Ketika Kenangan Menjadi Rumahnya Jiwa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu kondisi sedang tidak baik-baik saja; entah mengapa otak sedang tidak mau diajak berfikir, rasa sedang tidak mau diajak “duduk”. Akibatnya untuk melakukan apapun, seolah kehilangan daya dorong; dan hanya bisa “deleg-deleg” dikursi kerja. Entah inspirasi atau keisengan, membuka media, terdengar lagu lawas oleh seorang maestro lagu daerah mendendangkan irama “Nganti mati ora bakal lali… la kae… lintange mlakuuu”. Ternyata dari penggalan itu dawai filsafat mulai bekerja untuk medorong pikir dan menuang rasa pada layar putih sebagai papan rekam kerja.

Kalimat ini bukan hanya sekadar barisan kata dengan nada puitis atau melankholis. Akan tetapi ungkapan rasa, sekaligus pernyataan eksistensial tentang pengalaman manusia yang paling hakiki: memiliki, kehilangan, mengingat, dan tetap menjaga dalam diam. Di dalamnya terletak inti dari keberadaan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari relasi dengan waktu, rasa, dan makna, sekalipun itu sudah menjadi masa lampau. Dan jika kita menyelami lebih dalam, maka kita akan menem ukan bahwa kalimat itu tidak hanya bicara tentang suka, akan tetapi juga tentang bagaimana manusia menjalani kehidupan sebagai makhluk yang sadar, merasa, dan berpikir: tentang siapa dirinya, apa yang telah terjadi, dan mengapa ia tidak bisa melupakan.

Manusia hidup dalam waktu, tapi tidak hanya sebagai penumpang pasif. Ia merasakan waktu itu, dan dia menyimpan masa lalu dalam bentuk kenangan, membayangkan masa depan dalam bentuk harapan, dan berusaha memahami keduanya melalui permenungan yang berlangsung di masa k ini. Dalam proses itu, ada pengalaman-pengalaman tertentu yang tidak sekadar berlalu, tetapi membekas dan tinggal menetap. Laksana bintang yang pernah menyala terang di langit malam, kenangan itu tidak padam begitu saja meski telah jauh atau bahkan hilang dari pandangan. Justru karena ia pernah begitu terang, begitu nyata, maka lintangnya terus berjalan di langit hati, menjadi cahaya kecil yang menuntun langkah, kadang juga menjadi luka, namun tetap terus dihidupi.

Kenangan bukan sekadar ingatan. Ia adalah bagian dari struktur batin manusia. Setiap kenangan membawa serta rasa, makna, bahkan identitas. Ketika seseorang mengatakan, “aku tidak akan pernah lupa,” itu bukan sekadar karena ia tidak mau lupa, tapi karena ia tidak bisa. Lupa bukan pilihan, karena yang dikenang sudah melebur menjadi bagian dari jati diri. Maka, jika ada satu momen yang begitu dalam, maka kehadirannya tidak pernah benar-benar hilang. Meski secara fisik telah berlalu, ia terus hidup dalam bentuk lain: sebagai lintang yang mlaku, bintang yang berjalan, yang tetap menyala, menembus batas waktu dan ruang.

Dalam lintasan filsafat, manusia bukan sekadar tubuh yang hidup, tapi juga subjek yang mengalami. Ia tidak hanya menjalani hidup, tapi juga merefleksikannya. Ia merasakan kehilangan, dan tidak berhenti pada rasa sakit, tetapi mencoba memahami apa arti kehilangan itu. Di situlah muncul kesadaran mendalam bahwa tidak semua yang hilang bisa digantikan. Ada hal-hal yang hanya terjadi sekali dalam hidup, dan ketika ia lewat, yang tersisa hanyalah kenangan. Tapi justru karena ia hanya sekali itulah, ia menjadi sangat berarti. Maka, tidak mengherankan jika banyak manusia lebih mengingat satu momen tertentu daripada seribu hari biasa. Sebab, ada yang tak bisa diulang, tak bisa diganti, tak bisa dihapus. “Lintang iku wis mlaku, tapi padhange isih katon”.

Setiap manusia pernah memiliki lintang masing-masing. Masing-masing punya cahaya sendiri, punya orbit sendiri, dan berjalan mengikuti irama batin manusia itu sendiri. Dan meski waktu terus bergerak, dan segala hal berubah, lintang itu tetap “mlaku”, sebagai pengingat bahwa hidup bukan hanya tentang apa yang ada di depan mata, tetapi juga tentang apa yang pernah ada dan masih menyala di dalam hati.

Filsafat manusia bependapat bahwa kenangan bukan beban, tetapi dia dia bisa menjadi rumah. Dalam dunia yang terus berubah, di mana segala hal bisa pergi begitu cepat, kenangan adalah tempat pulang. Ia memberi kehangatan, memberi makna, memberi rasa bahwa hidup pernah sangat dalam. Tentu, rumah itu kadang sunyi, kadang penuh air mata, kadang juga penuh tawaria. Tetapi justru di sanalah keaslian manusia hadir. Ia tidak menyembunyikan apa-apa. Ia mengakui, ia menerima, dan ia menyimpan semuanya sebagai bagian dari hidup yang penuh warna.

Hidup manusia adalah rangkaian dari hadir dan tiada, datang dan pergi, menyala dan padam. Tapi cahaya sejati bukan yang paling terang, melainkan yang paling bertahan. Dan lintang-lintang kenangan itulah yang bertahan. Ia mungkin tidak menyilaukan, tapi selalu ada. Ia menjadi cahaya yang halus, tapi tak bisa padam. Bahkan ketika tubuh telah lelah, ketika napas telah satu-satu, lintang itu masih ada. Maka, ketika seseorang berkata “nganti mati ora bakal lali,” ia bukan sedang mengikat dirinya pada masa lalu, melainkan sedang menegaskan bahwa pengalaman yang sejati tidak bisa mati. Ia melampaui waktu. Ia abadi dalam bentuk yang tak kasat mata.

Akhirnya, ketika seseorang mengucapkan “la kae… lintange mlakuuu,” itu adalah seruan yang lahir dari perpaduan antara rasa yang paling dalam, kehilangan, dan penerimaan. Ia bukan sekadar ratapan, tetapi juga pengakuan. Pengakuan bahwa hidup tidak bisa selalu dipegang, tapi bisa diingat. Bahwa tidak semua kebahagiaan bisa diulang, tapi bisa disyukuri. Dan bahwa tidak semua cahaya bisa dilihat, tapi bisa dirasakan. Itulah kenapa lintang tetap mlaku. Karena ia hidup bukan di langit sana, tapi di dalam dada manusia yang tahu caranya mengenang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman