Posts

Program Studi Manajemen Universitas Malahayati Gelar Kuliah Umum OBE Bertema Smart Management and Modern Finance

BANDAR LAMPUNG (Malahayati.ac.id): Program Studi Manajemen Universitas Malahayati kembali menggelar Kuliah Umum Implementasi Outcome Based Education (OBE) dengan tema “Smart Management and Modern Finance: Building a Financially Literate Generation Ready to Compete Globally.” Kegiatan ini berlangsung pada Kamis (13/11/2025) di Gedung Graha Bintang Universitas Malahayati dan dihadiri 376 mahasiswa Manajemen angkatan 2024 dan 2025.

Baca Juga: Wakil Rektor II Universitas Malahayati Hadiri BCA Commercial Gathering, Bahas Peluang Kolaborasi Strategis

Ketua pelaksana, Ayu Nursari, S.E., M.E., dalam laporannya menyampaikan bahwa kuliah umum ini menjadi salah satu agenda penting Prodi Manajemen dalam memperkuat penerapan OBE serta membekali mahasiswa dengan wawasan keuangan modern. Ia juga menyampaikan apresiasi atas antusiasme peserta yang memenuhi ruangan hingga kegiatan berlangsung dengan sangat dinamis.

Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber dari berbagai lembaga dan industri, yaitu:
• Nur Annisa, S.E., M.E. – BNI
• Hary Febriady, S.E. – FIF Group
• Randi Arfanda Reza, S.Sos., S.E., M.B.A. – BPJS Ketenagakerjaan
• Nani Susanti, S.E. – Kantor Wilayah DJP

Para narasumber memaparkan materi terkait literasi keuangan, manajemen modern, tantangan industri keuangan, serta pentingnya kesiapan generasi muda dalam menghadapi kompetisi global. Mahasiswa tampak aktif berdiskusi, mencatat poin-poin penting, dan mengajukan pertanyaan seputar pengelolaan keuangan, peluang karier, serta peran manajemen dalam ekosistem ekonomi modern.

Ketua Program Studi Manajemen, Dr. Febrianti, S.E., M.Si, dalam sambutannya menegaskan bahwa kegiatan ini merupakan komitmen Prodi Manajemen untuk terus menguatkan implementasi OBE secara berkelanjutan.
“Semoga ilmu yang didapat hari ini dapat diimplementasikan dengan sebaik-baiknya. Prodi Manajemen akan selalu konsisten menjalankan penerapan OBE. Kami mohon dukungan agar kuliah umum seperti ini tetap kondusif. Catat hal-hal penting dan bertanyalah tentang apa pun yang ingin kalian ketahui,” ujarnya.

Baca Juga: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Malahayati Gelar Terapi Aktivitas Kelompok untuk Lansia di PSLU Tresna Werdha Bhakti Yuswa Natar

Rektor Universitas Malahayati, Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H, tidak dapat hadir dan diwakili oleh Wakil Rektor I, Prof. Dessy Hermawan, S.Kep., Ns., M.Kes. Dalam sambutannya, Prof. Dessy memberikan apresiasi kepada Prodi Manajemen atas terselenggaranya kuliah umum ini serta menekankan pentingnya pemahaman OBE dalam proses pembelajaran.
“Kegiatan seperti ini memberikan ruang bagi mahasiswa untuk mengembangkan kompetensi secara nyata sesuai capaian pembelajaran OBE. Kami mengapresiasi langkah Prodi Manajemen yang terus aktif menghadirkan kegiatan edukatif dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja,” ujarnya.

Dengan terselenggaranya kuliah umum ini, Prodi Manajemen Universitas Malahayati berharap mahasiswa semakin siap menghadapi tantangan global, memiliki literasi keuangan yang kuat, serta mampu bersaing di dunia profesional yang semakin kompetitif. Kegiatan ditutup dengan sesi foto bersama dan pemberian penghargaan kepada para narasumber. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Ketika Hati Menemukan Jalan Pulang

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Suatu sore setelah Ashar di serambi sebuah pesantren yang teduh, seorang santri muda duduk bersimpuh di hadapan kiainya. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah seusai hujan, sementara daun-daun bergesekan lembut di atas genting. Dengan suara lirih, santri itu bertanya kepada Kiai, …“Kiai, mengapa hati manusia sering gelisah meski telah banyak berdoa dan beribadah?”.. Sang kiai menatap wajah santri, lalu memandang jauh ke langit senja yang merona. Ia menarik napas dalam-dalam dan menjawab dengan lembut, …“Karena hatimu, Nak, belum menemukan jalan pulang. Manusia sering tersesat dalam keinginan dan ketakutan, hingga lupa bahwa damai sejati hanya muncul saat hati tertata dan siap menerima setiap ujian, bahkan kematian.”… Hening sejenak menyelimuti keduanya, seolah waktu ikut menunduk, memberi ruang bagi jiwa untuk merenung.

Kalimat yang berbunyi “Ketika hati menemukan jalan pulang”, ini menunjuk pada situasi dimana manusia tidak lagi hidup dalam kegelisahan tanpa ujung. Ia mulai memahami bahwa hidup bukan perlombaan untuk memiliki sebanyak mungkin, melainkan perjalanan untuk memahami arti kehilangan. Dalam pemahaman itu, manusia belajar menata hatinya, diantaranya adalah menerima perubahan, mengampuni masa lalu, dan berdamai dengan ketidaksempurnaan. Penataan hati bukan sekadar upaya moral, tetapi tindakan eksistensial yang lahir dari kesadaran bahwa setiap hal yang datang pasti akan pergi. Dengan menata hati, manusia sedang melatih dirinya untuk tidak gentar menghadapi kefanaan.

Kematian, yang sering dianggap sebagai momok menakutkan, sebenarnya hanyalah kepulangan yang tak terhindarkan. Ketika hati belum tertata, kematian tampak seperti jurang gelap yang menelan segala makna. Namun bagi hati yang tenang, kematian menjadi seperti senja yang lembut, sebagai penutup yang indah bagi hari yang telah penuh cerita. Menemukan jalan pulang berarti menemukan cara untuk menatap kematian dengan damai, karena hati telah memahami bahwa yang berakhir hanyalah bentuk, sementara makna tetap berdenyut di ruang yang tak terjangkau waktu.

Manusia sering tersesat karena terlalu sibuk menatap ke luar, mengejar citra, kedudukan, dan bahkan pengakuan, hingga lupa menengok ke dalam. Padahal, di sanalah jalan pulang sejati berada. Di dalam diri, terdapat ruang sunyi yang tidak tersentuh oleh hiruk-pikuk dunia, tempat segala kebisingan berhenti, dan manusia dapat mendengar suara yang paling jernih: suara hatinya sendiri. Namun untuk sampai ke ruang itu, diperlukan keberanian yang besar, keberanian untuk menghadapi kesepian, luka, dan bayangan diri yang selama ini dihindari.

Menemukan jalan pulang bukanlah perjalanan yang cepat. Ia menuntut keheningan, kejujuran, dan kesediaan untuk melepaskan. Melepaskan bukan berarti menyerah, melainkan membebaskan diri dari hal-hal yang menjerat jiwa. Dalam setiap kehilangan, manusia diajak untuk melihat sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perpisahan. Ia belajar bahwa melepaskan adalah bagian dari mencintai, bahwa dalam setiap akhir ada kesempatan untuk menemukan makna baru. Hati yang mampu melepaskan tidak lagi terbelenggu oleh masa lalu, melainkan terbuka menerima segala yang datang dengan lembut.

Ketika hati tertata, waktu tak lagi terasa sebagai ancaman, melainkan anugerah. Setiap detik menjadi kesempatan untuk hidup sepenuhnya, bukan untuk menumpuk pencapaian, tetapi untuk menebarkan kebaikan. Hidup tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang harus ditaklukkan, tetapi sebagai ruang untuk mengalami kehadiran yang sejati. Dalam kesadaran ini, manusia mulai menyadari bahwa jalan pulang bukan terletak di ujung kehidupan, tetapi hadir di setiap langkah yang dijalani dengan kesadaran penuh.

Hati yang menemukan jalan pulang adalah hati yang tidak lagi takut kehilangan. Ia tahu bahwa segala sesuatu yang dicintainya suatu saat akan berubah bentuk, namun tidak benar-benar lenyap. Cinta, kebaikan, dan keikhlasan akan tetap hidup, bahkan setelah tubuh berhenti bernapas. Maka, kematian bukanlah pemisahan, melainkan kelanjutan dari perjalanan menuju bentuk keberadaan yang lain. Dalam pandangan ini, hidup dan mati tidak lagi bertentangan, tetapi saling melengkapi seperti siang dan malam yang bergantian menjaga keseimbangan alam.

Pulang, dalam makna terdalam, adalah kembalinya manusia pada kesadaran akan dirinya yang sejati. Ia tak lagi dikuasai oleh ego yang menuntut pengakuan, tak lagi terikat oleh keinginan yang tak pernah puas. Ia telah belajar bahwa kebahagiaan tidak terletak pada memiliki, melainkan pada menjadi. Menjadi hadir, menjadi damai, menjadi cinta. Dalam keadaan itu, hati tidak lagi berkelana tanpa arah, sebab ia telah tiba di tempat yang paling hakiki: kedamaian dalam diri sendiri.

Mungkin jalan pulang tidak selalu mulus. Ada luka, kecewa, dan penyesalan yang harus dilalui. Namun justru di sanalah makna perjalanan itu tumbuh. Tanpa luka, manusia tidak akan tahu makna penyembuhan. Tanpa kehilangan, ia tidak akan mengerti nilai dari kehadiran. Hati yang matang adalah hati yang telah melewati badai dan tetap mampu mencintai dunia dengan kelembutan. Ia tidak lagi menuntut kehidupan agar sempurna, karena ia tahu bahwa kesempurnaan sejati hanya ada dalam penerimaan total terhadap yang tidak sempurna.

Dan, pada akhirnya, ketika hati benar-benar menemukan jalan pulang, manusia tidak lagi berusaha melarikan diri dari kematian. Ia justru menyambutnya dengan ketenangan yang mendalam, seperti seseorang yang kembali ke rumah setelah perjalanan jauh. Tidak ada lagi kegelisahan, hanya rasa syukur bahwa hidup telah dijalani dengan penuh makna. Di saat itu, kematian bukanlah kehilangan, melainkan kepulangan ke pelukan keabadian.

Ketika hati menemukan jalan pulang, hidup dan mati berhenti menjadi dua hal yang terpisah. Keduanya melebur menjadi satu pengalaman keberadaan yang utuh. Hidup menjadi doa yang berjalan, dan mati menjadi jeda dalam keheningan yang suci. Di sana, manusia akhirnya mengerti bahwa semua pencarian yang panjang di dunia ini sebenarnya hanyalah upaya untuk kembali, yaitu kembali pada hati yang damai, pada diri yang sejati, pada sumber segala kehidupan. Dan ketika hati telah sampai di sana, maka tak ada lagi yang perlu dicari, sebab ia telah benar-benar pulang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Wakil Rektor II Universitas Malahayati Hadiri BCA Commercial Gathering, Bahas Peluang Kolaborasi Strategis

BANDARLAMPUNG (malahayati.ac.id): Wakil Rektor II Universitas Malahayati, Drs. Nirwanto, M.Kes, menghadiri acara BCA Commercial Gathering yang digelar di Hotel Azana Boutique, Rabu (12/11/2025). Kehadirannya turut didampingi oleh Kepala Humas dan Protokol Universitas Malahayati, Emil Tanhar, S.Kom.

Acara yang diselenggarakan oleh Bank Central Asia (BCA) ini menghadirkan sejumlah pelaku usaha, pimpinan institusi pendidikan, dan mitra strategis BCA dari berbagai sektor di Provinsi Lampung. Turut hadir dan memberikan sambutan Suhardjo Moeliadi, selaku Kepala Kantor Wilayah VI BCA, yang menekankan pentingnya sinergi antara dunia perbankan dengan lembaga pendidikan dan sektor bisnis dalam mendukung pertumbuhan ekonomi daerah.

Baca Juga: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Malahayati Gelar Terapi Aktivitas Kelompok untuk Lansia di PSLU Tresna Werdha Bhakti Yuswa Natar

Dalam sambutannya, Suhardjo Moeliadi menyampaikan bahwa BCA terus berkomitmen untuk menghadirkan solusi finansial yang inovatif, efisien, dan berbasis teknologi digital. “Kami ingin menjadi mitra strategis bagi berbagai institusi, termasuk universitas, dalam membangun ekosistem keuangan yang sehat, modern, dan berkelanjutan,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, Drs. Nirwanto, M.Kes memberikan sejumlah masukan konstruktif terkait ide-ide yang disampaikan pihak BCA. Ia menilai bahwa gagasan penguatan kolaborasi antara BCA dan perguruan tinggi seperti Universitas Malahayati sangat relevan, terutama dalam menghadapi tantangan transformasi digital di dunia pendidikan dan manajemen keuangan kampus.

“Universitas Malahayati selalu terbuka terhadap kerja sama yang mendukung peningkatan efisiensi dan transparansi pengelolaan keuangan institusi. Kami melihat potensi besar untuk berkolaborasi, baik dalam hal pengembangan sistem pembayaran digital mahasiswa, literasi keuangan civitas akademika, maupun program edukasi perbankan bagi mahasiswa,” ujar Nirwanto.

Lebih lanjut, Nirwanto menambahkan bahwa sinergi antara dunia pendidikan dan sektor perbankan dapat memberikan manfaat jangka panjang, tidak hanya bagi institusi, tetapi juga bagi mahasiswa sebagai generasi penerus yang perlu dibekali dengan kemampuan finansial dan kewirausahaan yang baik.

Baca Juga: LPPM Universitas Malahayati Laksanakan Monev Program Pengabdian Masyarakat, Dorong Inovasi Ekoenzim Ramah Lingkungan

Acara BCA Commercial Gathering 2025 ini juga menjadi ajang networking dan diskusi interaktif antar peserta. Beberapa isu yang dibahas antara lain transformasi digital perbankan, solusi pembayaran kampus, pengelolaan dana institusi, hingga peluang kerja sama dalam kegiatan sosial dan pendidikan.

Dengan semangat kolaboratif yang terbangun, Universitas Malahayati dan BCA diharapkan dapat segera menjajaki langkah konkret dalam mewujudkan kemitraan strategis, khususnya dalam bidang edukasi finansial, pengembangan digital campus, dan program pemberdayaan mahasiswa. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Malahayati Gelar Terapi Aktivitas Kelompok untuk Lansia di PSLU Tresna Werdha Bhakti Yuswa Natar

NATAR (Malahayati.ac.id): Kepedulian terhadap kesehatan jiwa dan kesejahteraan lansia diwujudkan oleh Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Malahayati bersama mahasiswa semester 7 melalui kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM) di Panti Sosial Lanjut Usia (PSLU) Tresna Werdha Bhakti Yuswa Natar, Jumat (7/11/2025).

Kegiatan yang berlangsung dengan penuh kehangatan ini mengusung tema “Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Lansia.” Melalui kegiatan ini, para mahasiswa memberikan pendampingan langsung kepada para penghuni panti dengan berbagai aktivitas yang dirancang untuk menstimulasi fungsi kognitif, meningkatkan keterampilan sosial, mengurangi depresi dan kecemasan, serta menumbuhkan semangat hidup bagi para lansia.

Baca Juga: LPPM Universitas Malahayati Laksanakan Monev Program Pengabdian Masyarakat, Dorong Inovasi Ekoenzim Ramah Lingkungan

Turut hadir dalam kegiatan ini Kepala PSLU Tresna Werdha Bhakti Yuswa Natar, Iwan Barmansyah, S.H., M.H., beserta jajaran pengurus panti. Dari pihak kampus, kegiatan ini dihadiri oleh Kepala Program Studi Ilmu Keperawatan, Aryanti Wardiyah, M.Kep., Sp.Mat., yang sekaligus memberikan sambutan pembuka, serta para dosen pendamping: Andoko, S.Kep., Ns., M.Kes. selaku koordinator kegiatan, Rilyani, S.Kep., Ns., M.Kes., Eka Trismiyana, S.Kep., M.Kes., dan Umi Romayati Keswara, S.Kep., M.Kes.

Dalam sambutannya, Aryanti Wardiyah, M.Kep., Sp.Mat., menyampaikan bahwa kegiatan ini merupakan wujud nyata implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya dalam aspek pengabdian kepada masyarakat. Ia juga menekankan pentingnya peran mahasiswa keperawatan dalam memberikan dukungan psikososial kepada lansia agar mereka tetap produktif dan bersemangat dalam menjalani masa tua.

“Melalui kegiatan Terapi Aktivitas Kelompok ini, kami ingin menumbuhkan empati dan rasa peduli mahasiswa terhadap kesehatan mental lansia. Kami berharap kegiatan ini tidak hanya bermanfaat bagi penghuni panti, tetapi juga menjadi pengalaman belajar berharga bagi mahasiswa dalam memahami aspek keperawatan gerontik secara langsung,” ujar Aryanti.

Baca Juga: Dosen Teknik Sipil Universitas Malahayati Ikuti Konferensi Nasional Teknik Sipil (Konteks ke-19) dan Munas BMPTTSSI di Mataram

Sementara itu, Iwan Barmansyah, S.H., M.H., selaku Kepala PSLU Tresna Werdha Bhakti Yuswa Natar, menyampaikan apresiasi dan rasa harunya atas kehadiran mahasiswa Universitas Malahayati.

“Kami sangat berterima kasih atas perhatian dan kepedulian dari Universitas Malahayati. Para lansia terlihat sangat senang dan antusias mengikuti kegiatan ini. Kami berharap kegiatan serupa dapat dilaksanakan kembali secara berkelanjutan, karena dampaknya sangat positif bagi penghuni panti,” ungkapnya.

Rangkaian kegiatan TAK yang dilakukan mahasiswa mencakup permainan kelompok, senam ringan, latihan memori, hingga sesi refleksi dan berbagi cerita antar peserta. Suasana penuh tawa, keakraban, dan kasih sayang tampak mewarnai seluruh kegiatan.

Melalui kegiatan ini, mahasiswa tidak hanya mengasah keterampilan komunikasi terapeutik dan empati, tetapi juga belajar memahami pentingnya pendekatan holistik dalam memberikan pelayanan keperawatan pada lansia.

Kegiatan pengabdian ini sekaligus menjadi bentuk kontribusi nyata Universitas Malahayati dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sejalan dengan semangat kampus dalam mencetak tenaga kesehatan yang profesional, humanis, dan berjiwa sosial tinggi. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Menafsir Roso Sejati

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Malam itu suasana di suatu pesantren begitu hening. Hanya suara jangkrik yang menemani para santri yang tengah mengulang hafalan di serambi masjid. Seorang santri muda yang terkenal cerdas dalam angkatannya; menghampiri kiai yang sedang duduk di beranda, ditemani secangkir teh hangat dalam keremangan lampu yang memang berkapasitas kecil.

Santri dengan sikap takzim berkata: ..“Kiai, mengapa hati saya sering gelisah? Saya sudah belajar, berzikir, dan berusaha taat, tapi tetap saja terasa ada yang kosong di dalam diri.”
Kiai dengan senyum khasnya, sambil membenahi sorban yang terlilit dilehernya menjawab: …“Nak, apa yang kau cari bukan di luar dirimu. Ketenangan itu lahir dari rasa yang sejati, bukan dari banyaknya amal atau pengetahuan.”…

Santri muda tadi penasaran, dengan takzimnya dia bertanya lanjut: …“Apakah yang panjenengan maksud dengan rasa sejati itu, Kiai ?”…
Kiai menjawab dengan disertai senyuman ikhlas di bibirnya: …“Roso sejati itu Nak. Ia adalah getar halus dalam hati ketika engkau benar-benar sadar akan kehadiran Gusti Allah. Ia tak bisa kau hafalkan, hanya bisa kau rasakan dalam keheningan yang jujur terhadap dirimu sendiri.”…

Santri itu terdiam, menundukkan kepala. Di tengah sunyi malam pesantren, ia mulai memahami bahwa pelajaran terpenting bukan hanya di kitab yang terbuka di pangkuannya yang dia hafalkan setiap hari itu saja, karena semua itu adalah baru media untuk mengenal apa yang ada di dalam batinnya sendiri.

Selanjutnya Mbah Yai menjelaskan panjang lebar disertai dalil yang sangat dikuasainya. Dan jika diringkas secara harfiah penjelasannya demikian;
Di tengah arus kehidupan yang kian ramai ini, manusia sering kehilangan arah batinnya. Ia berlari mengejar banyak hal, seperti; kekuasaan, harta, penghormatan, ilmu pengetahuan. Namun setelah semua itu diraih, masih saja ada ruang kosong yang tak terisi. Kekosongan itu sesungguhnya adalah panggilan dari dalam, panggilan untuk kembali mengenal jati diri yang sejati. Dalam istilah Jawa, keadaan ini disebut roso sejati: rasa batin yang telah kembali ke asalnya, bening dan tenang, bebas dari kabut keakuan dan nafsu dunia.

Roso sejati bukan sekadar perasaan halus, bukan pula kelembutan emosional semata. Ia adalah kesadaran yang jernih, di mana seseorang mampu merasakan kehadiran yang tak kasat mata namun nyata dalam setiap denyut kehidupan. Di dalam diri manusia ada ruang yang sunyi, lebih dalam dari pikiran dan lebih halus dari kata-kata. Di sanalah roso sejati bersemayam, menunggu untuk disadari. Untuk bisa menyentuhnya, seseorang harus berani berjalan ke dalam dirinya sendiri, menyingkap lapisan demi lapisan yang menutupi hati, hingga tiba pada inti kesadaran yang paling murni.

Dalam keheningan hati, manusia mulai menemukan arah. Ia menyadari bahwa hidup bukan sekadar pergerakan lahiriah, melainkan perjalanan menuju pemahaman yang utuh tentang diri dan kehidupan. Ketika hati mulai jernih, dunia pun tampak berbeda. Segala peristiwa, baik pahit maupun manis, dilihat bukan sebagai ujian yang menakutkan, tetapi sebagai bagian dari irama kehidupan yang harus dijalani dengan sabar. Dari sini muncul ketenangan; bukan karena dunia menjadi mudah, tetapi karena hati telah mengerti cara menerima.

Perjalanan menuju roso sejati menuntut laku yang tekun. Seseorang harus belajar menundukkan keakuannya, menahan diri dari dorongan untuk selalu merasa benar, dan menggantinya dengan kerendahan hati. Dalam diam yang disertai kesadaran, manusia belajar mengingat asalnya. Ia mulai menyadari bahwa setiap hembusan napas adalah anugerah, setiap gerak adalah titipan. Dalam kesadaran semacam ini, hidup menjadi ibadah yang tenang, tanpa perlu banyak kata, tanpa perlu banyak tanda.

Roso sejati membuat seseorang hidup dengan hati yang lembut. Ia tidak mudah marah, tidak mudah iri, tidak gemar menilai. Ia memandang sesama bukan dengan mata dunia, melainkan dengan rasa yang penuh kasih. Ia menebar kebaikan tanpa pamrih, karena hatinya telah dipenuhi oleh rasa syukur yang tulus. Dalam kesehariannya, ia menjadi cahaya kecil yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Dari hati yang damai lahir perilaku yang damai, sebab perilaku adalah cermin dari keadaan batin.
Namun, roso sejati tidak dapat diraih melalui pengetahuan semata. Ia tumbuh dari pengalaman batin yang dilalui dengan kesungguhan dan kesabaran.

Banyak orang mencari kedamaian di luar dirinya, padahal sumbernya ada di dalam. Hati yang masih diselimuti amarah, iri, dan dendam tidak akan mampu merasakan roso sejati. Ia seperti air yang keruh; tak mampu memantulkan cahaya. Maka tugas manusia adalah membersihkan wadah hatinya, hingga bening dan mampu merefleksikan kebenaran. Ketika bening itu muncul, ia akan melihat bahwa segala sesuatu itu sesungguhnya adalah satu didalam rahmat-Nya.
Dalam keadaan demikian, hidup menjadi sederhana. Seseorang tetap bekerja, berkeluarga, bergaul dengan dunia, tetapi tidak lagi diperbudak oleh keinginan dan ketakutan.

Ia menjalani hidup dengan tenang, sebab roso sejatinya telah memimpin jalan hidupnya. Tidak ada lagi pertentangan antara dunia dan batin, antara lahir dan makna. Semua menyatu dalam harmoni yang sunyi.
Roso sejati pada akhirnya bukan sesuatu yang jauh. Ia tidak berada di langit tinggi atau di balik rahasia gaib. Ia ada di sini, di dalam diri yang sadar. Dalam setiap tarikan napas yang dihayati dengan penuh kehadiran, dalam setiap kesadaran yang jujur terhadap hidup, di sanalah roso sejati berbisik lembut: “Pulanglah.” Siapa yang mampu mendengar bisikan itu dengan sepenuh hati, akan menemukan kedamaian yang tak lagi bergantung pada apa pun. Ia telah menafsir hidup, dan menemukan makna terdalamnya, ya roso sejati itu sendiri. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Dosen Teknik Sipil Universitas Malahayati Ikuti Konferensi Nasional Teknik Sipil (Konteks ke-19) dan Munas BMPTTSSI di Mataram

MATARAM (Malahayati.ac.id): Dua dosen Program Studi Teknik Sipil Universitas Malahayati, yakni Ir. Amelia Oktavia, S.T., M.T., CST., CSP dan Devi Oktarina, S.T., M.T., turut ambil bagian dalam Konferensi Nasional Teknik Sipil (Konteks ke-19) sekaligus Musyawarah Nasional (Munas) Badan Musyawarah Pendidikan Tinggi Teknik Sipil Seluruh Indonesia (BMPTTSSI). Kegiatan bergengsi ini berlangsung selama tiga hari, 6–8 November 2025, bertempat di Universitas Islam Al-Azhar (Unizar), Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Dengan mengusung tema “Inovasi Infrastruktur Berkelanjutan untuk Mendukung Ketahanan Bencana dan Pariwisata,” Konteks ke-19 menjadi ajang strategis yang mempertemukan akademisi, peneliti, dan praktisi teknik sipil dari seluruh Indonesia untuk berdiskusi dan berbagi gagasan tentang solusi inovatif menghadapi tantangan geopasial serta mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Acara pembukaan turut dihadiri oleh Wakil Gubernur Provinsi NTB, Hj. Indah Dhamayanti Putri, S.E., M.IP., yang menyampaikan apresiasinya terhadap peran dunia pendidikan tinggi dalam melahirkan ide-ide konstruktif bagi pembangunan daerah dan nasional.

Baca Juga: Semarak Dies Natalis ke-10, HIMFA Universitas Malahayati Gelar PHARMACOPI 2.0 Usung Tema “Strengthening Pharmaceutical Innovation and Collaboration”

Selain itu, Konteks ke-19 juga menghadirkan tiga keynote speaker ternama yang memberikan pandangan ilmiah dan pengalaman praktis di bidang ketekniksipilan, yakni: Prof. Ir. Sri Widiyantoro, M.Sc., Ph.D. – Ketua Pusat Studi Gempa Nasional, Dirjen Cipta Karya Kementerian PUPR, Ir. Andy Prabowo, S.T., M.T., Ph.D., IPM. – Akademisi dari Universitas Tarumanegara, Ir. H. Ahmadi, SP-1 – Kepala Pelaksana BPBD Provinsi NTB.

Kehadiran para pakar tersebut memperkaya diskusi mengenai pembangunan infrastruktur yang tangguh, inovatif, dan berorientasi pada ketahanan terhadap bencana, sekaligus memperhatikan potensi sektor pariwisata sebagai penggerak ekonomi daerah.

Bagi Universitas Malahayati, partisipasi dosen dalam ajang nasional ini menjadi wujud nyata komitmen institusi dalam mendorong pengembangan akademik, penelitian, serta peningkatan mutu akreditasi program studi Teknik Sipil. Melalui kegiatan ini, para dosen diharapkan dapat terus berkontribusi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui karya ilmiah yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal nasional terindeks dari hasil Konteks ke-19.

“Keikutsertaan dosen kami dalam Konteks ke-19 menjadi bentuk apresiasi terhadap semangat kolaborasi dan inovasi. Ini juga menjadi langkah nyata dalam memperkuat kapasitas penelitian serta memperluas jejaring akademik nasional bagi Program Studi Teknik Sipil Universitas Malahayati,” ujar salah satu perwakilan Prodi Teknik Sipil.

Dengan semangat tersebut, Universitas Malahayati berharap agar di tahun-tahun mendatang semakin banyak dosen yang berpartisipasi aktif dalam forum akademik bergengsi seperti Konteks dan Munas BMPTTSSI, sebagai bukti kontribusi nyata kampus dalam membangun peradaban teknik sipil yang tangguh, berkelanjutan, dan berdaya saing global. (gil)

Editor: Gilang Agusman

Bayang-Bayang di Balik Mahkota

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada 10 November 2025, di media ini Syarief Makhya, seorang Guru Besar Universitas negeri terkenal di negeri ini, mengemukakan pendapatnya dengan lugas, tegas dan mendasar tentang diberikannya gelar pahlawan nasional kepada seorang tokoh negeri ini.

Uraian beliau sangat mendasar dari segi moral kepemerintahan, sesuai bidang keahliannya. Tergerak pikir untuk menambahi tulisan itu, tetapi dari sudut Filsafat Kontemporer; tentu bukan bertujuan untuk memposisikan diri setuju atau tidak; namun ingin menyuguhkan pikiran lain sebagai pelengkap; itupun dengan bahasa kiasan agar menjadi lebih enak dipahami dengan rasa sejati.

Pada kisah pewayangan model Jawa selalu ada sosok yang lahir dari ambisi dan kekuasaan, yang langkahnya menorehkan jejak ganda; antara kemakmuran dan kehancuran. Ia bukan sekadar manusia, tetapi simbol dari paradoks peradaban: tangan yang menanam padi adalah tangan yang sama menumpahkan darah. Ia diingat dengan dua wajah; satu bercahaya, satu berjelaga; dan di sanalah filsafat kontemporer menemukan ruangnya untuk merenung tentang makna kepahlawanan, kekuasaan, dan moralitas.

Sebagai contoh dalam pewayangan, sang penguasa yang memimpin Hastina pernah diyakini sebagai titisan dewa. Ia memerintah dengan wibawa dan ketegasan, menata negeri dari puing menjadi taman. Di bawah kepemimpinannya, rakyat mengenal tertib, ladang berbuah, jalan-jalan terbuka, dan langit negeri tampak teduh. Namun di balik kedamaian yang tampak, tersimpan kisah tentang darah yang jatuh di antara bayang-bayang malam, tentang mereka yang hilang suara karena dianggap mengganggu harmoni.

Jika dibaca dengan kacamata filsafat kontemporer, kisah ini menyingkap pertanyaan mendasar tentang etika kekuasaan. Michel Foucault, misalnya, pernah menulis bahwa kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui kekerasan, tetapi juga melalui produksi kebenaran. Sang penguasa Hastina, dalam konteks ini, bukan sekadar raja, melainkan arsitek dari narasi besar yang menjadikan dirinya pusat dari makna “ketertiban”. Dalam tangannya, kata “damai” bisa berarti “diam”, dan “setia” tetapi bisa juga berarti “tak boleh bertanya”.

Namun manusia, betapapun besar kuasanya, tidak dapat menghapus jejak paradoks eksistensialnya. Kierkegaard mungkin akan menyebutnya sebagai “keputusasaan dalam keagungan”, manakala seseorang menjadi begitu besar hingga kehilangan dirinya sendiri. Ia mencintai negerinya dengan cara yang keras, menegakkan kesatuan dengan memotong keragaman, dan menanam rasa aman dengan menutup pintu kebebasan. Maka lahirlah ironi: negeri yang makmur tapi takut, rakyat yang tunduk tapi tak sepenuhnya percaya.

Ketika masa berlalu dan sejarah mulai mengendap, muncul perdebatan tentang layakkah sang penguasa ini disebut pahlawan. Filsafat kontemporer tidak mencari jawaban hitam-putih; ia mengajak kita melihat pahlawan bukan sebagai patung, tetapi sebagai proses pemaknaan. Jean-Paul Sartre mengatakan manusia adalah makhluk yang selalu dalam “proyek menjadi”, oleh karena itu ia tidak pernah selesai. Maka, mungkin kepahlawanan pun bukan status yang abadi, melainkan tafsir yang terus berubah bersama kesadaran zaman.

Pada bayangan pewayangan, sang penguasa Hastina dapat dipandang seperti Duryudana atau bahkan Karna sekalipun sebagai tokoh yang berjuang dengan niat luhur, namun terperangkap dalam struktur kekuasaan dan dendam sejarah. Mereka tidak sepenuhnya jahat, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Mereka berada dalam ruang abu-abu di mana moralitas dan kebutuhan politik saling membelit. Ketika rakyat lapar, mereka memberi makan; ketika rakyat berteriak, mereka membungkam. Dalam dialektika Hegelian, inilah antitesis dari kepahlawanan klasik: ketika tindakan yang menyelamatkan pada saat yang sama juga melukai.

Bagi filsafat etika, terutama dalam pandangan Hannah Arendt, persoalannya bukan hanya tentang siapa yang membunuh atau siapa yang menyelamatkan, melainkan bagaimana manusia mampu bertanggung jawab atas akibat dari tindakannya. Arendt mengingatkan bahwa kejahatan terbesar sering kali lahir bukan dari kebencian, melainkan dari ketaatan yang buta. Dalam kisah Hastina, banyak yang mengabdi karena cinta kepada tanah air, namun cinta itu menjelma menjadi alat untuk meniadakan yang berbeda.

Ketika masa penobatan tiba dan suara-suara mulai memuji, muncul kegelisahan di antara para bijak. Apakah kemakmuran yang lahir dari luka dapat disebut sebagai kebajikan? Apakah sejarah yang dibangun di atas penghapusan dapat dijadikan dasar bagi penghormatan? Filsafat tidak menolak penghargaan, tetapi mengingatkan bahwa setiap gelar adalah cermin: ia memantulkan bukan hanya sosok yang diberi, tetapi juga kesadaran moral mereka yang memberi.

Di dalam mitologi Jawa, setiap raja besar akhirnya harus berjalan menuju pertapaan, meninggalkan mahkota dan senjata. Ia harus menatap kembali dirinya tanpa gelar, tanpa pengawal, tanpa legitimasi. Di sanalah ia diuji: apakah yang tersisa hanyalah dosa kekuasaan, atau ada seberkas cahaya kebajikan yang benar-benar lahir dari niat tulus. Barangkali di titik itulah kita dapat memahami makna “pahlawan” bukan sebagai simbol kesempurnaan, melainkan sebagai medan pergulatan antara niat baik dan akibat buruk.

Maka, ketika zaman modern mengangkat kembali kisah sang penguasa Hastina dan menempatkannya di altar kehormatan, yang sejatinya diuji bukan hanya sosoknya, melainkan juga ingatan kolektif kita. Apakah kita telah dewasa dalam menilai sejarah? Ataukah kita masih takut menatap sisi gelap dari masa lalu karena cahayanya terlalu menyilaukan?

Pada akhirnya, mitologi mengajarkan bahwa setiap bayang selalu mengikuti cahaya. Tidak ada pahlawan tanpa dosa, dan tidak ada tiran tanpa alasan. Yang tersisa hanyalah kesadaran untuk terus bertanya: ketika darah dan bunga sama-sama tumbuh dari tanah yang sama, manakah yang lebih layak kita rawat—keindahannya atau lukanya? Jawabanya ada pada wilayah “Roso Sejati” yang kita punya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Rezeki, Kehendak, dan Jalan Tuhan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sore itu di serambi sebuah pesantren, ketika cahaya matahari mulai condong ke barat, seorang santri muda bertanya dengan raut ingin tahu kepada kiainya. “Kyai, mengapa ada orang yang tahu bahwa bersedekah itu baik, tapi tetap enggan melakukannya?”

Sang Kiai tersenyum, menatap lembut wajah santrinya, lalu menjawab pelan. “Nak, membelanjakan rezeki di jalan Allah bukan perkara tahu atau tidak tahu, tetapi perkara hati yang dibukakan oleh-Nya. Ada yang tahu tetapi tak mau. Ada yang mau tetapi tak mampu. Di situlah Allah menunjukkan kuasa-Nya…”

Pertanyaan sederhana itu kemudian menjadi awal perenungan panjang tentang manusia, rezeki, dan kebebasan hati.

Dalam kehidupan manusia, konsep rezeki sering dipahami sebagai anugerah yang datang dari Tuhan, sesuatu yang melampaui perhitungan manusia dan usaha rasionalnya. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, cara manusia memperlakukan rezeki justru menjadi cermin dari sejauh mana kesadarannya tentang makna hidup, tujuan keberadaan, dan hubungannya dengan yang transenden.

Ketika dikatakan bahwa “membelanjakan rezeki ke jalan Tuhan tidak semua kita dibukakan hati,” maka di sana tersembunyi suatu kebenaran yang dalam tentang keterbatasan manusia dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai kebaikan.

Banyak yang tahu apa yang baik, tetapi tidak mau melakukannya. Ada pula yang ingin berbuat baik, namun tidak mampu. Dalam ketimpangan antara pengetahuan, kehendak, dan kemampuan itulah, Tuhan menyingkapkan rahasia kuasa-Nya.

Manusia, sebagai makhluk berakal dan berkehendak, selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan moral. Ia dapat menggunakan rezeki, dalam bentuk harta, waktu, tenaga, maupun pengetahuan, untuk menegakkan kebaikan atau justru memuaskan hawa nafsunya. Namun, keputusan untuk membelanjakan rezki di jalan Tuhan tidak semata-mata hasil dari kesadaran rasional.

Ada dimensi batin yang lebih dalam: “pembukaan hati”. Hati yang terbuka kepada kebenaran adalah anugerah, bukan semata hasil usaha manusia. Oleh karena itu, ada manusia yang tahu apa yang benar, tetapi tidak mau melakukannya karena hatinya tertutup oleh keserakahan, ketakutan, atau egoisme. Ada pula yang memiliki hati yang tulus, namun tidak diberi kemampuan material untuk berbuat sebagaimana yang diinginkan. Di sinilah letak misteri kehendak ilahi dan keterbatasan manusia di hadapan-Nya.

Rezeki, dalam hal ini, bukan hanya soal kepemilikan material. Ia adalah simbol dari potensi yang Tuhan titipkan kepada manusia. Setiap bentuk kelebihan, entah harta, kemampuan berpikir, tenaga, atau bahkan waktu, merupakan bagian dari rezki. Ketika seseorang tidak mau membelanjakan rezekinya di jalan kebaikan, hal itu mencerminkan keterputusan antara dirinya dengan sumber makna yang sejati. Ia memandang rezeki sebagai miliknya, bukan titipan. Padahal, kesadaran bahwa segala sesuatu adalah titipan merupakan titik awal spiritualitas yang mendalam dari seseorang.

Di saat seseorang mampu melepaskan egonya dan menggunakan rezeki sebagai sarana pengabdian, ia sebenarnya sedang melampaui keterbatasan dirinya. Ia membebaskan dirinya dari cengkeraman kepemilikan yang palsu dan menemukan kebebasan sejati: kebebasan untuk memberi.

Namun, bagaimana dengan mereka yang ingin memberi tetapi tidak mampu? Di sini, filsafat manusia mengajarkan bahwa nilai moral tidak hanya diukur dari tindakan lahiriah, tetapi juga dari niat dan kesadaran batin. Kehendak untuk berbuat baik, meski tanpa kemampuan untuk melakukannya, sudah merupakan bukti dari hati yang terbuka.

Dalam ranah eksistensial, kehendak itu sendiri adalah bentuk pengakuan terhadap nilai kebaikan yang melampaui kepentingan pribadi. Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, memperhitungkan bukan hanya hasil, tetapi juga keikhlasan yang tersembunyi dalam jiwa manusia. Maka, dalam keterbatasan seseorang yang tidak mampu, justru tampak keindahan iman: sebuah penerimaan bahwa dirinya tidak berkuasa atas segala hal, dan bahwa segala sesuatu bergantung pada kasih dan kehendak Tuhan.

Sementara itu, bagi mereka yang memiliki kemampuan namun tidak mau menggunakannya untuk kebaikan, di situlah tampak sisi gelap kebebasan manusia. Mereka tahu, tetapi tidak mau. Pengetahuan tanpa tindakan melahirkan kehampaan moral. Manusia semacam ini hidup dalam ilusi kebebasan, padahal sesungguhnya diperbudak oleh keinginan dan ketakutannya sendiri. Ia menolak jalan Tuhan bukan karena tidak tahu, melainkan karena enggan menundukkan diri. Dari sudut pandang filsafat eksistensial, ini adalah bentuk keterasingan tertinggi: manusia yang kehilangan makna karena menolak sumber makna itu sendiri.

Pada tatanan semesta yang lebih luas, perbedaan antara yang tahu tetapi tidak mau, yang mau tetapi tidak mampu, dan yang mampu serta mau, menunjukkan bahwa kehidupan manusia adalah ruang bagi perwujudan berbagai kemungkinan eksistensi. Tuhan menunjukkan kuasa-Nya dengan menempatkan manusia pada posisi-posisi yang berbeda agar dari setiap keadaan itu muncul pelajaran dan kesadaran baru.

Yang tahu tetapi tidak mau diingatkan akan kesombongannya, yang mau tetapi tidak mampu diuji keikhlasannya, dan yang mampu serta mau diberi kesempatan untuk menegakkan kebaikan dan menjadi saluran rahmat bagi sesamanya. Dalam keberagaman nasib dan kemampuan itulah, tersingkap keadilan yang lebih tinggi: bahwa setiap manusia diberi ruang untuk menemukan makna hidupnya masing-masing.

Membelanjakan rezeki di jalan Tuhan, pada akhirnya, bukan sekadar tentang memberi secara material. Ia adalah perjalanan menuju pemurnian diri. Ketika seseorang rela melepaskan sebagian dari yang ia cintai demi kebaikan, ia sedang melatih dirinya untuk tidak diperbudak oleh benda. Ia belajar tentang makna keberadaan yang sejati; bahwa hidup tidak diukur dari seberapa banyak yang dikumpulkan, melainkan dari seberapa banyak yang dapat diberi. Dalam proses memberi itu, manusia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kepemilikan, melainkan dari kesatuan dengan sumber kebaikan itu sendiri.

Pada titik itu, rezeki menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan. Ia bukan lagi sekadar harta atau sumber daya, tetapi sarana penyadaran diri. Hati yang terbuka akan memahami bahwa memberi adalah bentuk tertinggi dari menerima. Sebab, dalam memberi, manusia menegaskan kembali hakikat dirinya sebagai makhluk yang diciptakan untuk mencintai dan berbuat baik. Sebaliknya, hati yang tertutup akan terus memandang rezeki sebagai milik pribadi, dan dari situlah muncul kesempitan hidup meski dalam kelimpahan.

Maka, ketika kita melihat bahwa tidak semua dibukakan hati untuk membelanjakan rezeki di jalan Tuhan, janganlah kita tergesa menghakimi. Sebab di balik setiap hati yang tertutup atau setiap tangan yang kosong, Tuhan sedang menunjukkan sisi lain dari keadilan dan kasih-Nya.

Ia mengajarkan bahwa kebaikan bukanlah hasil dari kemampuan semata, tetapi buah dari kesadaran yang dibimbing oleh rahmat. Di antara tahu, mau, dan mampu, manusia terus berjalan, berjuang memahami dirinya dan mencari jalan pulang menuju sumber segala kebaikan. Di situlah filsafat kehidupan menemukan maknanya: bahwa dalam setiap keterbatasan, selalu ada ruang bagi Tuhan untuk menampakkan kuasa dan kasih-Nya. Terimakasih untuk orang-orang baik. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Ketika Rencana Bertemu Takdir

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menjadi rutinitas setelah duduk dua jam lebih, maka guna menjaga kebugaran tubuh, karena memang sudah tidak muda lagi, aktivitas rutine mengelilingi separoh lantai lima Gedung Rektorat, sambil ketoilet. Entah hari itu tidak begitu bersemangat, berjalan sedikit gontai. Ternyata diujung sana ada seorang yunior, lelaki bergas, tampan, dan pandai; sedang berdiri gotai bersandar kepagar. Tatkala melewati yang bersangkutan, orang muda ini sedikit menyergah untuk sedikit berbincang. Ternyata beliau sedang dalam posisi “tidak baik-baik” saja, karena hampir separoh rencana kerjanya berantakan. Beliau bertanya dengan pertanyaan filosofis, lengkapnya “…Profesor, mengapa rencana itu terlalu sering tidak jumbuh dengan takdir ?..”. tentu pertanyaan berat ini harus diuraikan panjang kali lebar dan dalam.

Manusia adalah makhluk yang berpikir, merencanakan, dan berharap. Dalam setiap langkah hidupnya, manusia menata masa depan dengan penuh kesungguhan, seolah nasibnya dapat dibentuk sepenuhnya oleh kekuatan kehendak dan kecerdasannya. Namun, sering kali kenyataan menunjukkan bahwa sehebat apa pun rencana yang disusun dengan teliti, selalu ada ruang bagi hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Kalimat “Sehebat apa pun rencanaanmu akan kalah dengan takdirmu” mencerminkan pergulatan eksistensial manusia antara keinginan untuk mengatur kehidupan dan kesadaran akan keterbatasan di hadapan kekuatan yang melampaui dirinya.

Ketika manusia membuat rencana, ia sebenarnya sedang menegaskan eksistensinya sebagai makhluk yang sadar dan berkehendak. Ia menolak pasrah terhadap arus kehidupan yang acak. Rencana menjadi bentuk perjuangan untuk menata kekacauan menjadi keteraturan, memberi makna pada hidup yang seolah tidak menentu. Dalam tindakan merencanakan, manusia menegaskan dirinya sebagai subjek yang ingin menentukan arah hidupnya sendiri. Namun, pada saat yang sama, ketika rencana-rencana itu gagal atau berubah, manusia diingatkan akan realitas bahwa dirinya bukan penguasa tunggal atas hidup ini. Ia hanyalah bagian kecil dari keseluruhan semesta yang bekerja dengan hukum-hukum dan misteri yang tidak seluruhnya dapat dijangkau.

Takdir itu hadir sebenarnya bukan sebagai bentuk pengekangan, melainkan sebagai cermin dari keterbatasan manusia. Dalam setiap kegagalan rencana, terdapat kesempatan untuk merenungi makna eksistensi itu sendiri. Mengapa manusia merencanakan? Mengapa manusia kecewa ketika rencananya gagal? Karena di balik rencana itu ada harapan akan kendali dan kepastian. Namun, hidup menolak untuk sepenuhnya dikendalikan. Ketika takdir melampaui rencana, manusia belajar tentang kerendahan hati dan penerimaan. Ia mulai memahami bahwa kebijaksanaan tidak selalu berarti kemampuan menguasai segalanya, melainkan kesadaran untuk berdamai dengan hal-hal yang tak bisa dikendalikan.

Manusia yang hanya berpegang pada rencana cenderung terjebak dalam ilusi kontrol. Ia menganggap dunia sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat diprediksi dan diatur. Padahal, dalam pengalaman konkret, justru peristiwa yang tidak direncanakan sering kali membawa perubahan besar dalam hidup. Banyak perjumpaan, peluang, atau kesadaran baru muncul justru dari hal-hal yang tidak pernah masuk dalam skema perencanaan. Dari sini dapat dipahami bahwa ketidakpastian bukan semata musuh, melainkan ruang kebebasan tempat manusia menemukan dimensi terdalam dari keberadaannya.

Namun, menerima takdir bukan berarti menyerah. Penyerahan tanpa kesadaran hanyalah bentuk keputusasaan. Sebaliknya, penerimaan yang sejati adalah pengakuan bahwa manusia berhak berusaha, tetapi hasil akhirnya tidak selalu berada dalam genggamannya. Di sinilah keseimbangan antara kehendak dan kepasrahan menemukan bentuknya. Manusia perlu merencanakan hidupnya dengan sungguh-sungguh karena melalui rencana itu ia mempraktikkan kebebasannya. Tetapi ia juga harus siap menghadapi kenyataan bahwa setiap rencana memiliki kemungkinan untuk gagal. Dalam kegagalan itu, manusia belajar tentang arti ikhlas, yaitu sebuah sikap yang tidak berarti berhenti berjuang, melainkan tetap berusaha sambil menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kehendaknya sendiri.

Ketika seseorang berkata bahwa sehebat apa pun rencanamu akan kalah oleh takdirmu, hal itu bukanlah seruan untuk berhenti merencanakan. Sebaliknya, kalimat itu mengandung ajakan untuk menyadari bahwa hidup memiliki lapisan makna yang lebih luas daripada sekadar hasil. Rencana menunjukkan usaha manusia, sementara takdir menunjukkan rahasia kehidupan. Ketika keduanya dipahami secara seimbang, manusia tidak lagi merasa hancur ketika rencana gagal, karena ia tahu bahwa setiap kejadian, bahkan yang tidak diinginkan, membawa pesan yang dapat memperkaya jiwanya.

Pada akhirnya, manusia harus menerima kenyataan bahwa ia tidak dapat mengendalikan arah angin, tetapi ia dapat mengatur layar perahunya. Rencana adalah layar itu; bentuk konkret dari usaha manusia untuk mencapai tujuan. Takdir adalah angin yang menentukan arah perjalanan, kadang lembut, kadang kencang, kadang berlawanan dengan keinginan. Namun justru dalam perjumpaan antara layar dan angin itulah kehidupan menemukan maknanya. Jika hanya ada rencana tanpa takdir, hidup akan menjadi mekanis dan membosankan; jika hanya ada takdir tanpa rencana, hidup kehilangan arah dan makna.

“Sehebat apa pun rencanamu akan kalah dengan takdirmu” bukanlah kalimat yang mematikan semangat, melainkan pengingat agar manusia tetap rendah hati di hadapan misteri kehidupan. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap usaha manusia untuk menata masa depan, selalu ada ruang bagi takdir untuk berbicara. Dan mungkin, justru di situlah letak keindahan hidup: pada ketidakpastian yang mengajarkan manusia untuk terus berusaha, berharap, dan sekaligus pasrah, karena pada akhirnya hidup bukan hanya tentang mencapai rencana, tetapi tentang bagaimana kita bertumbuh di antara kehendak dan ketentuan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

dr. Vionita dan dr. Bagas Surya Atmaja Raih Penghargaan Lulusan Terbaik di Prosesi Sumpah Dokter ke-74 Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati

BANDAR LAMPUNG (Malahayati.ac.id): Dua nama mencuri perhatian dalam Prosesi Sumpah Dokter ke-74 Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati, Rabu (5/11/2025), di Gedung Graha Bintang Universitas Malahayati. Dari total 59 dokter baru yang resmi dikukuhkan, dr. Vionita dan dr. Bagas Surya Atmaja berhasil menorehkan prestasi gemilang sebagai lulusan terbaik.

Dalam prosesi yang berlangsung khidmat dan penuh haru itu, dr. Vionita dinobatkan sebagai peraih nilai tertinggi Computer-Based Test (CBT) nasional periode Agustus 2025 dengan skor 88,00, sementara dr. Bagas Surya Atmaja meraih predikat lulusan terbaik dengan IPK 3,83.

Baca Juga: Universitas Malahayati Kukuhkan 59 Dokter Baru dalam Prosesi Sumpah Dokter Periode ke-74

Kedua dokter muda ini menjadi sosok inspiratif bagi rekan-rekannya, menunjukkan bahwa kerja keras, ketekunan, dan semangat belajar tanpa henti akan selalu membuahkan hasil terbaik.

Di tengah suasana bahagia dan haru, dr. Vionita mengungkapkan rasa syukurnya atas penghargaan yang diraih. Ia mengaku perjalanan menuju gelar dokter bukan hal mudah, namun penuh pembelajaran dan pengalaman berharga.

“Saya sangat bersyukur atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan oleh para dosen serta dukungan dari keluarga. Nilai CBT yang tinggi ini adalah hasil dari proses panjang belajar dan konsistensi. Saya berharap bisa terus mengembangkan diri dan menjadi dokter yang memberikan manfaat bagi banyak orang,” ujar dr. Vionita dengan penuh rasa haru.

Sementara itu, dr. Bagas Surya Atmaja menuturkan bahwa pencapaian yang diraihnya bukan semata hasil kerja pribadi, melainkan juga buah dari kerja sama dan semangat saling mendukung di antara rekan-rekan sejawat.

“Menjadi lulusan terbaik adalah kehormatan besar. Tapi yang lebih penting bagi saya adalah bagaimana kami bisa mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari untuk masyarakat. Saya berterima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kami selama proses pendidikan. Semoga kami semua bisa mengabdi dengan sepenuh hati dan membawa nama baik almamater,” tutur dr. Bagas.

Baca Juga: dr. Ferdinand Anem Pigome, Jejak Langkah Anak Papua Menggapai Gelar Dokter di Universitas Malahayati

Prosesi Sumpah Dokter ke-74 ini menjadi momen bersejarah bagi Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati. Selain menjadi tonggak awal pengabdian bagi 59 dokter baru, kegiatan ini juga menegaskan komitmen universitas dalam melahirkan tenaga medis profesional yang berilmu, beretika, dan berempati terhadap kemanusiaan.

Dengan semangat baru, para dokter muda Universitas Malahayati siap melangkah ke dunia profesi, membawa semangat pengabdian, serta menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kedokteran demi kesehatan masyarakat Indonesia. (gil)

Editor: Gilang Agusman