Posts

Menafsir Roso Sejati

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Malam itu suasana di suatu pesantren begitu hening. Hanya suara jangkrik yang menemani para santri yang tengah mengulang hafalan di serambi masjid. Seorang santri muda yang terkenal cerdas dalam angkatannya; menghampiri kiai yang sedang duduk di beranda, ditemani secangkir teh hangat dalam keremangan lampu yang memang berkapasitas kecil.

Santri dengan sikap takzim berkata: ..“Kiai, mengapa hati saya sering gelisah? Saya sudah belajar, berzikir, dan berusaha taat, tapi tetap saja terasa ada yang kosong di dalam diri.”
Kiai dengan senyum khasnya, sambil membenahi sorban yang terlilit dilehernya menjawab: …“Nak, apa yang kau cari bukan di luar dirimu. Ketenangan itu lahir dari rasa yang sejati, bukan dari banyaknya amal atau pengetahuan.”…

Santri muda tadi penasaran, dengan takzimnya dia bertanya lanjut: …“Apakah yang panjenengan maksud dengan rasa sejati itu, Kiai ?”…
Kiai menjawab dengan disertai senyuman ikhlas di bibirnya: …“Roso sejati itu Nak. Ia adalah getar halus dalam hati ketika engkau benar-benar sadar akan kehadiran Gusti Allah. Ia tak bisa kau hafalkan, hanya bisa kau rasakan dalam keheningan yang jujur terhadap dirimu sendiri.”…

Santri itu terdiam, menundukkan kepala. Di tengah sunyi malam pesantren, ia mulai memahami bahwa pelajaran terpenting bukan hanya di kitab yang terbuka di pangkuannya yang dia hafalkan setiap hari itu saja, karena semua itu adalah baru media untuk mengenal apa yang ada di dalam batinnya sendiri.

Selanjutnya Mbah Yai menjelaskan panjang lebar disertai dalil yang sangat dikuasainya. Dan jika diringkas secara harfiah penjelasannya demikian;
Di tengah arus kehidupan yang kian ramai ini, manusia sering kehilangan arah batinnya. Ia berlari mengejar banyak hal, seperti; kekuasaan, harta, penghormatan, ilmu pengetahuan. Namun setelah semua itu diraih, masih saja ada ruang kosong yang tak terisi. Kekosongan itu sesungguhnya adalah panggilan dari dalam, panggilan untuk kembali mengenal jati diri yang sejati. Dalam istilah Jawa, keadaan ini disebut roso sejati: rasa batin yang telah kembali ke asalnya, bening dan tenang, bebas dari kabut keakuan dan nafsu dunia.

Roso sejati bukan sekadar perasaan halus, bukan pula kelembutan emosional semata. Ia adalah kesadaran yang jernih, di mana seseorang mampu merasakan kehadiran yang tak kasat mata namun nyata dalam setiap denyut kehidupan. Di dalam diri manusia ada ruang yang sunyi, lebih dalam dari pikiran dan lebih halus dari kata-kata. Di sanalah roso sejati bersemayam, menunggu untuk disadari. Untuk bisa menyentuhnya, seseorang harus berani berjalan ke dalam dirinya sendiri, menyingkap lapisan demi lapisan yang menutupi hati, hingga tiba pada inti kesadaran yang paling murni.

Dalam keheningan hati, manusia mulai menemukan arah. Ia menyadari bahwa hidup bukan sekadar pergerakan lahiriah, melainkan perjalanan menuju pemahaman yang utuh tentang diri dan kehidupan. Ketika hati mulai jernih, dunia pun tampak berbeda. Segala peristiwa, baik pahit maupun manis, dilihat bukan sebagai ujian yang menakutkan, tetapi sebagai bagian dari irama kehidupan yang harus dijalani dengan sabar. Dari sini muncul ketenangan; bukan karena dunia menjadi mudah, tetapi karena hati telah mengerti cara menerima.

Perjalanan menuju roso sejati menuntut laku yang tekun. Seseorang harus belajar menundukkan keakuannya, menahan diri dari dorongan untuk selalu merasa benar, dan menggantinya dengan kerendahan hati. Dalam diam yang disertai kesadaran, manusia belajar mengingat asalnya. Ia mulai menyadari bahwa setiap hembusan napas adalah anugerah, setiap gerak adalah titipan. Dalam kesadaran semacam ini, hidup menjadi ibadah yang tenang, tanpa perlu banyak kata, tanpa perlu banyak tanda.

Roso sejati membuat seseorang hidup dengan hati yang lembut. Ia tidak mudah marah, tidak mudah iri, tidak gemar menilai. Ia memandang sesama bukan dengan mata dunia, melainkan dengan rasa yang penuh kasih. Ia menebar kebaikan tanpa pamrih, karena hatinya telah dipenuhi oleh rasa syukur yang tulus. Dalam kesehariannya, ia menjadi cahaya kecil yang menenangkan siapa pun di sekitarnya. Dari hati yang damai lahir perilaku yang damai, sebab perilaku adalah cermin dari keadaan batin.
Namun, roso sejati tidak dapat diraih melalui pengetahuan semata. Ia tumbuh dari pengalaman batin yang dilalui dengan kesungguhan dan kesabaran.

Banyak orang mencari kedamaian di luar dirinya, padahal sumbernya ada di dalam. Hati yang masih diselimuti amarah, iri, dan dendam tidak akan mampu merasakan roso sejati. Ia seperti air yang keruh; tak mampu memantulkan cahaya. Maka tugas manusia adalah membersihkan wadah hatinya, hingga bening dan mampu merefleksikan kebenaran. Ketika bening itu muncul, ia akan melihat bahwa segala sesuatu itu sesungguhnya adalah satu didalam rahmat-Nya.
Dalam keadaan demikian, hidup menjadi sederhana. Seseorang tetap bekerja, berkeluarga, bergaul dengan dunia, tetapi tidak lagi diperbudak oleh keinginan dan ketakutan.

Ia menjalani hidup dengan tenang, sebab roso sejatinya telah memimpin jalan hidupnya. Tidak ada lagi pertentangan antara dunia dan batin, antara lahir dan makna. Semua menyatu dalam harmoni yang sunyi.
Roso sejati pada akhirnya bukan sesuatu yang jauh. Ia tidak berada di langit tinggi atau di balik rahasia gaib. Ia ada di sini, di dalam diri yang sadar. Dalam setiap tarikan napas yang dihayati dengan penuh kehadiran, dalam setiap kesadaran yang jujur terhadap hidup, di sanalah roso sejati berbisik lembut: “Pulanglah.” Siapa yang mampu mendengar bisikan itu dengan sepenuh hati, akan menemukan kedamaian yang tak lagi bergantung pada apa pun. Ia telah menafsir hidup, dan menemukan makna terdalamnya, ya roso sejati itu sendiri. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Bayang-Bayang di Balik Mahkota

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada 10 November 2025, di media ini Syarief Makhya, seorang Guru Besar Universitas negeri terkenal di negeri ini, mengemukakan pendapatnya dengan lugas, tegas dan mendasar tentang diberikannya gelar pahlawan nasional kepada seorang tokoh negeri ini.

Uraian beliau sangat mendasar dari segi moral kepemerintahan, sesuai bidang keahliannya. Tergerak pikir untuk menambahi tulisan itu, tetapi dari sudut Filsafat Kontemporer; tentu bukan bertujuan untuk memposisikan diri setuju atau tidak; namun ingin menyuguhkan pikiran lain sebagai pelengkap; itupun dengan bahasa kiasan agar menjadi lebih enak dipahami dengan rasa sejati.

Pada kisah pewayangan model Jawa selalu ada sosok yang lahir dari ambisi dan kekuasaan, yang langkahnya menorehkan jejak ganda; antara kemakmuran dan kehancuran. Ia bukan sekadar manusia, tetapi simbol dari paradoks peradaban: tangan yang menanam padi adalah tangan yang sama menumpahkan darah. Ia diingat dengan dua wajah; satu bercahaya, satu berjelaga; dan di sanalah filsafat kontemporer menemukan ruangnya untuk merenung tentang makna kepahlawanan, kekuasaan, dan moralitas.

Sebagai contoh dalam pewayangan, sang penguasa yang memimpin Hastina pernah diyakini sebagai titisan dewa. Ia memerintah dengan wibawa dan ketegasan, menata negeri dari puing menjadi taman. Di bawah kepemimpinannya, rakyat mengenal tertib, ladang berbuah, jalan-jalan terbuka, dan langit negeri tampak teduh. Namun di balik kedamaian yang tampak, tersimpan kisah tentang darah yang jatuh di antara bayang-bayang malam, tentang mereka yang hilang suara karena dianggap mengganggu harmoni.

Jika dibaca dengan kacamata filsafat kontemporer, kisah ini menyingkap pertanyaan mendasar tentang etika kekuasaan. Michel Foucault, misalnya, pernah menulis bahwa kekuasaan tidak hanya beroperasi melalui kekerasan, tetapi juga melalui produksi kebenaran. Sang penguasa Hastina, dalam konteks ini, bukan sekadar raja, melainkan arsitek dari narasi besar yang menjadikan dirinya pusat dari makna “ketertiban”. Dalam tangannya, kata “damai” bisa berarti “diam”, dan “setia” tetapi bisa juga berarti “tak boleh bertanya”.

Namun manusia, betapapun besar kuasanya, tidak dapat menghapus jejak paradoks eksistensialnya. Kierkegaard mungkin akan menyebutnya sebagai “keputusasaan dalam keagungan”, manakala seseorang menjadi begitu besar hingga kehilangan dirinya sendiri. Ia mencintai negerinya dengan cara yang keras, menegakkan kesatuan dengan memotong keragaman, dan menanam rasa aman dengan menutup pintu kebebasan. Maka lahirlah ironi: negeri yang makmur tapi takut, rakyat yang tunduk tapi tak sepenuhnya percaya.

Ketika masa berlalu dan sejarah mulai mengendap, muncul perdebatan tentang layakkah sang penguasa ini disebut pahlawan. Filsafat kontemporer tidak mencari jawaban hitam-putih; ia mengajak kita melihat pahlawan bukan sebagai patung, tetapi sebagai proses pemaknaan. Jean-Paul Sartre mengatakan manusia adalah makhluk yang selalu dalam “proyek menjadi”, oleh karena itu ia tidak pernah selesai. Maka, mungkin kepahlawanan pun bukan status yang abadi, melainkan tafsir yang terus berubah bersama kesadaran zaman.

Pada bayangan pewayangan, sang penguasa Hastina dapat dipandang seperti Duryudana atau bahkan Karna sekalipun sebagai tokoh yang berjuang dengan niat luhur, namun terperangkap dalam struktur kekuasaan dan dendam sejarah. Mereka tidak sepenuhnya jahat, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Mereka berada dalam ruang abu-abu di mana moralitas dan kebutuhan politik saling membelit. Ketika rakyat lapar, mereka memberi makan; ketika rakyat berteriak, mereka membungkam. Dalam dialektika Hegelian, inilah antitesis dari kepahlawanan klasik: ketika tindakan yang menyelamatkan pada saat yang sama juga melukai.

Bagi filsafat etika, terutama dalam pandangan Hannah Arendt, persoalannya bukan hanya tentang siapa yang membunuh atau siapa yang menyelamatkan, melainkan bagaimana manusia mampu bertanggung jawab atas akibat dari tindakannya. Arendt mengingatkan bahwa kejahatan terbesar sering kali lahir bukan dari kebencian, melainkan dari ketaatan yang buta. Dalam kisah Hastina, banyak yang mengabdi karena cinta kepada tanah air, namun cinta itu menjelma menjadi alat untuk meniadakan yang berbeda.

Ketika masa penobatan tiba dan suara-suara mulai memuji, muncul kegelisahan di antara para bijak. Apakah kemakmuran yang lahir dari luka dapat disebut sebagai kebajikan? Apakah sejarah yang dibangun di atas penghapusan dapat dijadikan dasar bagi penghormatan? Filsafat tidak menolak penghargaan, tetapi mengingatkan bahwa setiap gelar adalah cermin: ia memantulkan bukan hanya sosok yang diberi, tetapi juga kesadaran moral mereka yang memberi.

Di dalam mitologi Jawa, setiap raja besar akhirnya harus berjalan menuju pertapaan, meninggalkan mahkota dan senjata. Ia harus menatap kembali dirinya tanpa gelar, tanpa pengawal, tanpa legitimasi. Di sanalah ia diuji: apakah yang tersisa hanyalah dosa kekuasaan, atau ada seberkas cahaya kebajikan yang benar-benar lahir dari niat tulus. Barangkali di titik itulah kita dapat memahami makna “pahlawan” bukan sebagai simbol kesempurnaan, melainkan sebagai medan pergulatan antara niat baik dan akibat buruk.

Maka, ketika zaman modern mengangkat kembali kisah sang penguasa Hastina dan menempatkannya di altar kehormatan, yang sejatinya diuji bukan hanya sosoknya, melainkan juga ingatan kolektif kita. Apakah kita telah dewasa dalam menilai sejarah? Ataukah kita masih takut menatap sisi gelap dari masa lalu karena cahayanya terlalu menyilaukan?

Pada akhirnya, mitologi mengajarkan bahwa setiap bayang selalu mengikuti cahaya. Tidak ada pahlawan tanpa dosa, dan tidak ada tiran tanpa alasan. Yang tersisa hanyalah kesadaran untuk terus bertanya: ketika darah dan bunga sama-sama tumbuh dari tanah yang sama, manakah yang lebih layak kita rawat—keindahannya atau lukanya? Jawabanya ada pada wilayah “Roso Sejati” yang kita punya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Rezeki, Kehendak, dan Jalan Tuhan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Sore itu di serambi sebuah pesantren, ketika cahaya matahari mulai condong ke barat, seorang santri muda bertanya dengan raut ingin tahu kepada kiainya. “Kyai, mengapa ada orang yang tahu bahwa bersedekah itu baik, tapi tetap enggan melakukannya?”

Sang Kiai tersenyum, menatap lembut wajah santrinya, lalu menjawab pelan. “Nak, membelanjakan rezeki di jalan Allah bukan perkara tahu atau tidak tahu, tetapi perkara hati yang dibukakan oleh-Nya. Ada yang tahu tetapi tak mau. Ada yang mau tetapi tak mampu. Di situlah Allah menunjukkan kuasa-Nya…”

Pertanyaan sederhana itu kemudian menjadi awal perenungan panjang tentang manusia, rezeki, dan kebebasan hati.

Dalam kehidupan manusia, konsep rezeki sering dipahami sebagai anugerah yang datang dari Tuhan, sesuatu yang melampaui perhitungan manusia dan usaha rasionalnya. Namun, dalam kenyataan sehari-hari, cara manusia memperlakukan rezeki justru menjadi cermin dari sejauh mana kesadarannya tentang makna hidup, tujuan keberadaan, dan hubungannya dengan yang transenden.

Ketika dikatakan bahwa “membelanjakan rezeki ke jalan Tuhan tidak semua kita dibukakan hati,” maka di sana tersembunyi suatu kebenaran yang dalam tentang keterbatasan manusia dalam memahami dan menjalankan nilai-nilai kebaikan.

Banyak yang tahu apa yang baik, tetapi tidak mau melakukannya. Ada pula yang ingin berbuat baik, namun tidak mampu. Dalam ketimpangan antara pengetahuan, kehendak, dan kemampuan itulah, Tuhan menyingkapkan rahasia kuasa-Nya.

Manusia, sebagai makhluk berakal dan berkehendak, selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan moral. Ia dapat menggunakan rezeki, dalam bentuk harta, waktu, tenaga, maupun pengetahuan, untuk menegakkan kebaikan atau justru memuaskan hawa nafsunya. Namun, keputusan untuk membelanjakan rezki di jalan Tuhan tidak semata-mata hasil dari kesadaran rasional.

Ada dimensi batin yang lebih dalam: “pembukaan hati”. Hati yang terbuka kepada kebenaran adalah anugerah, bukan semata hasil usaha manusia. Oleh karena itu, ada manusia yang tahu apa yang benar, tetapi tidak mau melakukannya karena hatinya tertutup oleh keserakahan, ketakutan, atau egoisme. Ada pula yang memiliki hati yang tulus, namun tidak diberi kemampuan material untuk berbuat sebagaimana yang diinginkan. Di sinilah letak misteri kehendak ilahi dan keterbatasan manusia di hadapan-Nya.

Rezeki, dalam hal ini, bukan hanya soal kepemilikan material. Ia adalah simbol dari potensi yang Tuhan titipkan kepada manusia. Setiap bentuk kelebihan, entah harta, kemampuan berpikir, tenaga, atau bahkan waktu, merupakan bagian dari rezki. Ketika seseorang tidak mau membelanjakan rezekinya di jalan kebaikan, hal itu mencerminkan keterputusan antara dirinya dengan sumber makna yang sejati. Ia memandang rezeki sebagai miliknya, bukan titipan. Padahal, kesadaran bahwa segala sesuatu adalah titipan merupakan titik awal spiritualitas yang mendalam dari seseorang.

Di saat seseorang mampu melepaskan egonya dan menggunakan rezeki sebagai sarana pengabdian, ia sebenarnya sedang melampaui keterbatasan dirinya. Ia membebaskan dirinya dari cengkeraman kepemilikan yang palsu dan menemukan kebebasan sejati: kebebasan untuk memberi.

Namun, bagaimana dengan mereka yang ingin memberi tetapi tidak mampu? Di sini, filsafat manusia mengajarkan bahwa nilai moral tidak hanya diukur dari tindakan lahiriah, tetapi juga dari niat dan kesadaran batin. Kehendak untuk berbuat baik, meski tanpa kemampuan untuk melakukannya, sudah merupakan bukti dari hati yang terbuka.

Dalam ranah eksistensial, kehendak itu sendiri adalah bentuk pengakuan terhadap nilai kebaikan yang melampaui kepentingan pribadi. Tuhan, dalam kebijaksanaan-Nya, memperhitungkan bukan hanya hasil, tetapi juga keikhlasan yang tersembunyi dalam jiwa manusia. Maka, dalam keterbatasan seseorang yang tidak mampu, justru tampak keindahan iman: sebuah penerimaan bahwa dirinya tidak berkuasa atas segala hal, dan bahwa segala sesuatu bergantung pada kasih dan kehendak Tuhan.

Sementara itu, bagi mereka yang memiliki kemampuan namun tidak mau menggunakannya untuk kebaikan, di situlah tampak sisi gelap kebebasan manusia. Mereka tahu, tetapi tidak mau. Pengetahuan tanpa tindakan melahirkan kehampaan moral. Manusia semacam ini hidup dalam ilusi kebebasan, padahal sesungguhnya diperbudak oleh keinginan dan ketakutannya sendiri. Ia menolak jalan Tuhan bukan karena tidak tahu, melainkan karena enggan menundukkan diri. Dari sudut pandang filsafat eksistensial, ini adalah bentuk keterasingan tertinggi: manusia yang kehilangan makna karena menolak sumber makna itu sendiri.

Pada tatanan semesta yang lebih luas, perbedaan antara yang tahu tetapi tidak mau, yang mau tetapi tidak mampu, dan yang mampu serta mau, menunjukkan bahwa kehidupan manusia adalah ruang bagi perwujudan berbagai kemungkinan eksistensi. Tuhan menunjukkan kuasa-Nya dengan menempatkan manusia pada posisi-posisi yang berbeda agar dari setiap keadaan itu muncul pelajaran dan kesadaran baru.

Yang tahu tetapi tidak mau diingatkan akan kesombongannya, yang mau tetapi tidak mampu diuji keikhlasannya, dan yang mampu serta mau diberi kesempatan untuk menegakkan kebaikan dan menjadi saluran rahmat bagi sesamanya. Dalam keberagaman nasib dan kemampuan itulah, tersingkap keadilan yang lebih tinggi: bahwa setiap manusia diberi ruang untuk menemukan makna hidupnya masing-masing.

Membelanjakan rezeki di jalan Tuhan, pada akhirnya, bukan sekadar tentang memberi secara material. Ia adalah perjalanan menuju pemurnian diri. Ketika seseorang rela melepaskan sebagian dari yang ia cintai demi kebaikan, ia sedang melatih dirinya untuk tidak diperbudak oleh benda. Ia belajar tentang makna keberadaan yang sejati; bahwa hidup tidak diukur dari seberapa banyak yang dikumpulkan, melainkan dari seberapa banyak yang dapat diberi. Dalam proses memberi itu, manusia menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kepemilikan, melainkan dari kesatuan dengan sumber kebaikan itu sendiri.

Pada titik itu, rezeki menjadi jembatan antara manusia dan Tuhan. Ia bukan lagi sekadar harta atau sumber daya, tetapi sarana penyadaran diri. Hati yang terbuka akan memahami bahwa memberi adalah bentuk tertinggi dari menerima. Sebab, dalam memberi, manusia menegaskan kembali hakikat dirinya sebagai makhluk yang diciptakan untuk mencintai dan berbuat baik. Sebaliknya, hati yang tertutup akan terus memandang rezeki sebagai milik pribadi, dan dari situlah muncul kesempitan hidup meski dalam kelimpahan.

Maka, ketika kita melihat bahwa tidak semua dibukakan hati untuk membelanjakan rezeki di jalan Tuhan, janganlah kita tergesa menghakimi. Sebab di balik setiap hati yang tertutup atau setiap tangan yang kosong, Tuhan sedang menunjukkan sisi lain dari keadilan dan kasih-Nya.

Ia mengajarkan bahwa kebaikan bukanlah hasil dari kemampuan semata, tetapi buah dari kesadaran yang dibimbing oleh rahmat. Di antara tahu, mau, dan mampu, manusia terus berjalan, berjuang memahami dirinya dan mencari jalan pulang menuju sumber segala kebaikan. Di situlah filsafat kehidupan menemukan maknanya: bahwa dalam setiap keterbatasan, selalu ada ruang bagi Tuhan untuk menampakkan kuasa dan kasih-Nya. Terimakasih untuk orang-orang baik. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Ketika Rencana Bertemu Takdir

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menjadi rutinitas setelah duduk dua jam lebih, maka guna menjaga kebugaran tubuh, karena memang sudah tidak muda lagi, aktivitas rutine mengelilingi separoh lantai lima Gedung Rektorat, sambil ketoilet. Entah hari itu tidak begitu bersemangat, berjalan sedikit gontai. Ternyata diujung sana ada seorang yunior, lelaki bergas, tampan, dan pandai; sedang berdiri gotai bersandar kepagar. Tatkala melewati yang bersangkutan, orang muda ini sedikit menyergah untuk sedikit berbincang. Ternyata beliau sedang dalam posisi “tidak baik-baik” saja, karena hampir separoh rencana kerjanya berantakan. Beliau bertanya dengan pertanyaan filosofis, lengkapnya “…Profesor, mengapa rencana itu terlalu sering tidak jumbuh dengan takdir ?..”. tentu pertanyaan berat ini harus diuraikan panjang kali lebar dan dalam.

Manusia adalah makhluk yang berpikir, merencanakan, dan berharap. Dalam setiap langkah hidupnya, manusia menata masa depan dengan penuh kesungguhan, seolah nasibnya dapat dibentuk sepenuhnya oleh kekuatan kehendak dan kecerdasannya. Namun, sering kali kenyataan menunjukkan bahwa sehebat apa pun rencana yang disusun dengan teliti, selalu ada ruang bagi hal-hal yang tidak bisa dikendalikan. Kalimat “Sehebat apa pun rencanaanmu akan kalah dengan takdirmu” mencerminkan pergulatan eksistensial manusia antara keinginan untuk mengatur kehidupan dan kesadaran akan keterbatasan di hadapan kekuatan yang melampaui dirinya.

Ketika manusia membuat rencana, ia sebenarnya sedang menegaskan eksistensinya sebagai makhluk yang sadar dan berkehendak. Ia menolak pasrah terhadap arus kehidupan yang acak. Rencana menjadi bentuk perjuangan untuk menata kekacauan menjadi keteraturan, memberi makna pada hidup yang seolah tidak menentu. Dalam tindakan merencanakan, manusia menegaskan dirinya sebagai subjek yang ingin menentukan arah hidupnya sendiri. Namun, pada saat yang sama, ketika rencana-rencana itu gagal atau berubah, manusia diingatkan akan realitas bahwa dirinya bukan penguasa tunggal atas hidup ini. Ia hanyalah bagian kecil dari keseluruhan semesta yang bekerja dengan hukum-hukum dan misteri yang tidak seluruhnya dapat dijangkau.

Takdir itu hadir sebenarnya bukan sebagai bentuk pengekangan, melainkan sebagai cermin dari keterbatasan manusia. Dalam setiap kegagalan rencana, terdapat kesempatan untuk merenungi makna eksistensi itu sendiri. Mengapa manusia merencanakan? Mengapa manusia kecewa ketika rencananya gagal? Karena di balik rencana itu ada harapan akan kendali dan kepastian. Namun, hidup menolak untuk sepenuhnya dikendalikan. Ketika takdir melampaui rencana, manusia belajar tentang kerendahan hati dan penerimaan. Ia mulai memahami bahwa kebijaksanaan tidak selalu berarti kemampuan menguasai segalanya, melainkan kesadaran untuk berdamai dengan hal-hal yang tak bisa dikendalikan.

Manusia yang hanya berpegang pada rencana cenderung terjebak dalam ilusi kontrol. Ia menganggap dunia sebagai sesuatu yang sepenuhnya dapat diprediksi dan diatur. Padahal, dalam pengalaman konkret, justru peristiwa yang tidak direncanakan sering kali membawa perubahan besar dalam hidup. Banyak perjumpaan, peluang, atau kesadaran baru muncul justru dari hal-hal yang tidak pernah masuk dalam skema perencanaan. Dari sini dapat dipahami bahwa ketidakpastian bukan semata musuh, melainkan ruang kebebasan tempat manusia menemukan dimensi terdalam dari keberadaannya.

Namun, menerima takdir bukan berarti menyerah. Penyerahan tanpa kesadaran hanyalah bentuk keputusasaan. Sebaliknya, penerimaan yang sejati adalah pengakuan bahwa manusia berhak berusaha, tetapi hasil akhirnya tidak selalu berada dalam genggamannya. Di sinilah keseimbangan antara kehendak dan kepasrahan menemukan bentuknya. Manusia perlu merencanakan hidupnya dengan sungguh-sungguh karena melalui rencana itu ia mempraktikkan kebebasannya. Tetapi ia juga harus siap menghadapi kenyataan bahwa setiap rencana memiliki kemungkinan untuk gagal. Dalam kegagalan itu, manusia belajar tentang arti ikhlas, yaitu sebuah sikap yang tidak berarti berhenti berjuang, melainkan tetap berusaha sambil menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari kehendaknya sendiri.

Ketika seseorang berkata bahwa sehebat apa pun rencanamu akan kalah oleh takdirmu, hal itu bukanlah seruan untuk berhenti merencanakan. Sebaliknya, kalimat itu mengandung ajakan untuk menyadari bahwa hidup memiliki lapisan makna yang lebih luas daripada sekadar hasil. Rencana menunjukkan usaha manusia, sementara takdir menunjukkan rahasia kehidupan. Ketika keduanya dipahami secara seimbang, manusia tidak lagi merasa hancur ketika rencana gagal, karena ia tahu bahwa setiap kejadian, bahkan yang tidak diinginkan, membawa pesan yang dapat memperkaya jiwanya.

Pada akhirnya, manusia harus menerima kenyataan bahwa ia tidak dapat mengendalikan arah angin, tetapi ia dapat mengatur layar perahunya. Rencana adalah layar itu; bentuk konkret dari usaha manusia untuk mencapai tujuan. Takdir adalah angin yang menentukan arah perjalanan, kadang lembut, kadang kencang, kadang berlawanan dengan keinginan. Namun justru dalam perjumpaan antara layar dan angin itulah kehidupan menemukan maknanya. Jika hanya ada rencana tanpa takdir, hidup akan menjadi mekanis dan membosankan; jika hanya ada takdir tanpa rencana, hidup kehilangan arah dan makna.

“Sehebat apa pun rencanamu akan kalah dengan takdirmu” bukanlah kalimat yang mematikan semangat, melainkan pengingat agar manusia tetap rendah hati di hadapan misteri kehidupan. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap usaha manusia untuk menata masa depan, selalu ada ruang bagi takdir untuk berbicara. Dan mungkin, justru di situlah letak keindahan hidup: pada ketidakpastian yang mengajarkan manusia untuk terus berusaha, berharap, dan sekaligus pasrah, karena pada akhirnya hidup bukan hanya tentang mencapai rencana, tetapi tentang bagaimana kita bertumbuh di antara kehendak dan ketentuan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Konsep “Ada Sejati” Dalam Filsafat Kontemporer

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Cuaca pagi menjelang siang dihiasi mendung tebal, cuaca dingin tak berkesudahan. Namun, “Tidak” di ruang kerja penulis. Justru diskusi hangat sedang terjadi dengan seorang dosen yang berlabel diri penguat berfikir akal sehat. Kali ini topik perbincangan ada pada wilayah “Ada”, dengan sudut kajian filsafat manusia. Karena diskusi seperti ini hanya menhabiskan waktu dan kopi bagi mereka yang tidak paham, tetapi bagi kami diskusi ini menarik karena sering terjadi kajian lintas berfikir. Jika dibentang singkat, dan diambil sari patinya; maka diskusi tadi memiliki ringkasan seperti ini; Manusia sejak awal keberadaannya selalu dihantui pertanyaan tentang apa artinya “ada”.

Dalam setiap renungan, dalam setiap pergulatan dengan hidup, tersembunyi kerinduan untuk memahami sesuatu yang lebih dari sekadar bentuk dan peristiwa. Pertanyaan itu tidak pernah selesai, sebab “ada” bukan sekadar pernyataan bahwa sesuatu eksis, melainkan misteri tentang bagaimana segala sesuatu memperoleh makna keberadaannya. Di sinilah muncul gagasan tentang “Ada Sejati”; keberadaan yang tidak bersyarat, tidak bergantung pada apa pun, dan menjadi dasar dari segala wujud.

Ketika manusia menatap dunia, ia melihat perubahan yang tiada henti. Segalanya muncul dan lenyap, tumbuh dan punah, datang dan pergi. Namun di balik arus perubahan itu, selalu ada intuisi bahwa sesuatu yang tetap menopang seluruh proses itu. Seperti samudra yang tenang di balik ombak, “Ada Sejati” menjadi dasar dari setiap bentuk keberadaan, meski ia sendiri tidak berwujud. Ia bukan benda, bukan pikiran, bukan konsep, tetapi sesuatu yang memungkinkan semua itu ada. Maka, berbicara tentang “Ada Sejati” bukanlah berbicara tentang objek yang bisa dipahami, melainkan tentang sumber yang membuat pemahaman itu mungkin.

Manusia modern sering kali terperangkap dalam pemahaman yang terpisah antara subjek dan objek, antara diri dan dunia. Pengetahuan dianggap hanya sah jika diukur, diklasifikasi, dan dijelaskan melalui kategori yang pasti. Namun pandangan semacam itu, betapapun berguna, sering menutupi keutuhan keberadaan. Ketika budi manusia hanya bekerja sebagai alat analisis, ia memotong realitas menjadi potongan-potongan kecil yang terlepas dari makna keseluruhannya. Dalam keheningan reflektif, manusia menyadari bahwa realitas tidak bisa dijelaskan hanya dengan logika pemisahan; yang dibutuhkan adalah kejernihan batin untuk mengalami keberadaan secara langsung. Di situlah jalan menuju “Ada Sejati” dimulai: bukan melalui penjelasan, melainkan melalui penghayatan.

Budi yang terasah adalah budi yang tidak lagi terikat oleh keserakahan, ketakutan, dan kepentingan, akan menjadi cermin bagi keberadaan. Ketika cermin itu jernih, keberadaan memantulkan dirinya tanpa distorsi. Dalam keadaan demikian, manusia tidak lagi memandang dunia sebagai kumpulan objek, tetapi sebagai kesatuan wujud yang menampakkan “Ada Sejati”. Tidak ada lagi jarak antara yang memandang dan yang dipandang; keduanya hanyalah denyut dari keberadaan yang satu. Inilah momen ketika budi menemukan kedamaian: saat menyadari bahwa dirinya bukan pusat dunia, melainkan bagian dari aliran keberadaan yang tak terpisahkan.

“Ada Sejati” tidak dapat dijangkau dengan kata-kata, sebab setiap bahasa selalu membatasi. Ia melampaui dualitas: bukan “ada” dan bukan “tiada” dalam pengertian biasa. Ia adalah dasar dari keduanya. Dalam perenungan mendalam, manusia mungkin mengalami bahwa di balik segala perubahan dan kesementaraan, ada kediaman yang tidak terguncang. Itulah “Ada Sejati” yaitu; keheningan yang tidak mati, kehadiran yang tak terkatakan. Dari keheningan itu, semua bentuk lahir, tumbuh, dan kembali. Maka “Ada Sejati” bukanlah sesuatu yang jauh atau asing; ia justru paling dekat, bahkan lebih dekat dari kesadaran manusia terhadap dirinya sendiri.

Dunia modern dengan segala kebisingan dan percepatannya sering membuat manusia kehilangan kedalaman penghayatan terhadap “ada”. Segalanya diukur dengan manfaat, efisiensi, dan kecepatan. Dalam keadaan itu, manusia menjadi makhluk yang bergerak tanpa arah, sibuk tanpa makna. Ia hidup di permukaan gelombang, tanpa sempat menyelami samudra keberadaan. Maka tugas filsafat, dan terutama tugas kesadaran manusia, adalah mengembalikan pandangan ke dasar samudra itu; ke keheningan yang memberi arti bagi semua gerak. Mengingat “Ada Sejati” berarti kembali mengingat siapa diri kita di dalam keseluruhan ini.

“Ada Sejati” bukanlah sesuatu yang harus dicapai, sebab ia selalu hadir. Yang hilang hanyalah kesadaran kita akan kehadirannya. Seperti langit yang tetap biru meski tertutup awan, “Ada Sejati” tetap ada meski kesadaran manusia tertutup oleh kabut pikiran dan emosi. Menemukannya bukan berarti menciptakan sesuatu yang baru, tetapi menyingkap tabir yang menutupi apa yang selalu ada. Proses itu membutuhkan keheningan, kesabaran, dan keterbukaan batin, yaitu sebuah sikap budi yang tidak menuntut, tidak memaksa, hanya menyadari.

Pada akhirnya, “Ada Sejati” bukanlah konsep yang bisa dimiliki, tetapi pengalaman yang hanya bisa dihayati. Ia hadir dalam keheningan doa, dalam renungan sunyi, dalam pandangan yang jernih terhadap sesama, bahkan dalam kepasrahan menghadapi kematian. Ia adalah rahasia yang menyatukan segala sesuatu tanpa harus meniadakan perbedaan. Dalam setiap nafas, dalam setiap gerak, “Ada Sejati” berdenyut; tak terlihat, tak terdengar, namun menjadi sumber dari seluruh keberadaan.
“Ada Sejati” bukan akhir dari perjalanan, tetapi kesadaran yang menyertai setiap langkah. Ia adalah keheningan yang hidup di tengah suara, cahaya yang tersembunyi di dalam bayangan, dan keberadaan yang menjiwai segala yang tampak. Ketika manusia mampu berdiam sejenak dan menatap ke dalam dirinya sendiri dengan penuh kejernihan, ia akan menemukan bahwa “Ada Sejati” tidak pernah pergi. Ia selalu ada, menunggu untuk dikenali, dalam setiap hembusan napas keberadaan. Ringkasnya: “Ada Sejati” adalah keberadaan murni yang tidak terikat bentuk, sumber dari segala yang ada, dan dapat dialami hanya melalui budi yang telah jernih dalam keheningan. Semakin kita mendekat kepadaNYA, maka NYA akan semakin lari menghampiri kita. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Api Dibalik Kekuasaan (Refleksi Filsafat Kontemporer atas “Kebakaran Jenggot” Para Pejabat)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hampir setiap pekan kita disuguhi berita bagaimana pejabat tinggi negeri ini terusik oleh kerja-kerja Menteri Keuangan. Bahkan salah seorang petinggi perminyakan “mencak-mencak” menggunakan bahasa vulgar yang tidak elok didengar.

Sebelumnya juga ada pejabat senior yang juga mantan atasan Menteri Keuangan, merasa tidak nyaman dengan kelakuan mantan anak buahnya. Demikian juga ada kepala daerah yang terusik, seolah terzalimi oleh kelakuan Sang Menteri; walaupun sesungguhnya dia membuka kebodohannya sendiri.

Tampaknya fenomena sosial-politik di Indonesia akhir-akhir ini memperlihatkan dinamika menarik yang menggugah kesadaran publik. Banyak pejabat publik tiba-tiba “kebakaran jenggot” setelah tindakan tegas dari Menteri Keuangan mengungkapkan penyimpangan, penyalahgunaan wewenang, dan praktik kecurangan yang selama ini tersembunyi di balik retorika pelayanan publik.

Ungkapan “kebakaran jenggot” di sini bukan sekadar idiom humor, melainkan metafora filosofis tentang bagaimana kekuasaan, moralitas, dan kebenaran saling berkelindan dalam arena politik modern. Fenomena ini dapat dibaca bukan hanya sebagai peristiwa administratif atau hukum, tetapi sebagai cermin eksistensial dari krisis kejujuran dan tanggung jawab yang melekat dalam struktur kekuasaan kontemporer.

Filsafat kontemporer memandang kekuasaan bukan semata sebagai instrumen untuk mengatur masyarakat, melainkan sebagai medan di mana kebenaran dan kepalsuan bertarung secara halus. Dalam konteks ini, tindakan seorang pejabat tinggi yang berani menyingkap penyimpangan dapat dimaknai sebagai peristiwa pembongkaran tabir: suatu momen ketika kebenaran yang selama ini disembunyikan muncul ke permukaan dan memaksa struktur kekuasaan untuk menatap dirinya sendiri.

Ketika pejabat-pejabat lain “kebakaran jenggot”, itu menandakan bukan hanya ketakutan terhadap konsekuensi hukum, tetapi juga kecemasan eksistensial karena topeng moral yang selama ini dipakai mulai terbakar oleh nyala kebenaran.

Fenomena semacam ini mengingatkan bahwa kekuasaan selalu menyimpan paradoks. Ia menjanjikan kemampuan untuk menciptakan keteraturan, tetapi dalam praktiknya sering menjadi sumber kekacauan moral. Di dalam ruang birokrasi, logika efisiensi dan kepatuhan sering kali menggantikan logika tanggung jawab etis. Pejabat yang semestinya menjadi pelayan publik justru terjebak dalam permainan citra, angka, dan laporan yang tampak indah di permukaan.

Filsafat kontemporer melihat ini sebagai bentuk alienasi baru: individu terasing dari makna sejati pekerjaannya karena sistem mendorongnya untuk lebih peduli pada performa administratif ketimbang integritas. Maka, ketika sistem keuangan negara mulai menuntut transparansi dan akuntabilitas secara ketat, rasa terancam itu muncul bukan karena ketidakadilan, melainkan karena realitas mulai menyingkap kepalsuan yang ada selama ini, sudah dianggap wajar.

Kebakaran jenggot para pejabat itu juga dapat dibaca sebagai krisis identitas. Dalam tatanan sosial modern, posisi pejabat bukan hanya jabatan administratif, melainkan simbol status sosial, penghormatan, dan otoritas moral. Ketika simbol itu terguncang, individu di baliknya harus menghadapi kehampaan eksistensial: siapakah dirinya tanpa kekuasaan itu?

Di sinilah muncul ketakutan mendalam yang jauh melampaui urusan hukum atau karier. Ini adalah ketakutan akan kehilangan makna hidup yang dibangun di atas legitimasi palsu. Dalam kacamata filsafat kontemporer, ini adalah momen dekonstruktif, di mana subjek yang selama ini menganggap dirinya pusat kekuasaan justru disadarkan bahwa ia hanyalah bagian dari jaringan relasi yang lebih besar, dan relasi itu kini menuntut kejujuran.

Tindakan tegas dari otoritas keuangan dalam konteks ini dapat dilihat sebagai momen etis yang langka. Ia mengganggu kenyamanan sistem yang sudah terbiasa dengan kompromi dan penyesuaian moral. Dalam pandangan filosofis, tindakan semacam ini bukan hanya soal penegakan hukum, tetapi juga bentuk praksis moral yang menantang tatanan simbolik.

Di tengah budaya birokrasi yang kerap memisahkan etika dari kebijakan, munculnya figur yang menegakkan prinsip dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap nihilisme structural; yaitu keadaan ketika nilai-nilai kehilangan bobot karena semuanya bisa dinegosiasikan.

Filsafat kontemporer mengajarkan bahwa kebenaran bukanlah sesuatu yang absolut dan tunggal, melainkan hasil dari pergulatan terus-menerus antara wacana dan kekuasaan. Maka, ketika seorang pejabat berani menyingkap penyimpangan, tindakan itu bukan hanya menyingkap fakta, tetapi juga menantang struktur wacana yang telah mapan. Ia mengganggu keseimbangan semu yang selama ini dijaga oleh kompromi diam-diam antara kekuasaan dan kenyamanan. Reaksi “kebakaran jenggot” menunjukkan bahwa tindakan itu berhasil mengguncang fondasi simbolik yang rapuh.

Namun filsafat kontemporer juga mengingatkan bahwa perubahan sejati tidak cukup hanya dengan menyingkap kesalahan individu. Struktur yang memungkinkan penyimpangan itu harus turut dikritik. Ketika sistem insentif, budaya birokrasi, dan mekanisme pengawasan masih memungkinkan penyalahgunaan, maka tindakan moral seorang pejabat hanya menjadi percikan kecil di tengah hutan kering.
Nyala api itu bisa padam, atau sebaliknya, membakar seluruh sistem hingga hangus. Maka tantangan filosofis bagi masyarakat modern adalah bagaimana menjaga agar api kebenaran tidak berubah menjadi bara destruktif, tetapi menjadi cahaya yang menerangi jalan reformasi berkelanjutan.

Pada akhirnya, kebakaran jenggot para pejabat akibat ulah Menteri Keuangan bukan sekadar kisah politik, melainkan kisah tentang manusia. Ia memperlihatkan bagaimana kekuasaan dapat menipu, bagaimana kebenaran dapat membakar, dan bagaimana moralitas dapat lahir kembali dari puing-puing kebohongan. Dalam pandangan filsafat kontemporer, momen seperti ini adalah titik balik; bukan karena sistem telah bersih, tetapi karena kesadaran akan kerapuhan sistem itu mulai muncul. Dari kesadaran inilah perubahan sejati mungkin dimulai.

Api memang menakutkan, tetapi ia juga menerangi. Di tengah kepanikan para pejabat yang terbakar oleh kebenaran, masyarakat seharusnya tidak hanya menyoraki, tetapi belajar. Sebab setiap manusia, dalam skala kecil maupun besar, memiliki potensi untuk terjebak dalam godaan kekuasaan dan kepalsuan.

Kebakaran jenggot para pejabat adalah cermin bagi kita semua; bahwa dalam kehidupan sosial, integritas bukan sekadar slogan, melainkan perjuangan terus-menerus melawan api dalam diri sendiri. Jika bangsa ini ingin maju, maka nyala api kebenaran itu harus dijaga, bukan dengan ketakutan, tetapi dengan keberanian untuk terus menatapnya tanpa berpaling. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Api yang Membakar Diri Sendiri

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu mendapat kiriman keluhan dari sahabat lama tentang kondisi saat ini, melalui media sosialnya. Beliau mengeluh penggunaan media sosial yang sangat vulgar saat ini oleh banyak kalangan, dan beliau mempertanyakan bagaimana pendidikan etika saat ini yang sudah tergerus oleh teknologi. Rasa malu yang sudah entah minggat kemana, sehingga banyak orang sudah tidak memilikinya. Bisa dibayangkan ucapan bahkan aibnya sendiri diumbar tanpa rasa sungkan, apalagi risi. Keluhan sahabat tadi memicu dawai rasa untuk menuliskan apa yang sedang terjadi dari kacamata filsafat kontemporer.

Dunia maya kini telah menjadi panggung besar tempat manusia menampilkan segala sisi dirinya tanpa batas. Di sana, segala hal mengalir begitu cepat; pikiran, perasaan, bahkan hasrat yang paling pribadi sekalipun. Media sosial yang dahulu digadang sebagai alat untuk memperluas wawasan dan mempererat koneksi antarmanusia, kini tampak seperti ruang yang berisik, vulgar, dan sering kali kehilangan arah moral. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: apakah ini merupakan kegagalan pendidikan? Ataukah justru ini adalah cermin jujur dari wajah pendidikan itu sendiri, yang sejak awal mungkin telah kehilangan jiwanya?

Jika kita menelusuri akar persoalannya, tampak bahwa media sosial bukanlah penyebab tunggal dari lunturnya moralitas. Ia hanyalah media, bagai cermin besar tempat manusia menatap pantulan dirinya sendiri. Namun ketika pantulan itu tampak kabur, penuh dengan ekspresi syahwat, ego, dan narsisisme, maka yang patut disalahkan bukan cerminnya, melainkan wajah yang dipantulkan di dalamnya. Media sosial, dalam hal ini, hanya memperlihatkan betapa rapuhnya fondasi nilai yang ditanamkan oleh sistem pendidikan dan kebudayaan kita. Ketika seseorang dengan mudah menayangkan tubuhnya, amarahnya, bahkan kehinaannya kepada dunia tanpa rasa malu, maka sesungguhnya ia sedang menegaskan bahwa nilai-nilai tentang rasa hormat, batas, dan tanggung jawab tidak lagi menjadi bagian dari kesadarannya.

Pendidikan yang sejati seharusnya tidak hanya mencerdaskan akal, tetapi juga menumbuhkan kebijaksanaan. Namun yang terjadi kini, pendidikan lebih sering berperan sebagai pabrik pengetahuan, yaitu mengajarkan manusia untuk memahami rumus, teori, dan konsep, tapi tidak untuk memahami dirinya sendiri. Manusia didorong untuk menjadi cerdas, produktif, dan kompetitif, tetapi tidak diarahkan untuk menjadi arif, sadar, dan beradab. Maka tak heran jika hasilnya adalah generasi yang pandai memanfaatkan teknologi, namun kehilangan arah dalam menggunakannya. Mereka mampu mengolah gambar, kata, dan algoritma, tetapi tak mampu mengolah makna, rasa, dan tanggung jawab.

Dari sudut pandang filsafat kontemporer, krisis moral di media sosial bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ia adalah gejala dari krisis yang lebih dalam: hilangnya pusat nilai dalam kehidupan manusia modern. Dunia digital hidup dalam logika yang serba cepat, instan, dan visual. Nilai-nilai moral yang sejatinya tumbuh dalam permenungan dan refleksi menjadi tidak kompatibel dengan ritme digital yang tak memberi ruang bagi jeda. Segalanya harus segera: berpikir cepat, bereaksi cepat, menilai cepat. Dalam situasi seperti itu, moralitas yang membutuhkan kedalaman justru dianggap tidak relevan. Manusia menjadi seperti bayangan yang bergerak cepat tanpa arah, mengikuti arus data dan tren tanpa sempat bertanya: untuk apa semua ini?

Pendidikan moral yang diajarkan di sekolah sering kali berhenti pada tataran normative, yaitu sekadar daftar larangan dan perintah. Ia tidak lagi berbicara kepada hati dan kesadaran manusia, melainkan hanya kepada kepatuhan formal. Maka ketika individu masuk ke dunia yang tidak memiliki pengawasan langsung, seperti media sosial, ia kehilangan orientasi. Tanpa rasa takut pada otoritas eksternal, ia menunjukkan siapa dirinya sebenarnya: produk dari pendidikan yang gagal menanamkan kesadaran moral intrinsik. Dalam arti itu, benar bahwa kebobrokan moral di media sosial adalah kegagalan pendidikan, tetapi bukan kegagalan yang terjadi di ruang kelas belaka. Ia adalah kegagalan kolektif; kegagalan keluarga, masyarakat, bahkan sistem nilai yang menopang kehidupan bersama kita.

Menyalahkan pendidikan semata juga tidak cukup. Ada dimensi lain yang harus disadari: teknologi digital sendiri dibangun di atas logika kapitalisme global yang memonetisasi perhatian. Setiap klik, setiap gambar vulgar, setiap ekspresi emosi ekstrem memiliki nilai ekonomi. Platform digital dirancang untuk menstimulasi bagian otak yang haus akan penghargaan instan. Dalam ekosistem semacam ini, nilai moral tidak memiliki tempat yang menguntungkan secara finansial. Maka tidak mengherankan bila yang paling cepat menyebar adalah yang paling sensasional, bukan yang paling bernilai. Dalam arus itu, individu yang telah kehilangan kesadaran etis akan mudah terseret, mengira bahwa popularitas adalah ukuran kebermaknaan.

Ironisnya, di tengah kebisingan media sosial, manusia modern justru semakin kesepian. Ia mengumbar diri bukan karena percaya diri, tetapi karena haus pengakuan. Ia berteriak di ruang digital karena tak lagi mampu mendengar dirinya sendiri. Dalam kondisi ini, pendidikan moral seharusnya tidak lagi berbicara dengan bahasa hukuman dan dogma, melainkan dengan bahasa kesadaran dan empati. Ia harus mengajarkan manusia untuk menatap ke dalam, menyadari keterbatasannya, dan menghargai martabat dirinya sendiri.
Maka, pada akhirnya, apa yang kita saksikan di media sosial bukan hanya kegagalan pendidikan, melainkan juga kesempatan bagi manusia untuk memulai kembali. Dunia digital telah memperlihatkan betapa rapuhnya kita, dan kesadaran atas kerapuhan itu seharusnya menjadi titik tolak untuk membangun sistem pendidikan yang lebih manusiawi, pendidikan yang mengajarkan bagaimana menggunakan kebebasan dengan bijak, bagaimana menjaga kehormatan diri di tengah keterbukaan tanpa batas, dan bagaimana menjadi manusia yang utuh di tengah arus data yang melenakan.

Kebebasan yang sejati bukanlah kebebasan untuk menelanjangi diri, melainkan kebebasan untuk memilih tetap bermartabat ketika semua orang kehilangan rasa malu. Jika media sosial kini menjadi ruang yang vulgar, maka solusinya bukan dengan menutup ruang itu, melainkan dengan membuka kesadaran kita sendiri. Karena pada akhirnya, pendidikan moral yang paling hakiki tidak diajarkan di sekolah, melainkan dimulai dari keberanian untuk menatap diri dan bertanya: sudahkah aku benar-benar manusia di tengah dunia yang begitu bebas ini? Jawabannya kembali kepada hati nurani kita masing-masing yang paling dalam. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Ketika Kenangan Menjadi Rumahnya Jiwa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu kondisi sedang tidak baik-baik saja; entah mengapa otak sedang tidak mau diajak berfikir, rasa sedang tidak mau diajak “duduk”. Akibatnya untuk melakukan apapun, seolah kehilangan daya dorong; dan hanya bisa “deleg-deleg” dikursi kerja. Entah inspirasi atau keisengan, membuka media, terdengar lagu lawas oleh seorang maestro lagu daerah mendendangkan irama “Nganti mati ora bakal lali… la kae… lintange mlakuuu”. Ternyata dari penggalan itu dawai filsafat mulai bekerja untuk medorong pikir dan menuang rasa pada layar putih sebagai papan rekam kerja.

Kalimat ini bukan hanya sekadar barisan kata dengan nada puitis atau melankholis. Akan tetapi ungkapan rasa, sekaligus pernyataan eksistensial tentang pengalaman manusia yang paling hakiki: memiliki, kehilangan, mengingat, dan tetap menjaga dalam diam. Di dalamnya terletak inti dari keberadaan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari relasi dengan waktu, rasa, dan makna, sekalipun itu sudah menjadi masa lampau. Dan jika kita menyelami lebih dalam, maka kita akan menem ukan bahwa kalimat itu tidak hanya bicara tentang suka, akan tetapi juga tentang bagaimana manusia menjalani kehidupan sebagai makhluk yang sadar, merasa, dan berpikir: tentang siapa dirinya, apa yang telah terjadi, dan mengapa ia tidak bisa melupakan.

Manusia hidup dalam waktu, tapi tidak hanya sebagai penumpang pasif. Ia merasakan waktu itu, dan dia menyimpan masa lalu dalam bentuk kenangan, membayangkan masa depan dalam bentuk harapan, dan berusaha memahami keduanya melalui permenungan yang berlangsung di masa k ini. Dalam proses itu, ada pengalaman-pengalaman tertentu yang tidak sekadar berlalu, tetapi membekas dan tinggal menetap. Laksana bintang yang pernah menyala terang di langit malam, kenangan itu tidak padam begitu saja meski telah jauh atau bahkan hilang dari pandangan. Justru karena ia pernah begitu terang, begitu nyata, maka lintangnya terus berjalan di langit hati, menjadi cahaya kecil yang menuntun langkah, kadang juga menjadi luka, namun tetap terus dihidupi.

Kenangan bukan sekadar ingatan. Ia adalah bagian dari struktur batin manusia. Setiap kenangan membawa serta rasa, makna, bahkan identitas. Ketika seseorang mengatakan, “aku tidak akan pernah lupa,” itu bukan sekadar karena ia tidak mau lupa, tapi karena ia tidak bisa. Lupa bukan pilihan, karena yang dikenang sudah melebur menjadi bagian dari jati diri. Maka, jika ada satu momen yang begitu dalam, maka kehadirannya tidak pernah benar-benar hilang. Meski secara fisik telah berlalu, ia terus hidup dalam bentuk lain: sebagai lintang yang mlaku, bintang yang berjalan, yang tetap menyala, menembus batas waktu dan ruang.

Dalam lintasan filsafat, manusia bukan sekadar tubuh yang hidup, tapi juga subjek yang mengalami. Ia tidak hanya menjalani hidup, tapi juga merefleksikannya. Ia merasakan kehilangan, dan tidak berhenti pada rasa sakit, tetapi mencoba memahami apa arti kehilangan itu. Di situlah muncul kesadaran mendalam bahwa tidak semua yang hilang bisa digantikan. Ada hal-hal yang hanya terjadi sekali dalam hidup, dan ketika ia lewat, yang tersisa hanyalah kenangan. Tapi justru karena ia hanya sekali itulah, ia menjadi sangat berarti. Maka, tidak mengherankan jika banyak manusia lebih mengingat satu momen tertentu daripada seribu hari biasa. Sebab, ada yang tak bisa diulang, tak bisa diganti, tak bisa dihapus. “Lintang iku wis mlaku, tapi padhange isih katon”.

Setiap manusia pernah memiliki lintang masing-masing. Masing-masing punya cahaya sendiri, punya orbit sendiri, dan berjalan mengikuti irama batin manusia itu sendiri. Dan meski waktu terus bergerak, dan segala hal berubah, lintang itu tetap “mlaku”, sebagai pengingat bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang ada di depan mata, tetapi juga tentang apa yang pernah ada dan masih menyala di dalam hati.

Filsafat manusia bependapat bahwa kenangan bukan beban, tetapi dia dia bisa menjadi rumah. Dalam dunia yang terus berubah, di mana segala hal bisa pergi begitu cepat, kenangan adalah tempat pulang. Ia memberi kehangatan, memberi makna, memberi rasa bahwa hidup pernah sangat dalam. Tentu, rumah itu kadang sunyi, kadang penuh air mata, kadang juga penuh tawaria. Tetapi justru di sanalah keaslian manusia hadir. Ia tidak menyembunyikan apa-apa. Ia mengakui, ia menerima, dan ia menyimpan semuanya sebagai bagian dari hidup yang penuh warna.

Hidup manusia adalah rangkaian dari hadir dan tiada, datang dan pergi, menyala dan padam. Tapi cahaya sejati bukan yang paling terang, melainkan yang paling bertahan. Dan lintang-lintang kenangan itulah yang bertahan. Ia mungkin tidak menyilaukan, tapi selalu ada. Ia menjadi cahaya yang halus, tapi tak bisa padam. Bahkan ketika tubuh telah lelah, ketika napas telah satu-satu, lintang itu masih ada. Maka, ketika seseorang berkata “nganti mati ora bakal lali,” ia bukan sedang mengikat dirinya pada masa lalu, melainkan sedang menegaskan bahwa pengalaman yang sejati tidak bisa mati. Ia melampaui waktu. Ia abadi dalam bentuk yang tak kasat mata.

Akhirnya, ketika seseorang mengucapkan “la kae… lintange mlakuuu,” itu adalah seruan yang lahir dari perpaduan antara rasa yang paling dalam, kehilangan, dan penerimaan. Ia bukan sekadar ratapan, tetapi juga pengakuan. Pengakuan bahwa hidup tidak bisa selalu dipegang, tapi bisa diingat. Bahwa tidak semua kebahagiaan bisa diulang, tapi bisa disyukuri. Dan bahwa tidak semua cahaya bisa dilihat, tapi bisa dirasakan. Itulah kenapa lintang tetap mlaku. Karena ia hidup bukan di langit sana, tapi di dalam dada manusia yang tahu caranya mengenang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Pasar Ilang Kumandange

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Akhir-akhir ini dalam media sosial banyak menampilkan pasar yang ditinggalkan pembeli; dari pasar besar setingkat grosir, sampai pasar ditingkat kecamatan, bahkan pedesaan. Peristiwa ini mengingatkan pesan Pujangga Besar pada jamannya, yaitu Ranggawarsita, yang mengulas tanda-tanda “jaman” yang mengarah kepada “kehancuran”. Sebelum lebih jauh kita membahas, sebaiknya kita memahami siapa Ranggawarsita itu. Beliau adalah pujangga besar Jawa dari Surakarta (1802–1873), dikenal sebagai pujangga terakhir Keraton. Ia menulis karya sastra dan ramalan berisi kritik sosial serta kebijaksanaan hidup. Beberapa karya terkenal Ranggawarsita antara lain: Serat Kalatidha, Serat Sabdajati, Serat Wedhatama, Serat Pustakaraja Purwa, dan Serat Jaka Lodhang. Ranggawarsita memang dikenal sebagai penulis Serat Jangka Jayabaya, sebuah karya yang berisi ramalan-ramalan masa depan, termasuk tentang hilangnya keramaian pasar. Dalam Serat Jangka Jayabaya, terdapat petikan yang berbunyi:

“Mbesuk yen ana kreta mlaku tanpo jaran, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing dhuwur awang-awang, kali ilang kedunge, pasar ilang kumandange.”

Secara keseluruhan, “Pasar Ilang Kumandange” adalah bagian dari ramalan Jayabaya yang menggambarkan perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya dalam hal hilangnya keramaian pasar tradisional.

Ungkapan “pasar ilang kumandange” selalu menggema sebagai salah satu frasa paling puitis sekaligus paling getir dari khazanah kebijaksanaan Jawa. Di dalamnya tersimpan renungan yang jauh melampaui sekadar keluhan sosial atau ramalan masa depan. Ia adalah pantulan kesadaran seorang pujangga yang menyaksikan dunia berubah begitu cepat, dan manusia di dalamnya perlahan kehilangan gema dirinya sendiri.

Pasar dalam pandangan budaya Jawa bukanlah sekadar tempat transaksi. Ia adalah lambang dari kehidupan dunia, tempat manusia saling bertemu, bertukar bukan hanya barang tetapi juga rasa, pandangan, bahkan nasib. Suara pasar seperti: tawar-menawar, tawa, teriakan, panggilan, dan canda, itu adalah simbol dari denyut kehidupan manusia itu sendiri. Maka ketika sang pujangga berkata “pasar ilang kumandange”, yang ia maksud bukan sekadar pasar sepi pembeli, tetapi dunia yang kehilangan getar kehidupan. Suara manusia meredup, interaksi menjadi dingin, dan dunia berubah menjadi ruang tanpa gema.

Di sini, kata “kumandang” menjadi sangat penting. Dalam bahasa Indonesia, kumandang berarti suara yang bergema, pantulan bunyi yang menandakan adanya kehidupan, ruang, dan kehadiran. Tetapi dalam kedalaman batin Jawa, kumandang juga berarti getaran hidup yang menyatukan antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi. Hilangnya kumandang berarti padamnya resonansi antara manusia dan dunia, antara lahir dan batin, antara cipta, rasa, dan karsa. Dunia tetap ada, tetapi kehilangan jiwa.

Dalam konteks itu, “pasar ilang kumandange” dapat dibaca sebagai pernyataan ontologi, yaitu dunia kehilangan “ada”-nya. Ranggawarsita melihat bagaimana arus zaman membawa manusia masuk ke dalam dunia yang penuh aktivitas tetapi miskin makna. Orang bekerja, berdagang, bergaul, namun semua berlangsung tanpa kesadaran mendalam. Aktivitas menjadi rutinitas, relasi menjadi mekanis, dan kehidupan menjadi semacam mesin yang berjalan tanpa tujuan spiritual. Dunia yang dulu hidup kini menjadi kosong, seperti wadah tanpa isi. Inilah yang disebut krisis ontologis: keberadaan kehilangan kehadirannya. Dalam istilah para pemikir modern, manusia telah lupa akan keberadaan; ia terperangkap dalam kejatuhan eksistensial, hidup di tengah hiruk-pikuk tanpa sempat mendengarkan gema dirinya sendiri.

Dalam pandangan Jawa, dunia bukanlah sekadar ruang material. Dunia adalah harmoni antara jagad gedhe (alam semesta), jagad cilik (manusia), dan sangkan paraning dumadi (asal dan tujuan Ilahi). Ketika pasar kehilangan kumandangnya, berarti keseimbangan antara tiga ranah itu telah rusak. Manusia tidak lagi berelasi dengan alam secara selaras, tidak lagi berinteraksi dengan sesamanya secara hangat, dan tidak lagi menyapa Tuhan secara khusyuk. Dunia menjadi bisu bukan karena tidak ada suara, tetapi karena manusia tidak lagi mampu mendengar.

Krisis yang digambarkan Ranggawarsita kini menemukan bentuk paling nyata dalam dunia modern. Kita hidup di zaman ketika pasar benar-benar kehilangan kumandangnya dalam arti harfiah. Pasar tradisional yang dulu menjadi ruang sosial kini tergantikan oleh layar-layar digital. Interaksi manusia berpindah dari tatapan mata menjadi ketukan jari. Suara manusia berganti dengan notifikasi. Kumandang berubah menjadi algoritma. Dunia menjadi sangat efisien, tetapi juga sangat sunyi. Manusia saling terhubung, tetapi tidak benar-benar bersentuhan. Teknologi menciptakan kenyamanan, namun sekaligus menjarakkan manusia dari rasa kemanusiaannya sendiri.

Ungkapan “pasar ilang kumandange” pada akhirnya bukanlah kutukan, melainkan peringatan. Ia adalah ajakan untuk merenung tentang makna menjadi manusia di tengah perubahan yang tak terbendung. Ia mengingatkan bahwa suara sejati kehidupan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam diri yang sadar. Selama manusia masih mampu mendengar gema batinnya, selama ia masih bisa merasakan denyut kehidupan yang sejati, maka kumandang itu tidak akan benar-benar hilang. Dunia akan tetap bergema, dan manusia akan tetap menjadi manusia. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

Waktu “Surup”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Ingat pada waktu kecil dahulu, bila senja sudah tiba, warna langit berubah jingga yang biasa disebut dengan Candikolo, dan setelahnya temaram menuju gelap. Waktu seperti itu oleh orang Jawa disebut “Surup”. Dan. Jika waktu itu tiba Ibu pasti memanggil kami anak-anaknya guna memastikan apakah sudah masuk rumah. Selanjutnya beliau akan menutup pintu menyalakan “dimar” atau lampu teplok; yaitu lampu minyak tanah yang diberi sumbu dan diberi penutup kaca. Entah mengapa, sore itu saat menuju mushala dekat rumah, kenangan itu berkelebat dalam angan dan bayang. Sepulang dari menunaikan kewajiban shalat, tergerak untuk menelusuri makna surup itu dari kacamata filsafat manusia; yang sejatinya setiap kita akan mengalami waktu “surup-nya kehidupan”.

Di dunia ini, setiap peristiwa alam sesungguhnya menggambarkan hakikat kehidupan manusia. Tidak ada yang terjadi tanpa makna, dan tidak ada yang berjalan tanpa sebab. Di antara berbagai tanda yang dihadirkan Tuhan, waktu surup adalah salah satu simbol yang sarat makna. Surup bukan sekadar perubahan warna langit dari jingga menjadi gelap, melainkan lambang dari transisi, peralihan antara terang dan gelap, antara hidup dan mati, antara kesadaran dan keheningan. Di sinilah filsafat kehidupan menemukan cerminnya, sebab dalam waktu surup manusia belajar mengenali hakikat dirinya sebagai makhluk yang selalu berubah, yang tidak kekal, dan yang pada akhirnya akan melewati masa senja kehidupannya sendiri.

Ketika langit mulai menebar warna merah keemasan dan burung-burung pulang ke sarang, muncul suasana hening yang khas. Dunia seolah berhenti sejenak, menggantung di antara terang dan gelap. Keheningan itu memberi pesan bahwa segala sesuatu yang hidup akan mengalami perubahan. Tak ada yang abadi. Manusia yang dahulu muda dan kuat, lambat laun akan memasuki masa surup kehidupannya , saat tenaga berkurang, ketika suara hati lebih nyaring daripada suara ambisi. Dalam waktu seperti itu, manusia belajar menerima kenyataan bahwa satu-satunya hal yang tetap dalam hidup adalah perubahan itu sendiri.

Pandangan orang Jawa, surup tidak hanya berarti waktu secara fisik, tetapi juga waktu yang simbolis. Ia adalah momen ketika kekuatan alam berganti arah, ketika keseimbangan antara terang dan gelap terjadi sesaat. Suasananya lembut, udara terasa tenang, dan perasaan menjadi lebih peka. Bagi manusia yang waspada, surup adalah saat paling tepat untuk menyadari keberadaannya, untuk menengok ke dalam diri. Sebab ketika cahaya luar mulai redup, cahaya dari dalam hati seharusnya menyala agar tidak tersesat dalam gelap. Di sinilah makna filosofisnya tampak jelas: ketika dunia luar menjadi gelap, manusia harus menyalakan terang di dalam dirinya.

Manusia hidup di antara terang dan gelap. Dalam terang, ia berbuat, bekerja, dan mencipta. Dalam gelap, ia merenung, menahan diri, dan berserah. Surup adalah garis tipis di antara keduanya, tempat di mana manusia diajak untuk memandang dua sisi itu dengan bijak. Surup tidak memaksa manusia memilih antara terang atau gelap, tetapi mengajarkan keseimbangan ; bahwa keduanya adalah bagian yang sama penting dari kehidupan.

Pada akhirnya, setiap manusia akan mengalami waktu surup-nya sendiri-sendiri. Tak seorang pun bisa menghindar dari masa ketika cahaya hidupnya mulai redup, ketika semangat duniawi mulai digantikan oleh ketenangan jiwa. Namun di sini tidak ada kesedihan, sebab surup bukanlah akhir. Setelah gelap, akan datang terang baru. Surup hanyalah peralihan dari satu bentuk cahaya ke bentuk cahaya lainnya; dari cahaya kasar menuju cahaya halus, dari kehidupan fisik menuju kehidupan spiritual. Dalam pemahaman ini, surup adalah simbol kesadaran rohani, pengingat bahwa kematian bukanlah penutupan, melainkan pintu menuju kehidupan yang lebih dalam.

Saat menatap surup, langit seperti melukis suasana melankolis yang lembut namun dalam. Tidak ada hiruk-pikuk, tidak ada cahaya menyilaukan, hanya ada warna-warna lembut yang menenangkan rasa. Dalam keadaan itu, manusia bisa merasakan bahwa segala yang ada di dunia ini hanyalah singgah. Perasaan ini bukan untuk menimbulkan kesedihan, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran bahwa hidup harus dijalani dengan makna. Setiap terang akan berakhir, maka setiap masa terang harus dijalani dengan penuh arti. Surup tidak untuk ditakuti, tetapi untuk diterima sebagai pengingat bahwa tidak ada yang abadi, dan hanya kesadaran yang mampu menembus kegelapan.

Manusia yang telah melalui berbagai fase kehidupan akan lebih memahami makna surup. Saat muda, surup tampak seperti waktu yang biasa saja, hanya pertanda malam akan tiba. Namun ketika usia menua, surup menjadi simbol masa senja kehidupan, yaitu: saat seseorang lebih banyak mengingat daripada berharap. Di sini filsafat bertemu dengan rasa: kesadaran akan datangnya senja membuat manusia lebih lembut, lebih dalam, lebih dekat pada hakikat dirinya. Surup mengajarkan bahwa umur seperti perjalanan matahari; ada pagi, siang, dan senja. Tak ada yang lebih penting, sebab semuanya memiliki peran dalam kesempurnaan hidup.

Maka, waktu surup lebih dari sekadar perubahan warna langit. Ia adalah kitab filsafat yang ditulis oleh alam, yang dapat dibaca oleh siapa pun yang mau berhenti sejenak dan menatapnya dengan hati. Setiap sinar jingga yang menyatu dengan gelap memberi pelajaran bahwa hidup tidak harus selalu terang, tetapi harus jujur dalam menerima setiap perubahannya. Manusia yang memahami makna surup akan hidup lebih tenang, lebih sadar, dan lebih siap ketika masa surup-nya sendiri tiba.

Setiap waktu surup yang tampak di langit sejatinya adalah panggilan agar manusia mengingat kehidupan dirinya sendiri. Surup bukan hanya milik langit, tetapi juga ada di dalam hati setiap manusia. Setiap kali manusia mengalami kehilangan, perpisahan, atau kesedihan, ia sebenarnya sedang mengalami surup batinnya. Namun dari sana akan tumbuh cahaya baru yaitu, cahaya yang lebih dalam, lebih murni, dan lebih sejati. Surup bukan akhir, melainkan awal dari kebijaksanaan yang abadi.  Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman