambangan, harus berhadapan dengan mafia; bahkan sedang makan malam-pun diikuti sehingga detasemen yang selama ini digunakan untuk melawan teorisme “dipakai” untuk menguntit. Celakanya pelaku dari perbuatan itu tertangkap dan viral di media sosial, akibatnya penghakiman oleh nitizen tidak dapat dihindari. Celakanya lagi yang bersangkutan sekarang dilaporkan ke lembaga antirasuah karena berbuat korupsi. Sejauh mana kebenaran laporan itu tulisan ini tidak memiliki kapasitas untuk menjelaskannya. Hanya menjadi tampak aneh, manakala ada sebab dibuatkan akibat, dan akibat tadi dibelokkan menjadi sebab kembali.
Tampaknya candu di Indonesia itu sudah bermetamorfose, di samping candu dalam pengertian nyata atau yang lebih popular disebut narkoba seperti di jelaskan di atas. Sekarang ada candu baru yaitu korupsi dengan kelas “mega uang”; bisa dibayangkan korupsi sampai mencapai angka triliun, dan dilakukan dengan berjamaah, sistemik, terstruktur masif. Nilai korupsi sampai melebihi anggaran belanja daerah tingkat kabupaten/kota, bahkan bisa jadi provinsi. Ini sudah fantastis dan keterlaluan.
Mafioso koruptor tampaknya sudah sangat menguasai semua lini kehidupan negeri ini, sehingga diperlukan satu tindakan tegas untuk memberantasnya. Hanya masalahnya siapa yang mampu dan mau, karena untuk mencari yang seperti ini sudah sangat sulit negeri yang sudah berkumbang dengan korupsi. Apakah kita akan terus bernafas dalam lumpur, mari kita tanya pada sutradara film yang pernah membuat judul itu. Bernafas dalam Lumpur adalah sebuah film Indonesia dirilis tahun 1970 yang disutradarai oleh Turino Junaidy serta dibintangi oleh Rachmat Kartolo dan Suzanna.
Salam Waras
Editor: Gilang Agusman